STUDI POPULASI MONYET EKOR PANJANG ( Macaca fascicularis ) DI PULAU CONDONG DARAT DESA RANGAI KECAMATAN KETIBUNG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

(1)

POPULATION STUDY OF THE LONG TAILED MACAQUES (Macaca fascicularis) AT CONDONG ISLAND TERESTRIAL, RANGAI

VILLAGE SUB-DISTRICT OF KETIBUNG AT SOUTH LAMPUNG REGENCY

by Risdiyansyah

The Condong Terestrial Island is one of the island belong to tourist area, Pasir Putih, in Rangai village. This island has a natural vegetation and become conservation area for all living things. One of them is the long tailed macaques (Macaca fascicularis),or the crab-eathing macaques. The objective of this research is to know about the number and the population density of long tailed macaques (Macaca fascicularis) at Condong Terestrial Island.

The research has been done from January 16thto February 5th 2012. This research was using concentrated method. Data was collected by visiting the existence of long tailed macaques. Population of long tailed macaques was calkulated by noting the time and the number of individuals admitted at any point of observation was conducted during the daytime started from 6am to 6pm. The result of this research shown that the total number of this long tailed macaques is about 140 individu with population density is about 28 ekor per hectare.

Key words : Condong Island, long tailed macaques (Macaca fascicularis), population study, population density


(2)

STUDI POPULASI MONYET EKOR PANJANG ( Macaca fascicularis ) DI PULAU CONDONG DARAT DESA RANGAI KECAMATAN

KETIBUNG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN Oleh

Risdiyansyah

Pulau Condong Darat merupakan salah satu pulau yang terletak di kawasan wisata Pasir Putih dan memiliki vegetasi yang alami sehingga dapat dijadikan sebagai kawasan konservasi bagi makhluk hidup. Salah satu makhluk hidup yang ada adalah monyet ekor panjang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah individu dan kepadatan populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Condong Darat.

Penelitian ini dilaksanakan tanggal 16 Januari - 5 Februari 2012. Metode pengumpulan data menggunakan metode terkonsentrasi yang dilakukan dengan cara mendatangi titik-titik keberadaan monyet ekor panjang yang telah diketahui. Perhitungan populasi monyet ekor panjang yaitu dengan mencatat waktu dan jumlah individu yang masuk pada setiap titik pengamatan yang dilakukan mulai pukul 06.00 WIB sampai18.00 WIB. Dari hasil penelitian dapat diketahui, bahwa jumlah individu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Condong Darat Desa Rangai Kecamatan Ketibung Kabupaten Lampung Selatan adalah140 ekor dengan kepadatan populasi 28 ekor/ha.

Kata Kunci : Pulau Condong, Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Studi Populasi


(3)

STUDI POPULASI MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI PULAU CONDONG DARAT DESA RANGAI KECAMATAN

KETIBUNG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Oleh Risdiyansyah

Skripsi

sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEHUTANAN

pada

Jurusan Kehutanan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

MENGESAHKAN 1. Tim Penguji

Ketua : Prof. Dr. Ir. H. Sugeng P Harianto, M.S.

Sekretaris : Dra. Nuning Nurcahyani, M.Sc.

Penguji

Bukan Pembimbing : Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si.

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. H. Wan Abbas Zakaria, M. S. NIP 19610826 198702 1001


(5)

Judul Skripsi : STUDI POPULASI MONYET EKOR

PANJANG (Macaca fascicularis) DI PULAU CONDONG DARAT DESA RANGAI KECAMATAN KETIBUNG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Nama Mahasiswa : Risdiyansyah Nomor Pokok Mahasiswa : 0714081057

Jurusan : Kehutanan

Fakultas : Pertanian

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Sugeng P. Harianto, M.S. Dra. Nuning Nurcahyani, M.Sc. NIP 19580923182111001 NIP 196603051991032001

Ketua Jurusan Kehutanan

Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si. NIP 195908111986031001


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 21 November 1988, merupakan anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Zainal Arifin dan Ibu Megawati. Pada tahun 1995, penulis menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar Al Azhar 2 Bandar Lampung, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 19 Bandar Lampung pada tahun 2004, dan Sekolah Menengah Atas Gajah Mada tahun 2007. Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan Sarjana (S1) di Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur Seleksi

Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Pada tahun 2010 penulis melakukan Praktik Umum selama ± 40 hari di KPH Cianjur BKPH Sindangbarang. Untuk menambah pemahaman keilmuan, selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten dosen pada mata kuliah Hidrologi. Dalam organisasi, penulis pernah menjadi pengurus Himasylva (Himpunan Mahasiswa Kehutanan) Unila di Bidang III (Penelitian dan Pengembangan Organisasi) periode 2008 – 2009, dan pada tahun 2009-2010 bidang III (Penelitian dan Pengembangan Organisasi).


(7)

SANWACANA

Asslamualaikum war. wab.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena penulis dapat

menyelesaikan skripsi berjudul “Studi Populasi Monyet Ekor Panjang

(Macaca fascicularis) di Pulau Condong Darat Desa Rangai Kecamatan Ketibung Kabupaten Lampung Selatan”. Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW, dengan harapan di hari akhir akan mendapatkan syafaatnya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, hal ini disebabkan karena keterbatasan yang ada pada penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna langkah penulis berikutnya yang lebih baik. Namun terlepas dari keterbatasan tersebut, penulis mengharapkan skripsi ini akan bermanfaat bagi pembaca.

Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan saran berbagai pihak . Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku pembimbing Utama dan

Pembimbing Akademik penulis atas bimbingan, arahan, dan motivasi yang telah diberikan hingga selesainya penulisan skripsi ini.


(8)

penulisan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si., selaku dosen penguji sekaligus Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Unila atas saran dan kritik yang telah diberikan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen serta Staf Administrasi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

5. Bapak Iswanto, selaku penjaga Pulau Condong atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama di lapangan.

6. Papa dan mama tercinta untuk setiap tetes keringat dan air mata serta selalu berdoa untuk keberhasilanku. Terima kasih atas doa dan kasih sayang yang tidak pernah hilang, serta dorongannya selama pengerjaan skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan mereka semua yang telah diberikan kepada penulis. Penulis berharap kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Wassalamualaikum war. wab.

Bandar Lampung, Juni 2013


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………. i

DAFTAR GAMBAR ………... ii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. 1

B. Tujuan Penelitian ………. 2

C. Manfaat Penelitian ………. 2

D. Kerangka Penelitian ………. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Monyet Ekor Panjang ………... 4

B. Morfologi ...…………...………. 5

C. Reproduksi ... 7

D. Habitat ...………. 8

E. Daerah Penyebaran ...……. 9

F. Daerah Jelajah …...…………. 10

G. Populasi ... 12

H. Prilaku Sosial ... 14


(10)

B. Alat dan Objek Penelitian ... 16

C.Batasan Penelitian ... 18

D.Jenis Data yang Dikumpulkan ... 18

E. Metode Pengumpulan Data ... 18

F. Analisis Data ... 19

1. Perhitungan Populasi Monyet Ekor Panjang ... 19

2. Analisis Deskriptif ... 20

IV. GAMBARAN UMUM A. Letak ... 21

B. Sejarah Monyet Ekor Panjang ... 22

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang ... 24

B. Kepadatan Populasi ... 26

C. Daerah Jelajah dan Habitat ... 28

D. Status Lindung ... 33

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 36

B. Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Tally sheet pengamatan monyet ekor panjang ... 19 2. Rekapitulasi jumlah individu monyet ekor panjang

di Pulau Condong Darat ………... 24 3. Nilai kepadatan monyet ekor panjang di Pulau

Condong Darat ………... 27 4. Nama tumbuhan dan bagian tumbuhan yang dimakan


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Monyet ekor panjang ... 5

2. Peta Pasir Putih, Pulau Condong Darat yang merupakan lokasi penelitian monyet ekor panjang ... 17

3. a. Keadaan sebenarnya vegetasi yang ada di Pulau Condong Darat ... 32

b. Habitat monyet ekor panjang di Pulau Condo Darat ... 32

4. Pulau Condong Darat ... 40

5. Lokasi penelitian monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat ……….……….. 40

6. Wawancara tentang monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat ………... 41

7. Pengamatan monyet ekor panjang ………... 41

8. Keadaan vegetasi di Pulau Condong Darat ... 42

9. Monyet ekor panjang di lokasi penelitian ... 42


(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki kekayaan alam yang tidak ternilai harganya dan beraneka ragam, salah satunya keanekaragaman jenis primata. Primata adalah salah satu spesies yang terancam punah populasinya dan keberlangsungan hidupnya tergantung upaya konservasi yang akan dilakukan. Suatu spesies yang tidak terancam kepunahan, namun keberlangsungan hidupnya

tergantung kepada upaya konservasi, maka tanpa upaya konservasi spesies itu akan punah (Pribumi, 2010).

Berbagai usaha pengelolaan dan pemanfaatan terhadap kekayaan tersebut sering kali dilakukan secara berlebihan, sehingga mengancam keseimbangan ekosistem. Salah satunya adalah pengelolaan dan pemanfaatan satwa liar yang berlebihan sehingga membuat salah satu atau lebih spesies terancam punah. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) adalah salah satu satwa liar yang dieksplorasi secara berlebihan. Kehidupan monyet ternyata memiliki nilai yang cukup tinggi bagi manusia, antara lain memiliki nilai ekologi, estetika, rekreasi, dan komersial. Berbagai manfaat sumber daya biologi ini dimanfaatkan, diantaranya yang terbesar


(14)

untuk penelitian bidang farmasi dan kedokteran (farmacy and biomedical research) (Suprijatna, 2000).

Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan populasi monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat. Pulau Condong Darat adalah salah satu pulau yang terletak di kawasan wisata Pasir Putih, Desa Rangai, Kecamatan Ketibung, Lampung Selatan. Pulau ini memilki luasan ± 5 Ha. Selain itu pulau tersebut dihuni oleh berbagai jenis fauna, salah satu fauna yang terdapat di pulau tersebut yaitu monyet ekor panjang.

Jumlah primata pada habitatnya di alam bebas (hutan) merupakan salah satu bentuk kekayaan dan keanekaragaman (biodiversity) sumber daya alam hayati, karena itu dilindungi, baik perlindungan jumlah individu maupun sebarannya di habitat alaminya (Napitu, Ningtyas, Basari, Basuki, Basori, dan Kurniawan, 2007).

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Jumlah individu monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat. 2. Kepadatan populasi monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Menjadi bahan masukan bagi pengelola wisata Pulau Condong Darat guna peningkatan pelestarian monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat.


(15)

2. Sebagai dasar pertimbangan untuk rencana pengembangan wisata alam yang ada di Pulau Condong Darat.

D. Kerangka Pemikiran

Pulau Condong Darat merupakan salah satu pulau yang terletak di kawasan wisata Pasir Putih dan memiliki keindahan alam yang sangat indah karena pulau ini masih memilki vegetasi yang alami serta keindahan dari laut yang mengelilingi pulau tersebut. Selain memiliki keindahan alam, pulau ini juga memberikan tempat hidup bagi makhluk hidup yang ada didalamnya yang dapat dijadikan tempat konservasi bagi makhluk hidup tersebut. Salah satu makhluk hidup yang ada di dalamnya yang dapat di konservasi adalah monyet ekor panjang.

Saat ini kehidupan satwa liar semakin terdesak. Hal ini terjadi karena kehidupan jumlah penduduk semakin bertambah dari waktu ke waktu. Selain itu dalam keadaan hidup, monyet ekor panjang banyak yang dimanfaatkan sebagai peliharaan di kebun binatang, untuk dipergunakan sebagai binatang percobaan ataupun dipelihara di rumah-rumah sebagai binatang kesayangan. Lebih parah lagi habitatnya juga banyak diubah untuk memenuhi kebutuhan manusia, sehingga semakin hari semakin sempit (Alikodra, 1990).

Dalam penelitian ini, dilakukan pengambilan data populasi monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat dengan menggunakan metode terkonsentrasi. Dari data

tersebut kita dapat menghitung populasi monyet ekor panjang dan dapat menentukan bagaimana upaya yang akan dilakukan untuk pelestariannya.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

Menurut Napier and Napier (1967), klasifikasi monyet ekor panjang adalah sebagai berikut:

Phyllum : Chordata Sub Phyllum : Vertebrata Class : Mamalia Ordo : Primata Sub Ordo : Anthropoidae Famili : Cercopithecidae Sub famili : Cercopithecidae Genus : Macaca

Spesies : Macaca fascicularis Nama lokal : Monyet ekor panjang,

kunyuk, monyet kera, kethek. Nama inggris : long-tailed macaque,


(17)

Gambar 1. Monyet ekor panjang

Monyet ekor panjang sedang beristirahat pada pohon ketapang (Terminalia cattapa), gambar tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

B. Morfologi

Monyet ekor panjang tergolong monyet kecil yang berwarna coklat dengan bagian perut berwarna lebih muda dan disertai rambut keputih-putihan yang jelas pada bagian muka. Dalam perkembangannya, rambut yang tumbuh pada muka tersebut berbeda-beda antara satu individu dengan individu yang lainnya. Perbedaan warna ini dapat menjadi indikator yang dapat membantu mengenali individu berdasarkan jenis kelamin dan kelas umurnya (Aldrich-Black, 1976 dikutip Chivers, 1980).


(18)

Bayi monyet yang baru lahir memiliki rambut yang berwarna hitam dengan muka dan telinga berwarna merah muda. Dalam waktu satu minggu, warna rambut pada kulit muka akan memudar dan berubah menjadi abu-abu kemerah-merahan. Setelah kira-kira berumur enam minggu, warna rambut yang hitam pada saat lahir berubah menjadi coklat. Setelah dewasa, rambut kulit berwarna coklat kekuningan, abu-abu dan coklat hitam, tetapi bagian bawah perut dan kaki sebelah dalam selalu lebih cerah. Rambut di atas kepalanya tumbuh kejur (semacam kuncir) ke belakang, kadang-kadang membentuk jambul. Rambut di pipi menjurai ke muka, di bawah mata selalu terdapat kulit yang tidak berambut dan berbentuk segitiga, kulit pada pantat juga tidak berambut (Carter, 1978).

Menurut Lekagul and McNeely (1977), warna rambut yang menutupi tubuh monyet ekor panjang bervariasi tergantung pada umur, musim, dan lokasi. Monyet ekor panjang yang menghuni kawasan hutan umumnya berwarna lebih gelap dan lebih mengkilap, sedangkan yang menghuni kawasan pantai umumnya berwarna lebih terang.

Menurut SKMA (2009) dikutip Febrianti (2010), panjang tubuh kera dewasa sekitar 40-50 cm belum termasuk ekor dengan berat 3-7 kg. Sementara panjang ekor 1 hingga 1,5 kali panjang tubuh berikut kepala dengan warna coklat keabu-abuan atau kemerah-merahan. Bulunya berwarna coklat abu-abu hingga coklat kemerahan, sedangkan wajahnya berwarna abu-abu kecoklatan dengan jambang di pipi berwarna abu-abu, terkadang jambul di atas kepala. Hidungnya datar dengan ujung hidung


(19)

menyempit. Kera ini memiliki gigi seri berbentuk sekop, gigi taring dan gerahan untuk mengunyah makanan.

Ekor monyet ekor panjang berbentuk silindris dan muskular, serta ditutupi oleh rambut-rambut pendek. Umumnya panjang ekor tersebut berkisar antara 80-110% dari panjang kepala dan badan. Rambut pada mahkota kepala tersapu ke belakang dari arah dahi. Monyet ekor panjang muda seringkali mempunyai jambul yang tinggi, sedangkan monyet ekor panjang yang lebih tua mempunyai cambang yang lebat mengelilingi muka. Ciri anatomi penting dari monyet ekor panjang adalah adanya kantong pipi (cheek pouch) yang berguna untuk menyimpan makanan sementara. Dengan adanya kantong pipi ini maka monyet ekor panjang dapat memasukkan makanan ke dalam mulut secara cepat dan mengunyahnya di tempat lain (Lekagul and McNeely, 1977).

C. Reproduksi

Menurut Van Lavieren (1983), monyet ekor panjang mencapai kedewasaan atau umur minimum dapat melakukan perkawinan berkisar antara 3,5-5 tahun. Menurut Napier and Napier (1967), kematangan seksual pada monyet ekor panjang jantan adalah 4,2 tahun dan betina 4,3 tahun.

Siklus menstruasi berkisar selama 28 hari dan lama birahi sekitar 11 hari. Selang waktu pembiakan (breeding interval) terjadi antara 24-28 bulan, masa kehamilan berkisar antara 160-186 hari dengan rata-rata 167 hari. Jumlah anak yang dapat


(20)

dilahirkan satu ekor dan jarang sekali dua ekor dengan berat bayi yang dilahirkan berkisar antara 230-470 gram. Anak monyet ekor panjang disapih pada umur 5-6 bulan. Masa mengasuh anak berlangsung selama 14-18 bulan. Perkawinan dapat terjadi sewaktu-waktu dan ovulasi berlangsung spontan dengan rata-rata pada hari ke-12 sampai ke-13 pada siklus birahi (Napier and Napier, 1967).

Hampir seluruh jenis monyet yang termasuk ke dalam famili Cercopithecideae memiliki sistem perkawinan poligami, yakni memiliki beberapa ekor betina dewasa dalam setiap kelompoknya (Mukhtar, 1982).

D. Habitat

Menurut Widada, Mulyati, Kobayashi (2006) dikutip Irianto (2009), habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami. Habitat adalah suatu tempat dimana organisasi atau individu biasanya ditemukan. Suatu habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen yaitu komponen fisik yang terdiri dari air, tanah, dan iklim, serta komponen biotik yang merupakan satu kesatuan dan digunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak (Alikodra, 1990).

Habitat monyet ekor panjang tersebar mulai dari hutan hujan tropika, hutan musim, hutan rawa mangrove sampai hutan montane seperti di Himalaya. Disamping itu juga terdapat di hutan iklim sedang di Cina dan Jepang serta padang rumput dan daerah kering yang bersemak dan berkaktus di India dan Ceylon (Napier and Napier, 1967).


(21)

Menurut Crockett and Wilson (1977) dikutip Lindburg (1980), monyet ekor panjang banyak dijumpai di habitat-habitat yang terganggu, khususnya daerah riparian (tepi sungai, tepi danau, atau sepanjang pantai) dan hutan sekunder dekat dengan areal perladangan. Selain itu juga terdapat di rawa mangrove yang kadang-kadang monyet ini hanya satu-satunya spesies dari anggota primata yang menempati daerah tersebut.

Menurut Mukhtar (1982), pada mulanya kehidupan primata ini adalah arboreal, mereka hidup bertempat tinggal terutama di pohon-pohon dan hanya beberapa saja yang hidup di darat. Primata yang mempunyai kemajuan ke arah kehidupan terestrial keadaannya lebih kuat dan cakap untuk melindungi dirinya dari predator. Pertahanan diri yang dipakai adalah dengan cara hidup berkelompok.

Sebagian besar primata famili cercopithecidae, hylobatidae, dan ponideae hidup di hutan sekitar daun-daun dan dahan pohon pada kanopi hutan. Posisi demikian sangat menguntungkan, sedangkan makanan yang berupa buah, daun dan biji berlimpah-limpah sepanjang tahun.

E. Daerah Penyebaran

Menurut Payne (2000), daerah penyebaran monyet ekor panjang meliputi:

Semenanjung Myanmar, Thailand, dan Malaysia; Indocina bagian Selatan, Filipina, Sumatera, Jawa dan pulau-pulau yang berdekatan. Di Pulau Kalimantan, monyet ekor panjang dikenal di seluruh dataran rendah, terutama di wilayah pesisir, tetapi juga pada ketinggian sampai 1300 m di beberapa pegunungan.


(22)

Penyebaran monyet ekor panjang meliputi Indocina, Thailand, Burma, Malaysia, Philipina, dan Indonesia. Di Indonesia, monyet ekor panjang terdapat di Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Kepulauan Lingga dan Riau, Bangka, Belitung, Banyak, Kepulauan Tambelan, Kepulauan Natuna, Simalur, Nias, Matasari, Bawean, Maratua, Timor, Lombok, Sumba dan Sumbawa (Lekagul and McNeely, 1977).

F. Daerah Jelajah

Alikodra (1990) menyatakan bahwa suatu wilayah akan dikunjungi satwa liar secara tetap apabila dapat mensuplai makanan, minuman, serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung atau bersembunyi, tempat tidur dan tempat kawin bagi satwa liar tersebut. Wilayah ini disebut wilayah jelajah (home range), sedangkan daerah teritori adalah suatu tempat dimana beberapa spesies mempunyai tempat yang khas dan selalu dipertahankan dengan aktif, misalnya tempat tidur (primata), tempat istirahat (binatang pengerat), tempat bersarang (burung). Batas-batas teritori ini dikenali dengan jelas oleh pemiliknya, biasanya ditandai dengan urin, feses, dan sekresi lainnya. Pertahanan teritori ini dilakukan dengan perilaku yang agresif, misalnya dengan mengeluarkan suara, ataupun dengan perlawanan fisik. Pada umumnya lokasi teritori lebih sempit daripada wilayah jelajahnya.

Menurut Suratmo (1979), adanya hubungan antara individu binatang baik dalam intraspesifik maupun interspecifik telah membentuk suatu pola-pola tingkah laku. Pola yang sangat penting diantaranya dikenal sebagai home range dan teritori. Perbedaan arti antara home range dan teritori ialah home range adalah daerah tempat


(23)

tinggal suatu binatang yang tidak dipertahankan oleh binatang tersebut terhadap masuknya binatang lain yang sama spesiesnya ke dalam daerahnya. Apabila daerah tempat tinggal sudah mulai dijaga dan dipertahankan terhadap masuknya spesies yang sama maka daerah tempat tinggal tersebut menjadi daerah teritori-nya.

Batasan wilayah jelajah dan teritori kadang-kadang tidak jelas, misalnya pada beberapa jenis primata, seperti gorilla, pan (simpanse), dan berbagai jenis karnivora seperti anjing (Canis lupu). Wilayah jelajah dapat tumpang tindih jika individu tidak mempunyai teritori (Alikodra, 1990). Adanya teritori pada suatu suatu binatang pada umumnya berkaitan dengan kepentingan berkembang-biak, seperti pada burung, sarangya merupakan teritori, sedangkan daerah jelajah terbentuk karena upaya kelompok binatang untuk memenuhi keperluan hidupnya, sehingga pada daerah jelajah terdapat tempat untuk makan, minum, tidur, bermain, berkembangbiak dan berlindung (Susman, 1979 dikutip oleh Yulianti 2002).

Luas daerah jelajah semakin luas sesuai dengan ukuran tubuh satwaliar baik dari golongan herbivora maupun karnivora. Wilayah jelajah juga bervariasi sesuai dengan keadaan sumberdaya lingkungannya, semakin baik kondisi lingkungannya semakin sempit ukuran wilayah jelajahnya. Ukuran luas wilayah jelajah bagi jenis primata ditentukan oleh 2 faktor utama, yaitu jarak perjalanan yang ditempuh setiap hari oleh setiap anggota kelompok, dan pemencaran dari kelompoknya (Alikodra, 1990).


(24)

Ukuran luas wilayah jelajah bagi jenis primata ditentukan oleh 2 faktor utama, yaitu jarak perjalanan yang ditempuh setiap hari oleh setiap anggota kelompok (Gittins dan Raemaekers, 1980 dikutip Alikodra, 1990).

Ada beberapa faktor yang secara potensial mempengaruhi penggunaan wilayah jelajah monyet ekor panjang, baik ditinjau dari pengaruh jangka panjang maupun jangka pendek. Pola penggunaan jangka panjang pada umumnya disesuaikan dengan pemanfaatan buah, sedang pencarian serangga disesuaikan dengan keadaannya yang menguntungkan. Monyet ekor panjang menghindari lereng-lereng terjal terutma untuk menghindari resiko adanya pemangsa dan untuk menghemat tenaga. Wilayah yang tumpang tindih dengan kelompok tetangga juga dihindari, sehingga tidak terjdi pertemuan dengan kelompok lainnya (Alikodra, 1990).

G. Populasi

Populasi (Odum,1971 dikutip Dewi, 2007) adalah kumpulan mahluk hidup yang berspesies sama atau memiliki kesamaan genetik, mendiami suatu tempat tertentu, dan waktu tertentu. Populasi merupakan sifat kelompok bukan sifat individu. Populasi adalah sekumpulan individu dengan spesies sama yang di dalamnya terjadi hubungan antara individu satu dengan yang lain pada suatu kawasan tertentu dan pada saat tertentu pula (Lavieren, 1983). Suatu populasi dapat berkembang, tetap atau menurun jumlahnya dipengaruhi oleh kondisi jenis hewan yang menyusunnya.


(25)

Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap populasi yaitu (Wiersum, 1973 dikutip Jasa, 2006):

1. Struktur umur. 2. Jenis kelamin. 3. Sifat sosial.

4. Kecepatan perkembangbiakan. 5. Mortalitas.

Pada suatu jangka yang lama, suatu populasi jarang ditemukan keadaan yang stabil fluktuasi jumlah dan komposisinya, hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya perubahan iklim, epidemik penyakit, serta adanya perubahan stuktur vegetasi (Anonimus, 1978).

Menurut Levieren (1983), ciri-ciri umum populasi adalah:

1. Adanya struktur dan komposisi tertentu yang konstan, walaupun ada dinamika dari waktu ke waktu.

2. Populasi bersifat ortogonik, artinya dapat mengalami proses-proses

perkembangan, diferensiasi dan pembagian fungsi di antara anggota, menjadi tua dan mati.

3. Populasi mempunyai sifat turun temurun.

4. Populasi merupakan suatu kesatuan antara faktor keturunan dan faktor-faktor lingkungan.


(26)

Populasi dapat dijumpai pada suatu wilayah yang dapat memenuhi segala

kebutuhannya. Kebutuhan dasar populasi adalah untuk berlindung, berkembang biak, makan dan minum, serta pergerakan. Untuk suatu program introduksi ataupun re-introduksi populasi ke dalam suatu kawasan perlu diketahui terlebih dahulu

kebutuhan dasar spesies yang bersangkutan dan potensi kawasan apakah sesuai atau tidak dengan kebutuhan populasi (Alikodra, 1990).

H. Perilaku Sosial

Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas dari suatu makhluk hidup. Satu metode dalam mempelajari struktur sosial suatu kelompok adalah pada penekanan perilaku yang khas dari satu individu kepada individu lain. Sebagai contoh adalah perilaku induk kepada bayinya atau perilaku jantan dewasa pada jantan lainnya (Chalmers, 1980).

Menurut Richard (1985), mendefinisikan bahwa kelompok sosial adalah suatu kumpulan satwa yang berinteraksi secara teratur, antar individu kenal satu dengan yang lainnya, hampir seluruh waktunya digunakan untuk berdekatan dengan lainnya dari pada dengan yang bukan anggotanya dan selalu akan menyerang pada individu yang bukan anggotanya.

Kemudian interaksi sosial didefinisikan sebagai satu set dari suatu adegan perilaku yang di dalamnya terdapat komunikasi antara dua atau lebih dari individu. Satwa yang melakukan interaksi tersebut merupakan anggota dari kelompok sosial yang


(27)

sama dan saling mengenal satu dengan yang lainnya. Hubungan sosial merupakan jumlah dari interaksi sosial di antara 2 individu dari waktu ke waktu.

Struktur sosial dari suatu kelompok mungkin sederhana mungkin rumit, tetapi setiap individu diketahui status relatifnya terhadap individu lain (mungkin sifat dominant atau subordinate terhadap individu lain). Status menunjukkan posisi relatif yang berhubungan antara satu individu dengan yang lainnya (Craig, 1981).

I. Makanan

Monyet ekor panjang merupakan salah satu satwa pemakan buah (frugivorous) dan tak jarang disebut juga sebagai hewan yang omnivora. Sebagai golongan omnivora yang memakan daging dan tumbuhan, makanannya bervariasi dari buah-buahan, daun, bunga, jamur, serangga, siput, rumput muda, dan lain sebagainya. Bahkan kera ini kerap pula memakan kepiting. Tetapi, 96% konsumsi makanan mereka adalah buah-buahan (SKMA, 2008 dikutip oleh Irianto 2009).

Menurut Crockett dan Wilson (1980) dikutip Yulianti (2002) jenis pakan monyet ekor panjang adalah buah karet (Havea sp), pucuk padi (Oriza sativa), buah jagung (Zea mays) muda serta beberapa yang tua. Menurut Winarno (1992) dikutip Irianto (2009), selain buah-buahan, sumber pakan lain yang potensial untuk populasi monyet ekor panjang di Pulau Tinjil adalah umang-umang (Acanthurus leucosternon)


(28)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Condong Darat, Desa Rangai, Kecamatan Ketibung, Kabupaten Lampung Selatan, dengan areal pengamatan sebagaimana tersaji pada Gambar 2. Penelitian ini dilaksanakan mualai bulan Januari sampai Februari 2012.

B. Alat dan Bahan Penelitian

Bahan yang menjadi objek penelitian ini adalah monyet ekor panjang yang ada di Pulau Condong Darat, sedangkan alat yang digunakan adalah:

1. Teropong binokuler untuk mempermudah pengamatan kelompok monyet ekor panjang.

2. Kamera digital, untuk mengambil gambar sebagai dokumentasi. 3. Jam tangan sebagai penunjuk waktu.

4. Tally Sheet. 5. Alat tulis.


(29)

Gambar 2. Peta Lampung Selatan(Google satellite map, 2006) Keterangan:

: Peta Pasir Putih, Pulau Condong Darat yang merupakan lokasi penelitian monyet ekor panjang. Pasir Putih,

pulau Condong


(30)

C. Batasan Penelitian

Adapun batasan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Objek penelitian berupa monyet ekor panjang yang ada di Pulau Condong Darat desa Rangai, Kecamatan Ketibung, Kabupaten Lampung Selatan.

2. Populasi monyet ekor panjang yang dicatat adalah jumlah individu dalam kelompok yang terlihat pada saat pengamatan.

D. Jenis Data yang Dikumpulkan 1. Data Primer

Data primer yang dikumpulkan adalah jumlah individu monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat.

2. Data Sekunder

Data sekunder meliputi studi literatur yang mendukung penelitian, seperti: a. Karakteristik lokasi penelitian yang berupa keadaan fisik lokasi penelitian. b. Data kondisi vegetasi habitat monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat. c. Data umum mengenai monyet ekor panjang.

d. Data tambahan lain yang berpotensi menjadi predator monyet ekor panjang.

E. Metode Pengumpulan Data 1. Data Primer

Data primer yang dikumpulkan berupa jumlah individu monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat. Populasi monyet ekor panjang dihitung dengan menggunakan


(31)

metode terkonsentrasi (Alikodra, 1980). Metode terkonsentrasi dilakukan dengan cara mendatangi titik-titik keberadaan monyet ekor panjang yang telah diketahui. Pengamatan dilakukan mulai pukul 06.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB. Rekapitulasi data penghitungan di lapangan disajikan dalam bentuk tabel seperti yang tampak pada Tabel 1:

Tabel 1. Tally sheet pengamatan monyet ekor panjang Luas areal

(ha)

Titik Keberadaan (derajat)

Jumlah individu (ekor)

2. Data Sekunder

Data sekunder yang diperoleh melalui studi literatur, selanjutnya dianalisis dengan metode analisis deskriptif dan disajikan untuk melengkapi data primer yang diperoleh di lapangan.

F. Analisis Data

1. Penghitungan Populasi Monyet Ekor Panjang

Data yang diperoleh di lapangan ditabulasikan dalam bentuk tabel, kemudian diolah untuk mendapatkan nilai kepadatan populasi. Nilai kepadatan populasi diperoleh dengan menggunakan rumus, (Alikodra,1990):

Kepadatan populasi : Jumlah individu (ekor) Luas areal sensus (ha)


(32)

2. Analisis Deskriptif

Data yang telah ditabulasikan dianalisis secara deskriptif, didukung dengan data sekunder yang disajikan untuk melengkapi data primer yang diperoleh dari pengamatan di lapangan.


(33)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai sifat-sifat kelompok yang khas seperti sebaran umur, kerapatan mortalitas dan natalitas dan genetik yang secara langsung berkaitan dengan ekologinya. Populasi juga mempunyai organisasi dan struktur yang dapat digambarkan (Odum, 1998 dikutip Muhammad, 2005).

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, bahwa jumlah individu monyet ekor panjang yang didapatkan pada titik pengamatan memiliki nilai yang berbeda di tiap titiknya. Data hasil penelitian populasi monyet ekor panjang tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rekapitulasi jumlah individu monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat. No Lokasi /

Koordinat

Jumlah individu (ekor)

Jumlah Kelompok

Keterangan

1.

M1 0538174 mT 9386759 mU


(34)

2.

M2 0538174 mT 9386933 mU

74 9 Cerah

3.

M3 0538130 mT 9387004 mU

41 5 Cerah

Jumlah Total 140 17

Keterangan :

M1 = Lokasi Pengamatan ke-1 M2 = Lokasi Pengamatan ke-2 M3 = Lokasi Pengamatan ke-3

Dari Tabel 2 di atas, dapat diketahui bahwa jumlah individu yang ditemukan pada titik (M1) sebanyak 25, pada titik pengamatan (M2) sebanyak 74 ekor, dan titik pengamatan (M3) sebanyak 41 ekor, sehingga jumlah keseluruhan individu dari M1+M2+M3 adalah 140 ekor. Berdasarkan penelitian, monyet ekor panjang lebih banyak ditemukan pada sore hari, hal ini dapat dimaklumi karena pada dasarnya satwa diurnal akan aktif pada pagi dan sore hari, karena pada pagi hari monyet ekor panjang beraktivitas untuk mencari makan dan di sore hari monyet ekor panjang pulang ke tempat pohon tidurnya untuk beristirahat.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, populasi monyet ekor panjang yang ada di Pulau Condong Darat menurun dibandingkan jumlah saat didatangkan pada tahun 1997 yaitu sejumlah 400 ekor, pada tahun 2012 jumlah populasi monyet ekor panjang yang ada di Pulau Condong Darat menjadi 140 ekor. Hasil ini menunjukkan bahwa


(35)

jumlah populasi monyet ekor panjang yang ada di Pulau Condong Darat mengalami penurunan. Penurunan atau peningkatan populasi dipengaruhi oleh angka kelahiran dan angka kematian, jika angka kelahiran lebih besar daripada angka kematian maka populasi akan meningkat, sebaliknya jika angka kematian lebih besar daripada angka kelahiran maka populasi akan menurun.

Menurut hasil wawancara, populasi monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat telah mengalami penurunan. Hal ini disebabkan banyak monyet ekor panjang yang mati pada saat kemarau panjang tahun 2011. Musim kemarau tersebut menyebabkan banyak tumbuhan yang menjadi sumber makanan monyet ekor panjang mati akibat kekeringan, sehingga ketersediaan makanan pun berkurang. Penjaga Pulau Condong Darat yang tinggal di sana mengatakan bahwa pada musim kemarau sering ditemukan monyet ekor panjang dalam keadaan mati di pulau tersebut.

B. Kepadatan Populasi

Kepadatan populasi ialah besarnya populasi dalam hubungannya dengan suatu unit atau ruang. Umumnya dinyatakan dalam jumlah individu persatuan area atau volume (Heddy dan Kurniati, 1994 dikutip Muhammad, 2005).

Nilai kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu unit ruang (Alikodra, 1990). Pada umumnya dinyatakan dalam bentuk jumlah individu per-ha, sedangkan pada monyet ekor panjang yang memiliki luasan habitat dalam hitungan hektar maka nilai kepadatan populasi monyet ekor panjang dinyatakan dalam bentuk individu per


(36)

hektar. Berdasarkan hasil analisa data, maka didapat nilai kepadatan populasi monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat 28 ekor/ha (Tabel 3).

Tabel 3. Nilai kepadatan monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat

No Luas Pulau

Condong (ha)

Jumlah Total Individu (ekor)

Kepadatan (ekor/ha)

1. 5 140 28

Nilai kepadatan populasi monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat adalah 28 ekor/ha, hasil tersebut lebih kecil dari hasil observasi yang dilakukan oleh Yulianti (2002) dan Irianto (2009) di hutan monyet Tirtosari yaitu 29 ekor/ha dan 82,5 ekor/ha. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan kondisi dari masing-masing habitat monyet ekor panjang.

Jumlah individu pada titik M2 lebih besar dibandingkan dengan jumlah individu yang ada pada titik M1 dan M3. Hal itu diduga terjadi karena adanya perbedaan dari masing-masing kondisi vegetasi dan topografi di M1, M2, dan M3. Kondisi kerapatan vegetasi pada titik M2 dan M3 cukup rapat dibandingkan kerapatan vegetasi pada titik M1. Hal tersebut ditunjukkan pada ketersediaan pakan pada setiap titik.

Kondisi topografi pada titik M1 dan M2 didominasi oleh daerah yang landai, sedangkan pada titik M3 memiliki topografi yang terjal. Topografi di sekitar titik konsentrasi penelitian tempat aktivitas hewan ini relatif landai, hal ini diduga sebagai pertimbangan pemimpin kelompok dalam menjaga keselamatan anggota karena terdapat anakan yang masih memerlukan bimbingan dalam melakukan pergerakan.


(37)

Relatif sempitnya hutan yang menjadi habitat monyet ekor panjang berpengaruh terhadap kerapatan populasi monyet ekor panjang. Selain itu, Bismark (1984) juga mengatakan bahwa habitat merupakan faktor yang penting untuk kehidupan satwa liar. Berkurangnya jumlah suatu populasi dapat disebabkan juga oleh faktor kematian. Faktor kematian dapat mengurangi kepadatan populasi.

C. Daerah Jelajah dan Habitat

Monyet ekor panjang memiliki tempat-tempat yang dapat digunakan dalam perilaku sehari-hari untuk mencari makan, minum, bermain, berkembangbiak, dan

berlindung/beristirahat. Tempat-tempat yang fungsinya semacam itu membentuk suatu kesatuan yang disebut habitat. Dalam pemilihan habitatnya, monyet ekor panjang melakukan seleksi terhadap daya dukung yang terdapat di lokasi tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi primata dalam memilih habitat antara lain adalah: 1. Ketersediaan pakan

Monyet ekor panjang merupakan salah satu jenis satwa pemakan buah (frugivorous), dan mempunyai kebiasaan makan yang sangat selektif. Mereka memakan bunga, buah, dan daun-daun muda yang terdapat pada tumbuhan tertentu.

Makanan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam penunjang keberlangsungan hidup dan perkembangan makhluk hidup. Potensi pakan satwa tergantung pada kondisi fisik maupun biotik dari suatu habitat, apabila suatu habitat banyak mengalami gangguan akan berpengaruh besar terhadap sumber pakan dan keadaan populasi satwa.


(38)

Kondisi habitat dikatakan baik apabila habitat tersebut memiliki ketersediaan pakan yang cukup serta faktor-faktor yang lainnya, baik fisik maupun biotik yang dapat mendukung keberlangsungan hidupnya. Di pulau Condong terdapat sebelas jenis tumbuhan yang menjadi makanan monyet ekor panjang. Bagian tumbuhan yang dimakan meliputi daun, bunga, dan buah. Jenis tumbuhan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nama tumbuhan dan bagian tumbuhan yang dimakan monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat

No Nama lokal Nama ilmiah

Bagian yang di makan

Daun Bunga Buah

1. Aren Arenga pinnata * *

2. Beringin Ficus benjamina * * *

3. Kelapa Cocos nucifera * *

4. Ketapang Terminalia cattapa *

5. Kopi Coffea sp * *

6. Mangga Mangifera indica *

7. Nangka Artocarpus integra *

8. Rambutan Nephelium lappiceum * *

9. Randu Ceiba petandra * *

10. Tangkil Gnetum gnemon * * *

11. Waru Hibiscus tiliaceus * * *

Keterangan : ( * ) Bagian tumbuhan yang dimakan

Jenis tumbuhan yang dimakan monyet ekor panjang yaitu : aren (Arenga pinnata) bagian yang dimakan adalah daun dan buah; beringin (Ficus benjamina) bagian yang dimakan adalah daun, bunga, dan buah; kelapa (Cocos nucifera) bagian yang

dimakan adalah bunga dan buah; ketapang (Terminalia cattapa) bagian yang dimakan adalah bunga; kopi (Coffea sp) bagian yang dimakan adalah daun dan buah; mangga


(39)

(Mangifera indica) bagian yang dimakan adalah buah; nangka (Artocarpus integra) bagian yang dimakan adalah buah; rambutan (Nephelium lappiceum) bagian yang dimakan adalah buah; randu (Ceiba petandra) bagian yang dimakan adalah bunga dan buah; tangkil (Gnetum gnemon) bagian yang dimakan adalah daun, bunga, dan buah; waru (Hibiscus tiliaceus) bagian yang dimakan adalah daun, bunga, dan buah.

Menurut Anon (2001) dikutip Chandra (2006), selain jenis tumbuhan yang menjadi makanan monyet ekor panjang berupa daun, bunga, dan buah-buahan, juga memakan bermacam-macam makanan termasuk kulit pohon, tunas, biji, serangga, telur burung, bahkan lempung (tanah liat). Monyet ekor panjang yang memakan tanah liat

kemungkinan untuk mendapatkan mineral-mineral yang terkandung di dalam tanah liat tersebut. Kebiasaan monyet ekor panjang memakan telur burung kadang-kadang juga anak burung menjadikannya sebagai pemangsa sarang (nest predators).

2.Satwa lain (predator)

Menurut Bismark (1984) struktur hutan berpengaruh nyata terhadap satwa liar yang tinggal di dalamnya, di dalam hutan banyak dijumpai berbagai jenis satwa yang hidup berdampingan, satwa liar saling berinteraksi antar sesama membentuk suatu rantai makanan yang tak terpisahkan.

Dalam suatu kawasan hutan tidak hanya dihuni oleh satu jenis satwa liar saja, tetapi juga memungkinkan terdiri dari beberapa jenis fauna yang hidup di dalamnya baik sebagai tempat tinggal sementara, sebagai tempat bermigrasi, maupun sebagai tempat tinggal hidup dan berkembang biak. Manusia dan hewan peliharaan (ternak) juga


(40)

termasuk anggota masyarakat, biotik yang mempunyai peranan penting terhadap kelestarian habitat beserta lingkungannya (Alikodra, 1990). Berbagai jenis satwa yang terdapat di habitat monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat yaitu, biawak (Varanus salvator), burung kutilang (Pycnonotus bimaculatus), burung gagak (Corvus corax), burung walet (Collacalia fuchiphagus), bajing (Callosciurus notatus).

Satwa-satwa yang dijumpai di pulau Condong merupakan jenis satwa bukan predator (pemangsa) sehingga tidak mengancam dan mengganggu kehidupan monyet ekor panjang. Karena Pulau Condong Darat dijadikan sebagai tempat rekreasi yang

dikelola oleh manusia, keadaan ini dapat menjadi tantangan tersendiri bagi kelestarian monyet ekor panjang yang ada di dalamnya. Frekuensi dan intensitas keluar

masuknya pengunjung di pulau Condong mengakibatkan perubahan perilaku monyet ekor panjang tersebut. Monyet ekor panjang menjadi takut bila banyak pengunjung yang datang ke Pulau Condong Darat tersebut.

3.Kondisi Vegetasi

Vegetasi yang ada pada satu tempat merupakan salah satu faktor yang penting karena merupakan komponen dari habitat primata. Kondisi vegetasi yang ada di Pulau Condong Darat masih berupa hutan alami, karena tumbuhan penyusun vegetasi yang menjadi tempat hidup monyet ekor panjang tumbuh secara alami. Menurut


(41)

di atas pepohonan (arboreal), karena hidupnya di atas pepohonan maka keberadaan pohon tidak bisa dipisahkan dari kehidupan monyet ekor panjang.

Pohon penyusun vegetasi bagi primata berguna untuk tempat beristirahat, bersarang, bermain, sumber pakan dan membesarkan serta memperbanyak keturunannya. Hampir semua jenis primata memilih jenis pohon-pohon yang tinggi dan tajuknya lebat seperti yang dijelaskan Whitten (1980) dikutip Nainggolan (2011) bahwa pemilihan pohon tinggi sebagai pohon tempat tidur bertujuan untuk mengurangi resiko primata dari predator termasuk ular dan burung pemangsa. Kondisi vegetasi monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat dapat dilihat pada Gambar 3a dan 3b.

a. b.

Gambar 3. Vegetasi di pulau Condong

Keterangan : a. Keadaan vegetasi yang ada di Pulau Condong Darat. b. Habitat monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat.

Kerapatan vegetasi di Pulau Condong Darat yang ada di dalam areal per-gerakan monyet ekor panjang cukup rapat dan terdiri dari berbagai macam jenis pohon yang


(42)

bisa dijadikan sumber pakan bagi monyet ekor panjang di sana. Pergerakan harian (home range) monyet ekor panjang berbentuk elips dengan jarak jelajah ± 300 m (untuk bagian hutan alam yang terdeteksi, sedangkan sebagian lagi terdiri dari semak dengan kemiringan lereng ± 45º), hal ini dikarenakan luas Pulau Condong Darat yang tidak terlalu luas serta perilaku manusia yang walaupun tidak secara langsung

mengganggu perilaku monyet ekor panjang, akan tetapi mengurangi keleluasaan satwa liar untuk beraktifitas (Febriyanti, 2010).

Terdapat daerah tertentu yang merupakan daerah pertemuan antara dua kelompok (overlapping) monyet ekor panjang. Saat dua kelompok bertemu dalam satu tempat maka terjadi pertengkaran untuk merebut daerah kekuasaan, hal ini diduga karena di tempat tersebut banyak terdapat sumber pakan seperti pohon ketapang, kelapa dan yang paling penting adalah di daerah tersebut banyak terdapat sisa-sisa makanan dari pengunjung.

D. Status Lindung

Populasi monyet ekor panjang secara umum masih dianggap aman sehingga CITES dan IUCN Redlist mengkategorikannya dalam status Least Concern. Least Concern adalah istilah yang digunakan oleh Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) untuk berbicara tentang hewan yang tidak terancam punah. Least Concern (LC) adalah kategori dari IUCN yang bertugas untuk mengetahui speies yang masih ada atau taksa (peringkat kelompok organisme) lebih rendah yang telah dievaluasi, tetapi tidak memenuhi syarat untuk setiap kategori lainnya. Dengan demikian spesies


(43)

tersebut tidak memenuhi syarat sebagai satwa yang terancam punah. Bahkan di Indonesia, primata ini juga bukan termasuk salah satu binatang yang dilindungi.

Hewan ini merupakan jenis kera yang paling umum dikenal karena penyebarannya yang luas dan sifatnya sangat mudah beradatapsi dengan lingkungan yang

baru/lingkungan manusia. Pada habitat alamnya, populasi jenis ini masih melimpah dan di beberapa tempat menjadi hama tanaman pangan yang ditanam di tepi hutan. Untuk mencegah perburuan besar-besaran yang terus terjadi, pemanfaatan monyet ekor panjang khususnya untuk pasar ekspor telah diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 26/Kpts-II/94 tanggal 20 Januari 1994 tentang Pemanfaatan jenis monyet ekor panjang (M. fascicularis), beruk (M. nemestrina), dan ikan arwana (Scleropagus formosus) untuk keperluan ekspor.

Dalam peraturan tersebut pemanfaatan monyet ekor panjang untuk keperluan ekspor harus berasal dari hasil penangkaran. Meskipun monyet ekor panjang bukan satwa yang dilindungi dan populasinya masih banyak bahkan di beberapa kawasan lindung pernah diberitakan kelebihan populasi monyet jenis ini dan di beberapa daerah sering menjadi hama para petani, bukan berarti keberadaan satwa ini aman.

Karena monyet ekor panjang tidak termasuk satwa yang dilindungi, satwa jenis ini paling rentan terhadap eksploitasi, baik diburu, diperdagangkan, dan dijadikan objek tontonan. Ditambah dengan tingkat deforestasi yang terjadi dan penyempitan luas hutan di Indonesia, bukan tidak mungkin monyet ekor panjang akan ikut terancam. Namun demikian usaha-usaha untuk menjaga populasinya di alam harus tetap


(44)

dilakukan. Karena adanya tekanan terhadap populasi monyet ekor panjang yang ada di Pulau Condong Darat, jumlah populasi monyet ekor panjang ini kian hari kian menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan dan jumlah individu monyet ekor pajang tersebut terus mengalami penurunan.


(45)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa di Pulau Condong Darat desa Rangai Kecamatan Ketibung Kabupaten Lampung Selatan adalah sebagai berikut: 1. Jumlah individu monyet ekor panjang adalah 140 ekor.

2. Kepadatan populasi monyet ekor panjang adalah 28 ekor/ha.

B. Saran

1. Perlu dilakukan pengamatan populasi secara periodik dan berkesinambungan sebagai bentuk pengawasan atas keberlangsungan hidup dan upaya konservasi monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat.

2. Perlu adanya pengelolaan habitat monyet ekor panjang yang ada di Pulau Condong Darat secara khusus sehingga dapat menjadi tempat berlindung yang nyaman dan menambah jenis-jenis vegetasi yang disukai oleh monyet ekor panjang sehingga populasinya semakin bertambah lagi.


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H. S. 1980. Dasar-Dasar Pembinaan Margasatwa. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anonimus. 1978. Studi Pembinaan Populasi dan Habitat Burung Pulau Dua. Direktorat Jendral Perlindungan dan Pengawetan Alm. Bogor.

Bashari, H. 1999. Studi Populasi dan Habitat Siamang (Hylobates syndactilus Raffles 1921) di Kawasan Hutan Konservasi HTI PT Musi Persada Sumatera Selatan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. www. Studi populasi.com. Diakes 21 september 2011.

Bismark, M. 1984. Biologi dan Konservasi Primata di Indonesia. Penerbit Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor.

Carter, W.V. 1978. Mamalia Darat Indonesia. P.T. Intermasa. Jakarta Chalmers, N. 1980. Social Behavior in Primates. University Park Press.

Balmitore. Hal 61-62.

Chandra, D. 2006. Analisis Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles) di Bukit Banten Kelurahan Sidodai Kecamatan Kedaton Bandar Lampung. (Skripsi). Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak Dipublikasikan. Chiver. D.J(editor). 1980. Malayan Forest Primates; Ten Year’s Study in

Tropical Rain Forest.Plenum Press.N.Y. and London.

Craig, J.V. 1981. Domestic Animal Behavior. Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Hal 163.

Dewi, B. S. 2007. Orang Hutan Dalam Populasi, Habitat, Sebaran Kelas Umur, Makanan, Kandungan Gizi, dan Energi Kebutuhan Zat Gizi Orang Hutan.


(47)

Http://www. Documents tentang-orangutan 2007.pdf . Diakses tanggal 08 januari 2011.

Febriyanti, D. 2010. Studi Perilaku Harian Kelompok Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Condong Desa Rangai Kecamatan Ketibung Kabupaten Lampung Selatan. (Skripsi). Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak Dipublikasikan.

Google satellite map. 2006. Lampung Tourism Map — Satellite Images of Lampung. Hhtp://www.indonesia-tourism.com. Diakses 23 Desember 2011.

Irianyo, F. 2009. Perkembangan Populasi dan Pola Aktivitas Harian Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Hutan Monyet Tirtosari Kelurahan sumur Batu Kecamatan Teluk Betung Utara Bandar Lampung. (Skripsi). Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak Dipublikasikan.

Jasa, D.N. 2006. Studi Populasi burung kuntul besar (Egretta alba) di Rawa Pacing Dusun Kibang Pacing Jaya Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung. (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung. Tidak Dipublikasikan.

Lavieren, V. 1983. Wildlife management in The Tropica. Part 2. School of Enviromental Conservation management. Ciawi Bogor. Hal 124-129. Lekagul, B. And J.A. Neely. Mc. 1977. Mammal of Thailand. Assosiation for the

Conservation of Wildlife Sahakambat Co.,Bangkok.

Lindburg, G,D., ed. 1980. The Macaques. Van Nostrand Reinhold Co. New York. Hal. 239-240

Mukhtar, A.S. 1982. Penelitian Pola Pergerakan (Macaca fascicularis, Raffles,1821) Di Taman Wisata dan Cagar Alam Penanjung

Pangandaran, Jawa Barat. Tesis Magister Sains. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Muhammad, B. 2005. Studi Populasi Siamang (Hylobates syndactylus) di Gunung Pesawaran Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman Provinsi Lampung. (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung. Tidak Dipublikasikan. Nainggolan, V. 2011. Identifikasi Satwa Liar Jenis Primata di repong Damar

Pekon Pahmungan Kecamatan Pesisir Tengah Krui Lampung Barat. (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung. Tidak Dipublikasikan.


(48)

Napier, J.R. and Napier, P.H. 1967. A Handbook of Living Primate Morphology Ecology and Behaviour of Human Primates. Academic Press London. New York.

Napitu, P. J., R. Ningtyas., I. Basari., T. Basuki., A.F. Basori., Uiam, Kurniawan, D. 2007. Laporan Lapangan Konservasi Satwa Liar. Http:///C:/Documents and Settings/owner/My Documents/.htm. Diakses 11 februari 2011.

Payne, J., Francis, C.M., Phillips, K., Kartikasari, S.N.2000. Mamalia Di Kalimantan, Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam. Prims Centra. Jakarta

Pribumi, P. 2010. “Primata Indonesia : Antara Ancaman Dan Status

Konservasinya”.file://http://Primata Indonesia antara Ancaman dan Status Konservasinya, AB Primata Pribumi.htm. Diakses tanggal Tanggal 08 Januari 2011.

Richard, A.S. 1985. Primates in Nature. Hal 522-523.

Suprijatna, J. 2000. Konservasi Satwa Primata. Tinjauan Aspek Ekologi, Sosial Ekonomi, dan Medis dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi. Seminar Primatologi Indonesia 2000. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kehutanan UGM.

Suratmo, F.G. 1979. Prinsip Dasar Tingkah Laku Satwa Liar. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Yulianti, D.2002. Populasi dan Pola Aktivitas Harian Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles, 1821) di Hutan Kota Tirtosari Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Teluk Betung Utara Bandar Lampung. Skripsi Sarjana Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(1)

tersebut tidak memenuhi syarat sebagai satwa yang terancam punah. Bahkan di Indonesia, primata ini juga bukan termasuk salah satu binatang yang dilindungi. Hewan ini merupakan jenis kera yang paling umum dikenal karena penyebarannya yang luas dan sifatnya sangat mudah beradatapsi dengan lingkungan yang

baru/lingkungan manusia. Pada habitat alamnya, populasi jenis ini masih melimpah dan di beberapa tempat menjadi hama tanaman pangan yang ditanam di tepi hutan. Untuk mencegah perburuan besar-besaran yang terus terjadi, pemanfaatan monyet ekor panjang khususnya untuk pasar ekspor telah diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 26/Kpts-II/94 tanggal 20 Januari 1994 tentang Pemanfaatan jenis monyet ekor panjang (M. fascicularis), beruk (M. nemestrina), dan ikan arwana (Scleropagus formosus) untuk keperluan ekspor.

Dalam peraturan tersebut pemanfaatan monyet ekor panjang untuk keperluan ekspor harus berasal dari hasil penangkaran. Meskipun monyet ekor panjang bukan satwa yang dilindungi dan populasinya masih banyak bahkan di beberapa kawasan lindung pernah diberitakan kelebihan populasi monyet jenis ini dan di beberapa daerah sering menjadi hama para petani, bukan berarti keberadaan satwa ini aman.

Karena monyet ekor panjang tidak termasuk satwa yang dilindungi, satwa jenis ini paling rentan terhadap eksploitasi, baik diburu, diperdagangkan, dan dijadikan objek tontonan. Ditambah dengan tingkat deforestasi yang terjadi dan penyempitan luas hutan di Indonesia, bukan tidak mungkin monyet ekor panjang akan ikut terancam. Namun demikian usaha-usaha untuk menjaga populasinya di alam harus tetap


(2)

dilakukan. Karena adanya tekanan terhadap populasi monyet ekor panjang yang ada di Pulau Condong Darat, jumlah populasi monyet ekor panjang ini kian hari kian menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan dan jumlah individu monyet ekor pajang tersebut terus mengalami penurunan.


(3)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa di Pulau Condong Darat desa Rangai Kecamatan Ketibung Kabupaten Lampung Selatan adalah sebagai berikut: 1. Jumlah individu monyet ekor panjang adalah 140 ekor.

2. Kepadatan populasi monyet ekor panjang adalah 28 ekor/ha.

B. Saran

1. Perlu dilakukan pengamatan populasi secara periodik dan berkesinambungan sebagai bentuk pengawasan atas keberlangsungan hidup dan upaya konservasi monyet ekor panjang di Pulau Condong Darat.

2. Perlu adanya pengelolaan habitat monyet ekor panjang yang ada di Pulau Condong Darat secara khusus sehingga dapat menjadi tempat berlindung yang nyaman dan menambah jenis-jenis vegetasi yang disukai oleh monyet ekor panjang sehingga populasinya semakin bertambah lagi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H. S. 1980. Dasar-Dasar Pembinaan Margasatwa. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anonimus. 1978. Studi Pembinaan Populasi dan Habitat Burung Pulau Dua. Direktorat Jendral Perlindungan dan Pengawetan Alm. Bogor.

Bashari, H. 1999. Studi Populasi dan Habitat Siamang (Hylobates syndactilus Raffles 1921) di Kawasan Hutan Konservasi HTI PT Musi Persada Sumatera Selatan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. www. Studi populasi.com. Diakes 21 september 2011.

Bismark, M. 1984. Biologi dan Konservasi Primata di Indonesia. Penerbit Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor.

Carter, W.V. 1978. Mamalia Darat Indonesia. P.T. Intermasa. Jakarta Chalmers, N. 1980. Social Behavior in Primates. University Park Press.

Balmitore. Hal 61-62.

Chandra, D. 2006. Analisis Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles) di Bukit Banten Kelurahan Sidodai Kecamatan Kedaton Bandar Lampung. (Skripsi). Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak Dipublikasikan. Chiver. D.J(editor). 1980. Malayan Forest Primates; Ten Year’s Study in

Tropical Rain Forest.Plenum Press.N.Y. and London.

Craig, J.V. 1981. Domestic Animal Behavior. Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Hal 163.

Dewi, B. S. 2007. Orang Hutan Dalam Populasi, Habitat, Sebaran Kelas Umur, Makanan, Kandungan Gizi, dan Energi Kebutuhan Zat Gizi Orang Hutan.


(5)

Http://www. Documents tentang-orangutan 2007.pdf . Diakses tanggal 08 januari 2011.

Febriyanti, D. 2010. Studi Perilaku Harian Kelompok Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Condong Desa Rangai Kecamatan Ketibung Kabupaten Lampung Selatan. (Skripsi). Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak Dipublikasikan.

Google satellite map. 2006. Lampung Tourism Map — Satellite Images of Lampung. Hhtp://www.indonesia-tourism.com. Diakses 23 Desember 2011.

Irianyo, F. 2009. Perkembangan Populasi dan Pola Aktivitas Harian Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Hutan Monyet Tirtosari Kelurahan sumur Batu Kecamatan Teluk Betung Utara Bandar Lampung. (Skripsi). Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak Dipublikasikan.

Jasa, D.N. 2006. Studi Populasi burung kuntul besar (Egretta alba) di Rawa Pacing Dusun Kibang Pacing Jaya Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung. (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung. Tidak Dipublikasikan.

Lavieren, V. 1983. Wildlife management in The Tropica. Part 2. School of Enviromental Conservation management. Ciawi Bogor. Hal 124-129. Lekagul, B. And J.A. Neely. Mc. 1977. Mammal of Thailand. Assosiation for the

Conservation of Wildlife Sahakambat Co.,Bangkok.

Lindburg, G,D., ed. 1980. The Macaques. Van Nostrand Reinhold Co. New York. Hal. 239-240

Mukhtar, A.S. 1982. Penelitian Pola Pergerakan (Macaca fascicularis, Raffles,1821) Di Taman Wisata dan Cagar Alam Penanjung

Pangandaran, Jawa Barat. Tesis Magister Sains. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Muhammad, B. 2005. Studi Populasi Siamang (Hylobates syndactylus) di Gunung Pesawaran Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman Provinsi Lampung. (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung. Tidak Dipublikasikan. Nainggolan, V. 2011. Identifikasi Satwa Liar Jenis Primata di repong Damar

Pekon Pahmungan Kecamatan Pesisir Tengah Krui Lampung Barat. (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung. Tidak Dipublikasikan.


(6)

Napier, J.R. and Napier, P.H. 1967. A Handbook of Living Primate Morphology Ecology and Behaviour of Human Primates. Academic Press London. New York.

Napitu, P. J., R. Ningtyas., I. Basari., T. Basuki., A.F. Basori., Uiam, Kurniawan, D. 2007. Laporan Lapangan Konservasi Satwa Liar. Http:///C:/Documents and Settings/owner/My Documents/.htm. Diakses 11 februari 2011.

Payne, J., Francis, C.M., Phillips, K., Kartikasari, S.N.2000. Mamalia Di Kalimantan, Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam. Prims Centra. Jakarta

Pribumi, P. 2010. “Primata Indonesia : Antara Ancaman Dan Status

Konservasinya”.file://http://Primata Indonesia antara Ancaman dan Status Konservasinya, AB Primata Pribumi.htm. Diakses tanggal Tanggal 08 Januari 2011.

Richard, A.S. 1985. Primates in Nature. Hal 522-523.

Suprijatna, J. 2000. Konservasi Satwa Primata. Tinjauan Aspek Ekologi, Sosial Ekonomi, dan Medis dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi. Seminar Primatologi Indonesia 2000. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kehutanan UGM.

Suratmo, F.G. 1979. Prinsip Dasar Tingkah Laku Satwa Liar. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Yulianti, D.2002. Populasi dan Pola Aktivitas Harian Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles, 1821) di Hutan Kota Tirtosari Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Teluk Betung Utara Bandar Lampung. Skripsi Sarjana Universitas Lampung. Bandar Lampung.