Kejahatan Penerbangan Sebagai Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang 15 Tahun 2003

penerbangan Mengganggu ketertiban dan tata tertib daam udara 479r

B. Kejahatan Penerbangan Sebagai Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang 15 Tahun 2003

1. Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme No 15 Tahun 2003 a. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang TPTPT ini tidak hanya dilatarbelakangi adanya peristiwa 9 September 2001 di gedung kembar World Trade Center, Amerika Serikat. Tetapi juga didorong oleh keinginan berbagai negara termasuk Indonesia yang telah lama berkehendak untuk mengkriminalisasikan kejahatan jenis ini. Bahkan, khusus Indonesia, hal tersebut telah diamanahkan oleh Undang- Undang Dasar 1945 yang mengharuskan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia. 63 Salah satu faktor pendorong kriminalisasi ini berkaitan dengan aspek viktimologis yang cenderung sangat besar dan luas baik yang berkaitan dengan nyawa, kemerdekaan, dan harta serta timbulnya rasa takut terhadap korban yang 63 Muladi, Pengantar Sosialisasi RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme: Aspek Hukum Pidana Materiil, makalah yang disampaikan pada ‘’Sosialisasi RUU tentang Terorisme,’’Jakarta, 20 Mei 2002. bersifat acak random attack atau indiscriminate terror atas dasar filosofi propaganda by deed atau mass media oriented terrorism. 64 Adanya kenyataan yang jauh lebih berbahaya yakni kaitan antara terorisme dengan kejahatan-kejahatan lain yang bersifat transnasional dan terorganisasi transnational organized crimes seperti perdagangan senjata, pencucian uang, perdagangan narkotika bahkan perdagangan bahan-bahan nuklir yang berbahaya bagi perdamaian dan keamanan nasional dan internasional. 65 Dengan demikian tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se dan bukan mala prohibita. Mala per se adalah kejahatan terhadap hati nurani crimes against conscience, menjadi jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh undang-undang tetapi pada dasarnya memang tercela naturally wrong atau acts wrong in themselves. 66 Untuk menanggulangi tindak pidana terorisme yang bersifat internasional, perumusan tindak pidana yang bersifat nasional baik yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP ‘’tidak atau belum memadai’’mengingat unsur-unsur kejahatan yang bersifat spesifik, di samping belum tertampungnya berbagai aspirasi yang berkembang baik regional maupun internasional. 67 64 Ibid., hal.1. 65 Ibid. 66 Ibid., hal.2. 67 Ibid. Bandingkan dengan pernyataan Romli Atmasasmita yang mengatakan bahwa,’’…Dewan Keamanan PBB telah sepakat menempatkan masalah ini terorisme dalam status sebagai’’kejahatan internasional’’ Di ‘’Telah berkembang pendapat bahwa terorisme dan tindakan teror cukup diatasi oleh KUHP…Dalam konteks wacana tersebut…, kiranya kita sependapat jika terhadap ‘’domestic terrorism’’ atau tindakan teror yang bersifat domestic masih cukup ditangani dengan…KUHP yang berlaku. Namun demikian, untuk mewujudkan suatu undang-undang nasional yang bertujuan mencegah dan memberantas terorisme secara keseluruhan baik yang bersifat domestic maupun yang bersifat internasional…’’. Lihat Romli Atmasasmita, Masalah dan Prospek Pemberantasan Terorisme di Indonesia, dalam bukunya yang berjudul, Masalah samping itu pengaturan tindak pidana terorisme cenderung menempuh sistem global dan komprehensif yang memuat kebijakan kriminal criminal policy yang bersifat luas baik preventif maupun represif serta beberapa hukum acara yang bersifat khusus, tanpa menyampingkan promosi dan perlindungan Hak Asasi Manusia. 68 Oleh karena itu, pemerintah Indonesaia akhirnya memutuskan untuk menerbitkan Undang-undang TPTPT Nomor 15 Tahun 2003 yang diberlakukan pada yanggal 4 April 2003, setelah sebelumnya sempat menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undag-undang Nomor 1 Tahun 2002. 69 Pertama, instrument hukum yang berlaku secara internasional seperti Konvensi Internasional Pencegahan dan Penghukuman Terorisme 1937; b. Konsep Undang Undang TPTPT Undang-undang TPTPT dikatakan oleh beberapa kalangan ahli hukum didesain untuk menjawab tantangan terorisme yang bersifat internasional, tidak hanya terorisme lokal domestic. Sehingga dalam pegimplementasiannya di dunia nyata, Undang-undang TPTPT harus dapat bersinergi dengan undang-undang sejenis yang dimiliki oleh negara-negara lain, maupun instrument hukum sejenis di tingkat regional bahkan internasional, selain tentunya undang-undang relevan yang sudah ada dan berlaku di Tanah Air. Oleh karena itu, proses penyusunan Undang-Undang TPTPT memperhatian dua acuan utama, yakni: Pengaturan Terorisme dan Perspektif Indonesia,Jakarta: Badan Pembinaan HUkum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia,2002, hal.1. 68 Ibid.,hal.3. 69 Lihat Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, Loc.Cit., konsiderans huruf b,c, dan d. Konvensi Menentang Pemboman oleh Terorisme; Konvensi Menentang Pendanaan untuk Terorisme 1999; Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1368 tahun 2000 dan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 tahun 2001. 70 Kedua, sistem hukum dan perundang-undangan yang telah berlaku di Indonesia seperti KUHP, Kitab Undnag-undang Hukum Acara Pidana, dan peraturan perundnag-undnagan lainnya yang berkaitan, antara lain adalah Undang-undang tentang Kewarganegaraan, Undang-undang tetang Pencucian Uang, dan Undang-undang tentang Pertahanan. 71 Ditambah pula dengan acuan pelengkap yakni Undang-undang tentang terorisme yang berlaku di Negara-negara ASEAN dan Asia, seperti Jepang dan India, serta Amerika Serikat. 72 Maka dari itulah, Undang-undang TPTPT yang semula berbentuk perpu ini didesain khusus sebagai undang-undang payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan terorisme; 73 merupakan undang-undang yang memiliki sanksi pidana diperkuat dan sekaligus merupakan undang-undang koordinatif yang berfungsi memperkuat ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan terorisme. 