Klasifikasi Ilmu dan Pengokohan Bingkai Epistemologi

8 ‘ilm al-yaqîn, sedangkan ‘ilm al-yaqîn lebih tinggi daripada ‘ain al-yaqîn. 17 Sementara itu, etika belajar yang mengantarkan seorang pembelajar memperoleh ilmu juga penting diperhatikan, seperti: 1 niat yang tulus dalam menuntut ilmu, 2 mengkonsentrasikan diri dalam studi, 3 sabar, 4 rendah hati, 5 tekun, 6 menghormati guru, ulama, 7 berusaha secara halal, dan 8 bersegera dan disiplin dalam belajar. 18 Dengan demikian, pemerolehan ilmu dalam pendidikan Islam sangat bergantung pada niat komitmen dari pelakunya, tata-caraprosedur, proses, tujuan hingga etika yang dipedomaninya. Namun demikian, dari sekian metode pemerolehan ilmu, studi dan penelitian ilmiah di dunia Islam tampaknya sejauh ini masih sangat ketinggalan atau belum berkembang dinamis. Hal ini, antara lain disebabkan oleh rendahnya sikap ilmiah dan tradisi intelektualisme di kalangan umat Islam serta minimnya apreasiasi terhadap pemikiran dan karya-karya konstruktif; umat Islam selama ini masih cenderung menjadi konsumen ilmu, daripada menjadi produsen dan pengembang ilmu. Oleh karena itu, lembaga pendidikan Islam dituntut mampu menanamkan rasa cinta terhadap ilmu, menumbuhkembangkan etos akademik dan tradisi penelitian, karya dan kreativitas ilmiah yang dapat memberikan sumbangan berarti bagi umat Islam dan peradaban dunia.

D. Klasifikasi Ilmu dan Pengokohan Bingkai Epistemologi

Pada masa Nabi Saw. ilmu belum berkembang seperti pada masa keemasan Islam atau seperti sekarang ini, dan karena itu, belum ada klasifikasi dan pembidangan tertentu. Abad ke-8 hingga 12 merupakan zaman keemasan Islam, di mana umat Islam mengembangkan suatu kehausan yang amat besar terhadap ilmu, 17 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005, Cet. I, h. 110-111. 18 Sâlik Ahmad Ma`lûm, al-Fikr al-Tarbawi.., h. 294-299. Hal senada juga pernah dinyatakan ‗Ali ibn Abi Thalib w. 40 H dalam syairnya: نايبب اهعومجم نع كيبنأس ةتــسب اإ ملعلا لانت نل اأ ةـغلبو رابطصاو صرحو ءاكذ نامز لوطو ذاتسأ داشرإو Artinya: Ingatlah, engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali memenuhi enam faktor. Keenam faktor itu semuanya akan kujelaskan dengan rinci, sebagai berikut: Kecerdasan, kesabaran, kemauan kuat, kecukupan dana, bimbingan tenaga pendidik, dan kecukupan alokasi waktu. 9 suatu kerinduan terhadap ilmu yang tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah. Peradaban Islam ketika itu mencapai puncaknya, dan kaum Muslim menjadi para pemimpin pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan 19 . Namun demikian, menarik dicatat bahwa instruksi Nabi kepada para sahabatnya, terutama kepada juru tulisnya, untuk menulis menyalin al- Qur‘an yang diterima dari Allah melalui malaikat Jibril, diperkuat dengan ayat pertama yang turun, yaitu: ―Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu” QS. al-‗Alaq [96]:1 merupakan faktor pemicu dan pemacu lahir dan berkembangnya tradisi baca-tulis, sebagai ganti dari tradisi lisan dengar-hafal, musyâfahah yang saat itu memang sangat berkembang. Tradisi baca dan tulis-menulis merupakan cikal-bakal dinamika keilmuan dan tradisi intelektualisme dalam sejarah pendidikan Islam. Sepeninggal Nabi Saw., ‗Umar ibn al-Khaththâb 