Posisi Kasus PRAKTEKNYA PENERAPAN KETENTUAN HUKUM UNDANG-

BAB IV PRAKTEKNYA PENERAPAN KETENTUAN HUKUM UNDANG-

UNDANG NO.15 TAHUN 2003 DALAM PERISTIWA KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME CONTOH KASUS PUTUSAN PERKARA PILOT MARWOTO NO. 348 PID. B2008PN SLMN

A. Posisi Kasus

Pada tanggal 7 Maret 2007, pesawat Boeing 737 -497 registrasi PK-GZC dioperasikan oleh Garuda Indonesia dengan IFR Instrument Flight Rules, dalam penerbangan berjadwal, dengan flight number GA200 dari Bandara Soekarno- Hatta, Jakarta , ke Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta . Pesawat tersebut diawaki oleh dua pilot dan lima awak kabin, dan membawa 133 penumpang . Sebagian penumpang adalah tokoh-tokoh masyarakat. Diantaranya adalah Ketua Muhammadiyah Dien Syamsuddin, Kriminolog Adrianus Meliala, juru bicara Kedutaan Besar Australia Elizabeth O’Neill dan mantan Rektor Universitas Gadjah Mada UGM Prof Dr Koesnadi Harjosoemantri. Pada penerbangan tersebut Pilot in Command PIC berfungsi sebagai pilot yang menerbangkan pesawat pilot flying, dan copilot berfungsi sebagai pilot yang membantu supportmonitoring pilot. PIC berniat akan melakukan pendaratan dengan fasilitas ILS Instrument Landing System di landas pacu 09 Yogyakarta. Hal ini telah dikomunikasikan kepada copilot. Menara kontrol Yogya approach mengijinkan pesawat untuk mendarat secara visual , asalkan awak pesawat melapor bila di long final telah melihat landas pacu. Walaupun awak pesawat telah menerima ijin pendaratan visual visual approach clearance, namun mereka melanjutkan approach dengan 59 ILS. Hal tersebut tidak dilaporkan kepada menara kontrol. Proses descent dan approach dilakukan dalam keadaan Visual Meteorological Condition VMC. Pada jam 06:55:33 WIB pada saat berada 10.1 mil dari landas pacu, ketinggian pesawat 1.427 kaki di atas initial fix 2,500 kaki yang tercantum pada approach chart, dan kecepatan pesawat airspeed saat itu 283 knots. PIC menurunkan pesawat secara tajam dalam usaha untuk mencapai landas pacu, namun cara ini justru menaikkan kecepatan pesawat. Karena kecepatan pesawat terbang melampaui kecepatan operasi dengan wing flaps, maka copilot memilih untuk tidak menurunkan flaps sebagaimana yang diperintahkan oleh PIC. Selama proses approach terdengar peringatan alert dan perintah warning dari GPWS sebanyak 15 kali, dan copilot minta PIC untuk go around . PIC melanjutkan approach dengan flaps 5 derajat, dan pesawat mencapai glideslope dekat ujung landas pacu 09. Flaps 5 derajat bukan merupakan konfigurasi pendaratan. Pesawat melewati ujung landas pacu dengan ketinggian 89 kaki di atas landas pacu dengan kecepatan 232 knots, 98 knots lebih cepat daripada kecepatan pendaratan landing speed yang ditentukan untuk flaps 40 derajat. Arah angin dari timur laut dengan kecepatan 9 knots. Kecepatan pesawat relatif terhadap daratan ground speed pada saat itu adalah 235 knots. Pesawat menyentuh landas pacu touch down dengan kecepatan 221 knots, yaitu 87 knots lebih cepat daripada kecepatan pendaratan landing speed yang seharusnya untuk posisi flap 40 derajat. Co-pilot Gagam Saman Rahmana ketika itu telah menyadari, telah terjadi kesalahan prosedur pendaratan. Ia berteriak-teriak, “Go round, Captain Go round, Captain” Maksud Gagam, ia meminta captain pilot untuk terbang kembali dan mengulangi pendaratan. Saran co-pilot tetap tidak diindahkan. Pilot kembali memaksa pesawat untuk mendarat. Pesawat semakin tidak terkontrol karena hidrolik pesawat sudah bocor. Pesawat yang terpental meninggalkan landasan dengan kecepatannya di atas 200 knot. Tak hanya Gagam, sistem pesawat pun tak kalah meraung. “Dalam posisi seperti ini, komputer di pesawat akan teriak ‘Too low…flaps’ terlalu rendah, buka sirip pesawat. Jika didiamkan, maka suaranya akan lebih kencang ‘Whoop…whoop…pull up’ naik lagi. Tetapi hal itu diacuhkan oleh pilot”. Hal terburuk pun terjadi. Ketika mendarat, burung besi itu menukik kencang dengan roda depan yang pertama kali menghunus landasan. Akibatnya pesawat mental ke atas dan sekali lagi pilotnya menyerukan kepada pilot “Go round, Captain” Pagar berduri yang menjadi pembatas akhir landasan dilompati pesawat ini, tanpa ada bekas bahwa pagar roboh. Akhirnya pesawat ini berhenti untuk terakhir kalinya. Kepulan asap hitam memenuhi Bandara Adi Sucipto, tujuan akhir si burung raksasa. Api berkobar melahap bagian ekornya. Dalam kabin pesawat, gelap gulita menyergap. Lampu emergency tidak menyala. Hanya kepala pramugari dan pramugara yang melakukan penyelamatan terhadap penumpang hingga akhirnya dia sendiri meninggal dunia. Co-pilot Gagam Saman Rahmana juga sudah keluar dari lambung pesawan naas itu. Dia membantu evakuasi dari luar pesawat tanpa alat evakuasi yang memadai. Penumpang berloncatan bagai ikan yang diangkat dari kolam dan berlomba mencari air. Dengan ketinggian kabin pesawat dua meter dari tanah, semua berusaha menyelamatkan diri. Para manula menjadi martir, kondisi fisik mereka tidak memungkinkan untuk melakukan lompatan penyelamatan diri. Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada UGM Prof Dr Koesnadi Harjosoemantri yang berusia 80 tahun, adalah salah satunya. Ia akhirnya menghembuskan napas terakhir dalam pesawat yang membawanya terbang pada Sang Pemilik Jagad. Bersama Profesor Koesnadi, 21 orang lainnya juga tewas, termasuk juru bicara Kedutaan Besar Australia Elizabeth O’Neill. Mobil Pemadam Kebakaran dan Rescue Bandara Yogyakarta tidak dapat mencapai lokasi kecelakaan dan sebagian mobil pemadam kebakaran tidak memiliki bahan pemadam api yang cocok. Kelambatan dalam pemadaman, dan kekurangan bahan pemadam api yang cocok mengurangi efektifitas pertolongan terhadap korban. Airport Emergency Plan dan pelaksanaannya kurang efektif. Pesawat meluncur melewati ujung landas pacu departure runway 09 Yogyakarta, di sebelah kanan dari sumbu landasan , dengan kecepatan 110 knots. Pesawat melintasimemotong jalan, dan menabrak tanggul sebelum berhenti di sawah, 252 meter dari ujung landas pacu 27 ujung departure dari runway 09. Pesawat hancur akibat tabrakan dan api yang timbul dari kebocoran bahan bakar pasca tabrakan. Dalam kejadian ini 119 orang selamat. Seorang awak kabin dan 20 penumpang meninggal dunia. Seorang awak kabin dan 11 penumpang luka berat. Pada saat approach dan mendarat, pesawat diterbangkan dengan kecepatan yang berlebihan dan sudut terbang yang tajam steep flight path angle. Kondisi ini merupakan approach tidak stabil unstabilized approach. PIC tidak mengikuti prosedur perusahaan yang menyatakan bahwa bila approach tidak stabil penerbang harus membatalkan pendaratan dan melakukan go around. Perhatian