5 maka tujuan ilmu tidak adalah proses menuju kesadaran mengenai Yang Kudus
11
. Dengan demikian, Allah adalah Sumber dan Muara ilmu al-`Alîm, al-`Allâm.
Ilmu dalam perspektif pendidikan Islam, dengan demikian, bukan tujuan itu sendiri, melainkan sarana, media atau alat untuk mencapai tujuan yang lebih luhur
dan mulia, yakni mencapai kesadasaran tentang Yang Kudus, Yang Mahasuci, Yang Maha Mengetahui, sehingga pemiliknya sadar bahwa dengan ilmunya ia harus
mengelola alam, menjalin hubungan baik dengan sesama, dan lebih-lebih beribadah dengan-Nya secara konsisten istiqâmah dan bertanggung jawab.
12
Dengan ilmu, manusia diharapkan tidak saja lebih dekat dengan Tuhannya, melainkan juga lebih
merakyat dengan sesama, dan lebih bermanfaat bagi kehidupan, serta berperan dalam mendayagukan fasilitas dan sumber daya alama yang tersedia di alam raya ayat-ayat
kawniyyah. Jadi, ilmu dalam Islam merupakan jalan yang dapat mengantarkan seseorang kepada ma`rifat Allah mengenal dan memahami Allah
13
, sehingga ia menjadi
‘abd hamba sekaligus khalifah-Nya yang bertanggung jawab dalam membangun peradaban dunia yang berkeadilan dan menyejahterakan.
C. Metode Pemerolehan Ilmu
Pada umumnya ilmu itu diperoleh melalui pencarian, pembacaan, penelitian, permenungan, kontemplasi, ilham, dan pengalaman. Dari segi pemerolehannya, ilmu
dapat dikategorikan menjadi: al-ilm al-hushûlî atau ‘ilm al-kasb dan al-‘ilm al-
hudhûrî, `ilm al-wahb atau ilm ladunnî. Yang pertama diperoleh melalui usaha dan kerja akal-rasioanal, seperti: belajar, membaca, meneliti, mengamati, melakukan
ujicoba eksperimen, permenungan, dan kontemplasi. Sedangkan yang kedua diperoleh melalui intuisi, ma
’rifah gnostik dan pendekatan diri kepada Allah. Para Nabi,
aulia’ wali, dan sufi pada umumnya –diyakini— dapat dan pernah mendapat ilmu jenis ini; sedangkan masyarakat pada umumnya cenderung
11
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Terjemahan dari Philosophy and Science is the Islamic World, oleh Hasan Basri, Jakarta: Yayasan Obor, 1988, h.5.
12
Menurut ‗Abd al-Rahmân al-Nahlâwî, tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan manusia sebagai ahli ibadah dan ahli khilafah dalam mewujudkan syari‘at Allah dan kemakmuran di alam raya
ini. Ibadah dan khilafah –yang menjadi amanah yang harus dipikul oleh manusia— hanya dapat
dilaksanakan dan direalisasikan manusia, jika ia mau belajar dan mengembangkan ilmu. Lihat ‗Abd al-Rahmân al-Nahlâwi, Ushûl al-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa Asâlîbuhâ fi al-Bait wa al-Madrasah wa
al- Mujtama’, Damaskus: Dar al-Fikr, 2003, Cet. II, h. 107-109.
13
Muslim Tawfîq, al-H adhdhu ‘ala al-‘Ilm fi al-Islâm, Tripoli: Mansyûrât Jam`iyyat al-
Da`wah al-Islâmiyyah al- ‗Âlamiyyah, 1991, Cet. I, h. 37.
6 memperoleh ilmu melalui jalur pendidikan, baik informal, formal maupun non-
formal atau otodidak. Khusus para Nabi, oleh Allah, diberi hikmah dan wahyu. Hal tersebut, antara lain, ditegaskan oleh Allah swt. dalam al-
Qur‘an: ―Dan tiadalah yang diucapkannya Muhammad Saw. itu menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang yang disampaikan kepadanya.” QS. al-Najm [53]:3-4. Pada ayat lain Allah menyatakan: ―Allah
menganugerahkan al-hikmah kepahaman yang dalam tentang al- Qur‘an dan al-
Sunnah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Siapa yang dianugerahi Allah hikmah itu, berarti ia benar-
benar dianugerahi kanuria yang banyak…QS. al-Baqarah [2]: 269. Jadi, ilmu Allah itu ada yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk
wahyu dan hikmah, seperti yang dianugerahkan kepada para Nabi, dan ada pula yang diberikan kepada manusia pada umumnya melalui belajar, mencari ilmu, berguru,
membaca, meneliti dan seterusnya.
14
Kedua jenis ilmu tersebut pada dasarnya bermuara sama, yaitu bahwa kebenaran ilmu itu bersumber dari Allah Swt. Bedanya adalah bahwa ilmu para Nabi
yang berupa wahyu mempunyai nilai kebenaran yang lebih tinggi, dibandingkan dengan ilmu yang diperoleh manusia pada umumnya. Dalam pemerolehannya,
keduanya memang melibatkan fungsi akal, namun pencapaian melalui akal mustafâd melalui Jibril jelas lebih unggul dan steril dari hawa al-nafs kepentingan dan
kecenderungan pribadi manusia. Wahyu itu diberikan, dalam arti, Allah berkehendak menurunkan langsung ilmu-Nya kepada para Nabi; sedangkan dalam
ilm hushûlî, manusia yang berkeingingan untuk memperolehnya. Dalam perspektif pendidikan Islam, pemerolehan ilmu tidak hanya terkait
dengan metode pemerolehannya, melainkan juga tidak dapat dipisahkan dengan etika yang dipedomani si pembelajar. Metode pemerolehan ilmu melalui belajar ta
’allum, dirâsah, iktisâb, talaqqi, musyâfahah, menurut para pakar pendidikan Islam, antara
lain seperti al-Khathîb al-Baghdâdi 392-463 H, dapat ditempuh dengan imlâ’ dikte
dari guru kepada murid, samâ` mendengar, mengaji, qira’ah membaca, `ardh
presentasi, mudzâkarah wa tikrâr pengulangan, su’âl penanyaan, munâzharah
14
Shâlih Ahmad al- ‗Ali, al-‘Ulûm ‘inda al-‘Arab: Dirâsah fî Kutubihâ wa Makânatihâ fi al-
Harakah al-Fikriyyah fi al-Islâm, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1989, h. 27-28.
7 debat, rihlah fi thalab al-`ilm studi tour, ijâzah pemberian pengakuan, ijazah,
mukâtabah penyalinan, i`lâm transfer informasi, washiyyah pemberian wasiat, munâwalah penyampaian riwayat, berita, informasi, dan wijâdah penyampaian
riwayat berdasarkan temuan tulisan dari seseorang.
15
A. Yusuf Ali cenderung meringkas sumber pengetahuan itu menjadi tiga saja, yaitu: wahyu, rasio dan indera. Menurut pola al-
Qur‘an, pengetahuan tersebut diperoleh melalui wahyu dan penobatan secara ketuhanan pengetahuan yang absolut
haqq al-yaqîn, rasionalisme atau kesimpulan yang didasari pada keputusan atau penilaianpengharapan fakta-fakta al-
‘ilm al-yaqîn, dan melalui empirisme dan persepsi, yaitu dengan menggunakan observasi, eksperimen, laporan sejarah,
deskripsi pengalaman- pengalaman kehidupan dan semacamnya ‗ain al-yaqîn.
16
Ketiga sumber tersebut memiliki bobot kebenaran yang berbeda secara bertingkat. Ilmu yang diperoleh melalui indera yang disebut
‘ain al-yaqîn itu dalam batas-batas pengamatan indera bisa dibenarkan. Namun ternyata yang dinyatakan
indera secara kolektif tidak selalu benar, jika realitasnya dilihat secara ilmiah. Karena itu, rasio tidak puas dengan kebenaran inderawi, dan sebagai konsekuensinya rasio
melakukan perenungan-perenungan untuk mendapatkan ilmu yang kebenarannya bisa dipercaya, yang disebut
‘ilm al-yaqîn. Betapapun rasio berusaha keras mencapai pengetahuan yang bisa dipercaya kebenarannya, tetapi kemampuan rasio manusia
sangat terbatas, sehingga tidak jarang rasio mengalami kesulitan, bahkan tidak mampu menembus ―wilayah gelap‖ misteri. Dalam kondisi demikian, rasio
memerlukan bantuan spiritual dengan mengikuti wahyu untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut haqq al-yaqîn. Jadi, haqq al-yaqîn lebih tinggi daripada
15
Sâlik Ah mad Ma‘lûm, al-Fikr al-Tarbawi ‘inda al-Khathîb al-Baghdâdi, Medina:
Mathb a‘ah al-Mahmûdiyyah, 1992, Cet. I, h. 232-242 dan 294-299. Hal senada juga pernah
dinyatakan ‗Ali ibn Abi Thalib w. 40 H dalam syairnya yang berbahar thawil berikut:
نايبب اهعومجم نع كيبنأس ةتــسب اإ ملعلا لانت نل اأ ةـغلبو رابطصاو صرحو ءاكذ
نامز لوطو ذاتسأ داشرإو
Artinya: Ingatlah, engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali memenuhi enam faktor. Keenam faktor itu semuanya akan kujelaskan dengan rinci, sebagai berikut:
Kecerdasan, kesabaran, kemauan kuat, kecukupan dana, bimbingan tenaga pendidik, dan kecukupan alokasi waktu.
16
A. Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Text, Translation, Commentatory, Leicester: The Islamic
Foundation, 1975, h. 1603.
8 ‘ilm al-yaqîn, sedangkan ‘ilm al-yaqîn lebih tinggi daripada ‘ain al-yaqîn.
17
Sementara itu, etika belajar yang mengantarkan seorang pembelajar memperoleh ilmu juga penting diperhatikan, seperti: 1 niat yang tulus dalam
menuntut ilmu, 2 mengkonsentrasikan diri dalam studi, 3 sabar, 4 rendah hati, 5 tekun, 6 menghormati guru, ulama, 7 berusaha secara halal, dan 8 bersegera
dan disiplin dalam belajar.
18
Dengan demikian, pemerolehan ilmu dalam pendidikan Islam sangat bergantung pada niat komitmen dari pelakunya, tata-caraprosedur,
proses, tujuan hingga etika yang dipedomaninya. Namun demikian, dari sekian metode pemerolehan ilmu, studi dan penelitian
ilmiah di dunia Islam tampaknya sejauh ini masih sangat ketinggalan atau belum berkembang dinamis. Hal ini, antara lain disebabkan oleh rendahnya sikap ilmiah
dan tradisi intelektualisme di kalangan umat Islam serta minimnya apreasiasi terhadap pemikiran dan karya-karya konstruktif; umat Islam selama ini masih
cenderung menjadi konsumen ilmu, daripada menjadi produsen dan pengembang ilmu. Oleh karena itu, lembaga pendidikan Islam dituntut mampu menanamkan rasa
cinta terhadap ilmu, menumbuhkembangkan etos akademik dan tradisi penelitian, karya dan kreativitas ilmiah yang dapat memberikan sumbangan berarti bagi umat
Islam dan peradaban dunia.
D. Klasifikasi Ilmu dan Pengokohan Bingkai Epistemologi