Reintegrasi Epistemologi atau Islamisasi Pengetahuan?

17 mengindikasikan bahwa ilmu itu netral dalam penggunaannya, sedangkan dalam dimensi kedua, pengamalan dan pengembangan ilmu harus dilandasi keikhlasan 27 . Dari uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa klasifikasi dan pembidangan ilmu dalam dunia Islam mengalami perkembangan yang dinamis, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pembidangan ilmu pada dasarnya tidak akan ―final‖ seratus persen, karena watak dasar ilmu itu sendiri yang cenderung dinamis, terus-menerus mengalami koreksi, revisi dan penyempurnaan dari waktu ke waktu. Oleh karena kebenaran itu bersifat empirik dan relatif, maka klasifikasi ilmu yang dibuat siapapun atau lembaga manapun pada akhirnya harus diperlakukan sebagai sebuah kebenaran sementara yang pada saatnya nanti pasti akan ditinjau kembali. Dalam konteks integrasi epistemologi ilmu, penting ditegaskan bahwa ilmu dalam perspektif pendidikan Islam itu bersifat universal, karena sesuai dengan visi dan misi Islam sebagai rah matan lil ‘âlamîn. 28 Artinya, ilmu-ilmu yang dipelajari dan dikembangkan dalam lembaga pendidikan Islam itu harus dapat menyejahterakan tidak hanya manusia, melainkan juga harus melindungi kelestarian hewan dan tumbuh-tumbuhan. Artinya, ilmu harus bervisi teologis iqra’ bismi rabbik, bewatak humanis, dan berwawasan lingkungan ramah lingkungan hidup. E. Reintegrasi Epistemologi atau Islamisasi Pengetahuan? Sejalan dengan upaya peninjaun kembali klasifikasi dan pembidangan ilmu, tampaknya diperlukan adanya pengkajian secara kritis dan komprehensif mengenai sejarah perkembangan ilmu dalam Islam. Dari pengkajian ini, diharapkan terrekam dan terungkap peta dunia ilmu dalam Islam: dalam konteks apa sebuah ilmu itu muncul dan berdiri sendiri; apa yang menjadi landasan epistemologi sebuah ilmu; dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi kelahiran dan perkembangan sebuah ilmu. Dengan kalimat lain, ide untuk rekonstruksi sejarah ilmu dalam perspektif Islam menjadi sangat penting, tidak saja dalam rangka memperjelas dunia Islam dalam Islam di masa lalu, melainkan juga penting untuk merumuskan dan menata kembali pengembangan ilmu-ilmu yang islami ke depan. Lebih-lebih, studi-studi keilmuan dewasa ini cenderung mengambil atau menggunakan pendekatan lintas-disiplin 27 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, h. 219-30. 28 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam …, h. 120. 18 keilmuan, sehingga multi-diciplinary research itu dapat menghasilkan format baru dalam pengembangan ilmu. 29 Berubahnya IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan IAIN-IAIN lain Sunan Kalijaga Yogyakarta, STAIN Malang, Alauddin Makassar, dan Sunan Gunung Jati Bandung menjadi UIN Universitas Islam Negeri tampaknya merupakan momentum sejarah yang tepat 30 untuk melakukan rekonstruksi epistemologi ilmu- ilmu dalam Islam. Konstruksi teoritis substansi, orientasi, dan metodologi ilmu-ilmu dimaksud perlu diperkuat dan diperluas, sehingga berbagai disiplin ilmu yang ditawarakan dan dikembangkan UIN tidak saja memiliki basis teoritis yang jelas dan dapat diuji kebenarannya, melainkan juga mempunyai keunggulan praktis-pragmatis dalam aplikasi dan pendayagunaannya bagi masyarakat luas. Jika filsafat diposisikan sebagai mother of sciences induk segala ilmu, sementara tema dan narasi besar filsafat adalah Tuhan, Alam dan Manusia, maka menurut penulis, ilmu-ilmu yang ada dan berkembang hingga dewasa ini dapat direklasifikasi menjadi tiga kelompok, yaitu ilmu-ilmu ketuhanan al- ‘ulûm al- Ulûhiyyah, ilmu-ilmu kealaman `al-ulûm al-thabî ’iyyah dan ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial al- ‘ulûm al-insâniyyah wa al-Ijtimâ’iyyah. 