Posisi Ilmu dalam Islam

3 bersifat relatif dan temporer, bahkan subyektif. Oleh karena hakekat kebenaran itu bersumber al-Haqq al-Ahad Sang Maha Benar yang Maha Esa, maka sumber ilmu pengetahuan lainnya yang tidak dapat diabaikan adalah wahyu kitab suci, karena sumber yang terakhir ini bersifat mutlak dan trasendental, sedangkan sumber-sumber yang lain akal, indera, pengalaman, dan sebagainya bersifat nisbi, relatif dan subyektif. Dalam perspektif mistik, intuisi dan suara hati nurani dhamîr juga merupakan sumber kebenaran, karena memang hati nurani itu, menurut al- Qur‘an tidak berdusta selalu menyuarakan kebenaran QS. al-Najm [53]:11. Dengan kata lain, Kitab suci dan tradisi Nabi Saw. Sunnah tidak hanya sebagai sumber hukum, melainkan juga sebagai sumber ilmu pengetahuan dan peradaban. Manusia dalam hal ini dituntut mampu mengaktualisasikan dirinya dengan memberikan kontribusi besar dalam menerjemahkan, menafsirkan dan membumikan pesan-pesan ilahi tersebut, berikut merumuskannya dengan bahasa ilmu: konseptualisasi dan teoritisasi.

B. Posisi Ilmu dalam Islam

Al- Qur‘an dan al-Sunnah juga sangat mendorong umat Islam untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Hal ini sejalan dengan perintah pertama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya, yaitu perintah membaca, melakukan pembacaan dengan mengatasnamakan Allah iqra’ bismi rabbik QS. al-‗Alaq [96]:1-6. Dalam al- Qur‘an sendiri dijumpai penggunaan kata ’ilm sebanyak 854 kali 5 . Kata ―’ilm‖ 6 , antara lain, digunakan sebagai proses pencapaian pengetahuan 5 Kata-kata lain yang terkait dengan ilmu yang juga digunakan al- Qur‘an adalah ra’yu melihat, berpendapat, mengamati, menyelidiki disebut sebanyak 332 kali, bashar melihat, memahami, memperhatikan digunakan sebanyak 149 kali, nazhar nalar, memperhatikan, memikirkan sebanyak 99 kali, dan kata `arafa mengetahui, memahami sebanyak 24 kali. Sementara itu, kata aql dalam bentuk verba dijumpai setidaknya 48 kali, fikr sebanyak 19 kali, kata lubb yang berarti akal atau nalar sebanyak 6 kali, dan kata hikmah kebijaksanaan, filsafat, kearifan disebut ulang 16 kali. Periksa Muh ammad Fu‘âd al-Bâqî, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1992. 6 Kata ―‘ilm” secara linguistik berasal dari akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari perkataan ‘alâmah, yaitu ―tanda, penunjuk, atau indikasi yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi, label; ciri-ciri; indikasi; dan tanda- tanda‖. Dengan demikian, ma’lam jamak: ma’âlim berarti ―rambu-rambu jalan‖ atau ―sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang‖. ―Alam” juga berarti penunjuk jalan. Maka bukan tanpa alasan jika penggunaan istilah ayat yang secara literal berati ―tanda‖ merujuk pada ayat-ayat al- Qur‘an dan fenomena alam. Oleh karena itu, sejak dulu umat Islam menganggal ilmu berarti al- Qur‘an; syari‘at; sunnah, Islam; iman; ilmu spiritual ‘ilm ladunni, hikmah dan ma’rifah; atau sering juga disebut cahaya nûr, pikiran fikr, sains, dan pendidikan –yang kesemuanya menghimpun semua hakikat ilmu. Lihat Ahmad ibn Fâris, Mu’jam al-Maqâyîs fi al-Lughah, Tahqîq Syihâb al-Dîn 4 dan obyek pengetahuan QS. al-Baqarah [2]:31-32. Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita kepada sumber-sumber ilmu, di samping klasifikasi dan ragam disiplinnya 7 . Ayat-ayat al- Qur‘an teks dan ayat-ayat Allah yang ada di alam raya, keduanya secara terpadu, tidak hanya menarik ―dibaca‖ dan dikaji, melainkan juga dapat menjadi sumber dan obyek penelitian dan pengembangan yang tidak pernah lapuk ditelan zaman. 8 Beberapa Sunnah Nabi Saw juga memerintahkan kita untuk menuntut ilmu semenjak buaian ibu hingga masuk liang lahad mati. Tinta ulama itu lebih utama daripada darah syuhada‘ HR. al-Bukhârî. Bertafakkur sekali itu lebih baik daripada beribadah seribu kali. Menuntut ilmu juga merupakan salah satu jalan yang mengantarkan seseorang masuk surga. ―Berperang‖ dalam rangka mencari ilmu itu lebih disukai Allah daripada mengikuti seratus kali perang‖ HR. al-Bukhârî. 9 Dalam konteks tersebut, semua manusia mencipta dan diciptakan oleh sistem kebudayaannya melalui proses pendidikan. Sejarah kebudayaan manusia berkembang dari tahap mitis penuh mitos, ontologis, dan fungsional. Secara keseluruhan, al- Qur‘an menekankan pada kebudayaan yang fungsional di mana ilmu dan teknologi mengambil peran sentral. Al- Qur‘an mengajarkan agar manusia berpengetahuan, tidak sekedar mencari tahu, melainkan juga dengan tujuan tertentu yang bersifat fungsional. 10 Oleh karena itu, sifat dasar ilmu pengetahuan dalam Islam adalah adanya wawasan terhadap Yang Kudus. Sesungguhnya yang membedakan cara berpikir Islami dari cara berpikir Barat adalah keyakinan yang tidak tergoyahkan dari cara berpikir yang pertama bahwa Allah berkuasa atas segala hal dan bahwa segala sesuatunya, termasuk ilmu pengetahuan, berasal dari satu-satunya sumber, yang tidak lain adalah Allah al-Haqq. Oleh karena sumber pengetahuan adalah Yang Kudus, ibn Abu ‗Amr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1998, Cet. II, h. 689. Lihat juga Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Bandung: Mizan, 2003, Cet. I, h. 144. 7 M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur ’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1996, Cet. ke-12, h. 62. 8 Dalam hal ini, Allah antara lain berfirman: ―Katakanlah: Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis ditulis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula .‖ QS. al-Kahfi [18]: 109. 9 Lihat Tâj al-Sirr Ahmad Harrân, al- ‘Ulûm wa al-Funûn fi al-Hadhârah al-Islâmiyyah, Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 2002, Cet. I, h. 55. 10 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al- Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. I, h. 526. 5 maka tujuan ilmu tidak adalah proses menuju kesadaran mengenai Yang Kudus 11 . Dengan demikian, Allah adalah Sumber dan Muara ilmu al-`Alîm, al-`Allâm. Ilmu dalam perspektif pendidikan Islam, dengan demikian, bukan tujuan itu sendiri, melainkan sarana, media atau alat untuk mencapai tujuan yang lebih luhur dan mulia, yakni mencapai kesadasaran tentang Yang Kudus, Yang Mahasuci, Yang Maha Mengetahui, sehingga pemiliknya sadar bahwa dengan ilmunya ia harus mengelola alam, menjalin hubungan baik dengan sesama, dan lebih-lebih beribadah dengan-Nya secara konsisten istiqâmah dan bertanggung jawab. 12 Dengan ilmu, manusia diharapkan tidak saja lebih dekat dengan Tuhannya, melainkan juga lebih merakyat dengan sesama, dan lebih bermanfaat bagi kehidupan, serta berperan dalam mendayagukan fasilitas dan sumber daya alama yang tersedia di alam raya ayat-ayat kawniyyah. Jadi, ilmu dalam Islam merupakan jalan yang dapat mengantarkan seseorang kepada ma`rifat Allah mengenal dan memahami Allah 13 , sehingga ia menjadi ‘abd hamba sekaligus khalifah-Nya yang bertanggung jawab dalam membangun peradaban dunia yang berkeadilan dan menyejahterakan.

C. Metode Pemerolehan Ilmu