Ordo Amoris

4.3. Ordo Amoris

Bagi Spaemann, kebaikan hati masihlah bersifat abstrak, dan membutuhkan realisasinya. Dalam tindakan menolong, kebaikan hati mencapai aktualisasinya. Kebaikan hati terekspresi dalam bentuk kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang berada dalam kesulitan. Sesungguhnya kebaikan hati atau kesediaan untuk menolong ini berlaku pada siapa saja, sekalipun orang yang tidak dikenal, bila dia sedang berada dalam kesulitan dan membutuhkan pertolongan kita. Menurut Spaemann, karena manusia dari kodratnya makhluk yang terbatas, walaupun sesunguhnya kebaikan hati tidak mengenal batas, namun mau tidak mau ada apa yang dinamakan sebagai ordo amoris. Kebaikan hati pertama-tama berlaku bagi orang-orang yang paling dekat dengan diri kita, baru kemudian meluas kepada orang-orang yang agak jauh relasinya dengan diri kita. Spaemann menulis :

For the finite being benevolence in its universality has to organize itself into a structure which corresponds both to the finitude of its perspective as well as the finitude of the objects of benevolence in order words there exist is called ordo amoris. Everyone has their own place in the ordo amoris of other. Through reason’s universality we our selves realize that we cannot be as important to othes as we are to ourselves. And because each of us know this, no one has the right to treat someone else as no body (Spaemann, Happines and Benevolence 109).

Situasi kontemporer yang dicirikan oleh penyebaran informasi yang tanpa batas, dimana orang di satu tempat dapat mengetahui apa yang terjadi di tempat lain yang sangat jauh sekalipun, dapat dijadikan contoh tentang pentingnya ordo amoris/tatanan kebaikan hati. Berkat teknologi informasi dalam bentuk televisi, atau koran, orang dapat mengikuti dan mengetahui peristiwa-peristiwa apa saja yang terjadi di belahan bumi lain. Lewat informasi-informasi tersebut, misalnya tentang akibat perang yang harus ditanggung oleh masyarakat sipil di suatu wilayah yang berkonflik, dapat mengakibatkan rasa solidaritas dari orang-orang yang mengetahui informasi tersebut. Walaupun sebenarnya seseorang yang mengetahui informasi tersebut tidak mengenal orang-orang yang menjadi korban perang, namun ia menjadi tergerak oleh penderitaan orang-orang yang sebenarnya sama sekali tidak mengenal dan berada di tempat yang jauh darinya. Bagi Spaemann, solidaritas, rasa prihatin yang muncul akibat berita di media masa adalah bersifat semu dan hanya menimbulkan perasaan tidak berdaya, karena Situasi kontemporer yang dicirikan oleh penyebaran informasi yang tanpa batas, dimana orang di satu tempat dapat mengetahui apa yang terjadi di tempat lain yang sangat jauh sekalipun, dapat dijadikan contoh tentang pentingnya ordo amoris/tatanan kebaikan hati. Berkat teknologi informasi dalam bentuk televisi, atau koran, orang dapat mengikuti dan mengetahui peristiwa-peristiwa apa saja yang terjadi di belahan bumi lain. Lewat informasi-informasi tersebut, misalnya tentang akibat perang yang harus ditanggung oleh masyarakat sipil di suatu wilayah yang berkonflik, dapat mengakibatkan rasa solidaritas dari orang-orang yang mengetahui informasi tersebut. Walaupun sebenarnya seseorang yang mengetahui informasi tersebut tidak mengenal orang-orang yang menjadi korban perang, namun ia menjadi tergerak oleh penderitaan orang-orang yang sebenarnya sama sekali tidak mengenal dan berada di tempat yang jauh darinya. Bagi Spaemann, solidaritas, rasa prihatin yang muncul akibat berita di media masa adalah bersifat semu dan hanya menimbulkan perasaan tidak berdaya, karena

Bagi Spaemann, berhadapan dengan fenomena semacam ini, terasa akan perlunya dibuat ordo amoris bagi orang-orang yang berada di luar lingkup perhatian kita, ordo amoris yang tidak berdasarkan kedekatan atau kejauhan relasi dengan diri kita. Spaemann mengusulkan, pertama, pada level politis, harus tercipta kondisi di mana setiap orang memiliki kewarganegaraan. Dengan memiliki kewarganegaraan, berarti seseorang memiliki ikatan, relasi, dan itu berarti juga ada pihak yang berkepentingan, bertanggung jawab atas dirinya. Dengan memiliki kewarganegaraan pula, seseorang dapat dikatakan menjadi seseorang, tidak lagi bukan siapapun (nobody). Kedua, berdasarkan sifat universalitas kebaikan hati, yang sebenarnya berlaku terhadap siapapun, maka dalam situasi tertentu berhadapan dengan orang yang kita tidak kenal, namun membutuhkan pertolongan kita, kita perlu untuk membantunya, karena pada momen kita berhadapan dengan dia, dia telah menjadi nyata bagi kita. Orang tersebut telah menegaskan dirinya di hadapan kita. Memang kita dapat saja menolak dengan berpaling, namun itu bukanlah sikap yang sesuai dengan prinsip kebaikan hati.

Ordo amoris juga berlaku bukan hanya berdasarkan kejauhan atau kedekatan relasi, tetapi pertama-taman berdasarkan struktur realitas itu sendiri, dan berbicara tentang struktur realitas, sebenarnya itu berbicara tentang metafisika. Bagi Spaemann, etika memang tidak dapat dilepaskan dari metafisika.

Tidak ada etika tanpa metafisika. 5 Yang dimaksud oleh Spaemann dengan struktur realitas adalah level-level makhluk berdasarkan tingkat kesadarannya. Yang

menempati level paling tinggi dalam realitas adalah manusia karena memiliki tingkat kesadaran yang paling tinggi, kemudian binatang, tumbuhan, dan akhirnya benda mati.

