Distribusi dan Kepadatan Simpatrik Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Satwaliar merupakan makhluk hidup yang memiliki peranan sebagai penyeimbang berjalannya siklus ekologi. Satwaliar pada dasarnya berkaitan sangat erat dengan kehidupan manusia. Namun tidak sedikit manusia yang belum mengetahui dan menyadari pentingnya satwaliar. Hal ini terlihat dari aktivitas manusia yang kerap tidak memperhatikan keberadaan satwaliar, seperti eksploitasi satwa itu sendiri maupun habitatnya. Salah satu satwa yang memiliki peranan penting dan mendapatkan ancaman dari berbagai aktivitas manusia ialah jenis-jenis primata Hylobatidae.
Hylobatidae memiliki habitat asli hanya di Asia Tenggara dan sekitarnya termasuk sebagian wilayah Indonesia (Geissmann 1995). Terdapat 3 jenis di Pulau Sumatera yaitu Hylobates agilis, Hylobates lar dan Symphalangus syndactylus. Ketiganya merupakan primata dengan habitat dan perilaku sosial yang mirip. Beberapa wilayah di selatan Danau Toba Hylobates agilis dan
Symphalangus syndactylus hidup dalam satu tempat yang sama (simpatrik).
Kedua merupakan satwa teritorial, sebagian besar monogami dan memiliki perilaku bersuara yang unik yaitu bersuara sangat keras (Chivers 1974).
Keduanya satwa ini sudah diteliti sejak puluhan tahun yang lalu namun
tidak banyak data serta informasi mengenai populasi dan demografi (O‟Brien et al. 2004). Padahal dalam upaya konservasi satwaliar, data dan informasi ini menjadi sangat penting, sehingga pembuat kebijakan dan pelaku konservasi dapat mengembangkan upaya strategis dalam pengelolaan dan perkiraan perkembangan populasi satwa ini.
Saat ini kondisi hutan sebagai habitat alami simpatrik Hylobatidae semakin memburuk dengan adanya deforestasi. Alih fungsi guna lahan untuk perkebunan, pertanian, pertambangan dan pemukiman tanpa pertimbangan yang lebih jauh mengakibatkan habitatnya semakin sempit. Terlebih lagi dengan adanya fragmentasi habitat dan isolasi yang akan mengancam keberlangsungan hidupnya. Kondisi ini menjadi salah satu pertimbangan sehingga ungko dan
(2)
Apendik I CITES.
Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) merupakan salah satu habitat alami simpatrik Hylobatidae ini. Hasil penelitian ilmiah diharapkan menjadi informasi dan bahan pertimbangan masyarakat luas dalam melaksanakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam, khususnya menyangkut kawasan hutan beserta ekosistemnya.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian Distribusi dan Kepadatan Simpatrik Ungko (Hylobates
agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasan Hutan Batang Toru,
Sumatera Utara adalah:
1. Memetakan dan mempelajari distribusi simpatrik Hylobatidae di KHBT 2. Menghitung dan mempelajari kepadatan populasi simpatrik
Hylobatidae di KHBT
3. Mengidentifikasi dan mempelajari pemilihan waktu bersuara pagi pada simpatrik Hylobatidae di KHBT
1.3 Manfaat
Hasil penelitian menunjukan kondisi keberadaan ungko dan siamang di KHBT. Selain itu menjadi bahan pertimbangan, pembanding dan informasi ilmu pengetahuan dalam upaya konservasi ungko dan siamang dan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pengelolaan menyangkut kebijakan manajemen KHBT.
(3)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi
Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus)
merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi ungko dan siamang pada Tabel 1.:
Tabel 1 Klasifikasi Hylobates agilis dan Symphalangus syndactylus (Napier et al.