31 Menurut penulis, pembidangan ilmu dapat diklasifikasi ulang berdasarkan kerangka epistemologi yang menempatkan ilmu dalam bingkai substansi, sumber, metodologi, dan obyek studinya. Penglasifikasian ke dalam tiga bangunan ilmu pada 29 Sebagai contoh, ilmu al-badî ilmu yang mempelajari mengenai pembagusan dan pemerindahan ungkapan, kalimat, dan gaya bahasa Arab sesuai dengan konteks sosial dalam kajian balâghah semula tercampur-baur dalam kajian ilmu Bayan dan ilmu Maani. Akan tetapi, setelah khalifah Ibn al-Mutazz 249-296 H melakukan resistematisasi pokok bahasan yang terkait dengannya, ilmu al-badî itu dapat berdiri sendiri, terpisah dari kajian kedua ilmu tersebut. Lihat Abd al-Rahmân Habannakah al-Maidanî, al-Balâghah al-Arabiyyah: Ususuhâ, wa Ulûmuhâ wa Funûnuhâ, Damaskus: Dâr al-Qalam, 1996. 30 Dengan mengutip pernyataan Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa konversi IAIN menjadi UIN Jakarta merupakan ―kemenangan politik‖ umat Islam. Kemenangan ini tidak hanya perlu disyukuri, melainkan juga perlu diisi dan dikembangkan. Untuk mengisi dan mengembangkan, menurut penulis, kesadaran dan komitmen spiritual semua pihak, terutama sivitas akademika UIN, perlu ditumbuhkan dan diarahkan kepada pengokohan tradisi belajar yang membuahkan kualitas moral dan amal yang baik termasuk kualitas karya akademik yang inspiratif dan memberi pencerahan. 31 Upaya untuk mengklasifikasikan bidang ilmu dalam prisma pemikiran Islam secara integratif pernah dicoba oleh Muhammad Jalâl Abu al-Futûh Syaraf, namun berhasil secara tuntas karena pendekatan yang digunakan cenderung filosofis, sehingga kurang membumi. Baca Muhammad Jalâl Abu al-Futûh Syaraf, Allah wa al-Âlam wa al-Insan fi al-Fikr al-Islâmi, Kairo: Dâr al-Maârif, 1969. 19 gilirannya dapat dikembangkan dengan berbagai pendekatan sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya, saja psikologi dan dakwah dapat dikawin-silangkan atau psikologi belajar dan bahasa Arab sehingga menjadi sinergi baru: psikologi dakwah dan psikologi belajar bahasa Arab. Teologi –yang termasuk dalam kategori ilmu-ilmu ketuhanan dapat dipadukan dan dimatangkan dengan pengembangan masyarakat, sehingga melahirkan: teologi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Teologi tidak hanya berkutat pada aliran dan pemikiran para mutakallim klasik yang hanya bermuara pada dua kutub ekstrem: Jabariyyah dan QadariyyahMu‘tazilah, tetapi yang lebih fungsional adalah bagaimana nilai-nilai positif dari masing-masing pemikiran teologis itu dapat diinternasilisasikan dalam proses pembentukan karakter peserta didik. Tentu saja, proses sinergi dan pengembangannya harus melalui kajian yang intens dan dapat dipertanggungjawabkan secara metodologis dan substantifnya. Secara teoritis, Islam dan sains modern tidak ada masalah. Sebagai agama universal, Islam merupakan penyempurna dan pemerindah dengan nilai-nilai moral dan etiknya ilmu-ilmu modern yang sejauh ini belum dikembangkan di dunia Islam. 32 Ilmu-ilmu yang akan dikembangkan di UIN dan lembaga pendidikan Islam lainnya tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai ketuhanan dan kodrat manusia serta relativitas ilmu itu sendiri. Karena itu, yang terpenting adalah penumbuhan kesadaran ilmiah, yaitu kesadaran untuk mau dan terus mengembangkan ilmu yang sudah ada, dan merespon ilmu-ilmu baru, sambil memberikan apreasiasi dan mengadaptasi dengan tetap memahami bahwa tujuan utama ilmu yang dipelajari dalam proses pendidikan Islam tidak lain adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt., tidak sekedar untuk memahami, menjelaskan, mengontrol dan memprediksi realitas yang ada realitas ketuhanan, realitas alam, dan realitas kemanusiaan. 