74 Undang- undang ini memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi tersangkaterdakwa yang disebut safeguarding rules; 75 70 Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal.4. 71 Ibid. 72 Ibid. 73 Perpu Nomor 1 Tahun 2002,Loc.Cit., Penjelasan Umum. 74 Ibid. 75 Ibid. dan undang-undang ini secara spesifik juga memuat ketentuan tentang lingkup yurisdiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta memuat ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme yang terkait dengan kegiatan terorisme internasional. 76 Seperti yang telah diuraikan dalam Bab sebelumnya, bahwa ketentuan- ketentan pada Bab XXIXA KUHP merupakan hasil dari diadopsinya ketiga konvensi Internasional mengenai keamanan penerbangan yakni Konvensi Tokyo 1963, Konvensi Den Haag 1970, dan Konvensi Montreal1971. Peratifikasian ketiga konvensi tersebut secara resmi dilakukan pemerintah RI melalui Undang- undnag Nomor 2 Tahun 1976, 2. Masuknya Ketentuan Kejahatan Penerbangan dan Sarana Prasarana Penerbangan Dalam Undang Undang TPTPT 77 dan pengimplementasiannya menjadi ketentuan Undang-undang dilakukan melalui Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976. 78 Ada beberapa kalangan ahli hukum yang melihat bahwa kejahatan yang diatur dalam ketiga konvensi tersebut berkategori tindak pidana terorisme. 79 Namun, penilaian sesungguhnya bahwa kejahatan-kejahatan yang diatur dalam ketiga konvensi ini termasuk tindak pidana terorisme atau bukan terpulang kepada Negara-negara peratifikasiannya yang mengadopsi ketentuan-ketentuan tersebut dalam undang-undang mereka. 80 Di Indonesia, kejahatan penerbangan yang diadopsi melalui Undang- undang Nomor 2 dan Nomor 4 Tahun 1976 dimasukkan ke dalam Bab XXIXA KUHP sejak tahun 1976. Dengan dimasukkannya ketentuan tersebut dalam 76 Ibid. 77 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1976,Loc. Cit., Penjelasan Umum. 78 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976,Loc. Cit., Penjelasan Umum. 79 Lihat Abdul Wahid et al., Op. Cit., hal.27. Lihat pula Paul Stephen Dempsey, Loc. Cit., hal.666. 80 Lihat Abdul Wahid et al., Op. Cit., hal.27 KUHP, maka rumusan kejahatan penerbangan dan saranaprasaranamya ini termasuk ke dalam golongan kejahatan biasa. Hal ini terus berjalan hingga melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2002 yang kelak menjadi undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, ketentuan-ketentuan dalam Bab XXIXA ini diadopsi total menjadi bagian dari Perpu tersebut . 81 Hal ini dapat dilihat apabila kita teliti lebih lanjut redaksional Pasal 8 huruf a hingga huruf r Perpu TPTPT Baca : Undang-undang TPTPT, di mana menunjukkan kesamaan substansi yang persis dengan ketentuan Pasal 479a hingga Pasal 479r. 82 Bahkan draft V Juni 2002, redaksional Pasal 8 hanya merujuk pada Bab XXIXA KUHP, tanpa menuliskan isi dari pasalnya. 83 81 Merupakan hal yang tak dapat disangkal bahwa pemasukan ketentuan ini dlalam Pasal 8 Undang-undang TPTPT sedikit banyak dipengaruhi oleh tragedy WTC 9 September 2001 di Amerika Serikat yang melibatkan dua pesawat terbang sebagai ‘’peluru kendali’’ penghancur menara kembar tersebut, sehingga dapat dilihat bahwa ide dimasukkannya ketentuan-ketentuan ini di dalam Pasal 8 untuk melindungi penerbangan berikut saranaprasarananya dari tengah-tengah teroris, lihat Muladi,Loc. Cit., hal.1. 82 Bahkan, dalam penjelasan Pasl 8 Perpu ini, dikatakan bahwa,’’Ketentuan ini merupakan penjabaran dari tindak pidana…sebagaimana simaksud dalam Pasal XXIXA Kitab Undang-undang Hukum Pidana.’’ Hal ini sangat memprihatinkan, karena tidak ada Pasal XXIXA KUHP sebagaimana yang ditunjuk oleh Penjelasan Pasal 8 ini. Jika berbicara tentang kejahatan penerbangan , maka Bab XXIXA KUHP yang paling relevan. Ini menunjukkan kesan bahwa Perpu TPTPT ini dibuat dengan tidak cermat dan terburu-buru. Lihat Amiruddin et al., Kajian terhadap Perppu No.12002 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dalam buku, Terrorisme: Definisi, Aksi, dan Regulasi, Editor: Rusdi Marpaung dan Al Araf,Jakarta: Imparsial,2003, hal.92. 83 Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal.23. Bagan 2 Asal mula Ketentuan-ketentuan pada Pasal 8 Undang-undang TPTPT Muladi menyatakan bahwa ada beberapa asas yang mendasari terbentuknya Undang-undang TPTPT ini. 84 1. Kelayakan penempatan ketentuan tindak pidana penerbangan di dalam Undang-undang TPTPT Khusus pada ketentuan dalam Pasal 8 Undang-undang TPTPT, dipakailah asas kriminalisasi yang diperluas : ‘’…Asas kriminalisasi yang diperluas the principle of extended criminalization dalam arti ….b Aktualisasi atau afirmasi tindak- tndak pidana yang sudah ada yang relevan untuk dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme. Hal ini bersumber baik murni hukum nasional maupun yang bersumber pada konvensi hukum internasional yang telah diratifikasi Pasal 8 RUU…yang bersumber pada Pasal 479a sd Pasal 479r….’’ 84 Muladi, Loc. Cit., hal.2. Konvensi Tokyo Konvensi Den Haag Konvensi Montreal UU No.41976 BAB XXIXA KUHP Pasal 8 UU No KUHP UU No. 152003 UU No. 21976 Alur ratifikasi implementasi Garis ketentuan bagian Alur transformasi Akan dianalisis satu per satu, butir-butir pada Pasal 8 Undnag-undnag TPTPT, kesesuaian spirit jiwasemangat Undang-undang TPTPT ini secara keseluruhan dengan spirit parsial pada masing-masing butir. Adapun karakteristik tindak pidan terorisme dalam Undang-undang TPTPT ini dapat tercermin dalam ‘’lima unsur utama’’ tindak pidana terorisme yang telah disimpulkan dalam Bab sebelumnya, yakni : Pertama, tindakan ini dapat dilakukan oleh siapa saja; Kedua, tindakan tersebut dilakukan dengan sengaja, sama sekali bukanlah kesengajaan kelalaian. 