1985)
Klasifikasi Ungko Siamang
Kingdom Animalia Animalia
Filum Chordata Chordata
Kelas Mammalia Mammalia
Ordo Primates Primates
Famili Hylobatidae Hylobatidae
Genus Hylobates Symphalangus
Spesies Hylobates agilis F. Cuvier 1821
Symphalangus syndactylus
Gloger 1841
Nama lokal Ungko Siamang
Hylobates agilis memiliki tiga sub-spesies, yaitu Hylobates agilis ungko,
Hylobates agilis agilis dan Hylobates agilis albibarbis (Supriatna et al. 2000).
2.2 Morfologi
Hylobates memiliki ciri-ciri umum yaitu kera kecil tak berekor dengan kepala bulat kecil, hidung tidak menonjol serta rambut tebal dan halus (Chivers 1977 dalam Sultan 2009). Tubuh ungko ditutupi rambut dengan warna yang bervariasi dari terang (coklat keemasan) hingga gelap. Ungko jantan dewasa memiliki rambut berwarna putih di bagian alis dan pipi yang, berbeda dengan betina dewasa yang memiliki rambut putih hanya di bagian alis. Ungko memiliki warna kulit pada pergelangan tangan dan kaki berwarna gelap (hitam), lebih gelap daripada bagian tubuh yang lainnya. Siamang sendiri hanya memiliki satu warna rambut yaitu hitam dan sedikit warna abu-abu gelap di bagian antara dagu dan mulutnya, tidak seperti ungko yang memiliki beberapa variasi warna rambut.
Ungko dewasa memiliki bobot badan 5-7 kg dengan panjang/tinggi tubuh 45-50 cm (Supriatna et al. 2000). Hylobatidae memiliki tangan yang lebih
(4)
1984). Struktur tangan, kaki dan jari-jarinya panjang sehingga memungkinkannya untuk menjangkau dahan-dahan di sekitarnya sehingga efektif untuk melakukan pergerakan berayun di tajuk-tajuk pohon dalam hutan (Napier dan Napier 1967).
Siamang memiliki ukuran tubuh paling berbeda dengan Hylobatidae lainnya. Siamang jauh lebih besar dan memiliki berat tubuh mencapai 10-15 kg (Palombit 1997). Siamang memiliki ciri khas yaitu kantung suara (gular sacs) serta memiliki selaput diantara jari-jari tangan dan kakinya.
2.3 Habitat dan Penyebaran
Habitat adalah suatu kawasan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar populasi, yaitu tempat berlindung, pakan dan air (Alikodra 2002). Ungko dapat hidup di hutan primer, hutan hujan dataran rendah, hutan sekunder dan hutan rawa (Supriatna et al. 2000). Menurut Curtin et al. (1979 dalam Bangun 2007), satwa ini dapat beradaptasi terhadap beberapa perubahan lingkungan habitat. Hutan primer memiliki peranan penting sebagai habitat jenis Hylobatidae karena kondisinya lebih dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Ungko dan siamang jarang sekali turun ke lantai hutan dan pergerakannya berayun dari pohon ke pohon lain (brakhiasi), sehingga habitat dengan vegetasi yang memiliki tajuk kontinyu antar pohon memiliki peranan penting (Sultan 2009).
Makanan ungko dan siamang relatif sama dengan pakan satwa primata lainnya. Pakan ungko yaitu buah, daun, bunga dan beberapa jenis serangga kecil. Keduanya merupakan satwa yang cenderung frugivorous, namun dilaporkan siamang lebih folivorous dibandingkan ungko di Semenanjung Malaysia (Chivers 1974; Palombit 1997).
Kebutuhan air ungko dan siamang dipenuhi dari buah-buahan yang dimakan, dari sisa-sisa air hujan yang ada di daun dan kulit pohon serta terkadang meminum langsung dari mata air (Napier et al. 1976). Keduanya memanfaatkan tajuk pohon untuk istirahat dan tempat tidur.