penerbang terpaku fixated or channelized pada usaha untuk mendaratkan pesawat di landas pacu. Dia mengabaikan peringatan dan perintah dari GPWS, dia juga mengabaikan teriakan copilot untuk melakukan go around. Penyelidikan telah menentukan bahwa awak pesawat tidak menerapkan prosedur terbang yang menjamin keselamatan operasi. Copilot tidak melaksanakan prosedur perusahaan untuk mengambil alih kendali pesawat dari PIC pada saat melihat PIC berkali-kali mengabaikan peringatan dan perintah dari GPWS. Catatan Garuda Simulator Pilot Proficiency Check tidak menunjukkan bukti dilaksanakannya pelatihan pada simulator untuk melakukan tindakan dan reaksi penting vital actions and responses yang harus dilakukan bila ada peringatan dan perintah GPWS atau EGPWS, seperti: “TOO LOW TERRAIN” dan “WHOOP, WHOOP, PULL UP”. Dalam Basic Operation Manual Garuda tercantum instruksi kepada copilot untuk mengambil alih kemudi pesawat dari pilot PIC, dan melakukan go around, bilamana terjadi kondisi yang tidak aman. atatan-catatan yang ada tidak menunjukkan bahwa copilot telah dilatih dan di-check pada simulator untuk melakukan tindakan dan respon penting vital actions and responses dalam menghadapi kondisi yang membahayakan keselamatan operasi penerbangan. Pemeriksaanpengawasan operasi penerbangan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara terhadapGaruda tidak berhasil mengidentifikasi kekurangan dalam aspek keselamatan tersebut. Laporan penyelidikan ini menyampaikan bahwa penyimpangan terhadap pelaksanaan yang direkomendasikan recommended practice dan prosedur standar operasi Standard Operating ProceduresSOP merupakan ancaman potensial potential hazard dan meningkatkan risiko kecelakaan khususnya pada saat approach dan mendarat. Laporan ini juga mengungkapkan kurangnya koordinasi diantara awak pesawat sebagai satu tim. Seharusnya copilot juga bertanggung jawab atas keselamatan penerbangan dan harus tegas bertindak mencegah terjadinya penyimpangan terhadap pelaksanaan prosedur SOP. KNKT menyampaikan berbagai rekomendasi untuk meningkatkan keselamatan penerbangan perusahaan penerbangan Indonesia . Rekomendasi tersebut ditujukan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Operator Bandara, perusahaan penerbangan dan perusahaan perawatan pesawat . Rekomendasi-rekomendasi tersebut meliputi prosedur operasi penerbangan, termasuk pelatihan dan pemeriksaannya serta pengawasan keselamatan penerbangan oleh pemerintah regulator, berfungsinya alat perekam penerbangan, airport emergency plan berikut peralatan bandara. Angkasa Pura I telah melakukan beberapa tindakan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan dibidang keselamatan penerbangan yang menyangkut kesiapan dalam penanggulangan keadaan darurat . Tindakan perbaikan ini berkaitan pula dengan aspek pelayanan dan peralatan. Setelah terjadi kecelakaan, pihak Angkasa Pura I telah membuat jalanjalur dari ujung landasan ke lokasi kecelakaan di luar landasan. Pada tanggal 2 April 2007, Garuda menerbitkan pengumuman kepada para penerbang yang menegaskan bahwa penerbang pembantu pilot monitoring harus mengambil alih kemudi pesawat dan melakukan go around bilamana terjadi approach yang tidak stabil unstabilised approach. Dalam pengumuman tersebut dinyatakan bahwa perusahaan tidak akan menghukum pilot yang melakukan