Berdasarkan struktur realitas inilah tersusun ordo amoris. Pertaman-tama, realitas yang menempati tempat yang paling tinggi dalam ordo amoris adalah

Ibid., hal. 113.

manusia, pribadi yang memiliki kesadaran. Menurut Spaemann, relasi kewajiban untuk hormat terhadap orang lain bukanlah pertama-tama karena kesamaan biologis, melainkan karena orang lain pun memiliki relasi dengan diri mereka sendiri, yakni pribadi. Mereka adalah pribadi yang memiliki kesadaran, maka mereka adalah ‘nyata’ dan tidak dapat direduksi sekedar sebagai objek.

Menurut Spaemann, manusia sebagai makhluk yang dapat mengacu pada dirinya sendiri, bukan saja bersifat relatif dalam hubungannya dengan orang lain dan dalam pengalaman akan orang lain, melainkan pada dasarnya memang tergantung pada orang lain dan hanya menjadi nyata dalam hubungan ini. Bila manusia dapat menyadari bahwa dirinya bersifat relatif dan dapat keluar dari dirinya sendiri, dengan merelatifkan dirinya, maka dia melampaui relatifitasnya dan menjadi representasi dari Yang Absolut. Bagi Spaemann, inilah yang dimaksud sebagai martabat manusia, bahwa manusia adalah representasi dari Yang Absolut.

Dengan demikian, atas dasar inilah manusia adalah pribadi yang merupakan representasi dari Yang Absolut, maka di dalamnya termuat larangan untuk memperlakukan pribadi sekedar sebagai sarana. Spaemann memilih untuk menggunakan kata ‘larangan’ karena kata tersebut merupakan batas minimum dari setiap perintah untuk membantu orang lain yang membutuhkan bantuan, yang tidak dapat dirumuskan secara positif karena bersifat tidak terbatas dan bervariasi.

Spaemann telah melihat bahwa relasi etis antar pribadi didasarkan pada kenyataan bahwa setiap pribadi adalah makhluk yang memiliki kesadaran diri. Namun Spaemann menyadari bahwa prinsip tersebut menghadapi tantangan ketika berhadapan dengan kasus-kasus etis, misalnya dalam kasus pasien yang tidak lagi memiliki kesadaran dan hanya dapat bertahan berkat alat bantu kedokteran. Spaemann bertanya, “Bila relasi, tanggung jawab moral terhadap makhluk yang memiliki kesadaran diri, lalu bagaimana dengan manusia yang tidak lagi memiliki kesadaran diri?.” Menurut Spaemann, kita masih tetap memiliki tanggung-jawab moral terhadap pasien tersebut, karena bagaimanapun juga dia pernah mamiliki kesadaran diri. Hal itu berarti pula bahwa secara potensial, pasien tersebut masih dapat memiliki kesadaran diri kembali.

Selanjutnya, menurut Spaemenn, ordo amoris juga berlaku bagi makhluk yang tingkatannya lebih rendah daripada manusia, misalnya binatang. Namun tentu saja bentuk perhatian dan bantuannya berbeda daripada terhadap manusia. Alasannya karena manusia merupakan suatu pribadi yang satu keseluruhan, yang memuat tuntutan untuk dihormati, binatang bukanlah suatu keseluruhan/totalitas. Binatang tidak dapat menjadi nyata bagi dirinya sendiri, dan tidak dapat keluar dari pengaruh kegiatan dorongan instingtualnya, dan karena itu hidupnya tidak dapat menjadi suatu keseluruhan. Apa yang nyata bagi binatang adalah satuan- satuan peristiwa atau pengalaman. Panjang atau pendeknya hidup tidaklah berarti bagi binatang itu sendiri. Dan terhadap kenyataan itulah, kebaikan hati dan tanggung jawab kita harus mengacu secara praktis, misalnya kita boleh saja membunuh binatang. Dan yang menjadi tanggung-jawab kita terhadap binatang tersebut adalah meminimalkan rasa sakitnya, sehingga binatang tersebut sedikit mungkin mengalami rasa sakit. Itulah yang dapat menjadi wujud kebaikan hati terhadap binatang.

Berhadapan dengan alam, apa yang dapat dipandang sebagai tanggung- jawab terhadap alam bagi kepentingan alam itu sendiri. Memang alam tidak memiliki kesadaran diri, namun dalam kesadaran manusia sebagai makhluk rasional, realitas ditangkap sebagai keseluruham, termasuk alam. Relasi manusia dengan alam bukan hanya bahwa manusia berhadapan dengan alam, namun juga ada semacam relasi/ikatan yang bersifat primordial. Manusia dan alam saling melengkapi. Ketika alam tidak lagi utuh/lengkap, maka sesungguhnya manusia pun menjadi kehilangan. Menurut Spaemann, apa yang dirumuskan oleh Leibniz sebagai kebahagiaan, delectatio in felicitate alterius, berlaku juga dalam hubungan manusia dengan alam. Rumusan tersebut bahkan dapat mengatasi oposisi antar anthroposentrisme dan cinta akan alam demi alam itu sendiri. 6

Bagi Spaemann, sejauh mana objek mati dapat menjadi objek kebaikan hati adalah tergantung pada bagaimana kita memahaminya, sejauh mana kita menerimanya sebagai nyata. Namun benda itu sendiri tidaklah memuat tuntutan ontologis terhadap kita untuk memperhatikannya, karena benda itu sendiri tidak

Ibid., hal. 117-118.

mengalami kerugian apapun atas apa yang menjadi keputusan kita. Lagi pula sejauh mana benda itu menjadi nyata bagi kita adalah sama sekali tergantung pada kita.