Batasan Tugas Dan Wewenang Ombudsman

b. meminta keterangan secara lisan danatau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; c. memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan; d. meminta klarifikasi danatau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor; e. melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan; f. menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak; g. membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi danatau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan; h. demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi. Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 , Ombudsman berwenang: b. menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi danatau prosedur pelayanan publik; c. menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat danatau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah danatau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Mal-administrasi. Berkaitan dengan mekanisme pengawasan oleh Ombudsman, menurut ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, menyatakan bahwa : 1 Ombudsman memeriksa Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; 2 Dalam hal Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdapat kekurangan, Ombudsman memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor untuk melengkapi Laporan; 3 Pelapor dalam waktu paling lambat 30 tiga puluh hari terhitung sejak tanggal Pelapor menerima pemberitahuan dari Ombudsman harus melengkapi berkas Laporan; 4 Dalam hal Laporan tidak dilengkapi dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 3, Pelapor dianggap mencabut Laporannya. Selanjutnya ketentuan Pasal 26 menyatakan : 1 Dalam hal berkas Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dinyatakan lengkap, Ombudsman segera melakukan pemeriksaan substantif; 2 Berdasarkan hasil pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 , Ombudsman dapat menetapkan bahwa Ombudsman: a. tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan; atau b. berwenang melanjutkan pemeriksaan. Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya mekanisme pengawasan Ombudsman adalah diawali dengan adanya laporan, untuk selanjutnya ditindaklanjuti oleh Ombudsman. Jadi apabila tidak adanya laporan, maka pengawasan Ombudsman bersifat pasif. Dalam memeriksa Laporan tersebut Ombudsman tidak hanya mengutamakan kewenangan yang bersifat memaksa, misalnya pemanggilan, namun Ombudsman dituntut untuk mengutamakan pendekatan persuasif kepada para pihak agar Penyelenggara Negara dan pemerintahan mempunyai kesadaran sendiri dapat menyelesaikan Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan menggunakan pendekatan ini berarti tidak semua Laporan harus diselesaikan melalui mekanisme Rekomendasi. Hal ini yang membedakan Ombudsman dengan lembaga penegak hukum atau pengadilan dalam menyelesaikan Laporan. Dalam melakukan pemeriksaan atas Laporan yang diterimanya, Ombudsman dapat memanggil Terlapor dan saksi untuk dimintai keterangannya. Apabila Terlapor dan saksi telah dipanggil tiga kali berturut- turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa subpoena power. Penjelasan UU 372008 Untuk menegakkan UU 372008, diatur pula mengenai pemberian sanksi administratif dan pidana. Sanksi administrastif diberlakukan bagi Terlapor dan atasan Terlapor yang tidak melaksanakan Rekomendasi Ombudsman, sedangkan sanksi pidana diberlakukan bagi setiap orang yang menghalangi Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan. Di berbagai negara, rekomendasi Ombudsman hanya bersifat mengikat secara moral morally binding, di Indonesia bersifat mengikat secara hukum legally binding. Apabila ada warga negara Indonesia atau penduduk yang merasa ada pelayanan publik yang tidak baik, maka berhak menyampaikan Laporan kepada Ombudsman secara gratis dengan ketentuan: - Disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. - Laporan pengaduan harus disertai kronologi kasus yang dijabarkan secara jelas dan sistematis serta ditandatangani. - Mencantumkan identitas diri, antara lain fotokopi KTP SIMpaspor. - Melampirkan fotokopi data pendukung secukupnya. - Laporan pengaduan tertulis dapat dikirim melalui pos, diantar langsung ke Kantor Ombudsman Republik Indonesia, atau melalui website www.ombudsman.go.id. Bagan 3.4 PROSES PEMERIKSAAN O.R.I

b. Batasan Tugas Dan Wewenang PERATUN

Peradilan TUN memiliki karakter terbatas, artinya kewenangan dalam melakukan pengujian terhadap perbuatan maladministrasi yang dilakukan oleh badan atau Pejabat TUN dibatasi oleh kompetensi absolute yang ditentukan dalam UU Peradilan TUN. Peradilan TUN hanya memiliki kompetensi untuk menguji keabsahan perbuatan tata usaha negara yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang diwujudkan dalam suatu KTUN beschikking. Berkaitan dengan kompetensi Peradilan TUN itu, tidak semua perbuatan tata usaha negara DISELESAIKAN PIHAK YG BERWENANG MENOLAK LAPORAN DIBERITAHU PELAPOR 14 HR DIANGGAP DICABUT BILA 30 HARI LENGKAPI SYARAT FORMIL MENERIMA LAPORAN DISELESAIKA N INTERNAL OMBUDSMA TIDAK BERWENANG DIBERIKAN TAHU PELAPOR 7 HARI BERWENANG PEMANGGILAN PERMINTAAN PENJELASAN KLARIFIKASI PEMERIKSAAN LAPANGAN REKOMEN DISAMPAIKA DIDELESAIK MEDIASI, KON AJUDIK PELAP TERLA PEMERIKSAAN SYARAT FORMIL KELENGKAPAN LAPORAN PEMERIKSAAN SUBSTANTIF yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara dapat diuji oleh Peradilan TUN jika tidak diwujudkan dalam bentuk suatu KTUN. Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1986 berbunyi: Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha Negara Kemudian Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1986 menyebutkan: Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Berdasarkan rumusan Pasal 47 di atas, timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara. Di dalam Pasal 1 Angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 disebutkan pengertian sengketa TUN, yang selengkapnya berbunyi: Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 1 angka 4 dijelaskan, bahwa: Istilah “sengketa” yang dimaksudkan di sini mempunyai arti khusus sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum . Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam mengambil keputusan pada dasarnya mengemban kepentingan umum dan