584-644 M. merupakan figur shahabat yang sangat menaruh perhatian terhadap pembukuan al- Qur‘an. Atas prakarsa dan berbagai pertimbangannya yang memang rasional –seperti banyak sahabat yang gugur di medan perang melawan kaum murtad —sahabat Abu Bakar w. 12 H setuju untuk mengumpulkan dan membukukan al- Qur‘an dalam satu mushhaf. Ketika wilayah kekuasaan Islam meluas, melampaui Jazirah Arab, dan menyebar hingga Suriah, Bashrah dan Kufah Iraq, Mesir dan Afrika Utara, kebutuhan terhadap mushhaf al- Qur‘an sebagai pedoman umat Islam pun meningkat, sehingga pada masa Utsmân ibn `Affân kodifikasi dan standarisasi mushhaf dilakukan. Mushhaf kemudian disalin dan dibagikan ke beberapa wilayah kekuasaan Islam, seperti Damaskus, Mesir, Yaman, Mekkah, Syam Suriah –sekarang dan sebagainya. Namun demikian, karena sebagian orang yang baru masuk Islam bukan orang Arab, dan dengan demikian tidak bisa secara langsung membaca dan memahami al- Qur‘an yang berbahasa Arab, maka kebutuhan akan pemberian harakat tanda baca al- Qur‘an pun menjadi mendesak. Adalah ‗Ali ibn Abi Thâlib –karramallahu wajhah —600-661 M, sahabat yang menginstruksikan perlunya dilakukan pemberian tanda baca pada ayat-ayat al- Qur‘an agar tidak dibaca salah, yang dapat 19 Muslim Tawfiq, al-Hadhdhu..., h. 111. 10 berimplikasi terhadap pemaknaan dan pengamalan ajaran Islam secara salah pula. ‗Ali juga termasuk pencetus atau inspirator ilmu nahwu gramatika bahasa Arab dengan memerintahkan Abu al-Aswad al-Duali 16-69 H untuk menyusunnya. 20 Dari uraian tersebut, menarik digarisbawahi bahwa al- Qur‘anlah yang menjadi faktor utama pemicu dan pemacu lahirnya ilmu-ilmu tradisional dalam Islam, seperti ilmu bahasa, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu kalam, ilmu fiqh dan lain sebagainya. Perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam berjalan seiring dengan kemajuan sosial-ekonomi dan politik umat Islam. Ketika hadis-hadis banyak dipalsukan dan dimanipulasi untuk berbagai kepentingan, terutama politik, maka timbullah hasrat untuk menghimpun dan menuliskan hadis, seperti yang diprakarsai oleh khalifah Umayyah, Umar Ibn ‗Abd al-Aziz 681-720 M. Dari kodifikasi, lalu berkembang ilmu hadis, kemudian untuk menyeleksi hadis yang shahih dari yang dha`if, muncullah ilm al-jarh wa al-ta ’dil, semacam metode kritik hadis. Dan dari ilmu kemudian berkembang ilmu sejarah, terutama penulisan sîrah biografi, sejarah para Nabi Saw. dan sejarah sosial politik. Ketika bertemu dan berdialog dengan tradisi Hellenistik di Suriah, umat Islam seolah mendapatkan ―darah segar‖ untuk lebih memanintesifkan dan mengekstensifkan tradisi keilmuannya. Filsafat, ilmu-ilmu alam dan sebagainya kemudian ditransfer dan dikembangkan dengan ―sentuhan dan nuansa Islami‖ oleh umat Islam. Puncaknya adalah pada masa Abbasiyah, utamanya pada masa Hârûn al- Rasyîd dan al- Ma‘mûn. Lebih dari itu, tradisi keilmuan di Timur seperti Persia dan Hindia, juga memberi kontribusi yang tidak kecil bagi pengembangan berbagai disiplin ilmu, seperti administrasi, kedokteran, matematika, dan kimia. Menurut CA. Qadir, para pemikir Islam yang pertama –dengan mengikuti pendapat Aristoteles —mengklasifikasikan ilmu ke dalam 3 bagian, yakni: ilmu teoretis, praktis dan produktif. al-Kindi merupakan filosof Muslim pertama yang menyajikan klasifikasi seperti itu, yang kemudian difganti oleh al-Farabi 870-901 M dalam bukunya Ih shâ’ al-‘Ulûm Daftar Klasifikasi Ilmu 21 . 20 Lihat Rih âb Khudhar ‗Akkâwî, Mawsû’ah Abâqirat al-Islâm, Beirût: Dâr al-Fikr al- ‗Arabî, 1993, Cet. I, h. 9. 21 CA. Qadir, Filsafat…., h. 114. 11 Klasifikasi yang dibuat oleh al-Fârabi dapat ditabulasikan sebagai berikut 22 : No. Klasifikasi Ilmu Cabang-cabang Ilmu 1 Ilmu Bahasa 1. Sintaksis 2. Gramatika Tata Bahasa 3. Lafal dan Penuturan 4. Puisi 2 Logika 1. Definisi dan Penyusunan Ide-ide 2. Silogisme dan Bukti-bukti Dialektis 3. Validitas Penalaran 4. Silogisme Pidato dan Diskusi 3 Ilmu-ilmu Pendahuluan Dasar 1. Ilmu Hitung –praktis dan teoretis 2. Ilmu Ukur –praktis dan teoretis 3. Ilmu Optika 4. Ilmu tentang langit 5. Musik 6. Ilmu Mebeler 4 Fisika Ilmu Alam 1. Ilmu Mineral 2. Ilmu Hewan 3. Ilmu Tumbuhan 5 Metafisika 1. Ilmu Wujud 2. Ilmu-ilmu yang menggunakan pengamatan 3. Ilmu Masyarakat 4. Ilmu Hukum 5. Retorika Sesudah al-Farabi, Ibn Sina 980-1037 M, Ikhwân al-Shafâ dan al-Razi 865-925 M juga membuat klasifikasi ilmu, namun tidak jauh berbeda dengan al- Farabi. Adalah Ibn Khaldûn 1332-1406 M, yang memprakarsai penyusunan klasifikasi ilmu ke dalam: 1 Ilmu-ilmu rasional al- ‘ulûm al-‘aqliyyah dan 2 ilmu- ilmu yang diturunkandiwariskan al- ‘ulûm al-Naqliyyah. Klasifikasi yang lebih sederhana –dan tampaknya berdasarkan sumbernya— ini dapat diringkaskan sebagai berikut 23 . No. Klasifikasi Ilmu Cabang-cabang Ilmu 1 Ilmu-ilmu Rasional 1. Logika 2. Fisika ilmu-ilmu alam 3. Ilmu Kedokteran 4. Ilmu Pertanian 5. Metafisika ilmu-ilmu tentang di luar alam 6. Ilmu Sihir 7. Ilmu Ghaib 22 Lihat al-Fârabî, Ih shâ’ al-‘Ulûm, Ditahqiq oleh Utsmân Amîn, Kairo: Dâr al-Fikr al- ‗Arabî, tt., 43-44. 23 C.A. Qadir, Filsafat…., h. 116. 12 8. Kimia 9. Ilmu-ilmu tentang kuantitas: ilmu ukur, bidang, ruang 10. Musik 11. Ilmu Hitung matematika 12. Astronomi 2 Ilmu-ilmu yang Diturunkandiwariskan tradisional 1. al- Qur‘an Ilmu al-Qur‘an 2. Hadis Ilmu Hadis 3. Ilmu Hukum 4. Teologi 5. Ilmu Tasawuf 6. Ilmu-ilmu bahasa: tata bahasa, perkamusan dan sastra Lebih lanjut, dalam konfrensi Internasional II mengenai pendidikan Islam di Islamabad, Maret 1980, telah disepakati klasifikasi ilmu sebagai berikut. Landasan epistemologinya adalah pandangan bahwa pengetahuan itu menyangkut hal-hal yang kekal abadi atau yang diperoleh kemudian 24 . No. Klasifikasi Ilmu Cabang-cabang Ilmu 1 Ilmu-ilmu tentang yang kekal- abadi 1. al- Qur‘an: studi dan penafsirannya 2. HadisSunnah Nabi 3. Sirah bio grafi Nabi, para sahabat dan tabi‘in 4. Keesaan Allah tauhid 5. Prinsip-prinsip ilmu hukum 6. Bahasa Arab al- Qur‘an 7. Ilmu-ilmu tambahanpenunjang –metafisika Islam, perbandingan agama dan kebudayaan Islam 2 Ilmu-ilmu Perolehan 1. Seni imajinatif –seni arsitektur dan seni-seni Islam lainnya; bahasa dan sastra 2. Ilmu-ilmu intelektual –ilmu-ilmu sosial teoretis, filsafat, pendidikan, ekonomi, politik, sejarah, kebudayaan Muslim, teori-teori Islam tentang politik, ekonomi, sosial, ilmu bumi, sosiologi, linguistik, psikologi, antropologi 3. Ilmu-ilmu fisika teoretis –filsafat ilmu pengetahuan, fisika, matematika, statistik, kimia, ilmu