Kajian tentang Strategi Aktualisasi Nilai-nilai Religius

menumbuhkan sikap yang akrab di antara siswa. Keakraban di antara siswa menumbuhkan jiwa sosial yang tinggi. Seperti saling tolong menolong, toleransi dan menjalin hubungan baik dengan warga sekolah.

g. Shalat Dhuha

Shalat dhuha sudah menjadi kebiasaan bagi siswa. Melakukan ibadah dengan mengambil wudlu dilanjutkan dengan shalat dhuha kemudian membaca Al- Qur’an memiliki implikasi pada spiritualitas dan mentalitas bagi siswa yang akan dan sedang belajar. Dalam Islam seorang yang akan menuntut ilmu dianjurkan untuk melakukan pensucian diri baik secara fisik maupun rohani. Kunci sukses mencari ilmu adalah dengan mensucikan hati dan mendekatkan diri kepada Allah dengan shalat dhuha tersebut dapat meningkatkan spiritualisasi, membangun kestabilan mental dan relaksasi fisik. 65

C. Kajian tentang Strategi Aktualisasi Nilai-nilai Religius

Pendidikan agama yang berorientasi pada pembentukan afektif masalah yang berkenaan dengan emosi dan kejiwaan adalah pembentukan sikap mental peserta didik ke arah menumbuhkan kesadaran beragama. Beragama tidak hanya pada kawasan pemikiran saja, tetapi juga memasuki kawasan rasa. Karena itu sentuhan-sentuhan emosi beragama perlu 65 Sahlan, Mewujudkan Budaya..., hal. 120 dikembangkan. 66 . Guru Pendidikan Agama Islam di sekolah pada dasarnya melakukan kegiatan pendidikan Islam yaitu sebagai upaya normatif untuk membantu seseorang atau sekelompok orang peserta didik dalam mengembangkan pandangan hidup islami bagaimana akan menjalani dan memanfaatkan hidup dan kehidupan sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai Islam, sikap hidup Islami, yang dimanifestasikan dalam ketrampilan hidup sehari-hari. 67 Berikut ini adalah upaya guru Pendidikan Agama Islam dalam mengaktualisasikan nilai-nilai religius di sekolah: 1. Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah Budaya religius adalah sekumpulan nilai-nilai agama yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, peserta didik, dan masyarakat sekolah. Proses pembudayaan keagamaan dilakukan melalui tiga tataran yaitu; pertama tataran nilai yang dianut merumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan yang perlu dikembangkan di sekolah untuk selanjutnya dibangun komitmen dan loyalitas bersama di antara semua warga sekolah terhadap nilai-nilai yang disepakati. Kedua, tataran praktik keseharian nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut diwujudkan 66 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam: dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004, hal. 41-42 67 Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012, hal 165 dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga sekolah. Ketiga, tataran simbol-simbol budaya pengganti simbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan simbol budaya yang agamis. 68 Menurut Ahmad Tafsir strategi yang dilakukan guru Pendidikan Agama Islam untuk mengaktualisasikan nilai religius di sekolah diantaranya melalui: 1 memberikan contoh atau teladan kepada siswa; 2 membiasakan hal-hal yang baik; 3 menegakkan disiplin; 4 memberikan motivasi dan dorongan; 5 memberikan hadiah terutama psikologis; 6 menghukum mungkin dalam rangka kedisiplinan; 7 penciptaan suasana religius yang berpengaruh bagi pertumbuhan anak. 69 Strategi guru pendidikan agama Islam untuk mewujudkan aktualisasi religius di sekolah di antaranya yaitu: 1. Internalisasi Nilai Menurut Muhaimin ada beberapa tahap dalam internalisasi nilai, yaitu: a tahap transformasi nilai, yakni pada tahap ini guru hanya sekedar menginformasikan nilai-nilai yang baik dan yang kurang baik kepada siswa, yang semata-mata sebagai komunikasi verbal, b tahap transaksi nilai, yakni suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi antar siswa dengan guru bersifat interaksi timbal balik, dalam 68 Sahlan, Mewujudkan Budaya …, hal. 166-167 69 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004, hal. 112 tahap ini guru terlibat untuk memberikan contoh amalan yang nyata dan siswa diminta memberikan respon yang sama yakni menerima dan mengamalkan nilai itu, c tahap trans internalisasi yakni dalam tahap ini penampilan guru dihadapan siswa bukan lagi sosok fisiknya melainkan sikap mentalnya kepribadiannya. 