Persidangan warga sipil oleh pengadilan militer

A. Persidangan warga sipil oleh pengadilan militer

5. Tiga skenario akan dibahas di sini:

(a) Persidangan terhadap warga sipil yang memiliki ikatan dengan militer (pengikut kamp dan pegawai sipil yang bekerja di kemiliteran);

(b) Persidangan terhadap warga sipil atas pelanggaran yang dilakukan secara bersama‐sama oleh warga sipil dan anggota militer. Skenario ini terdiri dari

empat situasi yang berbeda: pelanggaran itu bersifat militer saja (dalam kasus ini, warga sipil umumnya dituntut sebagai kaki tangan); pelanggaran itu tidak bersifat militer saja dan melibatkan pelanggaran di bawah hukum umum; tempat terjadinya pelanggaran dilakukan berada di bawah yurisdiksi teritorial tribunal militer; atau korban merupakan anggota angkatan bersenjata (kompetensi pribadi pasif dari pengadilan militer);

(c) Persidangan terhadap warga sipil yang tidak memiliki kaitan fungsional dengan militer dan tidak tercakup dalam skenario kedua tetapi berada di bawah pengadilan militer dalam situasi sebagai berikut: korban pelanggaran adalah anggota militer (kompetensi pribadi pasif dari tribunal militer); pelanggaran melibatkan properti militer atau fasilitas militer; atau tempat di mana pelanggaran dilakukan merupakan wilayah militer (yurisdiksi teritorial pengadilan militer).

Hal ‐hal di atas merupakan kriteria bagi yurisdiksi yang secara tradisional diterapkan oleh negara yang memiliki pengadilan militer, terutama di masa damai.

6. Pengalaman menunjukkan bahwa penafsiran luas mengenai berbagai kriteria yurisdiksi, terutama ketika negara dinyatakan dalam kondisi perang atau darurat, justru memperluas yurisdiksi pengadilan militer. Pada situasi ini, kegiatan mereka semakin sedikit yang berupa mengadili personel militer dan justru semakin banyak yang pada awalnya mengadili musuh bersenjata dan berlanjut mengadili warga sipil yang menunjukkan penentangan mereka dengan mempraktikkan hak‐hak mereka secara damai, yang mana hak‐hak tersebut diakui dan dijamin oleh standar dan prosedur internasional, terutama dalam hal kebebasan berpendapat, berkumpul dan melakukan demonstrasi.

1. Standar-standar referensi internasional yang relevan dengan studi

(a)

Dicakup oleh traktat

7. Ini mencakup ketentuan mengenai hak atas persidangan yang adil dan jaminan hukum yang terkandung dalam Kovenan Internasional tentang Hak‐Hak Sipil dan Politik tanggal 16 Desember 1966 (untuk selanjutnya disebut “Kovenan”) [Pasal 14], Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia tanggal 22 November 1969 (Pasal 8), Konvensi Europa tentang Hak Asasi Manusia tanggal 4 November 1950 (Pasal 6), dan Piagam Afrika tentang Hak‐Hak Asasi Manusia dan Hak‐Hak Rakyat tanggal 27 Juni 1981 (Pasal 7). Perlu dicatat bahwa, meskipun instrumen‐instrumen ini tidak merujuk secara eksplisit kepada pengadilan militer, badan‐badan perjanjian internasional/ treaty bodies secara bertahap telah mengembangkan sebuah interpretasi terbatas atas yurisdiksi pengadilan militer.

(b) Tidak dicakup oleh traktat

8. Bagaimanapun juga, perihal administrasi peradilan melalui pengadilan militer secara eksplisit ditargetkan oleh standar tertentu yang bersifat non‐traktat. Pasal 5 draf deklarasi mengenai kemandirian dan ketidakberpihakan lembaga hukum, juri dan asesor, dan kemandirian para pengacara, yang disebut “Deklarasi Singhvi” (E/CN.4/Sub.2/1988/20/Add.1 dan Add.1/Corr.1), menyatakan bahwa yurisdiksi tribunal militer harus dibatasi secara eksklusif pada “pelanggaran militer”. Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:

“(b) Tidak boleh ada pengadilan ad hoc yang dibentuk untuk menggantikan yurisdiksi yang telah secara layak dimiliki oleh pengadilan;

“(e) Pada kondisi darurat, negara harus berjuang memastikan bahwa warga sipil yang didakwa melakukan pelanggaran kriminal apapun diadili oleh pengadilan sipil biasa […];

“(f) Yurisdiksi pengadilan militer adalah dibatasi pada pelanggaran militer. Akan selalu ada hak untuk naik banding dari pengadilan semacam itu menuju ke sebuah pengadilan atau pengadilan banding yang memiliki kualifikasi hukum atau sebuah pemulihan yang merupakan aplikasi pembatalan hukuman;

Meskipun Deklarasi Singhvi belum diadopsi oleh Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi ini, dalam resolusinya 1989/32 tanggal 6 Maret 1989, “mengajak pemerintah‐ pemerintah untuk mempertimbangkan prinsip‐prinsip yang dinyatakan dalam draf Deklarasi”.

9. Paragraf 5 Prinsip‐prinsip dasar mengenai Kemandirian Lembaga Hukum, diadopsi di Milan, Italia, bulan September 1985, menyatakan bahwa “Setiap orang memiliki hak untuk diadili oleh pengadilan atau pengadilan biasa dengan menggunakan prosedur hukum yang telah ditetapkan”.

10. Pada tanggal 22 April 2002, Komisi Hak Asasi Manusia mengadopsi resolusi no. 2002/37, berjudul “Integritas sistem peradilan”. Dalam resolusi yang amat penting ini, Komisi:

“1. Menegaskan bahwa setiap orang berhak, dalam kesetaraan penuh, atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh sebuah tribunal yang kompeten, independen dan tidak‐berpihak, untuk menentukan hak‐hak dan kewajiban orang tersebut dan memutuskan dakwaan kriminal apapun terhadap orang tersebut;

“2. Juga menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak untuk diadili oleh pengadilan atau tribunal biasa dengan menggunakan prosedur hukum yang berlaku dan bahwa pengadilan yang tidak menerapkan prosedur “2. Juga menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak untuk diadili oleh pengadilan atau tribunal biasa dengan menggunakan prosedur hukum yang berlaku dan bahwa pengadilan yang tidak menerapkan prosedur

“5. Menggarisbawahi bahwa pengadilan apapun yang mengadili seseorang yang didakwa atas sebuah pelanggaran kriminal harus didasarkan pada prinsip‐prinsip kemandirian dan ketidakberpihakan;

“8. Mengajak negara yang memiliki pengadilan militer dalam mengadili pelaku kriminal untuk memastikan bahwa pengadilan semacam itu merupakan bagian integral dari sistem peradilan umumnya dan bahwa pengadilan itu menerapkan tindakan hukum yang telah ditetapkan;

11. Konferensi Dunia mengenai Kemandirian Peradilan, diadakan di Montreal, Kanada, bulan Juni 1983, mengadopsi Deklarasi Universal mengenai Kemandirian Peradilan (E/CN.4/Sub.2/1985/18/Add.6, tambahan IV), paragraf 2.06 (e) yang menyatakan bahwa:

“Yurisdiksi pengadilan militer dibatasi pada pelanggaran militer yang dilakukan oleh personel militer. Akan selalu ada hak untuk naik banding “Yurisdiksi pengadilan militer dibatasi pada pelanggaran militer yang dilakukan oleh personel militer. Akan selalu ada hak untuk naik banding

2. Kasus-kasus hukum dari badan perjanjian internasional (treaty bodies)

12. Pada awalnya, Komite HAM tidak menganggap bahwa persidangan warga sipil oleh pengadilan militer adalah, per se, tidak sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak‐Hak Sipil dan Politik, asalkan yurisdiksi pengadilan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak‐Hak Sipil dan Politik (Komentar Umum No. 13, paragraf 4). Akan tetapi, Komite secara bertahap mulai mengkritik tribunal semacam itu di sepanjang pembahasan laporan‐ laporan

periodik yang diserahkan oleh Aljazair, iv Kolombia, Maroko, Republik Korea v

ii

iii

dan Venezuela vi . Komite kemudian semakin memperjelas bahwa ia mendukung pembatasan yurisdiksi pengadilan militer dalam pertimbangannya atas

‐laporan yang diserahkan oleh Cili, xi Mesir, Kuwait, Lebanon, Polandia, Federasi

Russia, xv Slovakia, Republik Arab Syria dan Uzbekistan, dan terutama Peru. xvi Dengan mempertimbangkan Komentar Umumnya No 13, di mana komite

menganggap bahwa persidangan warga sipil oleh pengadilan militer adalah tidak selaras dengan administrasi peradilan yang adil, tidak berpihak dan independen. Bahkan secara lebih eksplisit, komite mencatat bahwa dalam kasus‐kasus yang telah disebut sebelumnya di Chile, Kuwait dan Republik Arab Syria, persidangan warga sipil oleh pengadilan militer tidaklah sesuai dengan Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak‐Hak Sipil dan Politik. Karena itu, komite berulangkali merekomendasikan agar negara‐negara merubah legislasi mereka untuk memastikan bahwa warga sipil hanya diadili oleh pengadilan sipil. Perubahan yang sama dalam hal posisi ini juga bisa dilihat dalam kesimpulan pengamatan Komite Anti Penyiksaan (Mesir xvii

dan Peru xix ), Komite Hak Anak (Peru, xx Republik Demokrasi Kongo dan Turki xxi )

xviii

dan Komite untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial (Nigeria xi ).

3. Posisi mekanisme Komisi Hak Asasi Manusia

13. Saat ini sedang tumbuh konsensus mengenai perlunya membatasi peranan jurisdiksi militer, atau bahkan menghapuskannya. Dalam hal ini, posisi berikut harus dipertimbangkan. Pelapor Khusus mengenai kemandirian para hakim dan pengacara menganggap bahwa, “dalam hal penggunaan pengadilan militer untuk mengadili 13. Saat ini sedang tumbuh konsensus mengenai perlunya membatasi peranan jurisdiksi militer, atau bahkan menghapuskannya. Dalam hal ini, posisi berikut harus dipertimbangkan. Pelapor Khusus mengenai kemandirian para hakim dan pengacara menganggap bahwa, “dalam hal penggunaan pengadilan militer untuk mengadili

tersebut”. xxiii Di bidangnya, Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang‐ Wenang berpendapat bahwa, “Apabila ada bentuk keadilan militer yang terus

berlanjut keberadaannya, maka ia harus mematuhi empat peraturan: (a) Ia tidak boleh memiliki kompetensi untuk mengadili warga sipil; (b) Ia tidak boleh memiliki kompetensi untuk mengadili personel militer apabila korbannya mencakup warga sipil; (c) Ia tidak boleh memiliki kompetensi untuk mengadili warga sipil dan personel militer dalam perkara pemberontakan, tuduhan menghasut atau pelanggaran apapun yang membahayakan atau memiliki resiko membahayakan rezim demokratis; dan (d) Ia harus dilarang memberikan hukuman mati dalam kondisi apapun”. xxiv Dalam laporan mengenai misinya ke Peru di tahun 1993, Pelapor Khusus untuk pembunuhan di luar proses hukum, pembunuhan singkat dan sewenang ‐wenang menganggap bahwa persidangan warga sipil oleh pengadilan militer

memberikan “keterbatasan dalam jaminan persidangan yang adil”. xxv Perwakilan Khusus Komisi HAM untuk pengawasan situasi hak asasi manusia di

Equatorial Guinea merekomendasikan pada sejumlah kesempatan agar pihak berwenang pada negara tersebut mengubah legislasinya dengan tujuan untuk memastikan agar pengadilan militer tidak lagi memiliki kompetensi untuk mengadili warga sipil.

4. Kasus-kasus hukum pengadilan regional

Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa

14. Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa memutuskan (pada kasus Incal v. Turki) bahwa “Kehadiran seorang hakim militer di Pengadilan Keamanan Negara adalah bertentangan dengan prinsip‐prinsip kemandirian dan ketidakberpihakan, yang

merupakan prasyarat penting bagi sebuah persidangan yang adil”. xxvi Dalam kasus Findlay v. Inggris, Pengadilan HAM Eropa menganggap bahwa pengadilan

perang yang telah mengadili terdakwa tidaklah bersifat independen maupun tidak berpihak karena anggotanya merupakan bawahan dari perwira yang bertugas sebagai

pihak penuntut dan hukuman dapat diubah oleh perwira tersebut. xxvii

Setelah putusan tersebut, Inggris merubah legislasinya yang berkaitan dengan hal tadi (lihat di bawah, bab II, paragraf B).

Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika dan Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika

15. Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter‐Amerika, dalam sebuah kasus yang terkait dengan seorang warga sipil yang diadili atas tindakan terorisme oleh sebuah pengadilan militer, menganggap bahwa persidangan warga sipil oleh pengadilan militer adalah bertentangan dengan hak atas sebuah persidangan yang jujur dan adil, dan

bertentangan dengan prinsip “hakim natural”. xxviii Di bidangnya, Komisi Hak Asasi Manusia Inter‐Amerika selalu menganggap bahwa pengadilan militer tidak

memenuhi persyaratan kemandirian dan ketidak berpihakan yang disyaratkan oleh Konvensi Amerika mengenai Hak Asasi Manusia dan Deklarasi Amerika mengenai Hak

dan Kewajiban Manusia. xxix Sebagai contoh, ia menganggap bahwa sebuah pengadilan militer khusus bukanlah pengadilan yang independen dan tidak berpihak

karena pengadilan tersebut merupakan bawahan/subordinat dari Kementerian Pertahanan,

dan karenanya, bawahan dari lembaga eksekutif. xxx Ia juga menganggap bahwa persidangan warga sipil, terutama atas pelanggaran politik, oleh

pengadilan militer merupakan pelanggaran terhadap hak orang tersebut atas pengadilan

yang independen dan tidak berpihak. xxxi Baru‐baru ini, dalam resolusinya yang berjudul “Terorisme dan Hak Asasi Manusia” tanggal 12 Desember 2001, Komisi

Inter ‐Amerika menegaskan bahwa “pengadilan militer tidak boleh mengadili warga sipil, kecuali apabila pengadilan sipil tidak ada atau apabila persidangan oleh pengadilan semacam itu secara material tidaklah mungkin dilakukan. Bahkan dalam kondisi semacam itupun, komisi menyatakan bahwa persidangan harus tetap menghormati jaminan minimum yang telah ditetapkan di bawah hukum internasional, yang mencakup non‐diskriminasi antar warga negara, […], hak mendapatkan hakim yang tidak berpihak, penghormatan atas hak‐hak pembelaan, terutama hak untuk dibantu oleh pengacara yang dipilih secara bebas, dan akses bagi terdakwa atas bukti‐bukti yang melawannya dengan diberikan kesempatan untuk

menguji bukti‐bukti tersebut”. xxxii

5. Evolusi standar-standar nasional

16. Semakin banyak konstitusi dan hukum fundamental yang membatasi yurisdiksi militer secara ketat [Kolombia (Pasal 213), Yunani (Pasal 96.4), Guatemala (Pasal 209), Haiti (Pasal 42 dan 267.3), Honduras (Pasal 90), Italia (Pasal 103), Meksiko (Pasal 13), Nikaragua (Pasal 93), Paraguay (Pasal 174) dan Venezuela (Pasal 49)] atau bahkan menghapuskan yurisdiksi militer dalam masa damai (Austria, Denmark, Prancis, Jerman, Norwegia dan Swedia).