Geissmann (2006) melaporkan ada tiga subspesies H. agilis yang memiliki distribusi masing-masing, yaitu:
a. H. a. agilis, tersebar di bagian barat Sumatera, khususnya di bagian pegunungan;
(5)
b. H. a. ungko, tersebar di bagian timur Sumatera, khususnya di daerah dataran rendah. Subspesies ini pun tersebar di Semenanjung Malaysia c. H. a. albibarbis, tersebar di bagian barat Kalimantan dan Kalimantan
Tengah, di bagian utara dibatasi oleh Sungai Kapuas sementara ke arah timur dibatasi oleh Sungai Barito hingga ke utara di hulu Sungai Barito; Hylobatidae dapat ditemukan di wilayah hutan hujan tropis Asia Tenggara (Gambar 1). Ada lima jenis Hylobates yang tersebar di Indonesia yaitu H. agilis,
H. lar, H. klosii, H. moloch dan H. muelleri. Ungko memiliki sebaran di Indonesia (Sumatera), Semenanjung Malaysia dan Thailand. Ada 2 spesies Hylobates yang hidup simpatrik dengan siamang yaitu H. agilis dan H. lar. H. agilis simpatrik di Pulau Sumatera dari Danau Toba ke selatan hingga Lampung dan di Semenanjung Malaysia di utara Sungai Muda. H. lar simpatrik dengan siamang di Pulau Sumatera bagian utara tepatnya di utara Danau Toba dan di Malaysia tepatnya di selatan Sungai Muda.
Daerah jelajah primata merupakan area habitat yang digunakan untuk melakukan aktivitas hidup suatu kelompok satwa primata. Ungko memiliki luas daerah jelajah 29 ha atau lebih sempit dibandingkan siamang yaitu 31 ha (Chiever 2001). Daerah jelajah dapat berubah dari waktu ke waktu, tergantung pada ketersediaan sumber pakan, air, perubahan iklim, persaingan antar kelompok dan beberapa masalah perubahan habitat (Rowe 1996 dalam Duma 2007). Berdasarkan penelitian Iskandar (2007) luas daerah jelajah owa jawa memiliki perbedaan anatara habitat hutan primer dan hutan sekunder. Selain itu, juga terjadi perbedaan luas pada saat musim hujan dan musim kemarau. Iskandar (2007) menyebutkan luas daerah jelajah pada musim hujan lebih sempit daripada saat musim kemarau. Pada hutan primer, luas daerah owa jawa saat musim hujan 16,58 ha, sementara pada musim kemarau 18,91 ha. Berbeda dengan klawet, hasil penelitian Duma (2007) menunjukan luas daerah jelajah klawet sebesar 29,5 ha dengan teritori diperkirakan seluas 23,6-26,6 ha.
(6)
Gambar 1 Peta sebaran Hylobatidae di Asia Tenggara (Geissmann 1995).
2.4 Populasi
Populasi adalah kelompok organisme terdiri dari individu-individu sejenis yang berinteraksi dan mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya pada tempat dan waktu tertentu. Sifat-sifat khas pada suatu populasi antara lain kepadatan, laju kelahiran, laju kematian, sebaran, stuktur umur, nisbah kelamin, sifat genetik dan perilaku (Alikodra 2002). Populasi suatu jenis dapat berubah karena beberapa faktor, yaitu keadaan lingkungan hidup satwa, keadaan sifat hidup satwa (natalitas, mortalitas, survival) dan pergerakan satwa itu sendiri (Wiersum 1973 dalam Alikodra 2002).
(7)
Tabel 2 Kepadatan Ungko dan Siamang di Indonesia dan Malaysia (ind/km2)
No Lokasi Ungko Siamang Sumber
1 TN Bukit Barisan Selatan, Sumatera
1,4 – 2,8 4.2 – 10,3 O'Brien et al. (2004) 2 TN Way Kambas,
Sumatera
1,9 2,8 Yanuar & Sugardjito (1993)
3 TN Kerinci Seblat, Sumatera
0 – 11,4 7,2 – 24,6 Yanuar (2001) 4 TN Batang Gadis,
Sumatera
8,82 - Bangun 2007
5 TN Batang Gadis, Sumatera
12,9 - Sultan 2009
6 Riau, Sumatera 17,45±5,61 - Apriadi 2001 7 Ketambe, Sumatera - 5 – 7 MacKinnon &
MacKinnon (1980); West (1981)
8 Sumatera 8,6 9 Wilson & Wilson (1977)
9 TN Bukit Barisan Selatan, Sumatera
1,7 – 4,3 2,1 – 5,7 Yanuar (2009) 10 LAHG, Kalimantan 3.5 – 13.9 - Buckley et al. (2006);
Hamard et al. (2010) 11 Gunung Palung,
Kalimantan
13,5 – 15,6 - Mitani (1990) 12 TN Tanjung Puting,
Kalimantan
8,7 - Mather (1992)
13 Sabangau, Kalimantan 10,38 - Cheyne et al. (2008) 14 Stasiun Riset Barito Ulu,
Kalimantan
8,2 – 18 - Mather (1992);
McConkey et al. (2002) 15 Sebangau, Kalimantan 10,75±2,99 - Duma (2007)
16 Sungai Dal, Malaysia 18,92 2,4 Gittins & Raemaekers, 1980
17 Ulu Sempan, Malaysia - 6 Chivers (1974) 18 Kulala Lompot, Malaysia - 5 Chivers (1974) 19 Ulu Gombak, Malaysia - 2,4 Chivers (1974)
20 Malaysia 6,12 - Chivers (1974)
Kepadatan populasi merupakan ukuran populasi yang dapat dinyatakan sebagai jumlah atau biomasa per satuan luas atau per satuan volume (Suin 2003). Harianto (1988) menyebutkan, kepadatan populasi primata tergantung kepada tipe habitat, bentuk sosial kelompok, daerah jelajah dan teritorialnya.
Iskandar (2007) menjelaskan, penyebaran Hylobates tergantung pada kualitas habitatnya. Kualitas habitat yang semakin baik, semakin banyak pula jumlah kelompok yang ada di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut, maka jarak antar kelompok semakin berdekatan dan angka kepadatannya juga semakin tinggi.
(8)
lintang utara di Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaysia. Sedangkan kepadatan siamang cenderung menurun dari selatan ke utara sementara variabilitas dalam ukuran kelompok tidak menunjukkan tren (O‟ Brien et al.
2004).
2.5 Distribusi
Distribusi ungko merupakan lokasi-lokasi yang ditinggali ungko. Sultan (2009) menyebutkan bahwa ada beberapa ciri kawasan yang menjadi sebaran ungko, yaitu memiliki kerapatan tajuk yang baik sehingga memungkinkan ungko dapat bergerak secara brakhiasi karena umumnya pohon tergolong stratum B, memiliki ketersediaan sumber pakan yang besar (rerata 180 pohon/ha) dan kawasan yang minim interaksi atara ungko dengan manusia atau jauh dari pemukiman penduduk (>4 km dari batas desa).
Ungko tersebar di wilayah yang memiliki ketinggian hingga 1500 m dpl. Ketinggian diatas 1500 m dpl bukan habitat yang baik bagi Hylobates karena memiliki jenis tumbuhan yang sedikit dan jenis tumbuhannya cenderung tidak sesuai untuk melakukan brakhiasi (Rowe 1996 dalam Sultan 2009). Iskandar (2007) juga menyebutkan, semakin tinggi kawasan, maka semakin sedikit kepadatan populasinya. Hal ini dikarenakan beberapa faktor yaitu potensi sumber pakan yang semakin sulit dan kepadatan tajuk yang menyulitkan pergerakannya (brakhiasi). Sebaran ungko di TN Kerinci Sbelat berada pada habitat berbukit dengan ketinggian 500-800 m dpl. Habitat ungko di TN Batang Gadis meliputi hutan primer dan hutan sekunder pada ketinggian antara 637-967 m dpl. Sultan (2009) dalam penelitiannya mendapatkan persentase sebaran populasi ungko per ketinggian yaitu dari selang 600-1000 m dpl. Hasilnya menunjukan lebih dari separuh sebaran populasi (57,1%) berada pada ketinggian 701-800 m dpl.
Sultan (2009) menjelaskan, home range Hylobatidae dapat berubah dengan adanya gangguan yang memaksanya berpindah/merubah wilayahnya. Gangguan yang mempengaruhi antara lain adanya aktivitas manusia dan pemukiman penduduk sehingga dapat menyebabkan fragmentasi habitat. Selain itu, juga dipengaruhi kondisi hutan/kerusakan hutan. Kasus di Sumatera Selatan menunjukan bahwa hutan yang terpisah (patches) akibat adanya penanaman karet
(9)
secara monokultur menyebabkan populasi Hylobates agilis dan Sympalangus
syndactylus semakin berkurang meskipun masih menyisakan pohon aslinya
(Geissmann et al. 2006).
2.6 Komposisi kelompok
Keluarga Hylobatide hidup berkelompok dalam kelompok sosial monogami. Satu kelompok Hylobatide berisi sepasang jantan-betina dewasa dengan anaknya. Satu kelompok ini dapat terdiri dari 3-5 individu. Pasangan Hylobates secara umum melahirkan anak dengan selang waktu 2-3 tahun sekali. Tingkat kelas umur dapat dibagi berdasarkan ukuran tubuh dan perkembangan perilakunya, yaitu sebagai berikut (Gittins et al. 1980):
a) bayi (infant): dari lahir hingga umur dua tahun, ukuran tubuh kecil, pada tahun pertama dibawa atau digendong oleh induk betina selama pergerakannya;
b) anak-1 (juvenil-1): berumur 2-4 tahun, berbadan kecil dan berjalan sendiri didekat induknya;
c) anak-2 (juvenil-2): berumur 4-6 tahun, ukuran tubuh sedang, cenderung melakukan aktivitas makan dan berjalan sendiri;
d) muda (sub-adult): berumur > 6 tahun, ukuran tubuh hampir sama dengan dewasa (induk) tetapi belum matang seksual, tetap dalam kelompok tetapi cenderung memisahkan diri; dan
e) dewasa (adult): memiliki ukuran tubuh maksimal dan hidup berpasangan.
Jantan dan betina hampir dewasa atau mencapai dewasa kelamin akan meninggalkan kelompoknya dan hidup sendiri dengan pasangannya sebagai keluarga baru (Kirkwood et al. 1992 dalam Duma 2007). Hylobatidae memiliki ukuran kelompok antara 2-5 individu/kelompok. Ukuran kelompok dengan jumlah lebih dari 4 jarang ditemukan. Adanya kelompok berjumlah 5 individu biasanya disebabkan anak umur dewasa belum keluar dari kelompok induknya untuk membentuk kelompok baru (Sultan 2009).
Berdasarkan penelitian Sultan (2009), sebagian besar pasangan ungko di TN Batang Gadis memiliki anak (76,3%) dengan persentase kelompok dengan satu anak 42% dan lebih dari satu anak 34,4%. Struktur umur populasi ungko
(10)
penelitian lain menunjukan, komposisi kelompok populasi jantan dan betina dewasa masing-masing 29,27%, pra-dewasa 4,88%, remaja/anak 26,83% dan bayi 9,75%. Struktur umur populasi pada penelitian dapat diketahui, yaitu dewasa 31,7% pra-dewasa 16,7%, anak 17,5% dan bayi 2,5% (Bangun 2007).
2.7 Perilaku
Aktivitas harian pada salwaliar adalah refleksi fisiologis terhadap lingkungan sekitarnya. Hylobates umumnya melakukan aktivitas harian di tajuk-tajuk pohon (arboreal) yaitu dimulai dari meninggalkan pohon tidur hingga masuk ke pohon tidur selanjutnya. Chivers (1980) dalam Duma (2001) menyebutkan,
Hylobates mulai beraktivitas sebelum matahari terbit dan mengakhirinya pada sore hari untuk beristirahat lebih awal dari jenis primata diurnal lainnya. Waktu aktivitas hariannya kurang lebih berlangsung 9,5 jam, dari pukul 06.19 hingga 15.43. Aktivitas yang dilakukan antara lain bersuara, berpindah, makan, bermain dan istirahat.
Aktivitas harian kelompok Hylobates diawali dengan bersuara, hal ini dilakukan untuk menunjukan teritorial dan pengaturan ruang antar kelompok. Aktivitas bersuara dilakukan sebagai pengaturan ruang dengan alasan suara keras dilakukan agar terdengar oleh kelompok lain sebagai komunikasi antar kelompok kemudian saling bersautan dan jarang terjadinya kontak langsung antar kelompok (Bates 1970). Gittins et al. (1980) menyebutkan aktivitas bersuara ungko dilakukan selama ± 15 menit yang terdengar hingga 1 km. Pada ungko jantan hampir dewasa kegiatan bersuara juga dilakukan untuk menarik lawan jenis. Aktivitas bersuara biasanya dilakukan di pohon sumberpakan atau yang berdekatan.
Makan merupakan aktivitas yang dilakukan setelah bersuara. Hylobates
dapat melakukan kegiatan makan pada satu pohon yang sama selama 2-3 hari berturut-turut. Pada saat itu, satwa jenis ini melakukan perpindahan dan biasanya tidur di sekitar atau di dekat pohon pakan. Lama aktivitas makan tergantung pada jenis dan kelimpahan jenis pakan. Hylobates makan dengan cara memetik satu-persatu buah atau daun muda yang dimakan (Rinaldi 1992).
(11)
Secara umum, jenis-jenis Hylobatidaememiliki perilaku yang sama. Hasil penelitian Iskandar (2007) perilaku yang dilakukan yaitu makan, sosial, lokomosi agresi dan istirahat. Owa jawa paling banyak melaksanakan aktifitas istirahat dan makan. Hampir sama dengan hasil penelitian Duma (2007) pada klawet, aktivitasnya lebih banyak makan dan istirahat. Lebih jauh menjelaskan, klawet memulai aktivitas harian antara pukul 04.50-07.10 WIB yaitu vokalisasi (duet call). Setelah itu mulai meninggalkan pohon tidur untuk berpindah, makan dan istirahat. Setelah pukul 16.00 WIB, klawet sudah beristirahat penuh.
2.8 Persaingan
Hylobates adalah spesialis buah masak (Chivers 2001) yang menggunakan buah ficus sebagai sumber utama (Marshall et al. 2009). Asumsi bahwa siamang adalah folivorous benar, namun gagasan bahwa siamang bergantung pada buah
ficus ke tingkat yang sama seperti Hylobatidae lain juga ditunjukan dalam berbagai penelitian (Plombit et al. 1997). Chivers et al. (1986) mengusulkan bahwa siamang lebih akurat digambarkan sebagai ''pencari ficus,'' pemikiran ini didukung juga oleh Palombit (1997). Chivers et al. (1986) menunjukan Hylobates
sebagai spesialis buah lunak, namun Palombit (1997) dan Marshall (2004) menemukan bahwa owa bertubuh kecil (H. lar and H. albibarbis) menekankan buah ficus pada tingkat yang sama seperti siamang.
Dua spesies menempati relung ekologi yang sama dalam satu wilayah, akan menjadi sangat kompetitif, kecuali dua berbeda dalam beberapa dimensi relung digunakan (Brown et al. 1956). Spesies Hylobatidae bertubuh kecil memiliki distribusi yang lebih luas (dari Cina hingga Jawa) dari siamang dan memungkin hidup dalam tempat yang sama (simpatrik) atau berbeda (allopatrik) dengan siamang (Geissmann 1995). Jenis-jenis Hylobatidae bertubuh kecil umumnya allopatric dalam distribusinya, tersebar di Thailand, Malaysia, dan Kalimantan (Brockelman dan Gittins 1984; Gittins 1978; Marshall dan Brockelman 1986;. McConkey et al. 2002). Berbeda dengan siamang yang tumpang tindih dengan spesies Hylobatidae lain (H. lar atau H. agilis) di seluruh rentang mereka (Geissmann 1995). Oleh karena itu, siamang selalu menghadapi kompetisi intraspesifik dan persaingan dalam memperoleh sumberdaya sangat tinggi (Raemaekers 1984;. O'Brien et al. 2004). Ukuran tubuh besar siamang menjadi
(12)
ukurannya lebih kecil (Raemaekers 1984). Elder (2009) berasumsi siamang mengkonsumsi lebih banyak daun diharapkan untuk mengurangi persaingan langsung dengan Hylobatidae lain saat mereka hidup simpatrik.
Teori ekologi memprediksi perbedaan relung antara spesies yang tinggal simpatrik (Brown et al. 1956), spesies Hylobatidae simpatrik menunjukan adanya tumpang tindih secara luas dalam ekologi dengan menggunakan bagian yang sama pada ruang kanopi (Raemaekers 1977; MacKinnon et al. 1980), makanan dan ukuran ruang (Raemaekers 1984; Palombit 1997).
Siamang dan owa tangan putih dipelajari memiliki perbedaan dalam proporsi makan. Sebagai contoh, di Sumatera bagian utara yang didominasi kedua spesies pemakan buah, makan lebih banyak buah ficus dan memperoleh sebagian besar protein mereka dari serangga, namun siamang menghabiskan lebih banyak waktu makan daun muda (siamang 16%, owa tangan putih 4%) dan owa tangan putih makan buah lunak lebih lama (owa tangan putih 26%, dari siamang 18%) (Palombit 1997). Jika, pada kenyataannya siamang dan Hylobatidae bertubuh kecil dibatasi oleh makanan yang berbeda (daun muda dan buah lunak), maka perbedaan dalam kepadatan populasi mereka mungkin mencerminkan variasi dalam ketersediaan sumberdaya (Elder 2009). O'Brien et al. (2004) menunjukkan bahwa dalam rentang distribusi siamang, kepadatan populasinya menurun dari selatan ke utara untuk siamang dan meningkat untuk ungko. Pola ini mungkin muncul dari lebih tingginya ketersediaan buah ficus di selatan ke utara (Palombit 1997; O'Brien et al. 2004).
Siamang diharapkan memiliki keunggulan kompetitif dari ungko dalam memanfaatkan bagian ini karena ukuran tubuh yang lebih besar (Raemaekers 1984). Sebaliknya, kepadatan pohon buah-buahan meningkat lebih kecil dari selatan ke utara dan ungko mungkin lebih efisien dalam mencapai dan memakan sumberdaya lebih besar dalam dimensi ruang (O'Brien et al. 2004).
(13)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2011. Lokasi penelitian berada di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli Utara - Sumatera Utara, tepatnya di Stasiun Penelitian Yayasan Ekosistem Lestari
–Sumatran Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP). Kegiatan penelitian
dilakukan para area seluas 2.400 ha. Stasiun Penelitian memiliki transek sebagai penunjuk lokasi (Gambar 2).
Gambar 2 Peta transek Stasiun Penelitian YEL-SOCP.