biologi, astronomi, ilmu-ilmu tentang angkasa luar; 4. Ilmu-ilmu terapan –rekayasa dan teknologi sipil dan mesin, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, dan kehutanan 5. Ilmu-ilmu praktis –perdagangan, ilmu administrasi, administrasi bisnis, administrasi negara, ilmu-ilmu perpustakaan, ekonomi rumah tangga, ilmu-ilmu komunikasi. Selain itu, ada juga klasifikasi yang murni didasarkan atas sumber utama ajaran Islam, yaitu al- Qur‘an. Menurut Mahmûd ‗Abd al-Wahhâb Fâyid, klasifikasi 24 C.A. Qadir, Filsafat…., h. 117. 13 berikut ini dibangun atas asumsi bahwa ayat-ayat al- Qur‘an mengakomodasi mewadahi dan menginspirasi bagi pengembangan berbagai ilmu berikut. 1. Ilmu-ilmu bahasa Arab QS. al-Zukhruf [43]: 3. 2. Ilmu-ilmu hewan, bedah, kedokteran dan jiwa QS. al-Dzâriyât [51]: 21 dan al- Mu‘minûn [23]: 12-14 3. Ilmu-ilmu geologi, geografi, falak astronomi dan matematika QS. al- Nahl [16]: 10-11, 66; al- Anbiya‘ [21]: 30-33; Yunus [10]: 5. 4. Ilmu tumbuh-tumbuhan QS. al-Ra`d [13]: 4 5. Ilmu sejarah dan arkeologi QS. al-Rûm [30]: 9; dan Fâthir [35]: 44 6. Ilmu-ilmu kemiliteran dan keprajuritan QS. al-Anfâl [8]: 60. 25 Klasifikasi tersebut juga tidak begitu jelas kerangka epistemologisnya, sehingga ilmu hewan dan ilmu jiwa misalnya, diparalelkan dalam satu pembidangan, padahal obyek material dari keduanya jelas berbeda, yaitu hewan dan manusia. Selain itu, klasifikasi tersebut juga tidak mengakomodasi realitas ilmu dalam perspektif sejarah dan pendidikan Islam, sehingga berbagai ilmu-ilmu tradisional Islam seperti: ilmu kalam, ilmu fiqh, filsafat dan tasawuf Islam, tidak dimunculkan dalam klasifikasi tersebut. Dengan kalimat lain, klasifikasi tersebut cenderung menjustifikasi ilmu yang ada dengan mencocokkannya dengan ayat-ayat yang dinilai relevan dengan ilmu-ilmu dimaksud. Di Indonesia, pembidangan ilmu juga pernah dilakukan oleh Departemen Agama, bahkan pernah di-SK-kan oleh Menteri Agama RI Alamsjah Ratuperwiranegara, dengan Keputusan Menteri No. 110 Tahun 1982 sebagai berikut: No. Bidang Disiplin Subdisiplin 1 Qur‘an dan Hadis 1. `Ulum al- Qur‘an 2. Ulum al-Hadis 1. Tarikh al- Qur‘an 2. Ilmu Qira‘at al-Qur‘an 3. Balaghat al- Qur‘an 4. Muqaranat al-Tafsir 1. Hadis Dirayah 2. Hadis Riwayah 3. Tarikh al-Hadis wa al-Muhaddisin 25 Mah mûd ‗Abd al-Wahhâb Fâyid, al-Tarbiyah fi Kitâb Allah, Tunis: Dâr Busalâmah, 1985, h. 26. Lihat Juga Ya‘qûb Husain Nasywân, al-Manhaj al-Tarbawi min Manzhûr Islâmi, `Ammân: Dâr al-Furqân, 1992, Cet. I, h. 213-215. 14 2 Pemikiran dalam Islam 1. Ilmu Kalam Tauhid Teologi 2. Filsafat 3. Tasawuf 1. Sejarah KalamTauhid 2. Aliran-aliran Ilmu Kalam 3. Perbandingan Aliran-aliran dalam Ilmu Kalam 1. Sejarah Filsafat 2. Konsepsi Kebutuhan 3. Konsepsi Alam 4. Konsepsi Manusia 5. Politik 6. Akhlak 7. MantikLogika 1. Sejarah Tasawuf 2. Tasawuf akhlaki 3. Tasawuf Falsafi 4. Tarekat-tarekat 3 Fikih Hukum Islam dan Pranata Sosial 1. Fikih Islam Hukum Islam 2. Ushul Fikih 3. Pranata Sosial 4. Ilmu Falak 1. Ilmu Fikih 1. Madzahib al-Fiqh al-Islami 2. Perbandingan Madzhab 3. Sejarah Perkembangan Hukum Islam 4. Peradilan Islam 5. Ushul FikihUshul Fikih Muqaran 6. Filsafat Tasyri` Islami 1. Ilmu Siyasi 2. Institusi Masyrakat Islam 