Tinjauan Yuridis Pengikatan Dan Pendaftaran Jaminan Kapal Laut (Studi Di Kotamedan-Belawan)

(1)

TESIS

Oleh

MISMIMI

097011018/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

MISMIMI

097011018/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Sanwani Nasution, SH)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Notaris Syafnil Gani, SH. M.Hum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Sanwani Nasution, SH

Anggota : 1.Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

2. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum


(5)

Nama : MISMIMI

Nim : 097011018

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS PENGIKATAN DAN PENDAFTARAN JAMINAN KAPAL LAUT (STUDI DIKOTA MEDAN-BELAWAN)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :MISMIMI


(6)

oleh lembaga keuangan disertai dengan jaminan, salah satu jaminan tersebut adalah kapal laut.

Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini, yakni: bagaimana pengaturan tentang kapal laut yang dijadikan objek jaminan, bagaimana pelaksanaan pengikatan dan pendaftaran jaminan kapal laut, dan bagaimana perlindungan hukum terhadap debitur dan kreditur dalam kaitannya dengan jaminan kapal laut.

Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut, maka penelitian ini dilakukan bersifat deskriftif analistis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta yang terjadi dilapangan serta menganalisa sesuai dengan permasalahan yang ada dalam penelitian. Penelitian ini untuk menganalisa kaidah hukum tentang perundang-undangan jaminan fidusia dan hipotik serta perlindungan hukum kepada kreditor dan debitor. Jenis penelitian yang digunakan adalah metode yuridis empiris yaitu mengungkap peraturan yang berkaitan dengan teori-teori hukum dan pelaksanaannya didalam masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian pelaksanaan penelitian.

Pengaturan kapal laut yang terdapat diperaturan perundang-undangan dapat dijadikan jaminan fidusia dan hipotik. Pada kenyataannya dalam pelaksaannya di Propinsi Sumatera Utara khususnya Kota Medan pembebanan kapal laut sebagai benda bergerak belum pernah terjadi. Pengikatan barang yang akan dijadikan jaminan diawali dengan pengikatan didalam perjanjian kredit. Perjanjian kredit yang dilakukan oleh bank untuk hipotek kapal laut dilakukan secara notariil atau dibawahtangan. Pendaftaran hipotik kapal laut yang dijaminkan kepada syahbandar tempat pendaftaran kapal laut yang dijadikan jaminan tersebut. Setelah dicatat pada Daftar Induk Kapal yang bersangkutan, maka grosse akte hipotek bersama dengan grosse akta pendaftaran/baliknama kapal diserahkan kepada kreditur untuk disimpan. Perlindungan hukum terhadap debitur dan kreditur yang didapati dalam peraturan perundang-undangan dan pada prakteknya. Berdasarkan dari kesimpulan, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: Kapal laut nelayan yang dibawah 7 GT secara ekonomis masih memiliki nilai, dan menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan jaminan fidusia. Sehingga diharapkan peran aktif dari semua jajaran untuk lebih memberikan sosialisasi bahwa kapal laut dapat dijadikan jaminan fidusia. Tempat pendaftaran kapal yang akan menentukan tempat pendaftaran pembebanan hipotik kapal laut diseluruh Indonesia sudah seharusnya ditambah jumlahnya, karena tidak sepadan dengan jumlah pelabuhan di Indonesia. Pertanggungan seharusnya dinyatakan secara rinci didalam perjanjian kredit. Dan kepada para pihak disarankan untuk melaksanakan perjanjian dengan etikad baik.

Kata Kunci: Jaminan Kapal Laut, Pengikatan Jaminan Kapal Laut, Pendaftaran Jaminan Kapal Laut


(7)

cabotage principle. The implementation of cabotage principle of course needs big capital. The capital is provided by financial institution with collateral, one of the collaterals is ship.

The problems discussed in this study were how the use of ship as collateral is regulated, how the binding and registration of ship assurance is implemented and what legal protection can be given to the debtor and creditor in relation to a ship as the collateral.

The purpose of this descriptive analytical study was to describe all existing symptoms and facts and to empirically and juridically analyze the legal norms of the law on fiduciary and mortgages and legal protection for the debtor and creditor in accordance with the existing research questions.

The use of ship as the collateral of fiduciary and mortgages is regulated in the regulation of legislation. In its implementation in the Province of Sumatera Utara, especially in Medan, the imposition of a ship as a movable good has never happened. The binding of the goods will be preceded by the binding of collateral in credit agreement. Credit agreement done by the bank for the ship mortgage is made before the notary or underhanded. The registration of the ship mortgage is used as the collateral to the harbor master of the place where the ship used as the collateral was registered. After the ship concerned is recorded in the Ship Master List, the grosse mortgage agreement and the grosse ship registration/transfer certificate are submitted to the creditor to keep. Legal protection for the debtor and creditor are found in the regulation of legislation and its practice. Based on the conclusion, it is suggested that Fishing ships under 7 GT still have their economic value, and according to he regulation of legislation, they can still be used as fiduciary collateral. Therefore, the active role of all parties is needed to more socialize the issue that ship can be used as fiduciary collateral. The number of place of ship registration which will determine the place to register the imposition of ship mortgage in Indonesia should be increased, because it is not equivalent with the existing number of seaports in Indonesia. Responsibility should be described in detail in credit agreement and all parties are suggested to implement the agreement in good faith.


(8)

Alhamdulillah dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat dan inayah-Nya, tesis yang berjudul“TINJAUAN YURIDIS PENGIKATAN DAN PENDAFTARAN JAMINAN KAPAL LAUT (Studi Di Kota Medan-Belawan)”

ini telah selesai sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan, arahan dan bantuan, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh Dosen Pembimbing yaitu kepada Bapak Prof. Sanwani Nasution, SH, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum yang telah membimbing demi selesainya tesis ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Komisi Penguji Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, M.Hum, CN atas saran dan masukkannya yang sangat membangun terhadap penulisan tesis ini.

Selanjutnya penulis ucapkan terimakasih atas semua bimbingan, bantuan, dan dorongan secara khusus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas fasilitas yang diberikan kepada kami


(9)

Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua, Sekretaris dan Staf Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu kepada:

a. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. b. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris

Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. c. Seluruh Staf Biro Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

4. Bapak dan Ibu Guru besar serta Staf Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis.

5. Seluruh pihak yang telah memberikan keterangan dan informasi selama penulis melakukan penelitian di Kota Medan.

6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Alm. Darmizen, dan Ibunda Rasmiati yang telah mencurahkan segenap doa, perhatian, cinta kasih, kesabaran dan dukungan, serta orang yang paling penulis sayangi.


(10)

8. Adinda Irmayusi, adinda Ajman Satibera, adinda Aldem Depraja Putra, adinda Syahrazak Khunaifah, serta ponakan-ponakan tercinta, yang juga mencurahkan segenap doa, cinta kasih, kesabaran dan dukungan.

9. Seluruh teman-teman khususnya Kelas C angkatan 2009 atas bantuan dan perhatiaannya.

Akhirnya atas segala bantuan semua pihak, semoga mendapat balasan dari Allah SWT. Besar harapan penulis, tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amiin.

Medan, Juni 2012 Penulis,


(11)

Nama : Mismimi

Tempat/Tanggal Lahir : Bukit Tinggi/09 Pebruari 1975

Alamat : Komplek Tasbi I, Blok VV No.110

Jenis Kelamin : Wanita

Umur : 37 Tahun

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Nama Suami : Stephen James Stewart

Anak Kandung : Kallen James Stewart

II. PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : Negeri II, Sijunjung (1981-1987) Sekolah Menengah Pertama: Negeri I, Sijunjung (1987-1990)

Sekolah Menengah Atas : Negeri I, Muaro Sijunjung (1990-1993) Universitas : S1 Fakultas Hukum Universitas Andalas

(1994-2000)

Universitas : S2 Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2009-2012)


(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latarbelakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 12

1. Kerangka Teori ... 12

2. Konsepsi ... 22

G. Metode Penelitian ... 26

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 26

2. Lokasi Penelitian ... 26

3. Metode Pengumpulan Data... 27

4. Sumber Data ... 28

5. Analisa Data ... 28

BAB II PENGATURAN TENTANG KAPAL LAUT YANG DIJADIKAN JAMINAN ... 29

A. Tinjauan Umum Tentang Jaminan Kapal Laut ... 29

B. Pengaturan Kapal Laut yang Dapat Dijadikan Jaminan . 49 BAB III PELAKSANAAN PENGIKATAN DAN PENDAFTARAN JAMINAN KAPAL LAUT ... 69


(13)

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITUR DAN KREDITUR DALAM KAITANNYA DENGAN

JAMINAN KAPAL LAUT ... 95

A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum ... 95

B. Perlindungan Hukum terhadap Debitur dan Kreditur ... 100

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 123

A. Kesimpulan ... 123

B. Saran ... 125


(14)

oleh lembaga keuangan disertai dengan jaminan, salah satu jaminan tersebut adalah kapal laut.

Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini, yakni: bagaimana pengaturan tentang kapal laut yang dijadikan objek jaminan, bagaimana pelaksanaan pengikatan dan pendaftaran jaminan kapal laut, dan bagaimana perlindungan hukum terhadap debitur dan kreditur dalam kaitannya dengan jaminan kapal laut.

Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut, maka penelitian ini dilakukan bersifat deskriftif analistis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta yang terjadi dilapangan serta menganalisa sesuai dengan permasalahan yang ada dalam penelitian. Penelitian ini untuk menganalisa kaidah hukum tentang perundang-undangan jaminan fidusia dan hipotik serta perlindungan hukum kepada kreditor dan debitor. Jenis penelitian yang digunakan adalah metode yuridis empiris yaitu mengungkap peraturan yang berkaitan dengan teori-teori hukum dan pelaksanaannya didalam masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian pelaksanaan penelitian.

