e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi
Tokyo 1963, Konvensi Hague 1970, dan Konvensi Montreal 971 f.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan Terhadap
SaranaPrasarana Penerbangan g.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan h.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
i. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana draft 2005, buku-buku, majalah-majalah, jurnal-jurnal, publikasi dan
artikel yang mendukung kajian bahan hukum primer 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang mendukung bahan hukum
sekunder, seperti kamus dan ensiklopedia
F. Tinjauan Pustaka
Untuk membatasi dan mencegah pengulangan arti dalam penulisan skripsi ini, maka dalam skripsi ini dirumuskanlah definisi operasional atau tinjauan
pustaka. Tinjauan pustaka ini mengacu pada definisi-definisi yang dirumuskan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, yaitu:
1 Pesawat udara adalah setiap alat yang dapat terbang di atmosfer karena
daya angkat dari reaksi udara
16
2 Pesawat udara dalam penerbangan adalah sejak saat pintu luar pesawat
udara ditutup setelah naiknya penumpang embarkasi sampai saat pintu dibuka untuk penurunan penumpang disembarkasi. Dalam hal terjadi
pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung sampai saat penguasa yang berwenang mengambil alih tanggung jawab atas pesawat
udara dan barang yang ada di dalamnya .
17
3 Pesawat udara dalam dinas adalah jangka waktu sejak pesawat udara
disiapkan oleh awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu, hingga setelah 24 jam lewat sesudah setiap pendaratan
.
18
4 Penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan
wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, serta kegiatan dan fasilitas penunjang lain
yang terkait .
19
5 Extraodrinary Crime atau kejahatan luar biasa dalam konteks penelitian
adalah suatu ancaman bagi kebudayaan dunia world’s culture dan kemanusiaan mankind seperti yang dirumuskan dalam Statuta Roma
1995, karena itu harus diperangi dengan segala cara, baik melalui perangkat hukum, militer, intelijen, kepolisian, dan penegakan hukum
.
16
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 1 Ayat 3
17
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 95b
18
Ibid Pasal 95c
19
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 1 Ayat 1
serta penghukuman yang memadai bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Termasuk di dalam rumusan kejahatan luar biasa ini adalah
tindak pidana terorisme
20
G. Sistematika Penulisan
Di dalam penulisan hukum ini terdiri dari empat bab. Masing-masing perinciannya sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan, Di dalamnya berisi uraian latar belakang pemilihan judul, ruang lingkup
penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan diakhiri dengan sistematika skripsi yang bertujuan untuk
mengantarkan pikiran pembaca ke pokok permasalahan yang akan dibahas.
Bab II Berisi Konvensi Kejahatan Penerbangan Sebagai Sebuah Tindak Pidana Terorisme Menurut Instrumen Hukum Internasional. Dalam bab ini
dijabarkan hal yang dipaparkan adalah mengenai Konvensi – Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil diantaranya yaitu Konvensi
Tokyo, Konvensi Den Haag, dan Konvensi Montreal
Bab III Merupakan bab yang menguraikan tentang konvensi kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme menurut uu no. 15
tahun 2003. .
20
Lihat Frans Hendra Winarta: “Terorisme Itu Kejahatan Luar Biasa” http:www.komisihukum.go.idnewsletter.php?act=detilid=65
. Terakhir diakses pada tanggal 25 Juli 2010. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ketua Badan
Koordinasi Pemberantasan Terorisme Kantor Menkopolkam Ansyaad Mbai, yang mengatakan bahwa tindak pidana terorisme adalah kejahatan luar biasa
extraordinary crimedan harus ditangani dengan cara-cara luar biasa pula extraordinary measures.
Di dalamnya sub bab menjelaskan lebih lanjut mengenai Konvensi Kejahatan Penerbangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
PidanaKUHP serta Kejahatan Penerbangan Sebagai Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang 15 Tahun 2003.
Bab IV Merupakan bab yang memaparkan permasalahan berikutnya mengenai prakteknya penerapan ketentuan hukum undang-undang no.15 tahun 2003
dalam peristiwa kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme contoh kasus putusan perkara pilot marwoto No. 348 Pid.
B2008PN Slmn. Berturut-turut di dalamya terdapat sub bab mengenai Posisi Kasus dan
Analisis Perkara Pilot Marwoto Perkara No. 348 Pid.B2008PN Slmn berdasarkan UU No 15 Tahun 2003
Bab V Adalah bab terakhir dalam penulisan skripsi ini. Hal mengenai kesimpulan dan saran terhadap sejumlah penulisan dalam skripsi ini.
Merupakan cakupan yang dibahas secara sederhana dan terperinci guna menjelaskan rangkuman dari seluruh intisari yang penulis lakukan dalam
skripsi ini.
BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH