Yurisdiksi ratione materiae

C. Yurisdiksi ratione materiae

1. Pelanggaran kriminal militer

35. Kesulitan pertama sehubungan dengan perihal yurisdiksi pengadilan militer adalah mendefinisikan konsep “pelanggaran militer”. Pertanyaan ini tidak hanya muncul pada tingkatan domestik, karena konsep tersebut juga berada di bawah perjanjian- perjanjian internasional, misalnya perjanjian ekstradisi.

36. Demikianlah halnya dengan Treaty on International Procedural Laws yang diadopsi di Montevideo tahun 1940, sebuah perjanjian Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS), yang merujuk terutama pada pelanggaran militer, dengan pengecualian mereka yang tercakup dalam cakupan undang-undang biasa (Pasal 20), atau Konvensi Europa mengenai Ekstradisi tahun 1957, Pasal 4, yang ditujukan bagi “pelanggaran di bawah undang-undang militer” dan menyatakan bahwa “ekstradisi untuk pelanggaran di bawah undang-undang militer yang bukan merupakan pelanggaran di bawah undang-undang kriminal biasa dikecualikan dari penerapan konvensi ini”.

Hal yang sama berlaku dalam Model Perjanjian mengenai Ekstradisi milik PBB (Pasal 3 (c)). Dalam ketiga kasus tersebut, tujuan dari pernyataan ini adalah untuk mengecualikan ekstradisi. Pada tingkatan bilateral, terdapat Perjanjian Ekstradisi

1996 antara Amerika Serikat dan Prancis; Pasal 5 dari perjanjian tersebut, yang ditujukan bagi pelanggaran militer, menyatakan bahwa ekstradisi tidak akan diberikan apabila pelanggaran yang dijadikan dasar permintaan ekstradisi merupakan pelanggaran militer semata.

37. Pada tingkatan domestik, sebuah studi undang-undang komparatif terhadap peraturan-peraturan keadilan militer yang berbeda akan sangat berguna, terlepas dari apakah peraturan tersebut diterapkan oleh sebuah pengadilan biasa maupun khusus. Terutama, konsep “pelanggaran (atau kejahatan) militer” harus didefinisikan dengan memperhatikan agar definisi tersebut tidak memberikan dampak bagi warga sipil tanpa pembenaran, dan harus dibuat perbedaan antara pelanggaran kriminal militer stricto sensu dan pelanggaran atau perilaku buruk disipliner.

38. Sebaliknya, pelanggaran tertentu justru harus dikecualikan dari yurisdiksi militer. Ini berlaku dalam perkara conscientious objection (keberatan atas dasar nurani) sejauh, dalam resolusinya No 1998/77, Komisi Hak Asasi Manusia mengajak negara-negara untuk menetapkan badan-badan pengambil-keputusan yang independen dan tidak-berpihak dengan tugas menentukan apakah sebuah conscientious objection benar-benar diyakini oleh orang yang mengajukan. Berdasarkan definisinya, pengadilan militer akan menjadi hakim sekaligus pihak terkait dalam kasus semacam itu. Conscientious objector (orang yang mengajukan keberatan) adalah warga sipil, yang harus berada di bawah proses hukum sipil. Ketika hak atas conscientious objection , yang merupakan bagian integral dari hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama seperti yang terkandung dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tidak diakui oleh undang-undang, maka conscientious objector diperlakukan sebagai seorang diserter dan peraturan kriminal militer diberlakukan.

39. Setidaknya, seperti dinyatakan dalam rekomendasi No R (87) 8 dari Committee of Ministers of the Council of Europe mengenai prosedur untuk pengakuan atas status seorang conscientious objector:

“5. Pertimbangan terhadap permohonan tersebut harus mengandung seluruh jaminan yang dibutuhkan untuk persidangan yang adil;

“6. Pemohon harus mampu mengajukan naik banding pada putusan pertama; “7. Lembaga naik-banding tersebut haruslah terpisah dari administrasi militer dan

komposisinya harus menjamin kemandirian lembaga tersebut.”

2. Pelanggaran hak asasi manusia

40. Berkaitan dengan definisi dari sebuah pelanggaran yang bersifat murni militer, pemikiran bahwa pelaku pelanggaran hak asasi manusia tidak dapat diadili di hadapan pengadilan militer sekarang ini semakin diterima, seolah-olah ada semacam distorsi dengan mana personel militer kehilangan pengecualian mereka dari yurisdiksi sehingga hak-hak para korban dapat dipertimbangkan secara penuh.

41. Pasal 16 paragraf 2 Deklarasi Perlindungan bagi Setiap Orang Dari Penghilangan Paksa, yang dikeluarkan oleh Majelis Umum dalam resolusinya No 47/133 tanggal

18 Desember 1992, menyatakan bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas penghilangan paksa “hanya boleh diadili oleh pengadilan biasa yang kompeten di tiap negara, dan bukan oleh pengadilan khusus lainnya yang manapun, terutama pengadilan militer”.

42. Prinsip ini disuarakan dalam Konvensi Inter-Amerika tahun 1994 mengenai Penghilangan Orang Secara Paksa, Pasal IX, yang menyatakan bahwa:

“Orang-orang yang didakwa bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang merupakan pelanggaran berupa penghilangan paksa hanya boleh diadili pada yurisdiksi undang-undang biasa yang kompeten di tiap negara, dengan pengecualian yurisdiksi khusus lainnya, terutama yurisdiksi militer.

“Tindakan-tindakan yang merupakan kejahatan penghilangan paksa tidak boleh dinyatakan dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas militer.”

43. Cakupan prinsip ini telah digeneralisasi dalam draf Prinsip-prinsip dan Panduan Dasar mengenai hak atas Remedy dan Reparasi bagi Para Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Kemanusiaan Internasional yang, dalam prinsipnya No 25 (i) merujuk kepada:

“Mencegah berulangnya pelanggaran dengan cara:

“(ii) Membatasi yurisdiksi pengadilan militer hanya pada pelanggaran militer khusus yang dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata”.

44. Serupa dengan hal tersebut, Serangkaian Prinsip-Prinsip untuk Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia melalui Tindakan Memerangi Impunitas (E/CN.4/Sub.2/1997/20/Rev.1, annex II) memiliki prinsip No 31, yang berjudul “Pembatasan terhadap yurisdiksi pengadilan militer”, yang menyatakan sebagai berikut:

“Dengan maksud mencegah pengadilan militer, pada negara-negara di mana pengadilan semacam itu belum dihapuskan, membantu memberikan impunitas dikarenakan kurangnya kemandirian akibat dari rantai komando yang melingkupi “Dengan maksud mencegah pengadilan militer, pada negara-negara di mana pengadilan semacam itu belum dihapuskan, membantu memberikan impunitas dikarenakan kurangnya kemandirian akibat dari rantai komando yang melingkupi