Pengaturan kapal laut yang terdapat diperaturan perundang-undangan dapat dijadikan jaminan fidusia dan hipotik. Pada kenyataannya dalam pelaksaannya di Propinsi Sumatera Utara khususnya Kota Medan pembebanan kapal laut sebagai benda bergerak belum pernah terjadi. Pengikatan barang yang akan dijadikan jaminan diawali dengan pengikatan didalam perjanjian kredit. Perjanjian kredit yang dilakukan oleh bank untuk hipotek kapal laut dilakukan secara notariil atau dibawahtangan. Pendaftaran hipotik kapal laut yang dijaminkan kepada syahbandar tempat pendaftaran kapal laut yang dijadikan jaminan tersebut. Setelah dicatat pada Daftar Induk Kapal yang bersangkutan, maka grosse akte hipotek bersama dengan grosse akta pendaftaran/baliknama kapal diserahkan kepada kreditur untuk disimpan. Perlindungan hukum terhadap debitur dan kreditur yang didapati dalam peraturan perundang-undangan dan pada prakteknya. Berdasarkan dari kesimpulan, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: Kapal laut nelayan yang dibawah 7 GT secara ekonomis masih memiliki nilai, dan menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan jaminan fidusia. Sehingga diharapkan peran aktif dari semua jajaran untuk lebih memberikan sosialisasi bahwa kapal laut dapat dijadikan jaminan fidusia. Tempat pendaftaran kapal yang akan menentukan tempat pendaftaran pembebanan hipotik kapal laut diseluruh Indonesia sudah seharusnya ditambah jumlahnya, karena tidak sepadan dengan jumlah pelabuhan di Indonesia. Pertanggungan seharusnya dinyatakan secara rinci didalam perjanjian kredit. Dan kepada para pihak disarankan untuk melaksanakan perjanjian dengan etikad baik.

Kata Kunci: Jaminan Kapal Laut, Pengikatan Jaminan Kapal Laut, Pendaftaran Jaminan Kapal Laut


(15)

cabotage principle. The implementation of cabotage principle of course needs big capital. The capital is provided by financial institution with collateral, one of the collaterals is ship.

The problems discussed in this study were how the use of ship as collateral is regulated, how the binding and registration of ship assurance is implemented and what legal protection can be given to the debtor and creditor in relation to a ship as the collateral.

The purpose of this descriptive analytical study was to describe all existing symptoms and facts and to empirically and juridically analyze the legal norms of the law on fiduciary and mortgages and legal protection for the debtor and creditor in accordance with the existing research questions.

The use of ship as the collateral of fiduciary and mortgages is regulated in the regulation of legislation. In its implementation in the Province of Sumatera Utara, especially in Medan, the imposition of a ship as a movable good has never happened. The binding of the goods will be preceded by the binding of collateral in credit agreement. Credit agreement done by the bank for the ship mortgage is made before the notary or underhanded. The registration of the ship mortgage is used as the collateral to the harbor master of the place where the ship used as the collateral was registered. After the ship concerned is recorded in the Ship Master List, the grosse mortgage agreement and the grosse ship registration/transfer certificate are submitted to the creditor to keep. Legal protection for the debtor and creditor are found in the regulation of legislation and its practice. Based on the conclusion, it is suggested that Fishing ships under 7 GT still have their economic value, and according to he regulation of legislation, they can still be used as fiduciary collateral. Therefore, the active role of all parties is needed to more socialize the issue that ship can be used as fiduciary collateral. The number of place of ship registration which will determine the place to register the imposition of ship mortgage in Indonesia should be increased, because it is not equivalent with the existing number of seaports in Indonesia. Responsibility should be described in detail in credit agreement and all parties are suggested to implement the agreement in good faith.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latarbelakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak antara benua Asia dan benua Australia serta antara samudera Pasifik dan samudera Hindia. Indonesia memiliki jumlah pulau lebih dari 17.800 pulau, panjang garis pantai lebih dari 81.000 kilometer yang 2/3 (dua per tiga) dari seluruh wilayahnya merupakan perairan. Berdasarkan kondisi geografis tersebut, peranan transportasi laut bagi Indonesia sangat strategis sebagai pemicu perkembangan ekonomi. Transportasi laut menjadi sangat strategis karena berperan dalam menghubungkan satu pulau dengan pulau yang lain sehingga aktivitas perekonomian dapat berjalan lancar.

Presiden Republik Indonesia I, Soekarno pada tahun 1963 di acara peringatan hari maritim, mengatakan, “Bangsa Indonesia akan maju dan dapat bersaing dengan negara-negara lain, jika bangsa ini dapat menguasai lautan”. Kata-kata Bung Karno tersebut tentunya bukanlah sebuah slogan belaka, sebagai negara kepulauan tentunya bangsa ini harus mampu menguasai lautan, karena tidak mungkin bangsa ini dapat bersatu jika penghubung antara pulau tidak dilakukan dengan menguasai lautannya. Keterpurukan pelayaran ini terjadi ketika ada kebijakan dari pemerintah pada tahun 1984 yang mengharuskan semua kapal yang telah berusia 20 tahun harus dimusnahkan dan diganti dengan yang baru. Kebijakan ini pada awalnya memang membawa angin segar bagi pelayaran nasional dimana pemerintah menjanjikan akan


(17)

membantu pengadaan kapal-kapal baru sebagai pengganti kapal yang telah dimusnahkan. Namun kenyataannya pemerintah tidak dapat menepati janjinya. Melihat kondisi yang semakin terpuruk, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran Nasional, yang salah satu butirnya mengatakan pelayaran dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Dengan pernyataan tersebut maka pelayaran Indonesia menggunakan asascabotageatau pemberdayaan pelayaran nasional, dimana untuk pelayaran dalam wilayah pabean Indonesia haruslah menggunakan kapal milik nasional. Namun demikian lagi-lagi undang-undang ini tidak menghasilkan perubahan yang signifikan kepada industri pelayaran nasional. Pada tahun 1994 Menteri Perindustrian dan Perdagangan, yang kala itu dijabat oleh Rini S Suwandi, mengatakan pelayaran nasional tidak mengalami perkembangan yang signifikan karena pelayaran asing menguasai sekitar 95 persen arus pergerakan barang dari Indonesia ke luar negeri.1

Industri pelayaran nasional seakan bangkit dengan dikeluarkannya kebijakan Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Dalam Inpres tersebut diinstruksikan kepada tiga belas kementerian dan seluruh gubernur, bupati, walikota di seluruh Indonesia, untuk menerapkan asas cabotage

secara konsekuen dan merumuskan kebijakan serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenang masing-masing guna memberdayakan industri pelayaran nasional. Dibidang perdagangan, salah satunya

1Warta Bea Cukai, Tahun XXXVIII, Edisi 377, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Jakarta,


(18)

diinstruksikan agar muatan pelayaran antar pelabuhan di dalam negeri dalam jangka waktu sesingkat-singkatnya setelah instruksi Presiden ini berlaku, wajib diangkut dengan kapal berbendera Indonesia dan dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional. Dibidang keuangan, salah satunya diinstruksikan agar menyempurnakan kebijakan perpajakan yang lebih mendukung tumbuh dan berkembangnya industri pelayaran nasional dan industri perkapal, termasuk pemberian insentif kepada pemilik muatan ekspor yang diangkut dengan kapal berbendera Indonesia dan dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional. Dibidang lembaga keuangan, salah satunya diinstruksikan agar mengembangkan proses pendanaan yang lebih mendorong terciptanya pengembangan proses pendanaan yang lebih mendorong terciptanya pengembangan armada nasional.2

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (selanjutnya disebutkan Undang-Undang Pelayaran) dengan jelas asascabotagedipertahankan dan dipertegas, dibandingkan dengan Undang-Undang Pelayaran tahun 1992. Yang dimaksud dengan asas cabotage adalah hak untuk melakukan pengangkutan penumpang, barang dan pos secara komersial dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain di dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Asascabotagemerupakan hak prerogratif Republik Indonesia sebagai Negara berdaulat. Hak tersebut diberikan kepada perusahaan angkutan laut nasional, dan tidak akan diberikan kepada


(19)

perusahaan angkutan asing manapun, kecuali atas pertimbangan untuk kepentingan nasional negara yang bersangkutan.3

Dalam melaksanakan asascabotagetersebut sudah tentu membutuhkan modal yang besar. Pemberian modal dilakukan oleh lembaga keuangan, dan sudah tentu disertai dengan jaminan. Rachmadi Usman dalam bukunya menyimpulkan pengertian hukum jaminan menurut J. Satrio dan Salim HS setelah dihubungkan dengan kesimpulan Seminar Hukum Jaminan tahun 1978, inti dari hukum jaminan adalah ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditur) sebagai akibat pembebanan suatu utang tertentu (kredit) dengan suatu jaminan (benda atau orang tertentu). Dalam hukum jaminan tidak hanya mengatur perlindungan hukum terhadap kreditur sebagai pihak pemberi utang saja, melainkan juga mengatur perlindungan hukum terhadap debitur sebagai pihak penerima utang. Dengan kata lain, hukum jaminan tidak hanya mengatur hak-hak kreditur berkaitan dengan pelunasan utang, juga mengatur hak-hak-hak-hak debitur berkaitan dengan jaminan pelunasan utang tersebut.4

Menurut Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya akan disebut KUH Perdata), semua milik debitur, bergerak atau tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi tanggungan hutang yang dibuatnya. Ketentuan ini sudah merupakan suatu jaminan terhadap pembayaran hutang-hutang

3 H.K. Martono dan Eka Budi Tjahjono, Transportasi di Perairan Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hal. 14-16.