33 Di kalangan ilmuwan Muslim sendiri ada yang menolak dan mendukung upaya islamisasi ilmu. Bagi yang menolak, yang merupakan mayoritas, ilmu pengetahuan itu bersifat obyektif, sehingga perbedaan antara ilmu pengetahuan modern dan Islam adalah semu. Bagi mereka, ilmu itu bersifat universal, sehingga 32 Lihat Muhbib Abdul Wahab, Reintegralisasi Sains dan Islam dalam Koran Tempo, Jakarta: 27 Pebruari 2005, h. 12. 33 Sâmi Muhammad Malham, Manâhij al-Bahts fi al-Tarbiyah wa Ilm al-Nafs, Amman: Dâr al-Masîrah, 2002, Cet. II, h. 30-31. 20 bisa berlaku sama di mana saja, di Barat maupun di Timur. Sedangkan bagi kelompok kedua, yang membenarkan adanya perbedaan mendasar antara epistemologi modern dan Islami, ilmu pengetahuan tidak bisa sama sekali terlepas dari subyektivitas sang ilmuwan, dan karena itu ilmu tidak bisa dikatakan obyektif, bebas nilai dan universal. Salah seorang yang menolak islamisasi adalah Parvez Hoodbhoy, seorang fisikawan muda yang cukup dikenal di Universitas Quad-i-azam, di Pakistan. Dalam bukunya Islam and Science , ia menyatakan bahwa ―tidak ada yang disebut ilmu Islami, dan semua upaya untuk mengislamkan ilmu akan mengalami kegagalan.‖ Alasannya tentu saja universalitas dan obyektivitas ilmu. Untuk memperkuat argumen ia mengemukakan kasus Abdus Salâm dan Stevenweinberg, dua fisikawan yang berbagi hadiah Nobel tahun l976 dalam bidang fisika karena keduanya telah berhasil menyatukan kekuatan-kekuatan lemah elektro-magnetik yang ada pada alam, padahal yang satu beragama Islam, dan yang lain terus terang mengaku ateis. 34 Dalam konteks ini, menarik digarisbawahi pendapat Mâjid Irsân al-Kailânî bahwa ilmu dalam pendidikan Islam itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Bingkai epistemologi ilmu dalam pendidikan Islam membentuk satu kesatuan, yaitu kesatuan sumber ilmu al-Khâliq, kesatuan wilayah dan obyek keilmuan al-Khâliq dan segala yang ada al-wujûd al-qâim, dan kesatuan tujuan pengetahuan ma’rifatullah. 35 Dengan kata lain, ilmu-ilmu yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan Islam, termasuk UIN, harus mampu memadukan atau mengintergrasikan ketiga hal tersebut dalam satu bingkai epistemologi yang utuh. Sebagai contoh, ketika belajar thahârah bersuci, mahasiswa tidak hanya memiliki kompetensi mengenai tata cara bersuci yang sesuai dengan ketentuan fiqh, tetapi juga perlu ditumbuhkan kesadarannya bahwa air itu berasal dari Allah yang perlu disyukuri; air berfungsi menyucikan diri, sehingga berwudhu pada dasarnya harus menembus anggota yang harus dibasahi dengan air hingga menyucikan hati, agar hati yang suci itu dapat mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Allah Swt. 34 Parvez Hoodbhoy, Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality London: Zedf Books Ltd., l99l, h. 78. 35 Mâjid Irsân al-Kailânî, Falsafat al-Tarbiyah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqâranah Baina Falsafat al-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa al-Falsafah al-Tarbawiyyah al- Mu’âshirah, Makkah: Maktabah al-Manârah, 1987, Cet. I, h. 231. 