4 Sejarah dan Peradaban Islam 1. Sejarah Islam 2. Peradaban Islam 1. Periodisasi Sejarah Islam 2. Filsafat Sejarah 3. Historiografi Islam 1. Sejarah Peradaban Islam 2. Kebudayaan Islam 5 Bahasa 1. Bahasa Arab 2. Sastra Arab 1. Qawaid 2. Balaghah 3. ‗Ilm al-LughahFiqh al-Lughah 4. Maharat Lughawiyah 1. Kesusatraan Arab 2. Tarikh al-Adab 3. Perbandingan Sastra 4. Naqd al-Adab 5. Madzahib Adabiyyah 6. Funun `Arabiyyah 6 Al-Tarbiyah al- IslamiyyahPendidikan Islam 1. al-Tarbiyah wa al- Ta`lim Pendidikan dan Pengajaran Islam 2. ‘Ilm al-Nafs al- Islami Psikologi Islam 1. Asas-asas Pendidikan Islam 2. Filsafat Pendidikan Islam 3. Sejarah Pendidikan Islam 4. Metodologi Pengajaran Islam 5. Perbandingan Pendidikan Islam 6. Asas-asas Kurikulum Pengajaran Islam 7. Pembimbing Akhlak Islam 8. Administrasi dan Supervisi Islam 1. Ilmu Jiwa Pendidikan 2. Kesehatan Mental 3. Ilmu Jiwa Perkembangan 15 7 Dakwah Islam 1. Dakwah 2. Perbandingan Agama 1. Ilmu Dakwah 2. Sejarah Penyiaran dan Pengembangan Islam 3. Filsafat Dakwah 4. Bimbingan Sosial Keagamaan 5. Psikologi Dakwah 1. Sejarah Agama 2. Filsafat Agama 3. Sosiologi Agama 4. Ilmu Jiwa Agama 8 Pemikiran Modern di Dunia Islam 1. Politik 2. Hukum 3. Ekonomi 4. Budaya - Pembidangan ilmu versi Depag tersebut tampaknya masih belum jelas dasar pijakan dan perspektif yang digunakan, bahkan dalam beberapa sub disiplin ilmu terlihat masih tumpang tindih. Bidang Dakwah, misalnya, membawahi perbandingan agama, lalu subdisiplinya meliputi: sejarah agama, filsafat agama, sosiologi agama dan ilmu jiwa agama. Pengelompokan ini jelas kurang relevan karena secara epistemologis dakwah tidak berkaitan langsung dengan perbandingan agama. Ilmu perbandingan agama lebih dekat dengan ushûluddin teologi dan filsafat. Pemikiran Modern di Dunia Islam juga bukan merupakan suatu bidang keilmuan tersendiri mengingat substansinya lebih dekat kepada sejarah pemikiran pada masa modern, lagi pula disiplin yang terkait dengannya tidak hanya politik, hukum, ekonomi, budaya, melainkan dapat juga berhubungan dengan sosial, pendidikan, dakwah, lingkungan dan sebagainya. Dengan demikian, klasifikasi bidang ilmu ala Depag tampaknya belum memadai, karena perspektif dan dasar pembidangannya belum jelas. Kemungkinan – ini hanya spekulasi — pembidangan tersebut lebih didasarkan pada fakultas dan program studi yang sudah ada dan sudah mapan di UINIAIN, baik untuk program S1 maupun S2 dan S3. Selain itu, terkesan bahwa pembidangan tersebut cenderung merupakan spesialisasi ilmu-ilmu tradisional Islam, sementara itu ilmu-ilmu yang bersifat kealaman dan sosial kurang mendapat tempat. Peninjauan ulang terhadap pembidangan ilmu tersebut sangat diperlukan, terutama sehubungan dengan akan dikonversikannya IAIN menjadi UIN. 16 Dikhotomi ilmu agama dan ilmu umum memang harus segera diakhiri, karena hanya akan membuat umat Islam semakin tertinggal jauh dari negara-negara maju, mengingat ilmu-ilmu yang selama ini –oleh sebagian yang berpendapat bahwa ilmu agama fardhu ain dipelajari, sementara ilmu non-agama hukumnya fardhu kifâyah — ―harus diprioritaskan‖ untuk dipelajari adalah ilmu agama ilmu-ilmu tradisioal Islam tersebut, sementara ilmu-ilmu non-agama untuk tidak menyebut ilmu umum dipinggirkan, atau setidak-tidaknya, kurang mendapat perhatian, sehingga umat Islam yang ahli di bidang ilmu-ilmu kealaman tidak banyak. Komisi Disiplin Ilmu Agama KDIA Dewan Pendidikan Tinggi direktorar Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional telah menyepakati pengelompokan disiplin ilmu ke dalam 3 rumpun, yaitu: ilmu kealaman, ilmu sosial dan ilmu humaniora. KDIA juga sepakat bahwa studi agama termasuk Islam termasuk dalam rumpun ilmu humaniora 26 . Pengelompokan ini tampaknya didasarkan atas sifat dasar atau karakteristik masing-masing ilmu. Sebagai termasuk rumpun humaniora, studi agama diposisikan sebagai wilayah ilmu yang berkaitan dengan persoalan kemanusiaan dan sekaligus ketuhanan. Sehubungan dengan hal tersebut, Mastuhu juga pernah menawarkan pembidangan ilmu dalam Islam ke dalam 3 bidang: ilmu-ilmu ketuhanan, ilmu-ilmu sosial-budaya-humaniora dan sains. Pengelompokan ini didasarkan atas paradigma keilmuan yang ada dalam Islam, yang menurutnya ada tiga. Pertama, ilmu itu secara esensial terkandung dalam ajaran Islam. Pertumbuhan dan perkembangan suatu ilmu senantiasa bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam. Kedua, Islam tidak mengenal dikhotomi antara ilmu dan agama. Keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan dalam setiap posisi dan perannya. Kebenaran ilmu bersifat empirik dan relatif, namun dalam pandangan Islam antara bobot kebenaran ilmu, etika dan estetika merupakan satu kesatuan yang utuh. Ketiga, ilmu merupakan ciptaan manusia. Hanya saja sejak awal penciptaan, pengembangan dan pengamalan ilmu dalam Islam dilihat dari dua dimensi, yakni materi dan pelakunnya. Dimensi pertama 26 KDIA, Pengelompokan Disiplin Ilmu Agama, Hasil Perumusan Lakakarya Mencari Paradigma Baru Pengelompokan Disiplin Ilmu Agama, Jakarta: Dirjen Dikti Diknas, 2000, h.3. 17 mengindikasikan bahwa ilmu itu netral dalam penggunaannya, sedangkan dalam dimensi kedua, pengamalan dan pengembangan ilmu harus dilandasi keikhlasan 27 . Dari uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa klasifikasi dan pembidangan ilmu dalam dunia Islam mengalami perkembangan yang dinamis, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pembidangan ilmu pada dasarnya tidak akan ―final‖ seratus persen, karena watak dasar ilmu itu sendiri yang cenderung dinamis, terus-menerus mengalami koreksi, revisi dan penyempurnaan dari waktu ke waktu. Oleh karena kebenaran itu bersifat empirik dan relatif, maka klasifikasi ilmu yang dibuat siapapun atau lembaga manapun pada akhirnya harus diperlakukan sebagai sebuah kebenaran sementara yang pada saatnya nanti pasti akan ditinjau kembali. Dalam konteks integrasi epistemologi ilmu, penting ditegaskan bahwa ilmu dalam perspektif pendidikan Islam itu bersifat universal, karena sesuai dengan visi dan misi Islam sebagai rah matan lil ‘âlamîn. 28 Artinya, ilmu-ilmu yang dipelajari dan dikembangkan dalam lembaga pendidikan Islam itu harus dapat menyejahterakan tidak hanya manusia, melainkan juga harus melindungi kelestarian hewan dan tumbuh-tumbuhan. Artinya, ilmu harus bervisi teologis iqra’ bismi rabbik, bewatak humanis, dan berwawasan lingkungan ramah lingkungan hidup. E. Reintegrasi Epistemologi atau Islamisasi Pengetahuan?