(20)

debitur, tanpa diperjanjikan dan tanpa menunjuk benda khusus dari si debitur.5 Disamping jaminan umum berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata dalam ilmu hukum jaminan dikenal pula jaminan yang bersifat khusus, yaitu jaminan kebendaan yang khusus menentukan/menunjuk atas benda tertentu milik debitur atau milik pihak ketiga. Benda yang dimaksud sebagai jaminan hutang kepada kreditur apabila debitur wanprestasi atas pembayaran hutangnya. Hasil dari penjualan objek jaminan tersebut harus terlebih dahulu (preferens) dibayar kepada kreditur yang bersangkutan untuk melunasi pembayaran hutangnya, sedangkan jika ada sisanya baru dibagi-bagikan kepada kreditur yang lain (kreditur kongkuren).6

Jaminan yang bertujuan untuk pengaman kredit, sehingga realisasi perjanjian kredit terlaksana sesuai dengan kesepakatan. Pemberian jaminan ini akan memberikan kepastian hukum kepada pihak kreditur. Jaminan yang diberikan kepada pihak kreditur dalam hal ini adalah kapal laut.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya akan disebut KUH Dagang), maka kapal Indonesia adalah setiap kapal laut yang telah memenuhi syarat menjadi kapal Indonesia, sehingga menjadi kapal berkebangsaan Indonesia. Syarat-syarat untuk menjadi kapal Indonesia adalah yang berkenaan dengan surat laut dan pas kapal. Kapal yang berukuran minimal 20 m3 (dua puluh meter kubik) isi

5Munir Fuady,Pengantar Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 137. 6Ibid.


(21)

kotor dapat dibukukan dalam suatu register kapal dan atas kapal yang demikian dapat diikatkan dengan hipotik.7

KUH Dagang membedakan kapal laut dalam dua golongan, yaitu kapal laut sebagai kebendaan yang bergerak dan kapal laut sebagai benda yang tidak bergerak. Kapal laut sebagai kebendaan yang bergerak yaitu kapal-kapal yang tidak terdaftar (Pasal 314 KUH Dagang). Kapal laut sebagai kebendaan yang tidak bergerak yaitu kapal laut yang memiliki ukuran sekurang-kurangnya dua puluh meter kubik isi kotor dan didaftarkan di Syahbandar Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan, dan dengan pendaftaran tersebut memiliki kebangsaan sebagai Kapal Indonesia. Kapal laut sebagai kebendaan yang tidak bergerak ini penjaminan yang dapat diletakan diatasnya dalam hanya bentuk hipotek.8Hipotik diatur dalam Buku II KUH Perdata Bab XXI Pasal 1162 sampai dengan 1232.

Jaminan hipotik ini harus dibebani dan didaftarkan. Undang-Undang Pelayaran pada Pasal 60 ayat (2) dinyatakan sebagai berikut: “ Pembebanan hipotek atas kapal dilakukan dengan pembuatan akta hipotek oleh Pejabat Pendaftaran dan Pencatat Balik Nama Kapal ditempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.” Dan hipotik ini didaftarkan pada Kantor Syahbandar.

7

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 261.

8Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,Jaminan Fidusia, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2007,


(22)

Sepanjang tahun 2010 pendaftaran hipotik kapal laut pada Kantor Syahbandar Utama Belawan Medan tercatat 10 hipotik.9

Selain berupa jaminan hipotik kapal laut sebagai kebendaan yang bergerak dapat juga digadaikan atau dapat dijadikan jaminan fidusia. Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata “fides” yang berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan hukum antara debitor (pemberi fidusia) dan kreditor (penerima fidusia) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi utangnya.10Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sering disebut sebagai jaminan hak milik secara kepercayaan, yang keberadaannya didasarkan pada yurisprudensi.

Secara kepercayaan artinya tidak untuk dimiliki. Dalam hal ini ada selisih pendapat diantara para sarjana. Disatu pihak ada yang berpendapat, bahwa kreditor pemegang jaminan fidusia yang dinamakan fiduciairus dengan penyerahan tersebut benar-benar telah menjadi pemilik dari benda jaminan dengan hak-hak sebagai yang dipunyai seorang pemilik, tetapi dilain pihak ada yang berpendapat, bahwa fiduciairus terhadap pihak ketiga berkedudukan sebagai seorang pemilik sedang terhadap pemberi jaminan hanya berkedudukan sebagai seorang pemegang gadai yang tak memegang benda jaminan (bezitloos pandrecht), karena para pihak memang tidak benar-benar bermaksud untuk mengalihkan hak milik atas benda jaminan dan 9Wawancara dengan Bapak Marnala Simanungkalit, Pegawai Pembantu Untuk Pendaftaran

dan Baliknama Kapal, Kantor Syahbandar Utama Belawan Medan, pada tanggal 6 Mei 2011.


(23)

dalam prakteknya para pihak mengadakan kesepakatan yang membatasi hak-hak kreditur sampai sejauh hak seorang pemegang hak jaminan saja.11

Jaminan fidusia ini harus dilakukan pembebanan dan pendaftaran. Sesuai dengan Undang-Undang Fidusia, pembebanan suatu benda atas jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris, sebagaimana yang dinyatakan dalam padal 5 ayat (1): “Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia.” Untuk pendaftarannya dilakukan kepada Dinas Perhubungan.12

Jaminan kapal laut yang telah dibebani dan didaftarkan baik dalam bentuk jaminan fidusia maupun dalam bentuk jaminan hipotik tidak secara pasti telah memberikan jaminan kepada kreditur, mengingat adanya resiko kecelakaan atau hal-hal lain diluar kendali manusia yang mungkin terjadi terhadap kapal yang dijadikan jaminan. Untuk menanggulangi hal tersebut diperlukan asuransi yang diharapkan meminimalisir kerugian yang timbul.

Selain hal-hal diluar kendali manusia tersebut ada hal lain yang mungkin dapat menimbulkan kerugian terhadap kreditur. Mengingat sifat kapal laut yang bergerak dan ada kemungkinan berlayar hingga diluar wilayah hukum perairan Indonesia. Maka pengaturan hipotek kapal laut di dalam KUH Dagang dilengkapi dengan diratifikasi Konvensi International tentang Piutang Maritim dan Mortgage

11

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 176.

12Wawancara dengan Bapak Marnala Simanungkalit, Pegawai Pembantu Untuk Pendaftaran


(24)

1993, khususnya pengaturan tentang perubahan pemilik dan pendaftaran, penyerahan dan subrogasi, pemberitahuan penjualan paksa, dan perubahan bendera sementara. Pengaturan tersebut dibuat untuk melindungi pemegang hak hipotek atas kapal, khususnya yang berlayar antar negara.13

Menurut KUH Perdata musnahya kapal yang menjadi objek hipotik tidak termasuk dalam hal yang menyebabkan hapusnya hipotik. Kemungkinan resiko yang terjadi terhadap kapal yang dijadikan jaminan sangat besar, mengingat sifat dan fungsi dari kapal tersebut. Maka diperlukan pencegahan dan penanggulangan pengurangan resiko kerugian debitor dan kreditur. Jaminan tidak hanya dalam bentuk pelunasan hutang saja, tetapi perlindungan terhadap barang yang dijadikan jaminan juga merupakan hal terpenting.

Perlindungan terhadap objek yang dijaminkan sangat penting karena ada kemungkinan debitur tidak melunasi hutangnya, dan kreditur dapat memintakan eksekusi terhadap barang yang dijaminkan.

Debitur yang tidak melaksanakan perjanjian kredit atau wanprestasi terhadap perjanjian kredit dapat dimintakan eksekusi terhadap kapal laut yang dijadikan jaminan. Berdasarkan peraturan yang berlaku saat ini, eksekusi atas kapal yang menjadi objek hipotik dapat dimintakan bantuan pengadilan karena kekuatan hukum grosse akta adalah sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Permasalahan yang dapat timbul dalam hal kapal yang menjadi objek

13 Ramlan Ginting, Tinjauan Terhadap RUU tentang Hipotek Kapal, Buletin Hukum


(25)

hipotek yang akan dieksekusi tersebut tidak berada didalam wilayah Indonesia. Dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia tidak ada pengaturan mengenai penyitaan benda yang berada di luar wilayah Indonesia, sehingga terhadap pengeksekusian benda yang berada di luar Indonesia belum ada dasar hukumnya.14

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan tentang kapal laut yang dijadikan objek jaminan? 2. Bagaimana pelaksanaan pengikatan dan pendaftaran jaminan kapal laut? 3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap debitur dan kreditur dalam

kaitannya dengan jaminan kapal laut?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan adalah untuk mendapatkan atau mengetahui jawaban dari rumusan masalah, sehingga dapat memberikan penjelasan terhadap rumusan permasalahan. Mengacu pada judul dan rumusan masalah, maka dapat dikemukan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang kapal laut yang dijadikan objek jaminan. 2. Untuk mengetahui pelaksanaan pengikatan dan pendaftaran jaminan kapal laut. 3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap debitor dan kreditor dalam

kaitannya dengan jaminan kapal laut.


(26)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penulisan yang diharapkan dari penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa sumbang saran dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep kajian yang pada gilirannya dapat memberikan masukan pada perkembangan ilmu hukum.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan masukan kepada masyarakat dan bagi para praktisi hukum.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penulusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul: “Tinjauan Yuridis Pengikatan dan Pendaftaran Jaminan Kapal Laut (Studi Di Kota Medan-Belawan)”, belum pernah ada dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dinyatakan asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

Bahwa tercatat pernah diteliti yang hampir sama dengan judul penelitian tesis ini ada dua, yakni:

1. Judul pertama “PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP BARANG JAMINAN HIPOTIK KAPAL LAUT (Studi Kasus Di Jakarta)”, oleh Dewi


(27)

Handayani/017011013/MKn Universitas Sumater Utara. Permasalahan yang diteliti antara lain:

a. Bagaimana proses pemberian jaminan hipotik kapal dalam praktek? b. Mengapa terjadi wanprestasi dalam pemberian jaminan hipotik kapal? c. Bagaimana pelaksanaan eksekusi atas jaminan hipotik kapal?

2. Judul kedua “JAMINAN FIDUSIA ATAS BENDA BERGERAK DAN TIDAK BERGERAK SETELAH BERLAKUNYA UNGANG-UNDANG

NOMOR 42 TAHUN 1999”, oleh Novans Hanafie

Rumngangun/002111033/MKn Universitas Sumatera Utara. Permasalahan yang diteliti antara lain:

a. Bagaimanakah karakter hukum yang sebenarnya dari perjanjian fidusia sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia? b. Benda-benda apa sajakah yang dapat dijadikan obyek jaminan fidusia dan

mengapa terjadinya perubahan obyek fidusia tersebut?

c. Dilihat dari segi sistem hukum jaminan, mengapa pengaturan jaminan fidusia belum sinkron dengan prinsip-prinsip hukum jaminan kebendaan lainnya yang berlaku dalam hukum positif?

