Legalitas pengadilan militer

A. Legalitas pengadilan militer

1. Penetapan pengadilan militer oleh konstitusi atau undang-undang

46. Prinsip-Prinsip Dasar mengenai Kemandirian Lembaga Hukum, yang diadopsi tahun 1985, menegaskan bahwa “kemandirian lembaga hukum dijamin oleh negara dan dilindungi dalam konstitusi atau undang-undang negara. Adalah tugas dari seluruh institusi pemerintah dan institusi lain untuk menghormati dan mematuhi kemandirian lembaga hukum” (paragraf 1). Prinsip pemisahan kekuasaan sejalan dengan persyaratan jaminan berdasarkan hukum yang diberikan pada tingkatan tertinggi dalam hirarki norma, oleh konstitusi atau undang-undang. Lebih jauh lagi, “setiap orang memiliki hak untuk diadili oleh pengadilan atau pengadilan biasa dengan menerapkan prosedur hukum yang telah ditetapkan. Pengadilan yang tidak menerapkan prosedur tindakan hukum yang seharusnya tidak boleh diciptakan untuk 46. Prinsip-Prinsip Dasar mengenai Kemandirian Lembaga Hukum, yang diadopsi tahun 1985, menegaskan bahwa “kemandirian lembaga hukum dijamin oleh negara dan dilindungi dalam konstitusi atau undang-undang negara. Adalah tugas dari seluruh institusi pemerintah dan institusi lain untuk menghormati dan mematuhi kemandirian lembaga hukum” (paragraf 1). Prinsip pemisahan kekuasaan sejalan dengan persyaratan jaminan berdasarkan hukum yang diberikan pada tingkatan tertinggi dalam hirarki norma, oleh konstitusi atau undang-undang. Lebih jauh lagi, “setiap orang memiliki hak untuk diadili oleh pengadilan atau pengadilan biasa dengan menerapkan prosedur hukum yang telah ditetapkan. Pengadilan yang tidak menerapkan prosedur tindakan hukum yang seharusnya tidak boleh diciptakan untuk

47. Negara anggota Organization for Security and Cooperation in Europe telah menyuarakan prinsip-prinsip ini dengan memaklumatkan, dalam dokumen Moscow Meeting of the Conference on the Human Dimension tahun 1991, bahwa mereka:

“(19.1) akan menghormati standar yang diakui secara internasional yang terkait dengan kemandirian para hakim dan praktisi hukum dan pelayanan hukum publik yang tidak berpihak termasuk, salah satunya, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik;

“(19.2) akan, dalam menerapkan standar dan komitmen yang relevan, memastikan bahwa kemandirian lembaga hukum dijamin dan dilindungi dalam konstitusi atau undang-undang negara dan dihormati dalam praktiknya, dengan memberikan perhatian khusus kepada Prinsip-prinsip Dasar Kemandirian Lembaga Hukum, yang, salah satunya, menetapkan:

“ (i) larangan mempengaruhi para hakim; “(ii) pencegahan perubahan putusan hukum oleh kewenangan administratif,

kecuali untuk hak-hak dari kewenangan yang kompeten dalam meringankan atau menggantikan (dengan yang lebih ringan) hukuman yang dijatuhkan oleh para hakim, berdasarkan undang- undang;”

48. Prinsip-prinsip ini secara jelas mengimplikasikan bahwa pengadilan militer atau pengadilan khusus lainnya tidak dapat dibentuk melalui putusan lembaga eksekutif atau oleh kewenangan militer semata.

49. Menurut pasal I, bagian 8 Konstitusi Amerika, Kongres memiliki kekuasaan “untuk membentuk pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung”. Pasal III bagian 1 menyatakan bahwa “kekuasaan hukum di Amerika akan diberikan kepada satu Mahkamah Agung dan pada pengadilan di bawahnya yang mungkin diperintahkan dan ditetapkan oleh Kongres (…)”. Dengan mempertimbangkan pernyataan-pernyataan tersebut, haruslah dipertanyakan dekrit militer yang ditanda tangani oleh Presiden Amerika Serikat tanggal 13 November 2001 yang berjudul “Perintah Militer mengenai Penahanan, Perlakuan dan Persidangan atas Non-Warga Negara Tertentu dalam Perang Melawan Terorisme”. Perintah tersebut memberikan dasar bagi pembentukan komisi-komisi militer khusus untuk mengadili warga negara asing yang terkait dengan “organisasi yang dikenal dengan nama Al-Qaeda” atau mereka yang dicurigai melakukan kegiatan terorisme. Menteri Pertahanan sendiri menandatangani, pada tanggal 21 Maret 2002, Perintah Komisi Militer No 1 mengenai organisasi semacam “Komisi militer”.

50. Patut dicatat bahwa dalam dua perjanjian yang ditandatangai oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa mengenai ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik, dua paragraf berikut terkandung dalam pembukaan:

“Memberikan penghormatan yang seharusnya kepada hak-hak individu dan peraturan undang-undang,

“Mempertimbangkan jaminan di bawah sistem peradilan masing-masing yang melindungi hak atas persidangan yang adil bagi orang yang diekstradisi, termasuk hak “Mempertimbangkan jaminan di bawah sistem peradilan masing-masing yang melindungi hak atas persidangan yang adil bagi orang yang diekstradisi, termasuk hak

51. Apabila ketiadaan rujukan eksplisit undang-undang internasional hak asasi manusia dalam paragraf pertama perlu disesalkan, maka isi dari undang-undang ini dicakup secara penuh pada paragraf kedua: “hak atas penentuan keputusan oleh sebuah tribunal yang tidak berpihak yang ditetapkan sesuai undang-undang”. Dalam hal ini, cakupan kedua perjanjian tersebut mengecualikan pengadilan yang “tergantung” pada lembaga eksekutif, terutama pengadilan khusus.