70 2. Keteladanan Keteladanan dapat dilakukan melalui pendekatan keteladanan dan pendekatan persuasif atau mengajak kepada para warga sekolah dengan cara halus, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan mereka. 71 Pelaksanaan realisasi itu memerlukan seperangkat metode; metode itu merupakan pedoman untuk bertindak dalam merealisasikan tujuan pendidikan. Pedoman itu memang diperlukan karena pendidik tidak dapat bertindak secara alamiah agar tindakan pendidikan dapat dilakukan lebih efekfit dan lebih efisien. Disinalah teladan merupakan salah satu pedoman bertindak. 72 Pribadi Rasul itu adalah interpretasi al-Quran secara nyata. Tidak hanya caranya beribadah, caranya berkehidupan sehari-hari pun kebanyakan merupakan contoh tentang cara berkehidupan Islami. 73 Allah berfirman dalam QS. Al-Ahzab: 21, yang berbunyi: 70 Muhaimin, dkk, Strategi Belajar Mengajar: Penerapannya dalam Pembelajaran Pendidikan Agama, hal 153-154 71 Muhaimin, Paradigma Pendidikan..., hal. 301 72 Ibid., hal. 142-143 73 Ibid., hal. 143                   Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu .” 74 Dari sinilah seorang guru harus mampu memberi ketauladanan terhadap peserta didiknya, baik itu sikapnya, tingkah lakunya dan kepribadiannya. Karena setiap perilaku dan kepribadian guru akan selalu di kontrol oleh peserta didiknya baik di sekolah maupun di luar sekolah. Jika guru berbuat salah sedikit saja, akan lahirlah peserta didik yang buruk. Norma dan nilai dari guru harus di jaga, terutama nilai-nilai religiusnya. 3. Pembiasaan Pembiasaan dalam beragama dapat menciptakan kesadaran dalam beragama, yaitu dengan cara melakukan pembiasaan kepada para warga sekolah dengan memberikan contoh kepada orang lain dalam hal kebaikan. Rasulullah SAW sendiri diutus ke dunia tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak, dengan memberikan contoh pribadi beliau sendiri. 75 Pembiasaan sebenarnya berintikan pengalaman. Oleh karena itu, 74 Departemen Agama RI,Al- Qur’an Terjemah, hal. 421 75 Sahlan, Mewujudkan Budaya..., hal. 131 uraian tentang pembiasaan selalu menjadi satu dengan uraian tentang perlunya mengamalkan kebaikan yang telah diketahui. 76 Inti pembiasaan ialah pengulangan. Apabila guru masuk kelas mengucapkan salam, itu telah dapat diartikan sebagai usaha membiasakan. 77 Karena pembiasaan berintikan pengulangan, maka metode pembiasaan juga berguna untuk menguatkan hafalan. Metode pembiasaan akan mengantarkan pada suatu kebiasaan yang merupakan keadaan jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa perlu berfikir dan menimbang. Apabila keadaan itu menimbulkan perbuatan-perbuatan baik yang terpuji menurut syariat dan akal, disebut akhlak yang baik. Apabila yang muncul adalah perbuatan-perbuatan buruk keadaan itu dinamakan akhlak buruk. 78 Kebiasaan tersebut memainkan peranan penting dalam kehidupan. Pembiasaan dalam mempraktikan nilai-nilai religius dapat menciptakan kesadaran dalam beragama. Pada akhirnya nanti siswa peserta didik akan terbiasa dengan pembiasaan yang di lakukan di lingkungan sekolah. 4. Pembudayaan 76 Ibid., hal. 144 77 Ibid., hal. 145 78 Muhammad Sayyid Muhammad Az- Za’balawi, Tarbiyatul Muraahiq bainal Islam wa Ilmin Nafs Pendidikan Remaja antara Islam dan Ilmu Jiwa, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani, 2007, hal. 347 Budaya mempunyai fungsi sebagai wadah penyalur keagamaan siswa dan hal ini hampir dapat ditemui pada setiap agama. Karena agama menuntut pengalaman secara rutin di kalangan pemeluknya. Pembudayaan dapat muncul dari amaliyah keagamaan baik yang dilakukan kelompok siswa maupun secara perseorangan. 79

D. Kajian Penelitian Terdahulu