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Kelangsungan perkembangan ilmu hukum senantiasa bergantung pada unsur-unsur berikut antara lain metodologi, aktivitas penelitian, imajinasi sosial dan juga


(28)

sangat ditentukan oleh teori.15 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoritis.16 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.17

Penelitian ini menggunakan teori kepastian hukum MR. J. Van Kan, teori sebagai dasar perbandingan atau pegangan teoritis. Agar tercapainya ketertiban dalam masyarakat, maka diusahakanlah kepastian. Kepastian disini diartikan sebagai kepastian hukum dan kepastian oleh karena hukum. Hal ini disebabkan karena pengertian hukum mempunyai dua segi. Segi pertama adalah ada hukum yang pasti bagi peristiwa yang konkret, segi kedua adalah bahwa adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan.18

Menurut ajaran Yuridis-Dogmatis, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya membuat suatu aturan hukum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian. Menurut aliran ini meskipun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat

15Soerjono Soekamto,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 6. 16

M.Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

17

Lexy J. Meleong,Metodologi Penelitian Kualitatif,Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35.


(29)

yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal asalkan kepastian hukum dapat terwujud. Hukum identik dengan kepastian.19

Kepastian hukum tersebut diharapkan dapat terpenuhi dengan adanya pengaturan dalam KUH Perdata, Undang-Undang Fidusia, Undang-Undang Pelayaran dan hal-hal yang mengikat lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 1131 KUH Perdata diletakkan asas umum hak seorang kreditur terhadap debiturnya, dalam mana ditentukan bahwa: ”Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”20 Jaminan seperti itu diberikan kepada setiap kreditur dan karenanya disebut jaminan umum. Setiap kreditur menikmati hak jaminan umum seperti itu.

Pasal 1132 KUH Perdata memberikan pengecualian, yaitu dalam hal seorang kreditur kedudukan yang lebih baik dibanding kreditur lain dalam pelunasan hutangnya. Hak jaminan khusus dan jaminan umum ini tidak memberikan jaminan bahwa tagihannya pasti akan dilunasi, tetapi hanya memberikan kepada kreditur kedudukan yang lebih baik dalam penagihannya, atau lebih terjamin dalam pemenuhan tagihannya.21

Pada dasarnya jenis jaminan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

19

Achmad Ali, Menguak Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal. 83.

20J.satrio,Op Cit,hal. 4. 21Ibid, hal. 10.


(30)

1. Jaminan materiil (kebendaaan), dan 2. Jaminan inmaterial (perorangan)22

Jaminan materiil (kebendaan) adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan.23

Jaminan inmaterial (perorangan) adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu, terhadap harta kekayaan debitor umumnya.24

Jaminan kebendaan dapat dilakukan pembebanan dengan:

1. Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buku II KUH Perdata; 2. Hipotek, yang diatur dalam Bab 21 Buku II KUH Perdata;

3. Credietverband, yang diatur dalam Stb. 1908 Nomor 542 sebagaimana telah diubah dengan Stb. 1937 Nomor 190;

4. Hak tanggungan, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996;

5. Jaminan Fiducia, sebagaimana yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.25

Jaminan perorangan adalah:

22

Salim HS,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, 2008, hal. 112.

23Ibid. 24Ibid. 25Ibid.


(31)

1. Penanggung (brog) adalah orang lain yang dapat ditagih; 2. Tangung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng; 3. Perjanjian garansi.26

Berdasarkan pasal-pasal 1162, 1168, 1171, 1175 dan 1176 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari jaminan hipotik adalah sebagai berikut:

1. Harus ada benda yang dijaminkan. 2. Bendanya adalah benda tidak bergerak.

3. Dilakukan oleh orang yang memang berhak memindahtangankan jaminan. 4. Ada sejumlah uang tertentu dalam perjanjian pokok dan yang ditetapkan

dalam suatu akta.

5. Diberikan dengan suatu akta otentik.

6. Bukan untuk dinikmati atau dimiliki, namun hanya sebagai jaminan pelunasan hutang saja.27

Hipotik mempunyai sifat dari hak kebendaan pada umumnya antara lain: 1. Absolute, yaitu hak yang dapat dipertahankan terhadap tuntutan siapapun. 2. Droit de suite atau zaaksgevolg, artinya hak itu senantiasa mengikuti

bendanya ditangan siapapun benda tersebut berada.

3. Droit de preference yaitu seseorang mempunyai hak untuk didahulukan pemenuhan piutang diantara orang yang berpiutang.28

26

Ibid.

27Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaaan Perdata Hak-Hak yang Memberi Jaminan,

Jilid 2, Indo Hill-Co, Jakarta, 2009, hal. 94-95.


(32)

Disamping itu hipotik mempunyai ciri-ciri khas tersendiri, yaitu:

1. Accessoir, artinya hipotik merupakan perjanjian tambahan yang keberadaannya tergantung pada perjanjian pokoknya yaitu hutang-piutang. 2. Ondeelbaar,yaitu hipotik tidak dapt dibagi-bagi karena hipotik terletak diatas

seluruh benda yang menjadi objeknya artinya sebagian hak hipotik tidak menjadi hapus dengan dibayarnya tagihan sebagian dari hutang.

3. Mengandung hak untuk pelunasan hutang (verhaalsrecht) saja. Jadi tidak mengandung hak untuk memiliki bendanya. Namun jika diperjanjikan, kreditur berhak menjual benda jaminan yang bersangkutan atas kekuasaan sendiri (eigenmachtig everkoop/parateexecusi) jika debitur lalai atau wanprestasi.29

Asas yang terkandung didalam hipotik adalah sebagai berikut: 1. Asas Publiciteit (Openbaarheid)

Berarti bahwa pengikatan hipotik harus didaftarkan dalam registerasi umum agar masyarakat khususnya pihak ketiga dapat mengetahuinya.

2. Asas Specialiteit

Pengikatan hipotik hanya dilakukan atas benda-benda yang ditunjuk secara khusus, misalnya: bendanya berwujud apa, dimana letaknya, berapa besarnya atau luasnya, berbatasan dengan apa dan sebagainya.30

Menurut Pasal 1164 KUH Perdata yang dapat dibebani Hipotik adalah:

1. Benda-benda tidak bergerak yang dapat dipindahtangankan, beserta segala perlengkapannya yang dianggap sebagai benda tidak bergerak.

2. Hak pakai hasil (vruchtgebruik) atas benda-benda tersebut beserta segala perlengkapannya.

29 Ibid, hal. 96. 30 Ibid, hal. 96-97.


(33)

3. Hak numpang karang (opstal, identik dengan hak guna bangunan) dan hak usaha (erfpacht, identik dengan hak guna usaha).

4. Bunga tanah, baik yang harus dibayar dengan uang maupun yang harus dibayar dengan hasil tanah.

5. Bunga sepersepuluh.

6. Pasar-pasar yang diakui oleh Pemerintah, beserta hak-hak istimewa yang melekat padanya.

Diluar Pasal 1164 KUH Perdata yang dapat dibebani Hipotik antara lain adalah:

1. Bagian yang tak dapat dibagi-bagi dalam benda tak bergerak yang merupakan Hak Milik bersama bebas (Vrije Mede Eigendom)

2. Kapal-kapal yang didaftar menurut Pasal 314 ayat 1 KUH Dagang. 3. Hak konsesi Pertambangan menurut Pasal 18 Indische Mijnwet.

4. Hak Konsesi menurut S. 1918 No. 21 jo. No. 20 yang juga dapat dijadikan jaminan hipotik.

Selain pengaturan yang terdapat dalam KUH Perdata dan KUH Dagang, hipotik kapal laut juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pada Pasal 60 Undang-Undang Pelayaran tersebut dinyatakan sebagai berikut:

“ (1) Kapal yang telah didaftarkan dalam Daftar Kapal Indonesia dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan hipotek atas kapal.

(2) Pembebanan hipotek atas kapal dilakukan dengan pembuatan akta hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.

(3) Setiap akta hipotek diterbitkan 1 (satu) Grosse Akta Hipotek yang diberikan kepada penerima hipotek.

(4) Grosse Akta Hipotek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

(5) Dalam hal Grosse Akta Hipotek hilang dapat diterbitkan grosse akta pengganti berdasarkan penetapan pengadilan.”


(34)

Selanjutnya pada Pasal 61 Undang-Undang Pelayaran tersebut mengatur tentang pembebanan hipotek yang lebih dari 1 (satu), sebagaimana yang dinyatakan:

“(1) Kapal dapat dibebani lebih dari 1 (satu) hipotek.

(2) Peringkat masing-masing hipotek ditentukan sesuai dengan tanggal dan nomor urut akta hipotek.”

Pasal 62 Undang-Undang Pelayaran mengatur tentang pengalihan hipotek kapal, yakni sebagai berikut:

“Pengalihan hipotek dari penerima hipotek kepada penerima hipotek yang lain dilakukan dengan membuat akta pengalihan hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicacat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.”

Kemudian pada Pasal 63 Undang-Undang Pelayaran diatur tentang pencoretan hipotek (roya), dinyatakan sebagai berikut:

(1) Pencoretan hipotek (roya) dilakukan oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal atas permintaan tertulis dari penerima hipotek.

(2) Dalam hal permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pemberi hipotek, permintaan tersebut dilampiri dengan surat persetujuan pencoretan dari penerima bipotek.

Sebagaimana yang telah disinggung jaminan atas kapal laut dapat juga dalam bentuk jaminan fudusia. Jaminan fidusia adalah salah satu sarana perlindungan hukum bagi keamanan bank yakni sebagai suatu kepastian bahwa nasabah debitor akan melunasi pinjaman kredit. Perjanjian jaminan fidusia bukan suatu hak jaminan yang lahir karena undang-undang melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu antara bank dengan nasabah debitur. Oleh karena itu, fungsi yuridis pengikatan


(35)

jaminan fidusia lebih bersifat khusus jika dibandingkan jaminan yang lahir berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata. Fungsi yuridis pengikatan benda jaminan fidusia dalam akta jaminan fidusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit. Dengan fungsi yuridis jaminan fidusia yang dinyatakan dalam akta jaminan fidusia semakin meneguhkan kedudukan bank sebagai kreditor preferen. Selain itu, kreditor penerima fidusia akan memperoleh kepastian terhadap pengembalian hutang debitor. Fungsi yuridis itu juga akan mengurangi tingkat resiko bank dalam menjalankan usahanya sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Perbankan.31

Pasal 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia memberikan batas ruang lingkup berlakunya UUJF yaitu berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia, yang dipertegas kembali oleh rumusan yang dimuat dalam Pasal 3 UUJF dengan tegas menyatakan bahwa UUJF ini tidak berlaku terhadap:

a. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar. Namun demikian bangunan di atas milik orang lain yang tidak dapat dibebani hak tanggunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dapat dijadikan objek jaminan fidusia.

b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 M3atau lebih; 31 Adreas Albertus Andi Prajitno,Hukum Fidusia, Selaras, Malang, 2010, hal. 188-189.


(36)

c. Hipotek atas pesawat terbang; dan d. Gadai.32

Secara garis besar dapat ditemukan norma-norma umum dalam UUJF memaparkan tentang jaminan fidusia yang membentuk seperangkat bangunan norma yang ditujukan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak yang berkepentingan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Norma yang Fasilitatif, menegaskan sebagai berikut:” UUJF ini berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia.” Dikatakan norma fasilitatif karena norma itu membuka pintu selebar-lebarnya terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda jaminan dalam bentuk apapun dengan jaminan fidusia. Dengan kata lain, norma pengaturan ini memberikan kebebasan seluas-luasnya guna memfasilitasi para pihak yang terkait membuat perjanjian dengan tujuan untuk membebani benda jaminan dengan jaminan fidusia.

b. Norma yang Regulatif, merupakan norma yang mempunyai sifat mengatur. Norma-norma ini dapat dilihat pada semua atau sebagian besar pasal-pasal UUJF. Regulasi yang diamanatkan dalam norma yang ada harus dipatuhi karena kepastian hukum (legal certainty) diperoleh dari dipatuhinya norma-norma yang telah ditetapkan dalam bentuk undang-undang.

c. Norma-norma larangan, yakni memalsukan, mengubah, menghilangkan, atau memberikan keterangan palsu yang jika diketahui lebih awal oleh salah satu 32 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,Op Cit, hal. 138-139.


(37)

pihak yang dapat membatalkan kehendak untuk membuat perjanjian jaminan fidusia diancam dengan pidana kurungan dan denda (Pasal 35 UUJF). Larangan mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis dari penerima fidusia. Diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun (Pasal 36 UUJF).

Jaminan ideal yang secara maksimal dapat menjamin bahwa kreditor dapat menerima kembali uang yang dipinjamkannya harus memenuhi semua syarat sebagai berikut:

a. Tidak menyusahkan debitur dalam melakukan usahanya, sehingga memungkinkan debitur membayar kembali utangnya;

b. Mudah diidentifikasikan;

c. Setiap waktu tersedia untuk dieksekusi; d. Nilai yang tidak mudah merosot;

e. Mudah direalisasikan sehingga kreditor dapat menerima dananya untuk melunasi utang;

f. Mudah diketahui oleh pihak lain supaya tidak ada jaminan kedua dipasang atas agunan yang sama kecuali dengan sepengetahuan atau persetujuan pemegang jaminan;

g. Tidak mahal untuk membuatnya dan untuk merealisasikan.33

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan relitas.34 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi

33Rachmadi Usman,Op cit, hal. xi.


(38)

operasional.35 Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan, pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.

Konsepsi merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau untuk membuat karya ilmiah. Sebenarnya yang dimaksud dengan konsepsi adalah suatu pengertian mengenai sesuatu fakta atau dapat berbentuk batasan atau defenisi tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Jadi jika teori berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, sedangkan konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.36

Agar tidak terjadi penafsiran yang salah, maka diberikan konsepsi pengertian dari penelitian yang akan dilakukan:

1. Pengikatan adalah pengikatan objek jaminan kepada masing-masing lembaga jaminan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.

2. Pendaftaran adalah proses dan cara untuk mendaftarkan objek jaminan yang diperjanjikan.

3. Jaminan adalah hak (een recht) yang memberikan kepada kreditur kedudukan yang lebih baik daripada kreditur-kreditur lain.37

4. Kapal laut adalah semua kapal yang dipakai untuk pelayaran dilaut atau yang diperuntukan untuk itu (Pasal 310 KUH Dagang). menurut Undang-Undang Pelayaran, kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang 35Sumadi Suryabrata,Metodologi Penelitian, Raja Grafindo, Jakarta, 1998, hal. 3.

36Hilman Hadikusuma,Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 5. 37J. Satrio,Op cit,hal. 3.


(39)

digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan dibawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah (Pasal 1 butir (36)). Kapal laut dalam hal ini dapat dibagi dua, yakni:

a. Kapal laut sebagai benda tak bergerak yang dapat dijadikan jaminan hipotik yakni kapal laut yang berukuran diatas 7 GT;

b. Kapal laut sebagai benda bergerak yang dapat dijadikan jaminan fidusia yakni kapal laut yang berukuran dibawah 7 GT.

5. Asas cabotage adalah hak untuk melakukan pengangkutan penumpang, barang dan pos secara komersial dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain di dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Asas cabotage merupakan hak prerogratif Republik Indonesia sebagai Negara berdaulat. Hak tersebut diberikan kepada perusahaan angkutan laut nasional, dan tidak akan diberikan kepada perusahaan angkutan asing manapun, kecuali atas pertimbangan untuk kepentingan nasional negara yang bersangkutan.38

Pada asasnya menurut Pasal 510 KUH Perdata, kapal-kapal, perahu-perahu, perahu tambang, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang


(40)

diperahu atau yang berdiri, terlepas dari benda sejenis itu adalah benda bergerak. Akan tetapi jika kapal-kapal itu didaftar, ia tidak mempunyai status benda bergerak.39

Pasal 309 ayat 1 KUH Dagang mengatakan bahwa kapal adalah semua alat pelayaran dengan nama atau sifat apapun juga. Ayat (2) menentukan bahwa apabila tidak ditentukan lain atau tidak dijanjikan lain, maka kapal itu dianggap meliputi segala alat perlengkapannya. Ayat (3) mengatakan pula bahwa yang dimaksud dengan alat perlengkapan kapal ialah segala benda yang bukan suatu bagian dari kapal itu sendiri, namun diperuntukkan untuk selamanya dipakai tetap dengan kapal itu. Hal ini berarti bahwa rantai, sekoci, layar, jangkar termasuk dalam pengertian kapal.40

Barang-barang yang tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat bahan makanan, minyak solar, batu arang tidak termasuk dalam pengertian kapal.41

Dari pasal 309 ayat (2) dan ayat (3) KUH Dagang ini dapat juga disimpulkan bahwa untuk pengertian kapal, berlaku juga azas accesie (perlekatan) dimana alat perlengkapan dianggap merupakan kesatuan dengan benda pokoknya, yaitu kapal. Hal ini menjamin kepastian hukum.42

Menurut KUH Dagang, maka kapal Indonesia adalah setiap kapal laut yang telah memenuhi syarat menjadi kapal Indonesia, sehingga menjadi kapal

39 Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Hypotheek, Alumni, Bandung, 1986,

hal.86.

40Ibid

.

41Ibid. 42Ibid, hal. 87.


(41)

berkebangsaan Indonesia. Syarat-syarat untuk menjadi kapal Indonesia adalah yang berkenaan dengan surat laut dan pas kapal. Kapal yang berukuran minimal 20 m2 (dua puluh meter kubik) isi kotor dapat dibukukan dalam suatu register kapal dan atas kapal yang demikian dapat iikatkan dengan hipotik.43

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Dalam kaitannya dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini maka sifat penelitian ini adalah deskriftif analistis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta yang terjadi dilapangan serta mengaitkan dan menganalisa semua gejala dan fakta tersebut dengan permasalahan yang ada dalam penelitian dan kemudian disesuaikan dengan keadaan yang terjadi dilapangan.

Jenis penelitian ini dimaksudkan untuk melukiskan keadaan objek dan peristiwanya. Penelitian ini untuk menganalisa kaidah hukum tentang perundang-undangan jaminan fidusia dan hipotik serta perlindungan hukum kepada kreditor dan debitor, maka jenis penelitian yang digunakan adalah metode yuridis empiris yaitu mengungkap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya didalam masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian.44

2. Lokasi Penelitian

43Munir Fuady,Op Cit,hal. 261.


(42)

Lokasi penelitian diperlukan bagi penelitian hukum terutama bagi penelitian hukum empiris, dan lokasi penelitian harus disesuaikan dengan judul dan permasalahan penelitian.45 Oleh karena itu maka lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Medan-Belawan.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi dokumentasi yaitu dengan mempelajari serta menganalisa data yang berkaitan dengan objek penelitian dan peraturan perundang-undangan, menelaah pelaksanaannya dan kemudian mengambil kesimpulan. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yaitu:

a. Penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumen, yaitu dengan membaca, mempelajari dan menganalisa literatur/buku-buku, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain, untuk memperoleh data sekunder. b. Penelitian lapangan (field research) dilakukan untuk menghimpun data primer

dengan cara wawancara, dilakukan secara langsung kepada nara sumber, dengan mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara. Wawancara dengan informan, yakni:

1. Kepala Kantor Syahbandar Belawan 2. Kepala Dinas Perhubungan Kota Medan 3. Notaris Ferry Susanto Limbong, SH, M.Hum

45 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan


(43)

4. Sumber Data

Pengelompokan data kepustakaan berdasarkan kekuatan mengikat dari isinya, yakni antara lain:

1. Bahan primer: bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah, contohnya berbagai peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan traktat.

2. Bahan sekunder: bahan-bahan yang isinya membahas bahan primer, contohnya: buku, artikel, laporan penelitian, dan berbagai karya tulis ilmiah lainnya.

3. Bahan tertier: bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan primer dan sekunder, contohnya: kamus, buku pegangan, almanak, dan sebagainya.46

5. Analisa Data

Semua data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisa secara kualitatif, yaitu data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban penelitian.47 Setelah data diperoleh maka dikelompokkan sesuai dengan kategorinya.

Penelusuran analisa data dimulai dari konsep jaminan, kapal laut, pengikatan, proses pendaftaran jaminan dan perlindungan hukum terhadap kreditur dan debitur. Setelah itu ditarik suatu kesimpulan dari data yang telah dianalisis dan merupakan hasil dari penelitian.

46Burhan Ashshofa,Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hal.103. 47Ibid,hal. 124.


(44)

BAB II

PENGATURAN TENTANG KAPAL LAUT YANG DIJADIKAN JAMINAN

A. Tinjauan Umum Tentang Jaminan Kapal Laut

Sehubungan dengan pengertian hukum jaminan, tidak banyak literatur yang merumuskan pengertian hukum jaminan. Menurut J. Satrio, hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur. Ringkasnya hukum jaminan adalah hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang.48

Menurut M. Bahsan, hukum jaminan merupakan himpunan ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan penjaminan dalam rangka utang piutang (pinjaman uang) yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.49

Sementara itu, Salim HS memberikan perumusan hukum jaminan adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.50

Unsur-unsur yang tercantum di dalam definisi ini adalah :

48

J. Satrio,Op Cit, hal. 3.

49

M. Bahsan,Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008, hal. 3.

50

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 6.


(45)

1. Adanya kaidah hukum. Kaidah hukum dalam bidang jaminan, dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis dan kaidah hukum jaminan tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum jaminan tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang dilakukan secara lisan.

2. Adanya pemberi dan penerima jaminan. Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan. Yang bertindak sebagai pemberi jaminan ini adalah orang atau badan hukum yang membutuhkan fasilitas kredit. Orang ini lazim disebut dengan debitur. Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan. Yang bertindak sebagai penerima jaminan ini adalah orang atau badan hukum. Badan hukum adalah lembaga yang memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan nonbank.

3. Adanya jaminan. Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada kreditur adalah jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan yang berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan imateriil merupakan jaminan nonkebendaan.


(46)

4. Adanya fasilitas kredit. Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan nonbank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan nonbank percaya bahwa debitur sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya. Begitu juga debitur percaya bahwa bank atau lembaga keuangan nonbank dapat memberikan kredit kepadanya.51

Jaminan merupakan kebutuhan kreditur untuk memperkecil resiko apabila debitur tidak mampu menyelesaikan segala kewajiban yang berkenaan dengan kredit yang telah dikucurkan. Dengan adanya jaminan apabila debitur tidak mampu membayar maka debitur dapat memaksakan pembayaran atas kredit yang telah diberikannya.52

Arti pentingnya jaminan dalam hal ini, memberikan keamanan modal dan kepastian hukum bagi si pemberi modal untuk pelunasan hutangnya juga agar debitur berperan serta dalam transaksi yang dibiayai oleh kreditur, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usahanya yang dapat merugikan diri sendiri atau perusahaan dapat dicegah serta memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi perjanjian kredit yang telah disetujui agar tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada kreditur.

51Ibid, hal. 7-8.

52Badriyah Harun,Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah,Yogyakarta: Pustaka Yustisia,


(47)

Sesuai dengan tujuannya, barang jaminan bukan untuk dimiliki kreditur, karena perjanjian hutang piutang bukan perjanjian jual beli yang mengakibatkan perpindahan hak milik atas suatu barang. Barang jaminan dipergunakan untuk melunasi hutang, dengan cara sebagaimana peraturan yang berlaku, yaitu barang jaminan dijual lelang. Hasilnya untuk melunasi hutang, dan apabila masih ada sisanya dikembalikan kepada debitur. Barang jaminan tidak selalu milik debitur, tetapi undang-undang juga memperbolehkan barang milik pihak ketiga, asalkan pihak yang bersangkutan merelakan barangnya dipergunakan sebagai jaminan hutang debitur. Dengan demikian, jaminan adalah suatu perikatan antara kreditur dengan debitur, dimana debitur memperjanjikan sejumlah hartanya untuk pelunasan hutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apabila dalam waktu yang ditentukan terjadi kemacetan pembayaran hutang di debitur.

Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang menetapkan bahwa segala hak kebendaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. Dengan demikian, segala harta kekayaan debitur secara otomatis menjadi jaminan manakala orang tersebut membuat perjanjian utang meskipun tidak dinyatakan secara tegas sebagai jaminan. Terhadap jaminan ini akan timbul masalah manakala seorang debitur memiliki lebih dari seorang kreditur dimana masing-masing kreditur menginginkan haknya didahulukan. Hukum mengantisipasi keadaan demikian dengan membuat jaminan yang secara khusus diperjanjikan dengan hak-hak istimewa seperti hak tanggungan, fiducia, gadai,


(48)

maupun cessie piutang. Kreditur yang memegang hak tersebut memiliki hak utama untuk mendapatkan pembayaran kredit seluruhnya dari hasil penjualan benda jaminan. Apabila terdapat kelebihan dalam penjualan benda jaminan tersebut dapat diberikan kepada kreditur lain.

KUH Perdata mengatur dua macam jaminan, yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaaan. Jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada orang tertentu dan hanya dapat dipertahankan terhadap kreditur tertentu terhadap kekayaan debitur. Sedangkan jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang memberikan hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya (droit de suite) dan dapat dialihkan.53

Jaminan merupakan hal yang penting dalam membuat dan melaksanakan perjanjian kredit atau perjanjian pinjam meminjam uang, serta guna melindungi kepentingan para pihak khususnya kreditur (yang meminjamkan). Djuhaendah Hasan mengatakan bahwasanya fungsi jaminan secara yuridis adalah kepastian hukum pelunasan hutang di dalam perjanjian kredit atau dalam hutang piutang atau kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian. Kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian. Kepastian hukum ini adalah dengan mengikat perjanjian jaminan melalui lembaga-lembaga jaminan.54

53

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 47.

54Djuhaenda Hasan,Perjanijan Jaminan Dalam Perjanjian Kredit,Proyek Elips dan Fakultas


(49)

Fungsi jaminan secara yuridis adalah untuk kepastian hukum pelunasan hutang didalam perjanjian kredit atau hutang piutang atau kepastian realiasasi sutau prestasi dalam suatu perjanjian. Kepastian hukum ini adalah dengan peningkatan jaminan melalui lembaga-lembaga jaminan yang dikenal dalam hukum Indonesia.

Sebelum membahas lebih lanjut tentang kapal laut yang dijadikan jaminan, penting kiranya untuk mengetahui terlebih dahulu pengertian kapal laut itu sendiri atau sering disebut juga dengan kapal. Pengertian kapal banyak defenisi yang dikemukakan para ahli dan peraturan perundang-undangan. Didalam KUH Dagang pengertian kapal dinyatakan dalam Pasal 309 ayat (1) yang menyebutkan: “Kapal adalah semua perahu, dengan nama apapun dan dari macam apapun pula.” Defenisi Pasal tersebut menafsirkan pengertian kapal “Segala alat-alat berlayar”. Defenisi tersebut serba luas. Menurut R. Soekardono bahwa pemberian pengertian serba luas itu mengenai kapal, untuk sementara dapat dipertahankan, sampai nanti terbukti adanya keperluan nasional dibidang perkapalan yang mengharuskan mengubah itu.55

Selanjutnya dalam Pasal 310 KUH Dagang dijelaskan pengertian kapal laut yaitu semua kapal yang dipakai untuk pelayaran dilaut atau yang diperuntukkan untuk itu. Apa yang dimuat dalam KUH Dagang tentang pengertian kapal laut lebih tegas dan mengacu kepada pengertian kapal secara luas. Berbagai peraturan-peraturan bidang angkutan laut nasional juga pernah memberikan pengertian tentang kapal, namun yang lebih kontekstual diuraikan saat ini adalah pengertian kapal menurut

55Hasim Purba,Hukum Pengangkutan di Laut Perspektif Teori dan Praktek, Pustaka Bangsa,


(50)

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992.56 Undang-undang tersebut telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang pada Pasal 1 butir (36) dinyatakan pengertian kapal, yakni: “Kapal adalah kenderaan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kenderaan yang berdaya dukung dinamis, kenderaan dibawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.”

Selanjutnya pada penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Pelayaran disebutkan yang dimaksud dengan kapal adalah:

a. Kapal yang digerakkan oleh angin adalah kapal layar;

b. Kapal yang digerakkan dengan tenaga mekanik adalah kapal yang mempunyai alat penggerak mesin, misalnya kapal motor, kapal uap, kapal dengan tenaga matahari, dan kapal nuklir;

c. Kapal yang ditunda atau ditarik adalah kapal yang bergerak dengan menggunakan alat penggerak kapal lain;

d. Kenderaan berdaya dukung dinamis adalah jenis kapal yang dapat dioperasikan dipermukaan air atau di atas permukaan air dengan menggunakan daya dukung dinamis yang diakibatkan oleh kecepatan dan/atau rancang bangun kapal itu sendiri, misalnyajet foil, hidro foil,hovercraft, dan kapal-kapal cepat lainnya yang memenuhi kriteria tertentu;

e. Kenderaan dibawah permukaan air adalah jenis kapal yang mampu bergerak di bawah permukaan air; dan

f. Alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah adalah alat apung dan bangunan terapung yang tidak mempunyai alat penggerak sendiri, serta ditempatkan di suatu lokasi perairan tertentu tidak berpindah-pindah untuk waktu yang sama, misalnya hotel terapung, tongkang akomodasi (accommodation barge) untuk menunjang kegiatan lepas pantai dan tongkang penampung minyak (oil storage barge), serta unit-unit pemboran lepas pantai berpindah (mobile offshore drilling units/modu).


(51)

Berdasarkan pengertian kapal laut menurut Wiryono Prodjodikoro terdapat dua unsur yakni:

a. Hal keadaan dipakai;

b. Hal ditujukan untuk dipakai.

Wiryono Prodjodikoro berpendapat bahwa suatu kapal meskipun dipakai untuk berlayar di sungai untuk satu kali pelayaran di laut, maka mulai saat itu berlaku istilah kapal laut terhadapnya, sampai kapal itu terus menerus dipakai untuk pelayaran di sungai. Sedangkan mengenai unsur kedua, yaitu hal kapal ditujukan untuk dipakai guna pelayaran di laut, beliau berpendapat bahwa bentuk dari tubuh kapal menentukan adanya tujuan pelayaran di laut.57

Menurut Soekardono, hukum positif Indonesia menganut pengertian kapal secara luas, yaitu kapal dengan ukuran tertentu yang dapat terapung baik dengan kekuatan sendiri maupun digerakkan dengan tenaga lain.58

KUH Perdata dalam Pasal 510 mengatur kapal laut sebagai benda bergerak, yakni: “Kapal-kapal, perahu-perahu, perahu-perahu tambang, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu atau yang berdidi terlepas dan benda-benda sejenis itu adalah benda bergerak.”

Sedangkan Pasal 314 ayat (1) KUH Dagang menyatakan sebagai berikut: “Kapal laut yang berukuran paling sedikit 20 meter kubik isi kotor dapat didaftarkan dan akan ditentukan dalam suatu undang-undang tersendiri.”

57Wiryono Prodjodikoro,Hukum Laut Bagi Indonesia,Sumur, Bandung, 1984, hal 69-70. 58Soekardono,Hukum Perkapalan Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1969, hal. 9.


(52)

Dari dua ketentuan di atas dapat disimpulkan mengenai status hukum kapal laut. KUH Perdata menyatakan bahwa kapal laut adalah benda bergerak, sedangkan KUH Dagang membagi dua status hukum kapal, kapal laut sebagai benda bergerak dan kapal laut sebagai benda tidak bergerak. Undang-Undang Pelayaran dan peraturan pelaksanaannya menyatakan KUH Perdata dan KUH Dagang tetap berlaku sepanjang tidak diatur dan tidak bertentangan, oleh karena itu maka kapal laut dapat dibagi dua yaitu sebagai benda bergerak dan kapal sebagai benda tidak bergerak. Benda yang bergerak dapat dijadikan jaminan fidusia, dan sebagai benda yang tidak bergerak dapat dijadikan jaminan hipotik.

Pendaftaran kapal sangat menentukan tempat atau wilayah pendaftaran jaminan yang akan dibebani terhadap kapal tersebut, selain itu ada beberapa asas umum hukum pendaftaran kapal. Anis Idham dalam bukunya menerangkan beberapa asas umum hukum pendaftaran kapal, yakni antara lain:

1. Asas Kebangsaan Kapal

Kapal laut maupun kapal perairan pedalaman dapat didaftarkan. Pendaftaran pada buku Daftar Induk merupakan syarat untuk memperoleh Kebangsaan dari suatu kapal. Dari sudut Hukum Internasional, pendaftaran publik berkaitan erat dengan kebangsaan (nationality) suatu kapal, dan suatu kapal dihubungkan dengan yurisdiksi atas suatu kapal.

2. Asas Fakultatif/Imperatif

R. Soekardono seperti yang dikutip oleh Anis Idham dalam bukunya menafsirkan kata “dapat” didaftarkan itu sebagai “harus”. Berdasarkan Pasal 314 KUH


(53)

Perdata dalam kaitannya dengan UU Pelayaran mengenai prinsip-prinsip pendaftaran kapal dan kebangsaan, dapat diambil kesimpulan bahwa kapal harus didaftarkan. Kapal yang berukuran besar maupun kapal yang berukuran kecil wajib didaftarkan untuk mendapatkan tanda kebangsaan.

3. Asas Hak Kebendaan

Anis Idham berpendapat bahwa hak perdata atas kapal lahir pada saat pendaftaran dilakukan dalam daftar induk. Pendaftaran kapal hendaknya mengatur tentang momentum lahirnya hak milik itu. Misalnya untuk kapal yang tidak terdaftar, hak milik tersebut lahir pada saat perjanjian jual beli diadakan yang berlaku antara penjual dan pembeli, sedangkan untuk kapal terdaftar (perdata) hak milik atas kapal lahir pada saat pendaftaran dilakukan di Daftar Induk. Hal ini akan menjadi tolak ukur dalam hal terjadi gugatan oleh para pihak yang bersangkutan.

4. Asas Pembedaan Perjanjian yang Bersifat Perorangan dengan yang Bersifat Kebendaan

Perjanjian yang bersifat perorangan terjadi pada saat perjanjian jual beli kapal antara penjual dan pembeli dilakukan. Dalam fase ini yang lahir adalah hubungan hukum antara penjual dan pembeli dan belum lagi lahir hak pembeli atas kapal, yang dapat dipertahankan oleh pemilik pada setiap gangguan dari pihak ketiga (droit de suite). Fase perjanjian bersifat kebendaan (penyerahan) terjadi pada saat akta diperkuat dihapadan pejabat pendaftaran yang diikuti pendaftaran.


(54)

Pendaftaran kapal itu terbuka untuk umum, artinya setiap orang yang berkepentingan berhak melihatnya. Keterbukaan ini melindungi masyarakat, karena setiap orang yang akan mengadakan transaksi kapal dengan pemilik dapat menyaksikan sendiri status kapal tersebut.

6. Asas Sistem Negatif

Pendaftaran kapal menganut sistem stelsel negative. Bahwa pegawai pencatat balik nama hanya diberi wewenang mengontrol surat-surat tentang caranya saja, tetapi ia tidak perlu meneliti tentang kebendaan isi surat itu. Dengan demikian, secara hukum ditegaskan bahwa pejabat pencatat balik nama wajib membuat akta apabila dari surat-surat itu, para pihak berhak melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang termaktub dalam akta. Apabila tidak cukup bukti, pembuatan akta ditolak oleh pejabat pencatat balik nama dengan suatu surat keputusan yang disertai alasan penolakan.

7. Asas Spesialitas

Asas ini mengandung arti bahwa pendaftaran harus mampu memberikan informasi mengenai kapal yang didaftar secara rinci. Melalui asas ini, masyarakat umum dapat mengetahui kebenaran fisik dari kapal tersebut.59

Pendaftaran kapal sangat erat kaitannya dengan penyusunan keterangan mengenai kapal dan pemiliknya dalam suatu buku pendaftaran nasional. Jika ditinjau dari sudut hukum internasional, konsep pendaftaran kapal laut erat kaitannya dengan kebangsaan kapal, sedangkan kebangsaan suatu kapal dihubungkan dengan yurisdiksi dari suatu kapal. Tujuan pendaftaran ialah untuk memungkinkan memperoleh suatu tanda kebangsaan kapal dan ini perlu 59 Anis Idham, Pranata Jaminan Kebendaan Hipotik Kapal Laut dan Masalah Eksekusi


(55)

untuk kewenangan mengibarkan bendera merah putih. Pendaftaran kapal itu memungkinkan pula pembebanan hipotik atas kapal tersebut.60

Berdasarkan hukum internasional, kebangsaan suatu kapal mengandung hak-hak dan kewajiban suatu negara terhadap kapalnya. Akibatnya dari pendaftaran dipihak lain merupakan tindakan pemberian kebangsaan pada suatu kapal, dan dari sisi lain dimaksudkan untuk pendaftaran hak-hak seperti pemilikan, hipotik dan hak-hak kebendaan lainnya. Secara umum pendaftaran kapal berdampak kepada dua aspek yaitu pendaftaran publik dan pendaftaran perdata, pendaftaran publik mengakibatkan:

a. Kapal tersebut berada dibawah yurisdiksi Negara bendera kapal (flag state) dalam hal pengaturan administratif, yaitu perihal keselamatan, kelaikan laut, awal kapal dan hukum pidana atau demikian kejahatan yang dilakukan diatas kapal.

b. Negara bendera kapal berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional atas kapal yang membawa benderanya.

c. Kapal yang bersangkutan memperoleh keuntungan perlindungan dari Negara bendera kapal yang diberikan pada warga negaranya.

d. Registrasi atau pendaftaran dianggap sebagai bukti pemilikan (evidence of title), walaupun diberbagai Negara bukti ini tidak mutlak. Kesemuanya menandakan adanya effective controldari Negara bendera kapal atas kapal tersebut.61

Sedangkan pendaftaran perdata adalah:

a. Penetapan status hukum keperdataan kapal laut, yang selanjutnya akan berpengaruh pada penetapan aturan-aturan hukum keperdataan yang menguasai kapal laut tersebut. Dengan kata lain, kapal laut yang menurut sifatnya merupakan benda bergerak, dengan pembukuannya dalam buku pendaftaran akan memperoleh kedudukan sebagai benda tidak bergerak. b. Pendaftaran perdata menyangkut pendaftaran (recordation) dari seluruh

hak-hak keperdataan (baik pemilikan maupun jaminan/security interest) yang melekat pada kapal yang bersangkutan.62

Di Indonesia terdapat pendaftaran kapal sistem tunggal (single system of registration), yaitu satu buku pendaftaran untuk pendaftaran kapal maupun hak-hak atas kapal, misalnya hipotik yaitu dalam daftar buku induk.63

60Hasim Purba,Op Cit, hal. 36-37. 61Anis Idham,Op Cit, hal. 170-171. 62Ibid, hal. 171-172.


