Konvensi – Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH

TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

A. Konvensi – Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil

Kajian instrumen hukum internasional dalam tindak pidana penerbangan pada skripsi ini akan difokuskan pada ketiga konvensi ini saja, yakni Konvensi Tokyo tahun 1963, Konvensi Den Haag tahun 1970, dan Konvensi Montreal tahun 1971. Selain karena hanya ketiga konvesi ini saja yang dapat diberlakukan secara internasional untukmengatur mengenai kejahatan dalam penerbangan, ketiga konvensi ini pula yang dijadikan sumber utama dalam pembuatan Undang- undang Nomor 4 Tahun 1976 yang menambahkan beberapa pasal tentang kejahatan penerbangan dan saranaprasarananya di dalam KUHP. Beberapa sumber bahkan menyatakan bahwa tindak pidana yang diatur dalam ketiga konvensi ini sesungguhnya merupakan tindak pidana terorisme 21 . Namun, akhir penentuan kategori kejahatan yang diatur lewat ketiga konvensi ini termasuk tindak pidana terorisme atau bukan terpulang kepada undang-undang yang dibuat oleh masing-masing negara peratifikasi. 22 Usaha-usaha untuk mendefinisikan terorisme sudah nampak di dunia internasional setidaknya sejak tahun 1937. Pada tahun 1937, Liga Bangsa-bangsa sebenarnya sudah merumuskan defenisi terorisme kedalam suatu konvensi sebagai ‘’All criminal acts directed agains a State and intended or calculated to create a 21 Abdul Wahid et al., Op. Cit., hal.27. Lihat pula Paul Stephen Dempsey, Loc.Cit., hal.666. 22 Abdul Wahid.et.al, Op. Cit., hal 27. 16 state of terror in the minds of particular persons or a group or the general public.’’ Namun draft konvensi ini tidak pernah disetujui, sehingga definisi ini tidak pernah dipakai 23 Konvensi-konvensi internasional yang mengkategorikan rumusan kejahatan yang diaturnya sebagai tindak pidana terorisme, sesungguhnya banyak yang telah dibuat, misalnya kejahatan pembajakan pesawat udara dan pembiayaan kegiatan teroris. Berbagai lembaga internasional maupun regional sudah mengeluarkan produk-produk hukumya untuk menjelaskan defenisi terorisme tersebut. 24 Namun, permasalahan sesungguhnya dari konvensi-konvensi ini adalah penerapannya. Kejahatan-kejahatan yang dirumuskan dalam konvensi-konvensi tersebut sebenarnya baru dapat disebut sebagai tindak pidana terorisme atau bukan tergantung pada persetujuan Negara-negara peratifikasi di dalam undang- undangnya masing-masing. 25 Ini dikarenakan belum adanya definisi menyeluruh mengenai terorisme itu sendiri yang tentunya dapat diterima oleh semua Negara, dan bahkan hingga kini Perserikatan Bangsa-Bangsa masih mencoba mencari rumusan defenisi yang tepat. 26 Konvensi-konvensi tersebut adalah : 27 Konvensi Tokyo yang dibuat tanggal 14 September 1963 di Tokyo ini diprakarsai oleh Internasioanal Civil Aviation Organization ICAO. 1. Konvensi Tokyo 28 23 .Aaron J.Noteboom, Loc. Cit., hal. 563. 24 Ibid., hal. 573. 25 Abdul Wahid et al., Op. Cit., hal.27 26 Aaron J. Noteboom, Loc. Cit., hal. 573. 27 Abdul Wahid et al. Op.Cit., hal.27-28. Konvensi ini lahir dari keinginan dunia untuk mengkriminalisasikan tindak pidana dalam penerbangan yang makin marak, yang pada waktu itu secara internasional belum dianggap sebagai kejahatan. 