2. Kompatibilitas dengan prinsip-prinsip peraturan undang-undang

52. Mahkamah Agung tertentu telah menetapkan bahwa keberadaan pengadilan militer itu sendiri tidak kompatibel dengan prinsip-prinsip konstitusional, dan cenderung mendukung penghapusan pengadilan militer secara menyeluruh. Mahkamah Agung lain, sebaliknya, masih menentukan apakah organisasi dan operasi pengadilan militer memberikan jaminan pokok yang diperlukan.

53. Oleh karena itu, Pengadilan Tinggi Afrika Selatan mempertimbangkan dalam putusannya tanggal 1 Maret 2001 bahwa pengadilan militer adalah tidak konstitusional karena merupakan pelanggaran hak personel militer atas kesetaraan di hadapan pengadilan. Banyak negara seperti Austria, Denmark, Prancis, Jerman, Guinea, Jepang, Belanda, Norwegia, Senegal dan Swedia, telah menghapuskan seluruh pengadilan militer di masa damai, baik secara menyeluruh maupun dengan mengijinkan beberapa pengecualian. Serupa dengan hal tersebut, sejumlah negara di mana demokrasi kembali ditetapkan telah memutuskan untuk menghapuskan pengadilan militer. Hungaria menghapuskan pengadilan semacam itu pada tahun 1991, Republik Cekoslowakia di tahun 1993 (Undang-Undang No 284/1993), Kroasia

(di mana pada tahun 1996 mempertanyakan Pasal 101 dalam konstitusi), Estonia dan Slovenia. Reformasi radikal sedang direncanakan di Portugal dan Belgia.

54. Piagam Hak dan Kemerdekaan Kanada, yang merupakan bagian pertama dari Undang-Undang Konstitusi 1982, menegaskan jaminan hukum bagi setiap orang yang didakwa melakukan sebuah pelanggaran, dengan hanya menyebutkan satu pengurangan dari undang-undang biasa mengenai keadilan militer. Pasal 11 Piagam tersebut berbunyi sebagai berikut:

“Setiap orang yang didakwa melakukan pelanggaran memiliki hak: “(a) Untuk mendapatkan informasi tanpa penundaan yang tak beralasan mengenai

pelanggaran spesifik yang dituduhkan; “(b) Untuk diadili dalam jangka waktu yang masuk akal; (c) Untuk tidak dipaksa menjadi saksi dalam proses hukum terhadap orang tersebut

terkait dengan pelanggaran yang dituduhkan; (d) Untuk dianggap tak bersalah sampai ia terbukti bersalah menurut undang-undang

dalam sebuah pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh sebuah pengadilan yang independen dan tidak berpihak;

“(e) Untuk tidak ditolak uang jaminannya tanpa sebab; (f) Kecuali pada kasus pelanggaran di bawah undang-undang militer yang diadili di

hadapan pengadilan militer, ia berhak untuk mendapat persidangan dengan menggunakan juri di mana hukuman maksimum atas pelanggaran tersebut adalah hukuman penjara selama lima tahun atau hukuman yang lebih berat;

(g) Untuk tidak diputuskan bersalah atas tindakan atau kelalaian kecuali, pada saat dilakukannya tindakan atau kelalaian tersebut, ia merupakan pelanggaran di bawah undang-undang Kanada atau undang-undang internasional atau merupakan kejahatan menurut prinsip-prinsip umum undang-undang yang diakui oleh komunitas bangsa- bangsa” (…).

55. Dalam kasus R. v. Généreux yang diadili pada tanggal 13 Februari 1992, Mahkamah Agung Kanada mampu memutuskan bahwa pengaturan pengadilan militer merupakan kontradiksi terhadap prinsip-prinsip konstitusional, terutama dalam hal jaminan atas kemandirian, tanpa mempertanyakan, dalam kasus ini, prinsip dasar di balik keadilan militer. Ketika berbicara atas nama suara mayoritas, hakim Lamer mengatakan: “Untuk menjaga agar angkatan bersenjata selalu berada dalam keadaan siaga, militer harus berada dalam posisi menerapkan disiplin internal secara efektif dan effisien … Permintaan bantuan kepada pengadilan kriminal biasa akan, sebagai sebuah aturan umum, tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan disipliner khusus militer. Karenanya terdapat kebutuhan untuk memisahkan pengadilan untuk menerapkan standar disipliner khusus dalam militer” (No 22103, hal. 293). Dalam putusannya pada kasus Morris v. the United Kingdom tanggal 26 Februari 2002, Pengadilan Hak Asasi Manusia Europa merujuk, secara luar biasa, kepada kasus R. v. Généreux.

56. Sebagai tambahan bagi pembahasan mengenai prinsip legalitas, atau bahkan legitimasi, pengadilan militer, masalah-masalah hukum terkait dengan organisasi dan operasi pengadilan semacam ini.