go around untuk mengatasi kondisi approach yang tidak aman unstabilized approach. Tidak lama berselang setelah kejadian tersebut, sekitar bulan November 2007 Kepolisian RI Polri telah menetapkan Marwoto Komar, pilot pesawat Garuda Indonesia Boeing 737-400, sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan pesawat di Yogyakarta, 7 Maret 2007. Sedangkan co-pilot Gagam Saman Rahman hingga kini masih terus menjalani penyidikan oleh Polda DIY. Kasus jatuhnya pesawat Garuda GA 200 di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta memasuki babak baru. Tersangka kasus tersebut, pilot Marwoto Komar, disidangkan pada Kamis 24 Juli 2008 di Pengadilan Negeri PN Sleman, Yogyakarta. Sebelumnya Berkas tersangka dan barang bukti kasus tersebut telah dilimpahkan Kejaksaan Tinggi Kejati DIY ke PN Sleman pada tanggal 15 Juli 2008. Penyerahan berkas dengan nomor register perkara nomor 348Pid.B2008PN-SLMN sudah dilengkapi satu kardus barang bukti yang disegel. Barang bukti sebanyak lebih dari 25 item itu di antaranya berupa serpihan-serpihan badan pesawat saat jatuh pada bulan Maret 2007. PN Sleman juga sudah membentuk majelis hakim untuk menangani kasus tersebut. Majelis hakim itu diketuai Herry Swantoro SH dengan 4 hakim anggota, yakni Sri Andini SH, Muslim SH, Syamsul Edi SH dan Muhammad Nur SH. Bertindak selaku Jaksa Penuntut Umum adalah jaksa dari Kejati DIY dan Kejaksaan Negeri kejari Sleman. Mereka diaantaranya Jamin Susanto SH dan Joko Purwanto SH. Sampai pada masa awal dimulainya sidang pertama dengan agenda pembacaan dakwaan terhadap Pilot Kapten Marwoto Komar, Terdakwa Marwoto tidak ditahan. Dalam persidangan dia didampingi kuasa hukumnya Muchtar Zuhdy SH dan Satriawan Guntur SH. Keduanya berasal dari kantor pengacara Assegaf Law Firm yang dipimpin M. Assegaf SH dan Kamal Firdaus SH. Jaksa Penuntut Umum mendakwa serta menuntut Marwoto dengan hukuman 4 tahun penjara. Marwoto dinilai lalai sehingga menyebabkan pesawat Garuda GA 200 mengalami kecelakaan di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Marwoto dianggap melanggar pasal 479 g huruf b dan huruf a KUHP. Jaksa penuntut hukum Mudim Aristo SH, dalam persidangan di PN Sleman juga meminta Marwoto dibebani membayar biaya perkara Rp 2.500, dan ia segera ditahan. Sidang kasus ini terlah berlangsung sejak 24 Juli 2008 dengan mendengar keterangan dari 27 saksi dan 7 saksi ahli. Dengan penggunaan pasal tersebut JPU menyamakan pilot Marwoto Komar sebagai seorang teroris yang merencanakan kejahatan dengan menggunakan pesawat yang mengakibatkan mati dan lukanya orang lain. Ini berarti menyamakan kasus kecelakaan ini dengan kasus teroris yang menabrakkan pesawat ke menara WTC di Amerika Serikat 11 September 2001 lalu. Selain itu, dengan digunakan pasal 479F huruf b KUHP, pasal 479F huruf a, kedua pasal 479G huruf b dan huruf a serta ketiga pasal 359 KUHP menunjukan bahwa JPU tendensius dan ambisius untuk mendudukkan pilot sebagai terdakwa. Kalau ditilik secara seksama, seharusnya JPU menggunakan pasal 60 dalam UU Penerbangan No.151992 juncto UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan menggunakan asas ’lex spesialis’ dan bukan dengan KUHP karena saat kecelakaan pesawat UU tersebut sudah ada.

B. Analisis Perkara Pilot Marwoto Perkara No. 348 Pid.B2008PN Slmn berdasarkan UU No 15 Tahun 2003