1
INTEGRASI EPISTEMOLOGI ILMU-ILMU DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Oleh Muhbib Abdul Wahab
ثحبلا صخلم .ةيويندلاو ةينيدلا مولعلا ىلإ مولعلا قاقشنا يماسإا يراضحلا فلختلا بابسأ نم نإ
.ميلعلا ها ،قحلا اهردصم مولعلا نأ قحلاو لعجت ةيماسإا ةيبرتلا تناكو
ةدحو مولعلا يف مولعلا ةيجولوميتسبإ ديحوت نإف مث نمو .ةياغلاو ليصحتلا قرطو ردصملا ثيح نم ةلماكتم
جهانم ةغايص ليبس يف ةيدج تاواحم ةيوبرتلا تاسسؤملا بجوتسي يرورض ماسإا ءوض خيرات ربع مولعلا ميسقت نأ نم مغرلا ىلعو .ةلماكتمو ةلماش ةغايص يملعلا ثحبلاو ليصحتلا
يف ةسوردملا مولعلا نأ اإ ،اهيلإ رظنلا تاهجو بسحب نيابتمو روطتم ةيماسإا ةيبرتلا لاخ نم اهريوطت ىلإ ةسام ةجاحب ةيماسإا ةيميلعتلا تاسسؤملا
ةيمنت ةيملعلا ثوحبلا
لا ةيدج
خيسرتو ، ةديقعلا
اهتيلجتو ةيماسإا ميقلا ةرولب نم مهنكمي اخيسرت باطلا سوفن يف ةسراممب
.ةيلمعلاو ةيملعلا ةايحلا طاسوأ يف ةلضافلا قاخأا
Kata Kunci:
Integrasi epistemologi, klasifikasi ilmu, komitmen spiritual dalam penelitian, pengembangan pendidikan Islam.
―Kita tak perlu malu mengakui kebenaran dan mengambilnya dari sumber manapun datangnya, bahkan kalaupun kebenaran itu dibawa kepada kita oleh
generasi-generasi terdahulu dan bangsa-bangsa asing. Sebab bagi pencari kebenaran tak ada nilai yang lebih tinggi dari kebenaran itu sendiri. Kebenaran tak
pernah menghindar dari orang-orang yang mau menerimanya. Kebenaran tak pernah menghinakan orang yang menerimanya, melainkan selalu membuatnya
mulia.‖ [al-Kindi]
1
A. Pendahuluan
Pernyataan al-Kindi 801-868 M tersebut merupakan sebuah ekspresi yang tulus dari seorang pencari kebenaran yang sejati. Orang yang paling mulia adalah
orang yang selalu berusaha mencari kebenaran, termasuk kebenaran ilmu, karena memang kebenaran itu dapat mengantarkan manusia kepada pengetahuan tentang al-
Haqq Yang Maha Benar, pengetahuan tentang Kebenaran sejati.
Penulis adalah dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Arab PBA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1
Seyyed Hossein Nashr, Three Muslim Scholars, Cambridge: Harvard University Press, 1964, First Edition, h. 11.
2
Dalam konteks itu, Islam merupakan agama yang sangat mendorong dan
mendukung tegaknya kebenaran, rasionalitas, dan ilmu pengetahuan al- ‘ilm, karena
Nabi Saw. sendiri menyatakan bahwa ―Agama Islam adalah akal rasionalitas, maka tidak dikatakan beragama orang yang tidak mendayagunakan akalnya
.‖ HR. Ibn Hibbân. Beberapa ayat al-
Qur‘an juga menunjukkan pentingnya ilmu pengetahuan dan kedudukan ulama. Di antaranya adalah firman Allah:
―… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu di antara kamu
beberapa derajat...” QS. al-Mujâdilah [58]:11 ―Hanya para ulama-lah di antara hamba-hamba-Nya yang mampu mencapai derajat taqwa takut dan dekat kepada
Allah” QS. Fâthir [35]:28.
2
Perkembangan ilmu bermula dari sikap kuriositas rasa ingin tahu manusia dan berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidupnya. Karena memiliki potensi
akal, rasa, karsa, dan mata hati bashîrah, termasuk spiritualitas God Spot, noktah Ilahiyyah yang ada dalam dirinya, manusia selalu terdorong untuk mengetahui
sesuatu, memahami berbagai obyek yang ada di sekitarnya, mencari jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang mengusiknya, baik mengenai alam sekitarnya
makro kosmos maupun mengenai alam dirinya sendiri mikro kosmos
3
. Dua pilar utama pengembangan ilmu pengetahuan adalah penalaran rasionalitas dan
pengamatan empirisme. Keduanya terjalin sangat erat, dan menjadi dasar metode ilmiah. Keingintahuan manusia dapat muncul dari renungan, refleksi, pemikiran dan
kontemplasi yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengamatan, pencatatan, analisis dan konseptualisasi. Bisa jadi, rasa ingin tahu juga muncul berdasarkan pengamatan,
kemudian dilanjutkan dengan renungan, seperti pengalaman Nabi Ibrâhîm As. dalam menemukan kebenaran akan keesaan Allah yang Maha Kuasa
4
. Akan tetapi, sumber ilmu pengetahuan tidaklah terbatas pada pengamatan,
pengalaman empiris, penalaran logis dan hasil bacaan, sebab semua itu cenderung
2
Dalam konteks itu, Nabi Saw. bersabda: ―Carilah ilmu walaupun sampai negeri Cina, sebab mencari ilmu itu wajib bagi Muslim”. HR. al-Baihaqi, al-Khathib, Ibn `Abd al-Barr, dan
lainnya.
3
Farid Ruskanda, Pemanfaatan dan Penyebarluasan IPTEK Dalam Sudut Pandang Syariat Islam, Jakarta: UMJ Press, 1995, h. 1. Baca pula sumber untuk memperoleh pengetahuan, Masri el-
Mahsyar Bidin, dkk., Integrasi Ilmu Agama dan Umum: Mencari Format Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003, h. 4-6.
4
Ruskanda, Pemanfaatan…., h. 2. Berkaitan dengan permenungan dan temuan Nabi Ibrâhîm
mengenai tauhid hakiki, lihat al- Qur‘an surat al-An`am [6]: 74-79.
3 bersifat relatif dan temporer, bahkan subyektif. Oleh karena hakekat kebenaran itu
bersumber al-Haqq al-Ahad Sang Maha Benar yang Maha Esa, maka sumber ilmu
pengetahuan lainnya yang tidak dapat diabaikan adalah wahyu kitab suci, karena
sumber yang terakhir ini bersifat mutlak dan trasendental, sedangkan sumber-sumber yang lain akal, indera, pengalaman, dan sebagainya bersifat nisbi, relatif dan
subyektif. Dalam perspektif mistik, intuisi dan suara hati nurani dhamîr juga merupakan sumber kebenaran, karena memang hati nurani itu, menurut al-
Qur‘an tidak berdusta selalu menyuarakan kebenaran QS. al-Najm [53]:11. Dengan kata
lain, Kitab suci dan tradisi Nabi Saw. Sunnah tidak hanya sebagai sumber hukum, melainkan juga sebagai sumber ilmu pengetahuan dan peradaban. Manusia dalam hal
ini dituntut mampu mengaktualisasikan dirinya dengan memberikan kontribusi besar dalam menerjemahkan, menafsirkan dan membumikan pesan-pesan ilahi tersebut,
berikut merumuskannya dengan bahasa ilmu: konseptualisasi dan teoritisasi.
B. Posisi Ilmu dalam Islam