(56)

Alasan pemilik kapal mendaftarkan kapalnya, karena pendaftaran ini dimaksudkan untuk memperoleh suatu surat kebangsaan, antara lain, surat laut dan pas kapal yang diperlukan untuk pengangkutan dilaut. Pendaftaran memungkinkan juga pembebanan suatu hipotik yang diperlukan untuk jaminan memperoleh dana atau kredit untuk pembiayaan pengadaan kapal.64 Pendaftaran kapal bertujuan, antara lain:

a. Menentukan status hukum dari kapal yang didaftarkan;

b. Memenuhi persyaratan guna mendapatkan surat kebangsaan kapal Indonesia; c. Kapal yang telah didaftarkan mempunyai status benda tidak tetap terdaftar dan

diperlakukan sebagai hak kebendaan di dalam jual beli dan pengalihan haknya;

d. Kapal yang didaftarkan dapat dibebani hak hipotik.65

Pendaftaran hak atas kapal berarti pendaftaran hak kepemilikan atas kapal tersebut. Pendaftaran ini merupakan dasar hukum yang memberikan pembuktian tentang kepastian hak si pemilik dan juga alat bukti bagi pihak lain siapa pemilik kapal. Dan segala hak yang timbul sebagai akibat dari kepemilikan tersebut.

Undang-Undang Pelayaran pada Pasal 154 dinyatakan sebagai berikut: “Status hukum kapal dapat ditentukan setelah melalui proses:

a. Pengukuran kapal; b. Pendaftaran kapal; dan

c. Penetapan kebangsaan kapal.”

63Ibid, hal. 172. 64Ibid.


(57)

Status hukum kapal dimulai dengan pengukuran kapal. Menurut Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Pelayaran, pengukuran kapal dapat dilakukan menurut 3 (tiga) metode, yaitu:

a. Pengukuran dalam negeri untuk kapal yang berukuran panjang kurang dari 24 (dua puluh empat) meter;

b. Pengukuran internasional untuk kapal yang berukuran panjang 24 (dua puluh empat) meter atau lebih; dan

c. Pengukuran khusus kapal yang akan melalui terusan tertentu.

Bedasarkan pengukuran diterbitkan Surat Ukur untuk kapal dengan ukuran tonasi kotor sekurang-kurangnya GT 7 (tujuh Gross Tonnage). Pasal 158 Undang-Undang Pelayaran dinyatakan:

(1) Kapal yang telah diukur dan mendapat Surat Ukur dapat didaftarkan di Indonesia oleh pemilik kepada Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal yang ditetapkan oleh Menteri.

(2) Kapal yang dapat didaftar di Indonesia yaitu:

a. Kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7 (tujuh

Gross Tonnage);

b. Kapal milik warga Negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; dan

c. Kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga Negara Indonesia.


(58)

(3) Pendaftaran kapal dilakukan dengan pembuatan akta pendaftaran dan dicatat dalam daftar kapal Indonesia.

(4) Sebagai bukti kapal telah terdaftar, kepada pemilik diberikan grosse akta pendaftaran kapal yang berfungsi pula sebagai bukti hak milik atas kapal yang telah didaftar.

(5) Pada kapal yang telah didaftar wajib dipasang Tanda Pendaftaran.

Pendaftaran kapal dapat dilakukan di kantor pusat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut atau di pelabuhan-pelabuhan yang ditentukan oleh Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM.26 Tahun 2006 tentang Penyederhanaan Sistem dan Prosedur Pengadaan Kapal dan Penggunaan Penggantian Bendera Kapal. Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal yang ditetapkan oleh Menteri yang dimaksud adalah syahbandar. Untuk tempat pendaftaran diseluruh Indonesia ada 43 (empat puluh tiga) pelabuhan-pelabuhan sebagai berikut:

1. Ambon; 23. Manado;

2. Bagan Siapi-Api; 24. Manokwari;

3. Balikpapan; 25. Maumere;

4. Banjarmasin; 26. Meneng;

5. Batam; 27. Merauke;

6. Belawan; 28. Palembang;

7. Bengkulu; 29. Panjang;

8. Benoa; 30. Pekanbaru;


(59)

10.Cilacap; 32. Sabang;

11.Cirebon; 33. Samarinda;

12.Donggala; 34. Sampit;

13.Dumai; 35. Sibolga;

14.Gorontalo; 36. Sorong;

15.Jambi; 37.Tanjung Emas;

16.Jayapura; 38. Tanjung Perak;

17.Kendari; 39. Tanjung Pinang;

18.Kupang; 40. Tanjung Priok;

19.Lembar; 41. Teluk Bayur;

20.Lhokseumawe; 42. Ternate;

21.Luwuk; 43. Tual.66

22.Makasar;

Pelabuhan internasional yang memenuhi syarat ISPIS (International Security Pos System) di Indonesia berjumlah 200 pelabuhan.67 Hal tersebut tentunya tidak sebanding dengan jumlah tempat pendaftaran kapal yang hanya 43 pelabuhan, apalagi dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 17.000 pulau.

Status hukum kapal yang terakhir melalui proses penetapan kebangsaan kapal. Sesuai dengan ketentuan Pasal 163 Undang-Undang Pelayaran, yang dinyatakan sebagai berikut:

(1) Kapal yang didaftar di Indonesia dan berlayar di laut diberikan Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia oleh Menteri.

(2) Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:

66 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM.26 Tahun 2006 tentang Penyederhanaan

Sistem dan Prosedur Pengadaan Kapal dan Penggunaan Penggantian Bendera Kapal.


(1)

D. Internet

www.jakpress.com, diakses pada tanggal 8 Desember 2011.

http://duniakontraktor.com/perjanjian-kredit-dan-permasalahannya, diakses pada tanggal 25 desember 2011.


(2)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Ali, Achmad, Menguak Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta, 2002.

Ali, H. Zainuddin,Metode PenelitianHukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Ashshofa, Burhan,Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1998.

Badrulzaman, Mariam Darus,Bab-Bab Tentang Hypotheek, Alumni, Bandung, 1986. ………. , Bab-Bab tentang Credietverband, Gadai, dan Fiducia, Alumni, Bandung,

1981.

Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Bahsan, M., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.

Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Fuady, Munir,Pengantar Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008. ………., Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, PT Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2008.

Hadi, Sutrisno,Metodologi Research, Andi Offset, Yogyakarta, 1989.

Hadikusuma, Hilman,Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Di Indonesia : sebuah studi tentang prinsip-prinsipnya, penanganannya oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan pembentukan peradilan administrasi Negara, PT Bina Ilmu Edisi, Surabaya, 1987.

Hartono, Sri Redjeki,Hukum Ekonomi Indonesia, Bayumedia Publishing, 2007. Harun, Badriyah, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia,


(3)

Hasan, Djuhaenda, Perjanijan Jaminan Dalam Perjanjian Kredit, Proyek Elips dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1998.

Hasbullah, Frieda Husni, Hukum Kebendaaan Perdata Hak-Hak yang Memberi Jaminan, Jilid 2, Indo Hill-Co, Jakarta, 2009.

HS, Salim,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2008. …….., Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2008.

Idham, Anis, Pranata Jaminan Kebendaan Hipotik Kapal Laut dan Masalah Eksekusi Hipotik Kapal Laut Ditinjau dari Hukum Maritim, Alumni, Bandung, 1995.

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986.

Kamelo,Tan,Hukum Jaminan Fidusia, PT Alumni, Bandung, 2006.

Kartasapoetra, G., dan R.G. Kartasapoetra, Pembahasan Hukum Benda Hipotek Hukum Waris, Bumi Aksara, Jakarta, 1990.

Kasmir,Dasar-Dasar Perbankan, Rajawali Pers, Jakarta, 2002.

Kie, Tan Thong, Studi Notariat Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2007.

Lubis, M.Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.

Martono, H.K., dan Eka Budi Tjahjono, Transportasi di Perairan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, Rajawali Pers, Jakarta, 2011.

Marzuki, Peter Mahmud,Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.

Meleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.


(4)

……. ,Pengantar Hukum Pertanggungan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994. …... ,Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

.

Muchsin, H.,Ikhtisar Ilmu Hukum, Iblam, Jakarta, 2006.

ND., Mukti Fajar dan Yulianto Achmad,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.

Purba, Hasim, Hukum Pengangkutan di Laut Perspektif Teori dan Praktek, Pustaka Bangsa, Medan, 2005.

Purwosutjipto, HMN., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Hukum Pelayaran Laut dan Perairan Darat, Djambatan, Jakarta, 1993.

Prajitno, Adreas Albertus Andi,Hukum Fidusia, Selaras, Malang, 2010. Prodjodikoro, Wiryono,Hukum Laut Bagi Indonesia,Sumur, Bandung, 1984.

Satrio, J., Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

Singarimbun, Masri, dkk,Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1989.

Sinungan, Muchdarsyah, Dasar-Dasar dan Manajemen Kredit, Bumi Aksara, Jakarta, 2000.

Sunggono, Bambang,Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, 1997. Suryabrata, Sumadi,Metodologi Penelitian, Raja Grafindo, Jakarta, 1998.

Sutarno,Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2009. Suyatno, Thomas,Dasar-Dasar Perkreditan, PT Gramedia, Jakarta, 1990. Soekamto, Soerjono,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986. ………,Penegakan Hukum,Bina Cipta, Jakarta, 1983.

Soekardono,Hukum Perkapalan Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1969.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981.


(5)

Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2008.

Usman, Rachmadi,Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. ………. ,Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT Gramedia Utama, Jakarta,

2001.

Vollmar, H.F.A.,Hukum Benda, Tarsito, Bandung, 1990.

…….. ,Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali Pres, Jakarta, 2000.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani,Jaminan Fidusia, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM.26 Tahun 2006 tentang Penyederhanaan Sistem dan Prosedur Pengadaan Kapal dan Penggunaan Penggantian Bendera Kapal

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan

C. Majalah

Ramlan Ginting, Tinjauan Terhadap RUU tentang Hipotek Kapal, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, volume 6, Nomor 2, Agustus 2008.

Warta Bea Cukai, Tahun XXXVIII, Edisi 377, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Jakarta, 2006


(6)

D. Internet

www.jakpress.com, diakses pada tanggal 8 Desember 2011.

http://duniakontraktor.com/perjanjian-kredit-dan-permasalahannya, diakses pada tanggal 25 desember 2011.