21 Apakah ilmu itu bisa benar-benar obyektif, sehingga tidak mungkin terjadi perbedaan fundamental antara satu sistem epistemologi dengan yang lainnya? Ternyata tidak semua ilmuwan dan filosof ilmu sependapat dengan kelompok yang pertama. Holmes Rolston III, seorang profesor filsafat di Colorado State University misalnya, menyatakan dalam bukunya Science and Religion: A Critical Survey, bahwa ―seorang peneliti akan terwarnai oleh apa yang mereka teliti atau paling tidak menyumbang skema konseptual yang menyaring apa yang mereka ketahui.‖ 36 Memang diakuinya bahwa dalam pengetahuan kita tentang dunia material alam subyektivitas dapat terus ditekan atau dieliminasi. Namun, dengan kecanggihan ilmiah, kita terjerembab dalam kondisi yang paradoks. Semakin jauh kita mencoba memasuki komponen akhir dari materi, semakin kita tidak bisa melepaskan diri dari subyektivitas. Begitu kita bergeser dari lingkup dunia kita yang sehari-hari, dan mencoba menelaah partikel-partikel sub- atomik yang sangat kecil atau ―black holes‖ yang sangat luas, atau akibat-akibat relativistik konter-intuitif, observasi kita menjadi semakin sarat dengan teori. Akhirnya Rolston menyimpulkan bahwa fisika, kimia dan astronomi, tiga bidang ilmu yang dipandang paling obyektif, tidak bisa lari dari subyektivitas; 37 sebaliknya mereka bahkan semakin subyektif saja. Jika subyektivitas sangat sulit untuk dilucuti, maka obyektivitas ilmu dan nilai universalnya tentu agak sulit untuk dipertahankan, karena ternyata teori-teori ilmu sangat dipengaruhi oleh subyek yang menelitinya. Dan jika subyektivitas merupakan bagian integral dari sebuah teori ilmiah, maka boleh jadi terjadi perbedaan teori ilmu, seperti antara epistemologi Barat dan Islam merupakan sesuatu yang mungkin, bahkan barangkali sesuatu yang niscaya. Sementara itu, yang mendukung islamisasi, berpendapat bahwa ilmu yang selama ini dikembangkan oleh Barat cenderung mengarah kepada sekularisme dan materialisme, bebas nilai. Pada tataran ontologi dan epistemologi, boleh jadi tidak ada perbedaan substansial antara ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu Islami. Akan tetapi, pada tataran aksiologis penyikapan, operasionalisasi dan implementasi, peneliti dan pengembang ilmu di dunia Barat dan Islam barangkali berbeda. Karena 36 Holmes Rolston III, Science and Religion: A Critical Survey Philadelphia: Temple University Press, 1987, h. 33. 37 Rolston, Science and Religion …, h. 33. 22 itulah, jika memang diperlukan islamisasi, yang diislamkan adalah cara pandang terhadap ilmu dan muatan moral yang harus dijadikan landasan dalam mengembangkan dan mendayagunakan ilmu. Seperti halnya senjata: nama, jenis, komponen dan bentuknya boleh jadi sama, tetapi untuk apa dan siapa yang menggunakannya menjadi berbeda. Dalam konteks inilah penginjeksian nilai-nilai Islam diperlukan, di samping penelaahan ulang terhadap akar-akar historis keilmuan Islam yang mempunyai relevansi dengan ilmu-imu modern yang sedang dikembangkan. Menurut al-Attas, ilmu dalam pendidikan Islam itu sangat prinsipil. Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial ekonomi, tetapi secara khusus juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spiritual manusia. Karena itu, ilmu tidak bebas nilai karena ilmu adalah sifat manusia. Segala sesuatu yang berada di luar akal pikiran bukanlah ilmu pengatahuan, melainkan fakta dan informasi yang kesemuanya adalah obyek ilmu pengetahuan. 38 Karena ilmu tidak netral atau tidak bebas nilai, maka landasan epistemologi ilmu dalam pendidikan Islam perlu dikokohkan dengan mengintegrasikan sumber, proses dan metode pemerolehan, dan etika aksiologi pengamalan atau penggunaan dalam aktivtas kehidupan sehari-hari.

F. Epilog