85 Ketiga, dilakukan dnegan tindak pidana yang dapat membahayaan jiwa; Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perihal kesengajaan ini meliputi semua gradasinya; 86 Keempat, tindakan tersebut dengan sengaja didesain untuk menimbulkan rasa tajut atau teror di masyarakat; 87 Patut diketahui bahwa dikarenakan penjelasan Pasal 8 ini begitu terbatas, Kelima, sasarannya dapat berupa apa saja dan siapa saja. 88 85 ‘’Kesengajaan’’ diartikan dalam Wilstheorie oleh Von Hippel sebagai kehendak untuk melakukan sesuatu dan kehendak untuk menimbulkan akibat, atau ‘’willens en wettens’’. Lihat Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Op. Cit., hal.41 86 Menurut kamus Oxford,’’membahayakan’’ atau’’endanger’’Inggris memiliki makna sebagai: put in danger; cause danger to. Sementara kata ‘’danger’’ sendiri memiliki arti: 1 chance of suffering, liability to suffer, injury or loss of life. Jadi, arti ‘’membahayakan jiwa’’ adalah menempatkan seseorang ke dalam situasi yang dapat membatnya terluka atau menghilangkan jiwanya. Lihat A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, London: Oxford University Press,1974. 87 ‘’Teror’’ atau’’terror’’ menurut kamus Oxford berarti : great fear, atau ketakutan yang hebat. Lihat Ibid. maka demi kepentingan analisis, penjelasan Pasal 479a hingga Pasal 479r pada KUHP akan dipergunakan, mengingat begitu dekatnya hubungan Pasal 8 Undnag-undnag TPTPT ini dengan Pasal-pasal dalam KUHP tersebut. Bagian muka Pasal 8 Undang-undang TPTPT berbunyi sebagai berikut : ‘’Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang:…’’ 89 a. Butir a: Dalam hal ini, karena bagian muka Pasal 8 sudah memberlakukan ketetuan pada butir-butir di dalamnya kepada ‘’setiap orang’’, maka dari itu, karena sudah sesuai dengan unsur tindak pidana terorisme yang pertama-yakni unsure dilakukan oleh ‘’siapa saja’’- untuk selanjutnya unsure pertama ini tidak perlu digunakan lagi. Begitu pula dengan unsur kelima, yakni ‘’sasarannya dapat ditujukan kepada siapa saja maupun apa saja’’. Karena unsur ini begitu universal pula maknanya- yang menjadikan hasilnya tidak akan begitu signifikkan-maka selanjutnya tidak akan dipakai lagi. Unsur-unsur yang tersisa akan dipakai, karena ketiga unsure-unsur inilah yang paling memaknai unsur pembetuk tindak pidana terorisme. Tanpa kehadiran salah satu dari ketiga unsur ini, sesuatu ketentuan pidana tidak akan cukup meyakinkan untuk menjadi suatu ketentuan tindak pidana terorisme. 88 Penjelasan Pasal 8 Undang-undang TPTPT yang semula Perpu TPTPT menyatakan bahwa,’’ketentuan ini merupakan penjabaran dari tindak pidana tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap saranaprasarana penerbangan sebagaiman dimaksud dalam Pasal XXIXA Kitab undang-undang Hukum Pidana.’’ 89 Dengan demikian, menurut ketentuan pada Pasal 8 ini, segala macam tindak pidana yang dirumuskan pada Pasal ini, ancaman hukumannya merujuk pada ketentuan Pasal 6, di mana disebutkan bahwa,’’…dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4empat tahun dan paling lama 20dua puluh tahun. ‘’menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai lagi atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;’’ Dalam penjelasan Pasal 479a KUHP-pasal yang dijadikan acuan dalam pembentukan ketentuan butir a- dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘’bangunan’’ adalah: ‘’…fasilitas penerbangan yang digunakan untuk keamanan dan pengaturan lalu lintas udara seperti terminal, bangunan, menara, rambu udara, penerangan, landasan serta fasilitas-fasilitas lainnya, termasuk bangunannya maupun instalasinya.’’ Unsur kesengajaan terlihat di dalam butir ini yakni kata-kata ‘’menghancurkan’’, ‘’membuat tidak dapat dipakai’’, ‘’merusak’’, atau ‘’menggagalkan usaha’’, kata-kata ini sudah mencukupi adanya makna kesengajaan dalam butir ini. Unsur ‘’tindak pidana yang dapat membahayakan jiwa’’, sebenarnya terlihat dari kemungkinan-kemungkinan atau dapat disebut kesengajaan sebagai suatu keinsyafan kepastian yang dapat timbul bila ‘’bangunan pengamanan lalu lintas udara’’ ini gagal menunjukkan fungsi pengamanannya akibat unsur ‘’kesengajaan’’ tadi. Misalnya saja ketika ada pesawat udara yang segera akan mendarat, tiba-tiba kontak radio dengan menara terputus, lampu landasan padam, dan landasannya hancur karena ledakan. Praktis, pesawat udara tersebut akan mengalami kecelakaan, entah karena tergelincir keluar landasan, atau rodanya patah saat melakukan pendaratan dikarenakan ada lubang bekas ledakan di tengah runway. Untuk unsur ‘’menimbulkan teror di masyarakat’’ pada butir ini dapat dikaji lebih jauh. Dari sini kita dapat melihat dan membayangkan, betapa mengerikannya seandainya bangunan semacam ini berhenti berfungsi lantaran kerusakan atau kehancuran yang disengaja. Misalnya yang berhubungan langsung dengan lalu-lintas penerbangan, seperti menara dan rambu udara, besar kemungkinan pesawat udara yang penuh penumpang itu jatuh berkeping-keping atau menabrak pesawat udara lainnya, lantaran ketiadaan alat pengaman lalu lintas, apalagi apabila terjadi di malam hari. Begitu pula dengan bangunan terminal, misalnya. Tempat ini notabene adalah ruang publik, di mana dapat diakses oleh publik dan digunakan untuk kepentingan umum. Dapat dibayangkan seandainya ada bom yang meledak di tengah keramaian, efek terornya akan langsung terasa di tempat itu juga. Hal ini tentu berpotensi menyebabkan rasa takut di masyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa spirit butir a ini masih sesuai dengan spirit Undang-undang TPTPT. 90 90 Sebagai perbandingan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2005 juga memiliki ketentuan yang sama-sama dipengaruhi oleh Pasal 479a KUHP yakni Pasal 252 dan dimasukkan pula ke dalam kategori tindak pidana terorisme dalam penerbangan. b. Butir b : ‘’menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan tersebut.’’ Di dalam butir ini terdapat delik materiil, di mana konsekuensi daris suatu perbuatanlah yang dipidana, Berbeda degan butir sebelumnya yang delik formil. Namun di sini kita dapat menyimpulkan bahwa kedua peraturan ini memiliki maksud yang sama, yakni melindngi bangunan pengamanan tersebut, dengan memidanakan orang yang mengganggu fungsinya. Dalam butir ini terdapat kata-kata ‘’menyebabkan hancurnya…rusaknya…’’ yang dapat bermakna bahwa adanya unsure kesengajaan sebagai suatu maksud. Begitu pula dengan unsur ‘’tindak pidana yang dapat membahayakan jiwa’’, unsur ini dapat terjadi dengan uraian seperti yang tergambar di nomor a sebelumnya. Untuk mengkaji unsur ‘’teror’’, kita dapat memakai logika yang sama dengan alur logika pada nomor a di atas, karena butir b ini merujuk pada objek sasaran yang sama. Jadi kesimpulannya adalah spirit butir b ini masih bersesuaian dengan spirit pasal 8 Undang-undang TPTPT. c. Butir c : ‘’dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru.’’ Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa ketentuan pada butir c ini memiliki tujuan utama untuk mengamankan penerbangan, dengan cara memidana siapapun yang membuat alat pengamanan tidak bekerja dengan semestinya. Dalam penjelasan Pasal 479c KUHP, defenisi ‘’tanda’’ atau ‘’alat’’ adalah : ‘’…fasilitas penerbangan yang digunakan oleh pesawat udara untuk secara aman melakukan tinggal landas atau mendarat, seperti tanda atau alat andasan runway-marking, termasuk garis di tengah landasan runway-counterline-marking, tanda penunukkoordinat landasan runway-designation-marking, tanda ujung landasan runway-threshold-marking, dan tanda adanya rintangan landasan obstacle-marking, termasuk lampu tanda pemancar radio, lampu tanda menara lalu lintas udara…’’ Unsur ‘’ dengan sengaja ‘’ sudah cukup menggambarkan adanya unsur kesengajaan dalam butir ini. Unsur-unsur ‘’mengambil’’, ‘’memindahkan’’, ‘’merusak’’, ‘’memasang dnegan keliru’’, ‘’menggagalkan bekerjanya alat’’, sebenarnya merupakan kesatuan dari unsure ‘dengan sengaja’’, jadi unsure ini merupakan kesengajaan dari maksud. Tapi dari unsur-unsur ini dapat kila lhat gradasi kesengajaan yang lainnya yang dapat menggambarkan unsure ‘’tindak pidana yang dapat membahayakan jiwa’’. Dengan perandaian, data dilihat apabila sebuah pesawat udara ingin mendarat, hal utama yang akan diperhatikan adalah visual contact pilot pesawat udara dengan pihak bandara. Artinya, pilot harus dapat memastikan letak bandara dan landas pacunya dengan matanya sendiri. Untuk membantu pilot mendapatkan visual contact, mutlak diperlukan adanya alata pertanda, seperti marka landasan, untuk memberitahukan tepi maupun ujung landasan; rambu landasan yang akan membantu pilot melihat landasan di dalam kondisi gelap atau kurang cahaya, seperti sewaktu malam hari atau hujan deras;dan penanda bahwa ujung landasan terdapat halangan, seperti tembok atau laut. Dapat dibayangkan apabila alat-alat pengaman seperti ini menjadi tidak ada atau tidak bekerja sebagaimana mestinya. Dapat terjadi pesawat udara salah mendarat di luar runway yang akhirnya dapat erakibat fatal; tergelincir keluar landas pacu karena tidak dapat memperkirakan panjang runway; atau bahkan menabrak runway obstacles, seperti tembok. Hal tersebut fatal akibatnya bagi keselamatan jiwa penumpang dan awak. Ilustrasi ini dapat dikategorikan sebagai kesengajaan sebagai suatu keinsyafan kepastian. Unsur ‘’teror’’ ini juga terdapat dalam ketentuan ini. Kita dapat membayangkan konsekuensi atau harapan pelaku dari tidak bekerjanya alat tersebut dengan semestinya. Besar kemungkinan sesuatu yang fatal terjadi, misalnya pesawat salah mendarat, menabak sesuatu misalnya, tiang pemancar radio sewaktu mendarat atau bahkan jatuh dan meledak karena menabrak sesama pesawat udara lainnya, membuat korban berjatuhan, baik cidera maupun tewas, apalagi kalau terjadi pada malam hari yang gelap. Hal ini jelas dapat menimbulkan ‘’teror’’ di tengah masyarakat. Jadi, ketentuan di dalam butir c ini masih bersesuaian dengan spirit Undang-undang TPTPT ini. d. Butir d : ‘’karena kealpaannya menyebabkan tanda atu alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atu alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru’’. Ketentuan ini menjadi terlihat janggal manakala unsur tindak pidana terorisme ini adalah suatu ‘’kesengajaan’’tapi yang diperihatkan oleh ketentuan pada butir d dalam Undang-undang TPTPT ini adalah unsur ‘’kelalaian’’. Jadi, dengan memakai logika ketentuan ini, karena seseorang lalai dalam berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dia dapat dianggap sebagai teroris. Hal ini jelas bertentangan, bahkan dengan karakteristik tindak pidana terorisme yang digambarkan oleh Undang-undang TPTPT itu sendiri pada Pasal 6. Jadi dapat disimpulkan bahwa ketentuan butir d ini tidak sesuai dengan karakteristik tindak pidana terorisme. Kesimpulan ini sebenarnya juga didukung oleh temuan yang dihasilkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional BPHN. Bahkan, BPHN menyatakan bahwa ketentuan pada Pasal 8 huruf d sebaiknya dihapus saja. 91 e. Butir e : ‘’Dengan sengaja atau melawan hukum menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain.’’ 92 Khusus unsur ‘’menghancurkan’’ sudah dapat menggambarkan unsure ‘’tindak pidana yang dapat membahayakan jiwa’’ yang diatur dalam ketentuan ini. Kata ‘’menghancurkan’’ atau ‘’to destroy’’ Inggris, dalam kamus Oxford berarti : break to pieces, make useless, put an end to. Jadi, kata menghancurkan dapat digunakan untuk mengekspresikan tindakan membuat sesuatu menjadi pecah berkeping-keping sehingga tidak dapat dipakai lagi. Unsur ‘’ dengan sengaja’’ atau ‘’melawan hukum’’ dalam ketentuan butir ini cukup sesuai dengan unsur utama tindak pidan terorisme yang kedua yakni ‘’kesengajaan’’. 93 91 BPHN, Informasi yang berkaitan dengan Rancangan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,Jakarta : Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum, BPHN, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002, hal.68. Sebagai perbandingan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2005 juga memiliki ketentuan yang sama-sama dipengaruhi oleh Pasal 479d KUHP yakni Pasal 725 tidak dimasukkan ke dalam paragraph mengenai tindak pidana terorisme dalam penerbangan, melainkan ke dalam tindak pidanabiasa dalam penerbangan pada Bab XXXIV. 