29 Tujuan dari konvensi ini adalah mengkriminalisasikan tindakan-tindakan yang terjadi di dalam pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan penumpang dan barang di dalam pesawat udara tersebut, dan ini merupakan konvensi pertama yang mengikutsertakan secara formal kewenangan internasional terhadap tindak kriminal para pembajak. 30 Di dalam konvensi ini yang utama diatur adalah mengenai masalah yurisdiksi Negara atas sebuah pesawat udara yang dibajak, suatu hal yang sebelumnya sering dijadikan bahan perdebatan antar Negara mengenai kewenangan suatu Negara atas suatu pesawat udara yang dibajak di atas laut bebas, wilayah internasional, atau di dalam wilayah negara asing. Konvensi Tokyo menganut prinsip ‘’law of the flag’’, artinya yang memiliki yurisdiksii terhadap pelanggar di dalam pesawat udara adalah Negara di mana pesawat tersebut didaftarkan atau Negara bendera pesawat tersebut pasal 3. Namun prinsip ini dapat dikecualikan oleh ketentuan-ketentuan dalam pasal 4 konvensi tersebut, yakni apabila suatu Negara yang mendapatkan suatu pesawat udara berbendera asing dibajak di dalam wilayah mereka dan dapat berpengaruh terhadap keamanan Negara tersebut, maka Negara ini dapat mengambil langkah- langkah untuk mengamankan pesawat udara tersebut. 31 28 Konvensi ini berjudul ‘’Offences and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft’’. Lihat K. Martono,.Op.Cit., hal.157. 29 Michael S. Simons, Loc. Cit., hal. 742. . 30 Ibid, hal. 741 31 K. Martono, Op. Cit, hal 306. Kemudian mengatur pula kewenangan seorang komandan pesawat udara kapten pilot untuk dapat memastikan kondisi keamanan pesawat udara, dengan memberikan kewenangan- kewenangan yang belum pernah ada sebelumnya. Kewenangan ini antara lain adalah menahan tersangka dan menurunkan tersangka di Negara anggota peserta konvensi Tokyo, hal ini merupakan kewenangan kepolisian yang dapat dipergunakan kapten pilot manakala ada indikasi kuat keselamatan penerbangan terancam dan tidak ada aparat kepolisian yang dapat melakukan kewenangannya 32 Mengenai tindak kejahatan yang diatur di dalam konvensi ini, selain mengatur tindakan-tindakan melawan hukum yang membahayakan keselamatan penumpang, pesawat udara, barang serta tata tertib penerbangan, 33 juga mengatur tindakan pengambilalihan pesawat udara secara melawan hukum atau yang biasa disebut sebagai pembajakan pesawat udara. 34 Dari Pasal 11 Konvensi Tokyo yang mengatur tentang pembajakan, unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : 35 1. Pesawat udara tersebut harus dalam penerbangan; 2. Pelaku pembajakan harus ada dalam pesawat udara; 3. Perbuatan tersebut harus melanggar hukum; 4. adanya paksaan atau ancaman paksaan. Hal yang harus diperhatikan dalam Konvensi Tokyo ini adalah konvensi ini dirancang utuk mewajibkan Negara peratifikasi agar dapat menolong komandan pesawat udara kapten pilot mengamankan pesawat udaranya dari gangguan pembajakan dan kejahatan lainnya yang diatur dalam konvensi ini. Namun tidak mewajibkan negara tersebut untuk menghukum apalagi 32 Ibid., hal.159. 33 Pasal 1 ayat 1 huruf b Konvensi Tokyo. Lihat Ibid, hal.305. 34 Pasal 11 Konvensi Tokyo. Lihat Ibid, hal. 309. 35 Ibid, hal.164. mengekstradisi pelaku pembajakan ke Negara bendera pesawat udara tersebut. 36 Hal inilah yang menjadi kelemahan konvensi ini. 37 Konvensi The Hague atau Konvensi The Haag diberlakukan di Den Haag, Belanda tanggal 16 Desember1970. 