Oktober 2006 SEWINDU REFORMASI TNI (5 Oktober 1998 -5 Oktober 2006)
15. 4 Oktober 2006 SEWINDU REFORMASI TNI (5 Oktober 1998 -5 Oktober 2006)
Delapan tahun transisi menunjukkan kuatnya bayang-bayang ABRI dalam reformasi TNI. Ini tak lepas dari pergulatan politik antara kekuatan demokrasi dan non demokrasi. Hasilnya, banyak kompromi.
ABRI telah berubah nama. ABRI dulu adalah entitas otonom yang masuk ke aras politik, sosial hingga ekonomi. Ini bukan tanpa dasar. Berbagai konsep dan doktrin diproduksi sebagai basis legitimasi atas peran sosial politik ABRI (Dwifungsi).
Di aras politik. ABRI duduk di legislatif. ABRI juga duduki jabatan-jabatan sipil; menteri, gubernur, bupati, camat, lurah hingga duta besar. Kini, jabatan- jabatan itu tak lagi gratis. ABRI sudah tinggalkan kursi DPR. ABRI tak lagi duduk di semuajabatan itu.
Itu kehendak rakyat yang diperlihatkan juga rakyat tak memilih TNI aktif yang ikut Pilkada. Rakyat ingin TNI Profesional ABRI di bidang pertahanan. !
Reformasi membuat semua tak seperti dulu. Meski begitu, jabatan sipil masih diakui Pasal 47 UU TNI. Dikatakan, "TNI aktif dapat menduduki jabatan- jabatan di kantor sekretaris rniliter kepresidenan, kementerian politik dan keamanan, pertahanan negara, intelijen negara, lembaga sandi negara, dan Mahkamah Agung." Jadi tak usah heran, jabatan seperti Sekjen Dephan diduduki Letnan Jenderal.TNI aktif.
Pada aras ekonomi, ABRI adalah alat stabilitas pengaman proyek pembangunan ekonomi Orde Baru. Juga penentu Penanaman Modal Asing dan mempunyai bisnis-bisnis sendiri konon demi kesejahteraan prajurit. Kini itu mulai dihapuskan. Namun belum jelas fonnat penghapusannya. Usulan agar Presiden segera mengeluarkan Peraturan Presiden tak mendapat respon.
Gerakan refonnasi mahasiswa menuntut dihapuskannya komando tentorial. ABRI dulu membangun komando tentorial di berbagai wilayah, mulai dari daerah aman seperti Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Sumatera, Sulawesi Kalimantan hingga daerah konflik seperti Aceh dan Papua.
ABRI membayangi pemerintahan sipil. ABRI penentu kebijakan daerah lewat Muspida dan Muspika. Struktur ini pula yang kelak mengontrol dan mengintervensi kehidupan sosial politik rakyat. ABRI digunakan untuk memberangus lawan politik yang berkuasa. ABRI juga terlibat dalam sengketa perburuhan, tanah rakyat, dan perkebunan, hingg sumber daya alam seperti tambang, minyak dan emas di Aceh dan Papua.
Pada aras hukum, ABRI juga memiliki sistem peradilan otonom, lepas dan peradilan umum. Karena itu tak heran bila peradilan umum tak bisa mengadili angota TNI yang melanggar hukum. Apakah melakukan kekerasan terhadap warga sipil, tindak pidana biasa atau pelanggaran HAM. Apapun delik atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan, bila pelakunya anggota TNI maka tak akan dibawa ke peradilan umum. Contohnya, mahkamah militer kasus penembakan mahasiswa Trisakti, dan kasus penculikan aktivis oleh Tim Bunga Mawar Kopassus.
Nah, jika pelakunya warga sipil dan militer, maka peradilan yang digelar adalah peradilan campuran, atau koneksitas. Hakimnya, selain sipil juga ada militer. Contoh pada masa refonnasi adalah kasus pembunuhan Tengku Bantaqiah beserta para santrinya oleh pasukan Kostrad di Beutong Ateuh, Aceh, 1999.
Di masa reformasi telah ada Pengadilan HAM. Pengadilan ini dibentuk khusus untuk memeriksa kasus pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, dan penghilangan orang secara paksa. Tapi sayang, banyak kasus kejahatan dan pelanggaran HAM berat yang pelakunya anggota TNI tak diadili. Ada kesan yang dibuat, mengadili anggota TNI sama dengan mengadili institusi TNI. Jadi, lagi-lagi pengadilan militer yang digunakan untuk menanganinya. Contoh, perkosaan atas perempuan warga sipil di Aceh Di masa reformasi telah ada Pengadilan HAM. Pengadilan ini dibentuk khusus untuk memeriksa kasus pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, dan penghilangan orang secara paksa. Tapi sayang, banyak kasus kejahatan dan pelanggaran HAM berat yang pelakunya anggota TNI tak diadili. Ada kesan yang dibuat, mengadili anggota TNI sama dengan mengadili institusi TNI. Jadi, lagi-lagi pengadilan militer yang digunakan untuk menanganinya. Contoh, perkosaan atas perempuan warga sipil di Aceh
Belum lagi skandal jual beli persenjataan militer, beredamya bahan peledak, amunisi hingga senjata organik militer yang hingga kini terus menjadi sorotan. Dengan perspektif pengadilan militer, soal-soal ini seringkali dilihat sebagai persoalan administratif dan disiplin internal semata. Padahal jika menggunakan sistim hukum dan peradilan yang berlaku umum, persoalan ini harus dilihat sebagai sebuah kejahatan. Pelakunya, harus dipidanakan.
Upaya DPR untuk merevisi Undang-Undang Peradilan Militer mendapat resistensi dari pemerintah. Alasannya, kalangan sipil belum siap. Aparat penegak hukum belum siap, ujar seorang Menhan yang berasal dari sipil, Juwono Sudarsono.
Semua pengalaman negatif pada masa lalu dan yang terjadi di masa reformasi, telah menempatkan anggota TNI menjadi warga negara kelas satu. Banyak warga sipil biasa termasuk mahasiswa, buruh dan petani merasa tidak adil. Namun begitu, akumulasi kekecewaan atas pengalaman itu berbuah pada Perubahan. Pada tahun 1998, kekuasaan berganti. Pergantian Presiden Suharto ke B.J Habibie pada 21 Mei 1998 telah membawa Indonesia bersepakat untuk 'reformasi'. Dari reformasi politik, ekonomi hingga reformasi ABRI.
Belum bekerjanya ideal demokrasi saat itu, membuat TNI mendefinisikan sendiri makna reformasi atas dirinya. Hal ini dirumuskan dalam TNI Abad
XXI: Redefenisi, Reposisi dan Reaktualisasi peran TNI dalam Kehidupan Bangsa, yang dikeluarkan Mabes TNI, 1999. Bila dipahami benar, maka tiga premis itu belum merubah mindset dwifungsi ABRI. Redefmisi misalnya dinyatakan "embanan peran sosial politik TNI di masa depan merupakan bagian dari peran pembangunan bangsa, yang tetap menjadi bagian dari sistem nasional dan atas kesepakatan bangsa". Peran sosial politik tidak dilihat sebagai 'yang salah' dan harus 'ditinggalkan'
Penegasan bahwa Dwifungsi ABRI/TNI adalah salah dan harus ditinggalkan baru terjadi pada tahun 2000. Rapat Pimpinan TNI, Panglima TNI Laksamana TNI Widodo AS, menyatakan bahwa TNI tidak lagi mengemban fungsi sosial politik guna memusatkan perhatian pada tugas pokok pertahanan (April 2000). Inti reformasi, merubah, mengkoreksi dan menempatkan semua yang menyimpang kembali pada relnya. Bahkan kekuasaan BJ Habibie yang dinilai tak jauh berbeda dengan kekuasaan sebelumnya pun telah berganti. Berganti empat kali, dari Presiden KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri Penegasan bahwa Dwifungsi ABRI/TNI adalah salah dan harus ditinggalkan baru terjadi pada tahun 2000. Rapat Pimpinan TNI, Panglima TNI Laksamana TNI Widodo AS, menyatakan bahwa TNI tidak lagi mengemban fungsi sosial politik guna memusatkan perhatian pada tugas pokok pertahanan (April 2000). Inti reformasi, merubah, mengkoreksi dan menempatkan semua yang menyimpang kembali pada relnya. Bahkan kekuasaan BJ Habibie yang dinilai tak jauh berbeda dengan kekuasaan sebelumnya pun telah berganti. Berganti empat kali, dari Presiden KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri
Kini telah sewindu pasca reformasi. Pertanyaannya, sejauhmana perubahan ABRI melebihi sekadar perubahan nama menjadi TNI? Ada kekhawatiran, reformasi bukan sekadar menghapus priveledge tentara, tapi juga mengeliminasi hak TNI sebagai warga negara. Itu makanya muncul upaya pemulihan hak pilih. Lalu bagaimana kita melihatnya? Dalam hak asasi manusia, hak pilih adalah hak politik yang melekat pada setiap individu, apakah warga berstatus sipil atau militer.
Dalam soal TNI, harus diingat bahwa hak itu melekat pada individu dan bukan hak institusi. Institusi tak punya hak pilih atau hak politik. Institusi harus netral dalam politik. Dulu, hak pilih itu dicabut pemerintah Soeharto. Tapi kini bukan berarti bisa dipulihkan begitu saja. Sebab jabatan dan fasilitas seperti tersebut diatas, adalah kompensasi luar biasa. Sebab masih banyak agenda reformasi TNI yang belum tuntas. Pemulihan hak pilih itu mensyaratkali kesungguhan kita mereformasi TNI.
Dari semua catatan evaluasi diatas, maka kami menuntut pemerintah mempercepat lima agenda reformasi TNI. 1) Penuntutan Kekerasan militer dan Pelanggaran berat HAM masa lalu; 2) Pemberantasan skandal jual beli persenjataan; 3) Penghapusan bisnis TNI; 4) Penghapusan dan Restrukturisasi Kodam; 5) Revisi peradilan militer agar TNI tunduk pada supremasi hukum.