92 Penjelasan pada Pasal 479e yang merupakan asal dari ketentuan butir e pasal 8 Undang-undang TPTPT ini adalah,’’Pesawat udara dalam pasal ini adalah pesawat udara yang berada di darat yaitu tidak dalam penerbangan atau masih dalam persiapan oleh awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu.’’Lihat Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976, Loc. Cit. Penjelasan pasal 479e. 93 A.S. Hornby, Op. Cit. Bandingkan dengan definisi R.Soesilo yakni: merusak sama sekali, misalnya membanting gelas dan cangkir sehingga hancur hancur, 94 Terhadap unsur ketiga yakni ‘’teror’’, paling tidak unsur ‘’menghancurkan’’ adalah konotasi yang paling mendekati untuk menimbulkan suasana takut teror. Namun, unsur alternatif ‘’membuat tidak dapat dipakai’’, sebenarnya memiliki makna yang luas. Seandainya perbuatan ‘’menggembosi roda pesawat udara sehingga tidak dapat rebang’’ atau memasukkan air ke bahan baker udara sehingga mesin pesawat mogok termasuk dalam perbuatan yang dirumuskan unsur ini, maka sebenarnya risiko perbuatan ini terhadap jiwa adalah kecil. Paling tidak, kerusakan pada pesawat udara sudah dapat diketahui sebelum pesawat mengudara, sehingga sebagai langkah aman penerbangan dibatalkan dan pesawat udaranya perlu diperbaiki grounded. Kesimpulannya, unsur alternatif ‘’membuat tidak dapat dipakai’’ tidak sesuai unsure ‘’tindak pidana yang dapat membahayakan jiwa’’. 95 Sedangkan kalimat membuat tidak dapat dipakai ini sebenarnya memiliki makna yang luas. Bisa jadi, sebagai contoh tindakan pada unsur ini, ban pesawat udaranya digembosi sehingga tidak dapat terbang atau avtur pesawatnya diberi air sehingga mesinnya mogok. Efek dari kedua contoh tindakan ini sebenarnya kurang atau bahkan tidak meneror, apalagi buat masyarakat luas, dibandingkan dengan ‘’peledakan’’ tadi. Sebagai contoh kasus, pernah diketemukan bahwa pesawat udara B-737-200 milik maskapai Batavia Air tidak dapat terbang dari landas pacu bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Karena kata menghancurkan dapat diasosiasikan dengan kata peledakan, pengeboman yang daya hancurnya luar biasa dan efeknya dapat menimbulkan ketakutan atau teror. 94 R. Soesilo, Op. Cit., hal. 279. 95 Ibid. Selatan, pada tanggal 19 Oktober 2005, lantaran avturnya penuh mengandung air. Terlepas dari siapa pelaku yang bertanggung jawab, ketiadaan penegakan hukum atas kasus ini, atau ada unsur kesengajaan atau tidak, terbukti bahwa berita ini tidak menimbulkan teror di masyarakat. 96 f. Butir f : Kesimpulannya adalah, ketentuan pada butir e ini masih dapat dimasukkan ke dalam ketentuan Undang-undang TPTPT. Namun, unsur ‘’membuat tidak dapat dipakai’’ sebenarnya masih terlalu luas maknanya, dan tidak cukup meyakinkan apakah tindakan-tindakan yang termasuk dalam rumusan ini mampu menimbulkan bahaya bagi keselamatan jiwa maupun efek ketakutan yang meluas di masyarakat, seperti layaknya suatu tindak pidana terorisme. ‘’dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara.’’ Unsur ‘’kesengajaan’’ terlihat pada unsur ‘’dengan sengaja dan melawan hukum’’. Dua hal ini sudah cukup menggambarkan unsur itu. Kemudian kata-kata ‘’mencelakakan’’, ‘’menghancurkan’’, dan ‘’merusak’’. Kata ‘’merusak ‘’atau ‘’to break’’ Inggris berarti of a whole thing cause to go or come into two or more separate parts as the result of force, a blow or stain but not by cutting. Jadi kata merusak dapat diartikan sebagai membaut sesuatu menjadi bagian-bagian yang terpisah satu sama lain dengan 96 Lihat Hudli Lazwardinur, Implementasi Annex 8 tentang Kelaikan Udara bagi Pesawat Udara dari Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbanagn Sipil Internasional Annex 8 Konvensi Chicago 1944 di Indonesia : Analisa Yuridis terhadap Pembatasan Pengoperasian Pesawat Udara Kategori Transpor Bermesin Jet untuk Angkutan Udara Penumpang menurut Annex 8 Konvensi Chicago 1944 dan Penerapannya di Inonesia. menggunakan kekuatan ledakan atau tarikan. 97 sudah cukup menggambarkan adanya unsur tindak pidana yang dapat membahayakan jiwa yang akan timbul bila hal-hal tersebut dilakukan. Sementara, seperti analisis nomor e, unsur membuat tidak dapat dipakai sebenarnya tidak sesuai dengan unsure tindak pidana terorisme tersebut. 98 Jadi ketentuan ini sebenarnya masih sesuai dengan karakteristik tindak pidana terorisme, namun sama halnya dengan hasil analisisn pada nomor e, sebaiknya unsure membuat tidak dapat dipakai diperjelas definisinya. Unsur menimbulkan teror terlihat pada unsur-unsur ‘’mencelakakan’’, ‘’menghancurkan’’, ‘’merusak’’. Sementara seperti halnya analisis pada nomor e, unsur membuat tidak dapat dipakai sebenarnya tidak sesuai dengan unsur ‘’menimbulkan teror’’ ini. 99 g. Butir g : ‘’karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai lagi, rusak..’’ Unsur kealpaannya ini sebenarnya sudah cukup untuk menyatakan bahwa ketentuan pada butir g ini sudah tidak sesuai dengan salah satu unsur 97 A.S. Hornby, Op. Cit. 98 Asal dari ketentuan ini yakni Pasal 479f KUHP sebenarnya memiliki unsur tindak pidana yang membahayakan jiwa yang lebih lengkap dan jelas. Hal ini terlihat pada pencantuman kalimat kondisional,’’…jika timbul bahaya bagi nyawa orang lain,’’ selain unsur-unsur di atas tersebut. 99 Sebagai perbandingan, Rancangan Kitab Undnag-undnag Hukum Pidana tahun 2005 juga memiliki ketentuan yang sama-sama dipengaruhi oleh Pasal 479f KUHP yankni Pasal 255 dan dimasukkan pula ke dalam paragraph mengenai terorisme dalam penerbangan. Namun, Pasal 255 ini tetap mempertahankan unsur-unsur kondisional ke dalam aturannya. tindak pidana terorisme yakni ‘’kesengajaan’’. Jadi, ketentuan pada butir ini tidak sesuai dengan karakteristik tindak pidana terorisme. 100 h. Butir h : ‘’Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas kerugian penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan, kehancuran, kerusakan, atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya ataupun yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan.’’ Pada ketentuan butir h ini, unsur kesengajaan sudah dapat terlihat pada unsur dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain denganmelawan hukum. Namun arti kesengajaan di sini bukan sengaja untuk menimbulkan teror, melainkan sengaja untuk mendapatkan keuntungan pribadi buat diri sendiri amupunorang lain. Jadi menurut Wilstheorie Von Hippel, kehendak untuk menghancurkan benda yang diatur dalam ketentuan ini, disertai dengan kehendak bahwa bila hal tersebut dilakukan maka pelakunya akan mendapatkan keuntungan asuransi dari benda-benda yang dihancurkan tersebut sebagai akibatnya. Unsur tindak pidana yang dapat membahayakan jiwa tergambar baik sebagai suatu konsekuensi dari unsur ledakan, kecelakaan, datu kehancuran. Sebenarnya unsure terror juga dapat terlihat di sini, jika melihat betapa unsur kekerasan-nya tergambar lengkap pada unsur-unsurnya, yang memiliki potensi untuk menebarkan teror. 100 BPHN juga memiliki ketentuan yang sama dengan penulis tentang ketentuan butir g ini. Lihat: BPHN, Op. Cit., hal.68. Sebagai perbandingan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2005 juga memiliki ketentuan yang sama-sama dipengaruhi oleh Pasal 479g KUHP yakni Pasal 726 yang tidak dimasukkan ke dalam paragraph mengenai tindak pidana terorisme dalam penerbangan, melainkan ke dalam tidak pidana biasa dalam penerbangan pada Bab XXXIV. Namun, sebenarnya jika dilihat secara meluruh, ketentuan ini sesungguhnya lebih cocok bila ditunjukan kepada kasus penipuan asuransi. Seseorang yang berniat semata menipu tidak boleh diperlakukan sebagai teroris. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa ketentuan ii tidak sesuai dengan karakteristik tindaka pidana terorisme. i. Butir i: ‘’Dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan.’’ Unsur ‘’sengaja’’ dapat terlihat pada perbuatan yang melawan hukum, ‘’merampas’, ‘’mempertahankan perampasan’’, atau ‘’menguasai’’. Unsur ketiga yakni ‘’tindak pidana yang membahayakan jiwa’’ juga sudah cukup terlihat pada unsur-unsur ‘’merampas’’, ‘’mempertahankan rampasan’’, dan ‘’melawan hukum menguasai pesawat udara.’’ Tindakan- tindakan seperti ini dapat berakibat fatal dalam penerbangan. Seandainya saja dalam upaya perampasan ini pilotnya mengalami kematian, atua luka, hal ini sudah dapat membahayakan jiwanya maupun penumpang esawat udara tersebut. Unsur keempat, ‘’teror’’ sebenarnya dapat terlihat pada saat perampasan telah dimulai. Pada unsur ini dapat diumpamakan tentang embajakan di dalam pesawat udara penuh penumpang. Dalam cerita ini dapat dibayangkan tentang nasib penumpang dan awak yang tergantung kemauan pembajak, sehingga menebarlah rasa takut di kalangan penumpang dan awak. Ketakutan dan kecemasan seperti ini pastinya menerpa juga keluarga dan relasi mereka yang mengikuti perkembangan pembajakan ini, dan juga masyarakat yang menyimaknya melalui warta berita. Kisah nyata seperti ini yang masih segar dalam ingatan ialah tragedy 9 September 2001 yaitu di World Trade Center, New York, Amerika Serikat. Dua pesawat penuh penumpang dibajak, dan ditabrakkan ke menara kembar tersebut. Kejadian ini mendorong Amerika Serikat mendeklarasikan perang terhadapt terorisme. 101 Sehingga kesimpulannya adalah ketentuan ini masih bersesuaian dengan karakteristik tindak pidana terorisme. 102 j. Butir j : ‘’Dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan.’’ Ini adalah ketentuan yang mengatur tindak pidana yang baisa disebut sebagai pembajakan, seperti yang dikatakan pada penjelasan Pasal 479j KUHP, pasal mana merupakan asal dari ketentuan butir j ni. Unsur ‘’kesengajaan’’ nampak terlihat dengan digunakannya unsur ‘’kekerasan’’ atau ‘’ancaman kekerasan’’. Hal ini juga jelas berlaku bagi unsur ‘’tindak pidana yang dapat membahayakan jiwa’’, yang pastinya sudah sesuai dengan unsur ‘’kekerasan atau ancaman kekerasan’’ ini, Kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah ilegal. Misalnya dengan memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menendang,dan sebagainya. 103 101 http:id.wikipedia.orgwikiSerangan 11 September 2001 , diakses 11 Januari 2010. 102 Sebagai perbandingan, Rancangan Kitan Undnag-undnag Hkum Pidana tahun 2005 juga memiliki ketentuan yang sama-sama dipengaruhi oleh Pasal 479i KUHP yakni Pasal 246 dan dimasukkan pula ke dalam paragraph mengenai terorisme dalam penerbangan. Bahkan di dalam Pasal 256 ini lukisan deliknya jelas disebut sebagai pembajakan udara. 103 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana: Serta Komentar- komentarnya Lengkap Pasal demi pasal, Bogor: Politenia, 1996, hal. 98, catatan kaki pasal 89 KUHP. ditambah pula adanya unsur ‘’perampasan’’, Perampasan atau seizure Inggris berarti : act of seizing or taking possession of by force. Sementara to seize berarti : take hold of, suddenly and violently. Jadi, dapat terlihat di sini bahwa perampasan berarti pengambilalihan paksa secara mendadak dengan kekerasan 104 Sayangnya tidak dijelaskan seperti apa bentuk nyata ancaman dalam bentuk lainnya, namun dalam pegertian umum, yang namanya ancaman itu pasti mengandung niat untuk melakukan kekerasan, Ancaman atau threat Inggris berarti : 1 statement of an intention to punish or hurt somebody, especially if he soes not do as one wishes. Jadi, ancaman kekerasan merupakan suatu pernyataan niat bahwa ia akan melukai seseorang, terutama jika kehendaknya tidak dipatuhi. 105 Kesimpulannya, ketentuan ini layak dimasukkan dalam Undang-undang TPTPT. sehingga termasuk unsure tindak pidana yang dapat membahayakan jiwa. Untuk unsur teror, penjelasan dan alur logikanya seperti pada nomor i. Unsur teror ini ada dalam ketentuan ini. 106 k. Butir k : Namun, khusus untuk unsure ancaman dalam bentuk lainnya perlu penjelasan lebih rinci, tindakan seperti apa yang termasuk dalam unsur ini. ‘’melakukan bersama-sama sebagai kelannjutan pemufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan lebih dahuu, mengakibatkan luka nerat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang.’’ 104 . A.S. Hornby, Op. Cit. 105 A.S. Hornby, Op. Cit. 106 Sebagai perbandingan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2005 juga memiliki ketentuan yang sama-sama dipengaruhi oleh Pasal 479j KUHP yakni Pasal 257 dan dimasukkan pula ke dalam paragraph mengenai terorisme dalam penerbangan. Dalam ketentuan butir k ini, unsur-unsur tindak pidana terorisme terihat jelas. Unsur ‘’kesengajaan’’ dapat terlihat pada unsur ‘’melakukan bersama- sama’’ ataupun direncanakan terlebih dahulu’’. Sementara unsur tindakan membahayakan jiwa terlihat pada mengakibatkan luka berat sesorang, kerusakan pada pesawat udara ataupun unsur merampas kemerdekaan seseorang. Hal ini merupkan kesengajaan sebagai keinsyafan kepastian. Sedangkan unsur teror atau ketakutan terlihat dari membahayakan penerbangannya maupun pada unsur merampas kemerdekaan seseorang. Patut diketahui bahwa asal dari ketentuan butir k ini adalah Pasal 479k, yang memuat delik dikualifisir bagi Pasal 479i dan Pasal 479j. Namun dengan sedikit perubahan pada kalimatnya dan penghilangan pada ayat 2 Pasal ini oleh pembuat Undang-undang TPTPT, ketentuan ini menjadi ketentuan pada butir k. Ketentuan ini sesuai dengan karakteristik tindak pidana terorisme. 107 l. Butir l : ‘’dengan sengaja dan melawan hukum hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut.’’ Unsur kesengajaan dapat tergambar jelas di dalam unsur dengan sengaja dan melawan hukum. 107 Sebagai perbandingan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2005 juga memiliki ketentuan yang sama-sama dipengaruhi oleh Pasal 479k KUHP yakni Pasal 258 dan dimasukkan pula ke dalam paragraph mengenai terorisme dalam penerbangan. Seperti aslinya dalam KUHP, Pasal 258 ini juga mengatur delik dikualifisir bagi Pasal 256 dan 257. Selanjutnya, unsur ‘’tindak pidana yang dapat membahayakan jiwa’’ tergambar jelas pula pada unsur melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang. Sedangkan unsur teror tergambar pada unsur kondisional ketentuan ini jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut. Dengan adanya unsur yang membahayakan keselamatan pesawat udara, praktis, rasa takut penumpangpun melanda karena keselamatan merekapun terancam. Kesimpulannya, ketentuan ini dengan karakteristik tindak pidana terorisme. m. Butir m : ‘’Dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan.’’ Unsur kesengajaan dapat tergambar dengan baik melalui unsur dengan sengaja melawan hukum. Begitu pula unsur tindak pidana yang dapat mengancam jiwa tergambar pada unsur merusak dan menyebabkan kerusakan atas pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau membahayakan keselamatan penerbangan. Seandainya saja unsur tidak dapat terbang.terjadi tiba-tiba pada saat pesawat udara sedang mengudara, maka akibatnya akan fatal. Untuk unsur teror, pada unsur membahayakan keamanan penerbangan sudah dapat dibayangkan efek ketakutan yang ditimbulkan bagi penumpang jika keamanan penerbangan mereka berada dalam bahaya. Begitu pula untuk unsure tidakk dapat terbang. Bayangkan saja apabila karena ulah seseorang yang disengaja, pesawat udara yang hendak lepas landas tiba-tiba gagal terbang dan menghujam bumi, hal ini jelas akan dapat menimbulkan efek teror di masyarakat, apalagi kalau jatuhnya di tengah pemukiman penduduk. Dengan demikian ketentuan ini masih sesuai dengan karakteristik tindak pidana terorisme. 108 n. Butir n : ‘’Dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan.’’ Unsur kesengajaan tergambar cukup baik pada unsure sengaja dan melawan hukum, menempatkan dan menyebabkan ditempatkannya. Unsur tindak pidana yang dapat membahayakan jiwa tergambar dengan kuat pada unsur menghancurkan pesawat udara atau menyebabkan kerusakan pesawat udara yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan. Seandainya pesawat udara ini hancur atu meledak di udara, tentu akibatnya fatal bagi penumpang. Begitu pula yang terjadi seandainya kerusakan pesawat udara dalam penerbangan terjadi, hal ini dapat beresiko membuat jatuhnya pesawat udara. Unsur teror atau takut tergambar dengan baik pada unsure membuatnya tidak dapat terbang dan membahayakan keamanan dalam penerbangan, dengan alur penjelasan dan logika seperti pada sebelumnya, nomor m. 108 Sebagai perbandingan, Rancangan Kitab Undang-undnag Hukum Pidana tahun 2005 juga memiliki ketentuan yang sama-sama dipengaruhi oleh Pasal 479m KUHP yakni Pasal 260 dan dimasukkan pula ke dalam paragraph mengenai terorisme dalam penerbangan. Kesimpulannya, ketentuan ini sesuai dengan karakteristik tindak pidana terorisme. 109 o. Butir o : ‘’melakukan secara bersama-sama 2 dua orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n.’’ Secara umum, dapat dilihat secara sepintas bahwa ini adalah delik dikualifisir diperberat bagi delik-delik pada ketentuan butir l, butir m, dan butir n, karena ada unsure yang ditambah dan ketentuan pada butir o ini mengacu pada ketentuan ketiga butir tersebut. Penyesuaian unsur-unsur dalam ketentuan butir o ini dnegan ketiga unsur tindak pidana terorisme tidak perlu dilihat lagi, karena ketetuan dalam butir o ini mengacu pada ketentuan pada butir l, m, dan n. Sehingga dapat disimpulkan ketentuan butir o ini sudah sesuai dengan unsure tindak pidan terorisme. 110 109 Sebagai perbandingan, Rancangan Kitab Undang-undnag Hukum Pidana tahun 2005 juga memiliki ketentuan yang sama-sama dipengaruhi oleh Pasal 479n KUHP yakni Pasal 261 dan dimasukkan pula ke dalam paragraph mengenai terorisme dalam penerbangan. 110 Namun, delik dikualifisir pada ketentuan butir o ini terkesan mubazir, oleh sebab ancaman hukumannya yang tetap sama dengan ketentuan yang ada pada Pasal 8 Undang-undang TPTPT ini, namun dengan unsur-unsur tambahan, yang praktis, pembuktiannya akan makin lama dan makin sulit di persidangan, seandainya ketentuan ini yanga kan dipakai. Dapat dibandigkan dengan ketentuan asalnya, yakni Pasal 479o KUHP, disebutkan bahwa ancaman pidananya adalh pidana seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 tahun, sehingga lebih berat dibandingkan ancaman pidana pada pasal-pasal 479l, 479m, dan 479n. Pasal 479l, 479m, dan pasal 479n KUHP, yang notabene adalah asal ketentuan butir l,m, dan n Pasal 8 Undang- undang TPTPT, yang ancaman pidana ketiga ketentuan ini adalah pidana penjara selama-lamanya 15 Tahun. Juga sebagai perbandingan, Rancangan Kitab Undang-undnag Hukum Pidana tahun 2005 juga memiliki ketentuan yang sama-sama dipengaruhi oleh Pasal 479o KUHP yakni Pasal 262 dan dimasukkan pula ke dalam paragraph p. Butir p : ‘’Memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dank arena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan.’’ Menurut penjelasan Pasal 479p KUHP, pasal-pasal ketentuan inii, pengaturan pasal ini berhubungan dengan : 111 q. Butir q: ‘’…tindakan yang sering terjadi seperti pemberitahuan adanya ancaman bom lewat telepon atau alat komunikasi lainnya.’’ Unsur kesengajaan dalam ketentuan butir p ini tergambar pada unsur memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu. Pada analisis dengan unsure tindak pidana yang dapat membahayakan jiwa, unsure ini ada ketika dikaitkan dengan unsur ketentuan ini yakni membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan. Unsur teror tergambar dengan baik pada unsur membahayakan keamanan penerbangan, dan penjelasan dan alur logikanya sama seperti pada analisis atau unsure yang sama pada nomor m di atas. Kesimpulannya, ketentuan ini sesuai dengan karakteristik tindak pidana terorisme ‘’Di dalam pesawa udara, melakaukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan.’’ mengenai terorisme dalam penerbangan. Namun dalam pasal yang mengatur delik dikualifisir bagi Pasal 259 hingga pasal 261 ini, ancaman hukumnya diperberat. 111 Penjelasan Pasal 479p KUHP. Lihat Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976, Loc. Cit. Menurut penjelasan Pasal 479 q KUHP- pasal asal ketentuan butir q ini, definisi perbuatan yang dapat membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan adalah : 112 Seperti halnya dalam pembahasan sebelumnya, apabila pintu dibuka secara paksa saat pesawat sedang terbang tinggi. Dapat dipastikan, bahwa kabin pesawat udara tersebut sedang mengalami kompresi kehilangan tekanan udara, yang menyebabkan pesawat udara kehilangan kestabilan dan kendali, penumpang atau awak yang tidak mengikat dirinya dengan baik di kursi, dapat tersedot keluar kabin, dan panic serta takut susasana teror menjadi menyebar ke seluruh penumpang. ‘’…perbuatan yang nyata-nyata membahayakan keamanan penerbangan seperti membuaka pintu darurat dan pintu utama, merusak alat-alat pelampung atau alat penyelamat lainnya.’’ Unsur ‘’kesengajaan’’ terdapata pada unsur ‘’melakukan perbuatan yang dapat membahayakan…’’. Sedangkan unsur ‘’tindak pidana yang membahayakan jiwa’’ terdapat pada unsur membahayakan keselamatan pada pesawat udara dalam penerbangan ini, yang bila dilihat pada penjelasan Pasal 479q KUHP, tergambar dengan baik seperti ‘’membuka pintu darurat ataupun merusak alat-alat pelampung. Seandainya pintu darurat atau utama tiba-tiba dipaksa dibuka pada saat pesawat udara mengudara, maka tekanan udara dalam kabin menurun, orang- orang di dalamnya dapat tersedot keluar jika tidak memakai sabuk pengaman, dan pesawat udara kehilangan kembali, ini jelas berbahaya. Unsur teror sebenarnya terlah tergambar dengan baik pula pada unsure membahayakan keselamatan dalam pesawat udara dalam penerbangan. 112 Ibid. Bahkan, yang lebih fatal lagi ialah, saat pilot tidak dapat menguasai keadaan pesawat udaranya, dan alat transportasi ini bisa kehilangan gaya angkat dan menghujam ke darat. Ketentuan ini sesuai dnegan karakteristik tindak pidan terorisme r. Butir q: ‘’Di dalam pesawat udara, melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan.’’ Di dalam penjelasan Pasal 479r, asal dalam ketentuan r ini disebutkan bahwa : ‘’…perbuatan yang nyata-nyata bertentangan dengan ketertiban,d an tata tertib dalam pesawat udara adalah dengan sengaja mabuk-mabukan, membuat onar dan kegaduha, lain sebagainya.’’ Dapat dilihat bahwa ketentuan ini sebenarnya dipergunakan untuk menindak pelanggar-pelanggar ringan di dalam pesawat yang biasanya dilakukan oleh penumpang. Unsur kesengajaan tergambar dengan baik pada unsure melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib. Jadi unsur willens dalam kesengajaan ini adalah melanggar ketertiban dan tatatertib sementara unsure wettens-nya adalah menimbulkan kegaduhan atau ketidaktertiban. Jadi, tidak ada unsure kesengajaan membuat teror dalam rumusan delik pada ketentuan ini. Unsur tindak pidana yang dapat membahayakan jiwa yang diartikan sebagai membuat orang lain terluka mungkin dapat terlihat, apabila perbuatan melanggar ketertiban dan tata tertib itu adalah membuat kekacauan atau apabila perbuatan melanggar ketertiban menyebabkan perkelahian di dalam pesawat udara, tetapi menjadi tidak terlihat manakala tindakan melanggar ketertiban dan tata tertib ini adalah mabuk-mabukan contohnya. Sehingga unsur tindakan yang membahayakan jiwa di sini menjadi relatif. Unsur teror ini tidak ada dalam unsur ini. Pelanggaran-pelanggaran ketertiban dan tata tertib seperti ini hanya akan membuat penumpang dan awakmenjadi terganggu, tidak sampai pada tingkat membuat teror. BPHN dalam opininya akan ketentuan r ini menyatakan bahwa : 113 Kesimpulan BPHN ialah, bahwa ketentuan ini tidak sesuai dengan karakteristik tindak pidana terorisme. ‘’Seseorang yang mengganggu ketertiban pada penerbangan berdasarkan Pasal 8 r juga tidak boleh diperlakuakn seperti teroris.’’ 114 Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ketentuan-ketentuan pada Pasal 8 Undang-undang TPTPT ni secara umum sudah terdapat kesesuaian dengan unsure-unsur pembentuk tindak pidana terorisme. Tetapi, beberapa ketidaksesuaian ditemukan pada beberapa ketentuan, yakni butir d, g, h, dan r. Butir-butir ini dalam unsurnya tidak memperlihatkan kesesuaian dengan unsur pembentuk tindak pidan terorisme. Lalu butiro yang walaupun tidak memiliki permasalahan dengan unsur- unsurnya, karena mencantumkan delik dikualifisir atas butir l, m, dan n, namun ketentuan ini terkesan mubazir karena deliknya yang dikualifisir namun ancaman hukumannya tetap sama seperti delik yang tidak dikualifisir. 113 BPHN, Op. Cit., hal. 18. 114 Ibid., hal. 68. Sebagai perbandingan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2005 juga memiliki ketentuan yang sama-sama dipengaruhi oleh Pasal 479r KUHP yakni Pasal 729 yang tidak dimasukkan pula ke dalam paragraph mengenai terorisme dalam penerbangan, melainkan ke dalam tindak pidana biasa dalam penerbangan pada Bab XXXIV.

BAB IV PRAKTEKNYA PENERAPAN KETENTUAN HUKUM UNDANG-