2. Konvensi Den Haag 38 K. Martono mengatakan bahwa konvensi Den Haag memiliki lingkup keberlakuan lebih luas, dan juga memiliki ketentuan tentang ekstradisi yang lebih tegas dibandingkan Konvesi Tokyo. 39 Selain itu, ketentuan di dalamnya juga memperbarui defenisi tindakan pembajakan dalam pesawat udara dan mengamanatkan pula hukuman yang berat bagi pelakunya kepada Negara-negara peratifikasi. 40 Sayangnya ‘’hukuman yang berat’’ ini tidak didefinisikan dalam konvensi ini, hal mana yang disesalkan oleh beberapa kalangan, dan menciptakan suatu ketidakseragaman dalam penghukuman bagi pelaku di masing-masing Negara peratifikasi 41 36 Michael S. Simsons, Loc. Cit., hal. 742. 37 K.Martono, Op. Cit., Hal. 166. 38 Abdul Wahid et al., Op. Cit., hal. 27. Konvensi in berjudul ‘’The Suppression on Lawfil Seizure of Aircraft’’ dan hanya ditujukan bagi penindakan atas pembajakan di dalam pesawat udara, dan dibuat atas inisiatif ICAO pula. 39 K. Martono, Op. Cit., hal. 190. 40 Michael S. Simons, Loc. Cit., hal. 743. 41 Paul Stephen Dempsey, Loc. Cit., hal.667. Pasal 1 Konvensi Den Haag ini berbunyi sebagai berikut : ‘’Any person who on board an aircraft in flight : a unlawfully, by force or threat thereof, or by any other form of intimidation, seizes, or exercises control of, that aircraft, or attempts to perform any such act, or b is an accomplice of a person who performs or attemps to perform any such act commits an offence hereinafter reffered to as ‘’the offence’’ Perbedaan yang mencolok dari definisi ini dibandingkan dengan definisi yang dimiliki oleh Konvensi Tokyo adalah adanya penambahan ketentuan bahwa seseorang yang membantu terjadinya pembajakan pesawat udara, dianggap melakukan tindak pidana yang sama dengan orang yang dibantunya. Sama halnya seperti Konvensi Tokyo, konvensi inipun menyimpan kelemahan. Satu diantaranya adalah Konvensi Den Haag ini tidak mengkriminalisasikan kejahatan penyabotasean suatu pesawat udara. 42 Kebutuhan pemidanaan atas kejahatan sabotase ini makin mendesak manakala pembajakan atas pesawat udara berkurang tetapi angka sabotase terhadap fasilitas Bandar udara dan peledakan pesawat udara dengan bom yang didesain meledak pada saat pesawat udara terbang makin meningkat. Namun ha ini akan diperbaiki lewat Konvensi Montreal. 43 ‘’1 acts of violence likely to endanger the safety of an aircraft; 2 destruction of or serious damage to an aircraft or air navigation 3. Konvensi Montreal Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Konvensi Montreal yang dilahirkan tanggal 23 September 1971 sengaja dibuat untuk memenuhi kebutuhan internasional akan pemidanaan terhadap sabotase pesawat udara dan fasilitas penunjangnya di bandara. Walaupun demikian, Konvensi Montreal dalam beberapa segi merupakan perulangan dari Konvensi Den Haag. Di dalam Pasal 1 Konvensi Montreal, seperti yang dikutip dari Dempsey, rumusan kejahatan yang berbeda dengan konvensi sebelumnya adalah : 42 Paul Stephen Dempsey, Loc. Cit., hal.669. 43 Ibid, hal. 670. facilities; and 3 communication of false information that endangers the safety of an aircraft.’’ Juga mengenai percobaan tindak pidana , percobaan atas kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat 1 Konvensi Montreal, dianggap melakukan kejahatan : ‘’Any person also commits an offence if he: a attempts to commit any of the offences mentioned in paragraph 1 of this Article…’’

BAB III KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH