Robert spaemann Cinta dan (1)

UNIVERSITAS INDONESIA

CINTA DAN PERSAHABATAN: SINTESIS ANTARA ETIKA

KEBAHAGIAAN DAN ETIKA KEWAJIBAN MENURUT ROBERT SPAEMANN SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana humaniora pada Program Studi Ilmu Filsafat

AGUNG NUGRAHA 0606091312

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI FILSAFAT DEPOK JULI 2012

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.

Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.

Jakarta, 17 Juli 2012

Agung Nugraha

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Agung Nugraha NPM

: 0606091312

Tanda Tangan : …………………………… Tanggal

: 17 Juli 2012

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi yang diajukan oleh :

Nama

: Agung Nugraha

NPM

Program Studi

: Ilmu Filsafat

Judul : Cinta dan Persahabatan: Sintesis antara Etika Kebahagiaan dan Etika Kewajiban Menurut Robert Spaemann

Ini telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Ganang Dwi Kartika, M.Hum. (…………………………)

Penguji : M. Fuad Abdillah, M.Hum. (…...…………………….)

Penguji

: Dr. Naupal Asnawi

Ditetapkan di

Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Dr. Bambang Wibawarta, S.S., M.A. NIP. 131882265

KATA PENGANTAR

Kehidupan tidak lain merupakan sebuah dinamika perasaan. Ada saatnya kita merasa senang dan gembira, ada saatnya kita merasa sedih dan kecewa. Itulah yang dialami penulis dalam kehidupan dunia pada umumnya dan kehidupan dunia kampus pada khususnya. Fenomena yang ada terkadang membuat penulis ambigu untuk melakukan apa yang seharusntya dilakukan. Namun karena keyakinan penulis kepada ‘Yang Absolut’ dapat memecahkan sebuah keraguan yang dijawab oleh proses dialog itu sendiri. Sembah sujud penulis kepada zat yang tidak pernah luput dalam pengatura-Nya, Allah SWT. Berkat-Nya skripsi dan kuliah penulis dapat terselesaikan. Sebagai makhluk yang saling membutuhkan, penulis menghaturkan banyak terima kasih dan karena mereka, penulis dapat merealisasikan segala hasil yang kini dapat diraih oleh penulis. Mereka adalah:

Kedua orang tua tercinta, penulis amat sangat berterimakasih dalam memberikan bantuan serta dukungan material maupun moral. Tanpa bantuan dari kedua orang tua, akan sangat mustahil bagi penulis menyelesaikan skripsi dan kuliah yang telah dijalankan selama ini.

Ganang Dwi Kartika, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang telah mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam menyelesaikan kuliah dan penyusunan skripsi ini. Bapak selalu mengingatkan penulis akan koreksi, diskusi, maupun kritik yang amat membangun dalam penulisan skripsi ini. Bapak sudah seperti keluarga sendiri yang tidak pernah bosan membantu penulis.

Dr. Donny Gahral Adian, selaku selaku pembimbing akademis. Yang telah meluangkan waktu kepada penulis dan selalu bersedia dilibatkan ketika penulis meminta persetujuan surat menyurat, diskusi, serta masukan.

M. Fuad Abdillah, M.Hum., selaku dosen penguji. Yang telah memberikan masukan yang sangat berharga bagi penulis, serta memberi pandangan-pandangan baru dalam penulisan skripsi ini.

Dr. Naupal Asnawi, selaku dosen penguji. Yang telah memberi masukan yang amat berarti. Melalui diskusi-diskusi dengan beliau, penulis mendapatkan inspirasi baru untuk mengkoreksi skripsi ini hingga selesai.

Para Pengajar yang memberikan kontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung atas penyusunan skripsi ini. Pak Achyar yang memberikan tempat bernaung pada masa-masa karantina, Pak Tommy yang telah memberikan masukan atas keberlangsungan skripsi ini, Mbak Yayas yang selalu direpotkan oleh penulis, Bu Embun, Bu Herminie, dan mereka yang luput dari penulisan nama pada skripsi ini.

Sahabat seperjuangan pada masa kuliah; Indra sudaryanto, Andrew Alfajrin, Bimo, Jeffery, Okta, Dam, Nia, dan sahabat filsafat 06’, yang jika dituliskan masing-masing nama dari mereka, skripsi ini akan penuh dengan daftar nama.

Sahabat sekaligus kekasih terbaik yang pernah dimiliki oleh penulis, Anggie Putri Utamie, S.H. Penulis amat sangat berterima kasih karena berkat dukungan maupun pengertian yang telah diberikan selama ini, skripsi ini maupun studi kuliah akhirnya selesai meskipun tidak tepat pada waktunya. Kemudian teman sepermainan penulis, baik yang aktual maupun yang tidak aktual; Sheila, Nanda, Fahmi, Afit, Ida, Yanto, Eko, Ozy, Ratim vs Dhika, Randy, Tiddy, Emak, Rendi, Andri, Indra Zao, Luthfi, dan lain-lain.

Kepada pihak-pihak yang tidak disebutkan yang telah membantu untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih banyak. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, 17 Juli 2010

Agung Nugraha

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Agung Nugraha NPM

: 0606091312 Program Studi : Ilmu Filsafat Departemen : Filsafat Fakultas

: Ilmu Pengetahuan Budaya Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Cinta dan Peersahabatan: Sintesis antara Etika Kebahagiaan dan Etika Kewajiban Menurut Robert Spaemann

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif

berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Depok, 17 Juli 2012

Agung Nugraha

ABSTRAK

Nama : Agung Nugraha Program Studi : Ilmu Filsafat Judul

: Cinta dan Persahabatan: Sintesis antara Etika Kebahagiaan dan Etika Kewajiban Menurut Robert Spaemann

Dalam pemikiran etika modern, eudaimonia dipandang tidak lagi relevan sebagai dasar dari moralitas atau bertindak etis. Hal ini terutama akibat kritik Kant terhadap etika eudaimonia, bahwa motivasi akan kebahagiaan hanya akan merusak inti dari moralitas. Bagi Kant, moralitas adalah persoalan kewajiban. Robert Spaemann bermaksud merehabilitasi etika eudaimonia dengan berusaha mencari titik temu antara kebahagiaan dan kewajiban. Pemisahan antara kebahagiaan dengan kewajiban adalah kesalahan dalam memahami dasar dari moralitas. Kesalahan Kant adalah memandang moralitas haruslah bebas dari segala kepentingan dan memandang motivasi akan kebahagiaan bersifat egoistik. Kesalahan tersebut adalah konsekuensi dari ontologi modern yang tidak dapat menampung konsep tentang transendensi diri. Spaemann lantas beralih kepada konsep cinta, yang menurutnya mengubah kepentingan diri, sebagai hasil dari transendensi diri makhluk rasional. Dalam cinta, tidak ada lagi pertentangan antara motivasi akan kebahagiaan dan melakukan yang wajib. Hal ini karena dalam cinta, yang menjadi motivasi dari tindakan adalah realitas orang lain, dan dalam cinta pula seseorang memperoleh kebahagiaan atas realitas orang lain.

Kata Kunci: eudaimonia, antinomi kebahagiaan, kalon, kagathon, hedonisme, etika Stoa, etika Kristiani, etika Kewajiban, utilitarisme, cinta, kebaikan hati, persahabatan, ordo amoris, tanggung jawab, maaf

viii

ABSTRACT

Name : Agung Nugraha Study Program : Philosophy Title

: Love and Friendship: Synthesis between Eudaimonic Ethics and Deontological Ethics According to Robert Spaemann

In modern ethics, eudaimonia is considered as irrelevance to become a ground for morality or ethical actions. It is primarily an implication of Kant’s critique to ethics of eudaimonia, that motif of happiness may corrupt the core of morality. According to Kant, morality is all about obligation. Robert Spaemann attempts to rehabilitate ethics of eudaimonia by seeking for a link between happiness and obligation. The separation between happiness and obligation is a mistake in attempt to understand the ground of morality. Kant makes a mistake by considering morality as free from any interest and also considering that motif of happiness is egoistic. That mistake is a consequence of modern ontology that unable to accommodate the concept of self- transcendency. Thus Spaemann turns to concept of love, which he thinks can change self-interest as the result from rational being’s self-transcendency. In love, there is no opposition between motif of happiness and doing obligation. It is because, in love the motif of an action is other’s reality; it is also in love that someone acquires happiness from other’s reality.

Keywords: eudaimonia, antinomy of happiness, kalon, kagathon, hedonism, Stoic ethics, Christian ethics, Deontological ethics, utilitarism, love, benevolence, friendship, ordo amoris, responsibility, forgiveness

ix

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setidaknya ada dua pendekatan dasar dalam etika. Pendekatan yang pertama adalah etika eudaimonia. Etika eudaimonia berangkat dari tesis bahwa tujuan manusia adalah mencapai kebahagiaan/eudaimonia. Karena itu etika adalah ajaran tentang bagaimana mencapai kebahagiaan tersebut. Sedangkan pendekatan yang kedua, dengan Kant sebagai pelopornya, memandang bahwa eudaimonia tidak lagi relevan bagi moralitas, bahkan dapat merusak dimensi moralitas itu sendiri. Bagi Kant, moralitas adalah persoalan kewajiban, dan harus bebas dari motivasi untuk mendapatkan kebahagiaan.

Sajak kritik Kant terhadap etika eudaimonia, pada wacana tentang kebahagiaan seolah menghilang dari pemikiran etika-etika selanjutnya. Padahal etika Kant dengan paham kewajibannya bukannya tanpa masalah, agar seseorang mau melakukan sesuatu, seharusnya sesuatu tersebut memiliki daya tarik yang membuat orang tersebut bersedia untuk melakukannya. Dan Kant tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa orang bersedia untuk melakukan apa yang wajib. Memang Kant mengatakan bahwa adanya kewajiban adalah fakta moral, yakni kenyataan bahwa kita spontan sadar berkewajiban untuk bertindak moral. Jadi bagi Kant, tidak mungkin untuk mempertanyakan mengapa manusia harus bertindak moral atau melakukan apa yang wajib. Namun fakta moral ini sebenarnya sudah berada di luar pengandaian-pengandaian teoritis Kant. 1

Sesungguhnya ketidakmampuan Kant untuk menjawab pertanyaan mengapa orang harus bertindak moral menunjuk pada persoalan lebih mendasar pada etika Kant dan etika-etika selanjutnya yang menyingkirkan gagasan teleologis tentang tujuan hakiki manusia. Gagasan teleologis tentang tujuan hakiki manusia adalah dasar berpijak bagi filsafat, tanpa gagasan teleologis,

Bdk. Magniz-Suseno, Franz, “Perkembangan-Perkembnagan Baru dalam Etika”, Jurnal Diskursus Vol. 01, No. 01, April 2002, hal. 20.

filsafat dan etika seolah berjalan tanpa berpijak. 2 Kesan seperti itu memang tidak dapat disangkal bila kita melihat pemikiran etika modern. Etika modern, misalnya etika diskursus malah sibuk tentang persoalan prosedur.

Dengan latar belakang situasi pemikiran etika moderen seperti inilah posisi Spaemann menjadi sangat penting. Dalam bukunya yang berjudul Happiness and Benevolence, Spaemann berusaha menggeluti apa yang seharusnya menjadi sumber persoalan, yaitu pertentangan antara etika eudaimonia dan etika kewajiban. Persoalan pertentangan antara etika eudaimonia dan etika kewajiban akan dipecahkan melalui kacamata Spaemann agar pemikiran etika modern tidak semakin jauh lagi menyimpang dari pokok persoalan, yakni apa yang seharusnya menjadi fokus etika.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, rumusan masalah yang menjadi pembahasan skripsi ini adalah:

1. Merumuskan kembali apa yang seharusnya menjadi tugas pokok dari etika dalam pandangan Spaemann, yaitu bagaimana mempertemukan antara ‘apa yang membahagiakanku’ dengan ‘apa yang wajib’, tentang bagaimana mencapai hidup yang berhasil.

2. Usaha Spaemann dalam menyatukan ‘apa yang wajib’ dan ‘apa yang membahagiakanku’ dirumuskan dengan cara memperlihatkan kritiknya terhadap etika kewajiban dan etika kebahagiaan.

1.3. Pernyataan Tesis

Cinta yang direlasikan dengan kebaikan hati, merubah self interest menjadi bentuk transendensi diri manusia, di mana realitas orang lain dalam teleologinya sendiri menjadi motif bagi tindakan.

Ibid. hal. 20.

1.4. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Memahami pemikiran Robert Spaemann tentang pertentangan antara etika eudaimonia dengan etika kewajiban, dan solusi yang ditawarkan Spaemann sebagai jalan keluar dari pertentangan tersebut. Spaemann melihat bahwa pada awalnya etika bersifat eudaimonistik, yaitu sebagai ajaran untuk mencapai kebahagiaan, di mana Spaemann menerjemahkan kata eudaimonia sebagai hidup yang berhasil dilihat secara keseluruhan. Namun hidup yang didasarkan pada pengejaran akan kebahagiaan cukup bermasalah. Hal ini juga tidak terlepas dari kritik Kant bahwa suatu tindakan yang dilakukan dengan motivasi untuk mendapatkan kebahagiaan ataupun ganjaran di surga malah moralitas.

2. Menunjukkan kesalahan Kant dalam memahami moralitas. Kesalahan Kant adalah memandang bahwa moralitas harus berarti bebas dari segala kepentingan, sedangkan pengejaran atas kebahagiaan dipandang sebagai sifat egoistis. Di sinilah kemudian Spaemann menunjuk pada fenomena cinta yang menurutnya dapat merubah kepentingan diri (self-interest), menjadi bentuk transendensi diri manusia, dimana realita orang lain dalam teleologinya sendiri menjadi tujuan bagi tindakan. Jadi dalam cinta, tidak ada lagi kepentingan antara kebahagiaan dengan apa yang wajib.

1.5. Metode Penelitian

Proses pencarian soluisi pada etika merupakan suatu upaya agar manusia dapat hidup lebih baik, yakni etika dipahami tentang bagaimana cara untuk berbuat baik dan menghindari keburukan. Banyak pembicaraan tentang etika yang tidak pernah menyinggung masalah yang sebenarnya karena mendasarkan diri pada prinsip pembenaran yang sama sekali berbeda. Seseorang mendasarkan pada kebermanfaatan, pencegahan keburukan dan lain sebaginya. Etika sebenarnya Proses pencarian soluisi pada etika merupakan suatu upaya agar manusia dapat hidup lebih baik, yakni etika dipahami tentang bagaimana cara untuk berbuat baik dan menghindari keburukan. Banyak pembicaraan tentang etika yang tidak pernah menyinggung masalah yang sebenarnya karena mendasarkan diri pada prinsip pembenaran yang sama sekali berbeda. Seseorang mendasarkan pada kebermanfaatan, pencegahan keburukan dan lain sebaginya. Etika sebenarnya

Skripsi ini mengacu pada buku Spaemann Happines and Benevolence. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif-analitis, dimana saya berusaha memaparkan gagasan Spaemann kemudian memberi tanggapan berdasarkan wawasan yang saya baca dari sumber lain.

1.6. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terbagi dalam lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, pernyataan tesis, tujuan penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Dalam bab dua, membahas riwayat hidup Spaemann, yang mencakup bagaimana kehidupan Spaemann, latar belakang pendidikan yang disusul pengaruh pemikiran, dan karya-karya Spaemann.

Dalam bab tiga, dipaparkan pembahasan tentang kritik Spaemann terhadap etika eudaimonia. Mencakup pemikiran Plato, Epikuros, Stoa, dan Aristoteles yang berusaha mencari isi dari pada eudaimonia. Di samping menunjukkan kelemahan dari setiap pemikir, Spaemann pada akhirnya menunjukkan pada konsep tentang eudaimonia bersifat antinomi, yang tentu akan menyebabkan kegagalan etika eudaimonia. Kemudian dilanjutkan dengan kritik Spaemann terhadap etika modern, yaitu etika Kristiani, etika, Kant, utilitarisme, dan etika diskursus. Di sini Spaemann pun menunjukkan kegagalan etika-etika tersebut dalam memahami apa yang sesungguhnya menjadi pokok dari moralitas.

Setelah pada bab sebelumnya dibahas keterbatasan dari etika-etika tersebut, selanjutnya dalam bab empat, saya membahas apa yang menjadi inti dari pemikiran Spaemann sendiri. Dalam bab empat dibahas tentang kebaikan hati, cinta/persahabatan, persepsi atas realitas, ordo amoris. Dan memaparkan tentang tanggung jawab dan maaf, yang menurut Spaemann tidak terlepas dari konsep Setelah pada bab sebelumnya dibahas keterbatasan dari etika-etika tersebut, selanjutnya dalam bab empat, saya membahas apa yang menjadi inti dari pemikiran Spaemann sendiri. Dalam bab empat dibahas tentang kebaikan hati, cinta/persahabatan, persepsi atas realitas, ordo amoris. Dan memaparkan tentang tanggung jawab dan maaf, yang menurut Spaemann tidak terlepas dari konsep

Dalam bab lima, yang merupakan bab penutup, saya membuat kesimpulan atas seluruh pemaparan dalam skripsi ini, yang disusul dengan tanggapan kritis atas pemikiran Robert Spaemann.

BAB II RIWAYAT HIDUP ROBERT SPAEMANN

2.0 Pengantar

Sebagai seorang filsuf abad ke-20 Robert Spaemann belum banyak dikenal. Hal Ini terlihat pada karya-karyanya yang masih sangat sedikit ditulis dalam bahasa Inggris, dan ini menjadi salah satu faktor penyebab Spaemann kurang dikenal. Jika dibandingkan dengan Habermas, reputasi Spaemann memang harus diakui beberapa peringkat di bawahnya. Meskipun demikian, tentu penting untuk mengetahui siapa dan apa saja karya yang telah dihasilkan Spaemann, mengingat di negaranya, ia termasuk ke dalam peringkat ke-9 pemikir-pemikir Jerman yang paling berpengaruh kurun waktu terakhir ini, dan pemikirannya dimasukkan ke dalam pemikiran yang mampu menyemangati perjalanan hidup bangsanya.

Dalam bab ini akan dipaparkan informasi tentang Robert Spaemann, yang terdiri dari; bagaimana kehidupan Robet Spaemann, latar belakang pendidikan dan pemikiran yang mempengaruhi Robert Spaemann, kemudian diakhiri dengan penutup.

2.1. Kehidupan Robert Spaemann

Robert Spaemann lahir di Berlin, pada 5 Mei 1927 dari pasangan Heinrich Spaemann dan Ruth Krämer. Tak seorang pun meragukan bahwa kedua orang tuanya adalah ateis-ateis radikal. Namun pada tahun 1930, akhirnya kedua orang tua Spaemann memeluk agama Kristen Katolik. Tak lama setelah kematian ibunya, Heinrich Spaemann, ayahnya, mengabdikan diri sebagai seorang imam katolik sejak tahun 1942.

Di Jerman dewasa ini, di samping Spaemann sangat dikenal sebagai seorang filsuf konservatif yang berhaluan katolik Roma, ia juga dikenal sebagai Di Jerman dewasa ini, di samping Spaemann sangat dikenal sebagai seorang filsuf konservatif yang berhaluan katolik Roma, ia juga dikenal sebagai

Sebagai seorang professor, Spaemann ikut serta dalam Schülerkreis Paus Benedict, sebuah konferensi yang diselenggarakan atas inisiatif pribadi yang berdiri sejak akhir tahun 1970. Di samping itu, kontribusinya sangat berarti dalam hal perdebatan-perdebatan kontemporer di bidang filsafat dan teologi, percakapan- percakapan terbuka antar kedua disiplin tersebut. Dia juga ikut serta dalam sebuah dialog yang menuntutnya untuk bertumpu pada pandangan-pandangan klasik atau pun kontemporer dan sering mengemukakan pandangan-pandangan pribadinya yang penting dan orisinal. Sebagai contoh untuk itu adalah pertanyaan tentang 'Who is a person?' yang memperoleh bentuknya yang makin penting ke dalam pertanyaan-pertanyaan seperti: Are all human beings persons? Are there animals that can be considered persons? What does it mean to speak of personal identity and of the dignity of the person? Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut jawaban Spaemann adalah bahwa “...Every human being ...” menurutnya, “... is a person and, therefore, 'has' his nature in freedom.” Agar dapat memahami orang tersebut, menurut Spaemann, “... we have to think about the relation between nature and freedom and avoid the reductive accounts of this relation prevalent in important strands of modern thought.” 1

Sebagai seorang filsuf, Spaemann mengembangkan sebuah kritik yang menantang tentang modernitas analisis gabungan akan anti-modernisme modern dan modernisme. Jika kita tidak ingin menghapuskan diri kita sebagai pribadi- pribadi, menurut Spaeman, maka “... we need to find a way of understanding ourselves that evades the dialectic of modernity.” Dengan demikian, Spaemann mengingatkan para pembacanya akan pengetahuan yang serba cukup bukti (self-

1 http://search.barnesandnoble.com/Robert-Spaemanns-Philosophy-of-the-Human- Person/Holger-Zaborowski/e/9780199576777 1 http://search.barnesandnoble.com/Robert-Spaemanns-Philosophy-of-the-Human- Person/Holger-Zaborowski/e/9780199576777

2.2. Latar Belakang Pendidikan dan Pemikiran yang Memengaruhi Robert Spaemann

Robert Spaemann menjalani masa studinya di University of Münster. Di universitas itulah ia menerima penganugerahan Habilitation. Habilitation (bahasa Latin habilis berarti ‘cukup baik’, ‘dihargai secara sosial’, ‘cakap’) adalah kualifikasi akademik tertinggi yang dapat dicapai seorang sarjana melalui berbagai usahanya di beberapa negara Eropa dan Asia. Bertolak dari penganugerahan tersebut, Spaemann diharuskan menulis sebuah karya tesis yang sering disebut dengan istilah Habilitationsschrift atau Habilitation thesis. Karya tulis akademis tersebut dilakukan atas dasar kesarjanaan yang telah diperolehnya dan di-review serta harus dipertahankan di hadapan komite akademis seperti yang biasa dilakukan untuk karya-karya penelitian disertasi.

Spaemann seorang profesor filsafat di beberapa universitas, di antaranya Universitas Stuttgart (hingga 1968), Universitas Heidelberg (hingga 1972), Universitas Munich sampai tiba masa pensiun baginya di tahun 1992. Di Universitas Salzburg ia dipekerjakan sebagai profesor pengabdi yang tanpa menerima pembayaran (honorar-professor). Dia dianugerahi kehormatan doktor (honorary doctorate) oleh Catholic University of Lublin di tahun 2012.

Pemikiran Robert Spaemann sangat dipengaruhi oleh beberapa filsuf, baik yang hidup di masa Yunani maupun yang hidup di masa modern. Para filsuf itu antara lain; Aristoteles, Plato, Stoa, Epikuros, Immanuel Kant, Thomas Aquinas, Agustinus, Gottfried Wilhelm Leibniz, Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan George Edward Moore. Namun demikian, ada dua filsuf yang sangat mempengaruhi Robert Spaemann, yaitu Aristoteles dan Immanuel Kant.

Robert Spaemann dikategorikan sebagai Neo-Aristotelian dan konservatif. Sudah lama etika menghindar dari pertanyaan yang paling mendasar: Mengapa kita harus bermoral? Dengan kembali ke etika Yunani, khususnya tradisi Plato,

Spaemann mengindentifikasi kebaikan hati dan persahabatan pada konsep Aristoteles, sebagai fenomena paling mendasar. Moralitas, bagi Kant yang selama ini dianggap sebagai persoalan kewajiban semata, dapat diketahui secara intuitif dengan pengalaman cinta.

Spaemann mengembangkan intuisi-intuisi dasar dengan berdialog pada filsafat Yunani. Ia mengangkat kembali suatu gaya berpikir yang selama satu setengah ribu tahun menjadi pengetahuan terdalam filsafat Barat: kaitan antara kebahagiaan dan kontemplasi, antara kebaikan moral dan pemenuhan eksistensi. Spaemann membawa etika keluar dari jalan buntu metafisika dan epistemologi pasca Kant.

2.3. Karya-karya Robert Spaemann

Di antara sekian banyak karya yang telah dituliskannya, karya Spaemann yang berjudul Glück und Wohlwollen (Happiness and Benevolence, 1989) dan Personen (Persons, 1996) diakui sebagai karya-karyanya yang paling fenomenal. Di dalam buku Happiness and Benevolence, Spaemann mengemukakan sebuah tesis bahwa kebahagiaan berasal dari kebaikan hati dan keinginan menolong. Spaemann mempercayai bahwa keberadaan kita sebagai manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai “... as social beings to help one another find truth and meaning in an often confused and disordered world.” “... sebagai makhluk sosial untuk menolong orang lain menemukan kebenaran dan makna dalam sebuah dunia yang

sering membingungkan dan kacau.” 2 Berikut ini disampaikan sedikit di antara publikasi-publikasi untuk tema-

tema politik yang pernah dilakukan, yakni: ”Reflexion und Spontaneität. Studien über Fénelon“ (1963); “Zur Kritik der politischen Utopie“ (1977); “Philosophische Essays“ (1983); “Grenzen. Zur ethischen Dimension des

http://payingattentiontothesky.com/2011/05/31/when-death-becomes-inhuman- professor-robert-spaemann/

Handelns“ (Aufsätze, 2001); “Das unsterbliche Gerücht. Die Frage nach Gott und die Täuschung der Moderne“ (2007).

Dalam hal karya-karya dan publikasi-publikasi yang dilakukannya, sebuah majalah Jerman berjudul Cicero: Magazin für politische Kultur pernah memublikasikan peringkat pemikir-pemikir Jerman yang masih hidup dan dianggap paling penting berdasarkan banyaknya publikasi atas karya-karyanya pada Selasa, 20 Oktober 2009, dengan mendudukkan Robert Spaemann di urutan ke-9 setelah pemikir-pemikir berikut ini: Jürgen Habermas (peringkat ke-1), Peter Sloterdijk (peringkat ke-2), Julian Nida-Rümelin (peringkat ke-3), Hermann Lübbe (peringkat ke-4), Hans Albert (peringkat ke-5), Richard Davis Precht (peringkat ke-6), Nobert Bolz (peringkat ke-7), Dieter Thomä (peringkat ke-8).

Di samping kategori filsafat, majalah ini membuat kategori-kategori pada urutan peringkat reputasi seseorang berdasarkan klasifikasi sebagai berikut: natural science, economics, history, culture, film production, comedy, dan writers. Klasifikasi urutan peringkat tersebut berdasarkan kemunculan masing-masing di dalam 160 surat kabar Jerman dan majalah-majalah.

Keberadaan klasifikasi urutan peringkat bagi para pemikir Jerman tersebut untuk mengetahui beberapa hal berikut ini: Siapa yang menduduki peran terhormat sebagai pemberi semangat jaman (Zeitgeist), siapa yang memprovokasi dengan tesis-tesis apa saja, siapa yang terlibat dalam perdebatan, dengan siapa, dan terdapat di forum apa.

Berikut ini adalah karya-karya Robert Spaemann yang dibagi ke dalam 3 kategori sebagai berikut:

1. Karya Buku

a. Dalam bahasa Inggris:

1) Basic Moral Concepts, trans. T.J. Armstrong. London: Routledge, 1990 (1982).

2) Essays in Anthropology: Variations on a Theme, trans. Guido De Graaff and James Mumford. Eugene, OR: Cascade Books, 2010 (1987).

3) Happiness and Benevolence, trans. J. Alberg. Edinburgh: T & T Clark, 2000 (1989).

4) Persons: The Difference between "Someone" and "Something", trans. Oliver O’Donovan. Oxford: Oxford University Press, 2006 (1996).

b. Dalam bahasa Jerman:

1) Rousseau – Mensch oder Bürger. Das Dilemma der Moderne. Klett- Cotta, Stuttgart 2008, ISBN 978-3-608-94245-3

2) Der letzte Gottesbeweis. Pattloch Verlag 2007, ISBN 978-3-629- 02178-6

3) Das unsterbliche Gerücht. Die Frage nach Gott und der Aberglaube der Moderne. Klett-Cotta, Stuttgart 2005, ISBN 3-608-94452-4. Neuausgabe als: Natürliche Ziele. Klett-Cotta, Stuttgart 2005, ISBN 3- 608-94121-5

4) Grenzen. Zur ethischen Dimension des Handelns. Klett-Cotta, Stuttgart 2001, ISBN 3-608-91027-1

5) Der Ursprung der Soziologie aus dem Geist der Restauration. Studien über Louise-Gabriel de Bonald. Kösel, München 1959; 2. A. Klett- Cotta, Stuttgart 1998, ISBN 3-608-91921-X

6) Töten oder sterben lassen? Worum es in der Euthanasiedebatte geht (mit Thomas Fuchs). Herder Verlag 1997

7) Personen. Versuche über den Unterschied zwischen „etwas“ und „jemand“. Klett-Cotta, Stuttgart 1996, ISBN 3-608-91813-2

8) Zur kirchlichen Erbsündenlehre. Stellungnahmen zu einer brennenden Frage (mit Albert Görres, Christoph Schönborn). (Sammlung Kriterien 87), Johannes Verlag Einsiedeln Freiburg 1994, ISBN 3-89411-303-0

9) Reflexion und Spontanität. Studien über Fénelon. Kohlhammer, Stuttgart 1963; 2. A. Klett-Cotta, Stuttgart 1990, ISBN 3-608-91334-3

10) Glück und Wohlwollen. Versuch über Ethik. Klett-Cotta, Stuttgart 1989, ISBN 3-608-91556-7

11) Das Natürliche und Vernünftige. Aufsätze zur Anthropologie. Piper Verlag (Serie Piper 702), München 1987, 3-492-10702-8

12) Philosophische Essays. Reclam (UB 7961), Stuttgart 1983; 2. erw. A. ebd. 1994, ISBN 3-15-007961-6

13) Moralische Grundbegriffe. Beck Verlag (Beck’sche Reihe 256), München 1982, ISBN 3-406-45442-9

14) Rousseau – Bürger ohne Vaterland. Von der Polis zur Natur. Piper Verlag, München 1980, ISBN 3-492-10579-3

15) Einsprüche. Christliche Reden. Johannes Verlag Einsiedeln Freiburg 1977, ISBN 3-265-10195-9

16) Die Frage Wozu? Geschichte und Wiederentdeckung des teleologischen Denkens (mit Reinhard Löw). Piper (Serie Piper 748), München 1981

17) Zur Kritik der politischen Utopie. Zehn Kapitel politischer Philosophie. Klett-Cotta, Stuttgart 1977, ISBN 3-12-910110-1

2. Karya Artikel

a. Dalam bahasa Inggris:

1) "Remarks on the Problem of Equality," Ethics 87 (1976-77), 363-69.

2) "Side-effects as a Moral Problem," trans. Frederick S. Gardiner, Contemporary German Philosophy, vol. 2, ed. Darrel E. Christensen, Manfred Riedel, Robert Spaemann, Reiner Wiehl, Wolfgang Wieland (University Park: Pennsylvania State University Press, 1983), 138-51.

3) "Remarks on the Ontology of 'Right' and 'Left,'" Graduate Faculty Philosophy Journal 10.1 (1984), 89-97.

4) "Is Every Human Being a Person?," trans. Richard Schenk, O.P., The Thomist 60 (1996), 463-74.

b Dalam bahasa Jerman

1) Hermann Lübbe (Hrsg.): Wozu Philosophie? Stellungnahmen eines Arbeitskreises. De Gruyter, Berlin 1978, ISBN 3-11-007513-X.

2) Robert Spaemann: Die christliche Religion und das Ende des modernen Bewusstseins. In: Internationale Katholische Zeitschrift Communio. Nr. 3. 1979, S. 256f.

3) Robert Spaemann: Bestialische Quälereien Tag für Tag. In: Deutsche Zeitung. 33, 1979. Auch veröffentlicht unter: Welt des Grauens. In:

Kritik der Tierversuche. Kübler Verlag, Lambertheim 1980, ISBN 3- 921265-24-X, S. 27-31.

4) Peter Thomas Geach, Fernando Inciarte, Robert Spaemann: Persönliche Verantwortung. Adamas, Köln 1982, ISBN 3-920007-78-6.

5) Robert Spaemann: Tierschutz und Menschenwürde. In: Ursula M. Händel (Hrsg.): Tierschutz - Testfall unserer Menschlichkeit. Fischer Taschenbuchverlag GmbH, Frankfurt am Main 1984, ISBN 3-596- 24265-7, S. 71–81.

6) Robert Spaemann, Wolfgang Welsch, Walther Christoph Zimmerli: Zweckmässigkeit und menschliches Glück. Fränkischer Tag, Bamberg 1994, ISBN 3-928648-12-8.

7) Oswald Georg Bauer (Red.): Was heißt „wirklich“? Unsere Erkenntnis zwischen Wahrnehmung und Wissenschaft. Oreos, Waakirchen- Schaftlach 2000, ISBN 3-923657-54-4.

8) Walter Schweidler (Hrsg.): Menschenleben – Menschenwürde. Interdisziplinäres Symposium zur Bioethik. Lit, Münster 2003, ISBN 3- 8258-6808-7.

9) Georg Muschalek (Hrsg.): Der Widerstand gegen die Alte Messe. Van Seth, Denkendorf 2007, ISBN 978-3-927057-16-6.

10) Robert Spaemann: Die schlechte Lehre vom guten Zweck. Der korrumpierende Kalkül hinter der Schein-Debatte. In: FAZ vom 23. Oktober 1999, Bilder und Zeiten I.

2.4. Penutup

Meskipun ringkas, dan oleh karenanya takkan mungkin membawa kita pada pemahaman yang memadai mengenai pemikiran Robert Spaemann, namun informasi yang telah penulis kemukakan dalam bab ini sekiranya cukup untuk memperkenalkannya. Bagi penggiat filsafat di Indonesia, nama yang satu ini barangkali relatif asing sehingga pembahasan mengenai pemikirannya diharapkan membawa kesegaran ke dalam perdebatan filosofis di negeri ini, terutama dalam Meskipun ringkas, dan oleh karenanya takkan mungkin membawa kita pada pemahaman yang memadai mengenai pemikiran Robert Spaemann, namun informasi yang telah penulis kemukakan dalam bab ini sekiranya cukup untuk memperkenalkannya. Bagi penggiat filsafat di Indonesia, nama yang satu ini barangkali relatif asing sehingga pembahasan mengenai pemikirannya diharapkan membawa kesegaran ke dalam perdebatan filosofis di negeri ini, terutama dalam

BAB III KRITIK ROBERT SPAEMANN TERHADAP ETIKA EUDAIMONIA DAN ETIKA MODERN

3.0. Pengantar

Menurut Spaemann, pertama-tama etika dipahami sebagai ajaran untuk mencapai hidup yang berhasil. Para filsuf Yunani memiliki kesepakatan bahwa hidup manusia dapat berhasil bila manusia mencapai tujuannya. Dan tujuan pokok hidup manusia adalah eudaimonia. Namun hanya sampai disinilah kesepakatan para filsuf tersebut. Etika dihadapkan pada pertanyaan berikutnya, yaitu “Apakah yang dimaksud dengan eudaimonia?” dan “Bagaimana orang dapat mencapai eudaimonia?” para filsuf mengajukan jawaban yang berbeda-beda. Spaemann sendiri telah memiliki pendapat tentang bagaimana eudaimonia harus dipahami, yaitu sebagai hidup yang berhasil ketika terlihat secara keseluruhan. Spaemann melihat bahwa eudaimonia hanya dapat bersifat formal, yaitu sebagai horizon yang mencakup seluruh tujuan-tujuan konkrit tindakan manusia. Spaemann menulis :

We observe the phenomenon that the goals of our actions are relativized by the more comprehensive Why and Whither and What-for of these actions, even when this ultimate goal is understood as merely “unhindered progress from passion.” The acients named this horizon which encompasses all our concrete individual aims eudaimonia. We Spaeak here of “life’s turning out well.” Were there no such horizon, then the individual goals of our actions would be completely in commensurable with one another. We could not weigh one goal against the other in the any way (Spaemann, Happines and Benevolence 19) .

Setiap usaha yang memberikan isi pada eudaimonia tidak akan berhasil. Spaemann akan menunjukkan kegagalan-kegagalan yang harus dialami oleh para filsuf Yunani ketika berusaha memberikan isi pada eudaimonia, yang Spaemann hadapkan tentang pemahamannya terhadap eudaimonia sebagai hidup yang berhasil ketika dilihat secara keseluruhan. Dengan demikian, akan terlihat kegagalan para filsuf Yunani, seperti Plato, Epikuros, Stoa, dan Aristoteles. Kemudian juga akan dibahas tentang kritik Spaemann terhadap etika modern, seperti etika Kristiani, yang diwakili oleh Agustinus dan Thomas Aquinas Setiap usaha yang memberikan isi pada eudaimonia tidak akan berhasil. Spaemann akan menunjukkan kegagalan-kegagalan yang harus dialami oleh para filsuf Yunani ketika berusaha memberikan isi pada eudaimonia, yang Spaemann hadapkan tentang pemahamannya terhadap eudaimonia sebagai hidup yang berhasil ketika dilihat secara keseluruhan. Dengan demikian, akan terlihat kegagalan para filsuf Yunani, seperti Plato, Epikuros, Stoa, dan Aristoteles. Kemudian juga akan dibahas tentang kritik Spaemann terhadap etika modern, seperti etika Kristiani, yang diwakili oleh Agustinus dan Thomas Aquinas

3.1. Kritik Spaemann terhadap Etika Eudaimonia

3.1.1. Eudaimonisme

Konsep eudaimonia pertama kali dicetuskan oleh Aristoteles. Dalam bukunya, Ethika Nikomakheia, Aristoteles memulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatan manusia mengejar suatu tujuan. Dapat dikatakan dalam setiap perbuatan, kita ingin mencapai suatu yang baik bagi kita. Sering kali kita mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan lagi. Dari sinilah maka timbul pertanyaan, apakah ada juga tujuan yang dikejar karena dirinya sendiri dan bukan karena sesuatu yang lain lagi; apakah ada kebaikan terakhir yang tidak dicari demi

sesuatu yang lain lagi. 1 Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi dalam makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan

(eudaimonia). Namun jika semua orang mudah menyepakati kebahagiaan sebagai tujuan terakhir manusia, itu belum memecahkan semua kesulitan, karena dengan kebahagiaan mereka mereka mengerti banyak hal yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan kesenangan adalah kebahagiaan dan ada pula yang menganggap status sosial atau nama baik sebagai kebahagiaan. Namun Aristoteles beranggapan bahwa semua hal itu tidak bisa diterima sebagai tujuan terakhir.

Menurut Aristoteles, seseorang mencapai tujuan terakhir dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Jika manusia menjalankan fungsinya sebagai manusia dengan baik, maka ia juga mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan. Menurut Aristoteles, manusia mempunya fungsi yang khas dan memiliki keunggulan dibanding makhluk lain, yakni terletak pada akal budi. Karena itu manusia mencapai kebahagiaan dengan cara paling baik ketika

Bertens, K. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal. 242.

manusia melakukan kegiatan-kegiatan rasionalnya (theoria). Hal ini berarti bahwa kegiatan-kegiatan rasional itu harus dijalankan disertai dengan keutamaan. Bagi Artstoteles ada dua macam keutamaan: keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung dari rasio itu sendiri. Dan pada keutamaan moral rasio menjalankan pilihan-pilihan yang perlu diadakan dalam hidup sehari. Maka kebahagiaan yang lebih sesuai dengan kondisi manusia terletak dalam praksis, partisipasi komunikatif dalam urusan bersama polis.

3.1.2. Etika Kebahagiaan Menurut Plato

Dalam pandangan Plato, orang dikatakan baik apabila dikuasai akal budi, buruk apabila dikuasai oleh hawa nafsu. Karana ketika seseorang dikuasai hawa nafsu dan emosi, seseorang dikuasai sesuatu yang diluar dirinya. 2 Plato melihat bahwa hidup yang berhasil dapat dicapai bila manusia menjalankan hidup berdasarkan akal budinya. Manusia yang hidup berdasarkan akal budinya dapat mengetahui dan sekaligus akan memilih yang baik, dan menolak hal-hal yang buruk. Dengan hidup berdasarkan akal budi, manusia akan mencapai ketenangan, kesatuan dengan dirinya, dan pendekatan diri yang tenang. Kebalikan dari manusia yang dikuasai oleh akal budi adalah mereka yang hidupnya dikuasai oleh hawa nafsu. Mereka menjalani hidup dalam ketidakteraturan, terombang-ambing. Dan hidup semacam itu berarti kesengsaraan. Hidup yang didasarkan pada akal budi berkaitan erat dengan penguasaan diri. Namun Plato lebih menekankan unsur akal budi daripada unsur penguasaan diri. Dapat saja penguasaan diri dipandang sebagai syarat untuk hidup yang dikuasai akal budi. Ketika orang mampu menguasai diri, maka akal budinya yang menguasai dan mengarahkan hidupnya. Plato lebih memandang akal budilah yang memampukan manusia untuk menguasai dirinya. Ketika seseorang tahu apa yang baik, maka pengetahuan itu akan membuat seseorang memilih yang baik.

Di sini dapat muncul pertanyaan tentang bagaimanakah sesungguhnya Plato memahami akal budi. Bagi Plato, akal budi tidaklah terbatas pada rasio.

Magniz-Suseno, Franz, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1997. Hal. 19.

Akal budi lebih merupakan kesatuan dari unsur-unsur batin manusia yang meliputi rasio, kehendak, dan perasaan. Dengan demikian manusia yang dikuasai oleh akal budi berarti adalah manusia yang utuh, integral. Di dalam dirinya tidak ada lagi pertentangan-pertentangan antara unsur batin, rasio dan perasaan. Karena itulah Plato dapat mengatakan bahwa manusia yang mengetahui apa yang baik, tentulah memilih apa yang baik tersebut. Hal ini dikarenakan adanya keterkaitan antara unsur rasio, kehendak, dan perasaan.

Seseorang berkat akal budinya dapat mengetahui yang baik. Pertama-tama, yang baik ini berarti apa yang baik bagi diriku. Yang baik ini bersifat partikular. Namun hal-hal yang baik bersifat partikular ini tidak berdiri sendiri, melainkan berasal dari satu ide tertinggi, yaitu ide Sang Baik. Sang baik melingkupi seluruh hal-hal yang baik partikular. Untuk mengatakan tentang ‘yang baik’, Plato menggunakan dua istilah, yaitu kalon dan agathon. Kalon adalah yang baik universal, atau “yang indah”, sedangkan agathon berarti yang baik partikular, atau yang baik bagiku.

Menurut Plato dengan mengetahui yang baik bagiku, manusia sampai pada keutamaan. Dan ketika manusia mengetahui atau lebih tepat memandang Sang Baik, pada saat itulah manusia mencapai kebahagiaan/eudaimonia. Memandang Sang Baik terjadi dalam theoria atau kontemplasi. Puncak dari etika menurut Plato adalah kesatuan antara kalon dan agathon, antara keutamaan (yang baik bagiku) dan kebahagiaan (dalam memandang Sang Baik), menjadi kalonkagathon.

Spaemann berpendapat bahwa Plato sudah melihat adanya dua unsur yang dapat saling bertentangan, yang nyata tercermin dalam sejarah pemikiran etika, yaitu antara keutamaan dan kebahagiaan. Dan Plato sudah berusaha untuk mempertemukan kedua unsur tersebut, yaitu persatuan antara kalon dan agathon,

kalonkagathon. 3 Pemahaman Spaemann sesungguhnya dapat dimengerti sebagai

Spaemann, Robert, Happines and Benevolence, Notredome: Univesity of Notre Dame Press, 2000, hal. 78.

upaya untuk mengaktualisasikan Plato, menemukan kembali persatuan antara yang baik bagiku dan Sang Baik. 4

3.1.3. Etika Kebahagiaan Menurut Epikuros

Epikuros melihat, setiap manusia dalam kodratnya selalu mencari kenikmatan. Namun kesenangan yang dimaksudkan Epikuros tidak sekedar kenikmatan dalam tahap badani, kenikmatan adalah suatu gejala psikis yang merupakan perluasan dari kesenangan badani. Ia juga tidak membatasi kenikmatan pada pada kesenangan aktual saja. Dalam menilai kenikmatan, menurut Epikuros kita harus memandang kehidupan sebagai keseluruhan,

termasuk juga masa lampau dan masa depan. 5

Jawaban terhadap hedonisme yang diberikan oleh Epikuros adalah salah satu jawaban terhadap pertanyaan tentang apa yang menjadi isi bagi eudaimonia. Terhadap pertanyaan tentang apa yang menjadi isi bagi eudaimonia, Epikurus menjawab bahwa yang menjadi tujuan manusia adalah kenikmatan. Jawaban ini berangkat dari hasil pengamatan bahwa ternyata sikap makhluk hidup secara kodrat bergerak untuk mencari kenikmatan. Namun pada manusia, kenikmatan yang dimaksud oleh Epikuros lebih merupakan kenikmatan psikologis, yaitu perasaan tenang, tak terganggu, damai. Hakikat nikmat terdiri dalam ketenteraman jiwa yang tenang, yang tidak dapat dikejutkan dan dibingungkan. Orang yang batinnya tenang, damai adalah orang yang hidupnya berhasil, karena orang tersebut bukan hanya memiliki apa yang dia yakini layak untuk diinginkan, tapi

memiliki apa yang memang sesungguhnya dia inginkan. 6

Dalam ajaran Epikuros, Spaemann menemukan adanya beberapa kelemahan, yang bahkan pada akhirnya Epikuros sendiri mengakui bahwa etikanya tidak memadai. Kritik pertama dari Spaemann adalah tentang klaim hedonisme bahwa motif dasar dari tindakan setiap orang adalah kenikmatan

Magnis-Suseno, Franz, Kewajiban dan Kebahagiaan. Percobaan Robert Spaemaan

untuk kembali ke dasar Etika, dalam Atma nan Jaya, 1994, no.3, hal.1-17. 5 6 Bertens, K., Op.Cit., hal. 237.

Spaemann, Robert, Op.Cit., hal.31-32.

pribadi. Bila memang demikian, apakah arti dari tindakan para hedonis yang mengajarkan kepada orang lain tentang seni hidup? Apakah mereka mengajar demi kepuasan diri mereka sendiri, ataukah agar orang lain juga dapat bahagia seperti mereka? bila yang benar adalah alternatif pertama, maka orang perlu curiga tehadap ajaran mereka, sebab di sini orang lain dijadikan sarana oleh kaum hedonis untuk mencapai nikmat. Bisa jadi mereka mengajarkan itu karena ketidakmampuan mereka untuk mencapai kebahagiaan yang berasal dari hal-hal lain, misalnya cinta, persahabatan, pengorbanan bagi orang yang dicintai. Dengan kata lain, mereka tidak senang bila ada orang lain yang lebih bahagia dari mereka sehingga mereka mengajarkan bahwa kebahagiaan hanya terletak pada kinikmatan. Sedangkan bila alternatif kedua yang benar, bahwa mereka melakukan itu agar orang lain juga dapat berbahagia, berarti sudah terdapat kontradiksi dengan ajaran mereka sendiri. Mereka mengajarkan bahwa motif dasar orang lain adalah nikmat, sedangkan mereka mengajarkan itu demi kebahagiaan orang lain.

Kritik kedua berkenaan dengan pemahaman Epikuros tentang waktu/temporalitas. Tujuan ajaran dari Epikuros adalah agar manusia mencapai nikmat setiap saat, di mana nikmat dipahami sebagai tiadanya rasa sakit dan keadaan batin yang tenang, tidak terganggu atau gelisah. Persoalannya adalah dari pengalaman, kita mengetahui bahwa hidup adalah suatu dinamika perasaan. Ada saatnya kita merasa senang, gembira, dan ada saatnya pula kita merasa sedih, kecewa, takut. Kita tidak dapat senang atau tenang terus-menerus.

Kemudian, Epikuros mengajarkan bahwa agar kita dapat selalu tenang, kita harus hidup hanya dalam saat ini. Kesulitannya adalah manusia terkait dengan waktu. Dan waktu itu berkesinambungan, yakni ada masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Dan itu berarti pula manusia selalu hidup dengan ingatan akan masa lalu dan harapan akan masa depan. Bila konsisten dengan ajaran Epikuros tentang hidup di masa kini, berarti manusia harus menghapus ingatan masa lalu dan tidak berharap akan masa depan.

Sesungguhnya Epikuros pun menyadari bahwa hidup terdiri dari masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dia pun melihat kesulitan yang muncul dari Sesungguhnya Epikuros pun menyadari bahwa hidup terdiri dari masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dia pun melihat kesulitan yang muncul dari

Masih ada satu masalah lagi berkenaan dengan pemahaman Epikuros tentang waktu, dimana dia melihat waktu sebagai satu-satuan yang terpisah. Padahal menurut Spaemann, pemahaman atau pengalaman akan waktu yang seperti itu hanya terdapat pada hewan, juga pada bayi yang memang belum memiliki kemampuan transendensi diri. Sedangkan pada manusia yang berkembang normal, berkembanglah kemampuan transendensi diri yang membuat momen-momen waktu tidak dialami sebagai kesatuan-kesatuan yang terpisah, melainkan momen yang berkesinambungan. Berkat transendensi diri, waktu dialami sebagai satu kesatuan. Kemudian disini terlihat bahwa pemahaman Epikuros tentang waktu malah membuat manusia turun ke taraf yang lebih rendah.

Spaemann juga membandingkan pemahaman Epikuros tentang waktu dengan pemahaman mistik tentang waktu. Menurut Spaemann memang ada kesatuan antara keduanya, yaitu menekankan momen kekinian. Dalam pemahaman mistik yang ada adalah kekinian, dimana waktu tidak memiliki lagi realitasnya. Dalam pengalaman ini, para mistikus berhasil mengatasi waktu, keluar dari ikatan waktu. Namun perbedaan mendasar antara kekinian dalam pengalaman mistik dengan kekinian versi Epikuros adalah dalam pengalaman mistik, kekinian dapat dicapai lewat transendensi diri, sedangkan pada Epikuros, kekinian dipelihara lewat mengisolasi diri, meniadakan diri terhadap waktu.

Kritik ketiga Spaemann terhadap Epikuros adalah tentang isi dari kebahagiaan. Pada Epikuros, kebahagian diartikan sebagai perasaan tenang. Dan perasaan semacam itu tidak memiliki objek keterarahan. Sedangkan menurut Spaemann, dengan mendasarkan diri pada pemikiran Max Scheler, juga psikologi modern, kita sama-sama mengetahui bahwa kebahagiaan yang bernilai tinggi yang

Spaemann, Robert, Op.Cit., hal. 35-36.