(14)
Peralatan yang digunakan adalah peta lokasi penelitian, Global Positioning System (GPS), binokuler, kompas, kamera, jam tangan, head ligh dan alat tulis. Bahan penelitiannya adalah ungko dan siamang yang merupakan obyek utama dan Kawasan Hutan Batang Toru sebagai habitatnya.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan langsung dari kegiatan pengamatan di lapangan menggunakan metode pengambilan data yang sudah ditentukan. Sedangkan data sekunder merupakan data maupun informasi yang diperoleh dari hasil studi literatur yang relevan sebagai pendukung kajian penelitian.
Sensus cukup sulit dilakukan karena mereka cenderung berada di tempat yang tinggi, kanopi yang rapat, sangat waspada dan memiliki respon tidak terduga dari deteksi manusia dengan berpindah diam-diam dan kemudian bersembunyi
(O‟Brian et al. 2004). Penentuan metode yang tepat sangat menentukan akurasi data. Brockelman et al. (1987) merekomendasikan penggunaan metode penghitungan titik untuk menghindari masalah yang terkait dengan keterbatasan visibilitas objek pada kanopi dan variabel responnya untuk terdeteksi oleh manusia.
Perilaku Hylobatidae melakukan morning call yang dapat terdengar hingga
lebih dari 2 km pada beberapa medan (O‟Brien at al. 2004), meskipun great call
umumnya terdengar sejauh 1 km di dalam hutan (Brockelman at al. 1987). Karena sifat vokal satwa ini, metode audio sampling terbukti lebih efektif dibandingkan metode transek garis (Brockelman et al.1993). Triangle count diperlukan untuk menentukan lokasi akurat keberadaan Hylobatidae karena topografi bergelombang dan tutupan hutan, jarak pengamat dengan Hylobatidae sulit diketahui berdasarkan volume suara.
3.3.1 Triangle Count
Triangle count didesain untuk mengetahui posisi objek dengan menarik sudut sehingga menemukan satu titik pertemuan garis-garis direksi. Satu area pengamatan terdapat tiga pos pada formasi triangle count, yaitu pos A, B dan C.
(15)
Masing-masing pos berpencar membentuk segitiga. Jarak tiap antar pos antara 300-500 m (Brockelman et al. 1993; Buckley et al. 2006; Cheyne et al. 2008).
Group call digunakan untuk pengambilan sempel populasi Hylobatidae.
Probabilitas bersuara Hylobatidae stabil saat hari ke-4 (Brockelman et al. 1987; Brockelman et al. 1993; O‟Brien et al. 2004; Buckley et al. 2006), sehingga pengamatan dilakukan selama minimal 4 hari berturut-turut dalam satu area. Pengamatan hanya dilakukan pada saat cuaca cerah atau tidak hujan. Apabila hujan terjadi maka pengamatan hari itu diganti hari berikutnya.
Pengamatan dilakukan pada pukul 05.00-12.00 WIB (O‟Brien et al. 2004). Waktu ini ditentukan berdasarkan perilaku Hylobatidae saat melakukan aktivitas bersuara pagi. Area pengamatan ditentukan pada tempat-tempat yang strategis agar suara dapat terdengar lebih jelas, misalnya di bukit-bukit yang memiliki ketingian lebih dibandingkan tempat lainnya. Setelah sebelumnya melakukan survei didapat 16 pos pendengaran dalam 4 area.
Metode ini dilakukan oleh tiga orang pengamat yang berada pada pos-pos terpisah yang sudah ditentukan sebelumnya. Masing-masing pengamat diam di titik yang telah ditentukan dan mencatat data, yaitu cuaca, jenis, waktu dimulainya suara, lamanya suara didengar, arah suara/azimut, estimasi jarak dan jenis suara. Luas area penelitian setiap area merupakan radius 1 km dari tiap pos pengamat. Radius 1 km digunakan dengan asumsi kemampuan pengamat mendengar suara Hylobatidae secara optimal.
3.3.2 VES (Visual Encounter Survey)
Pengamat mencari dan melihat kelompok Hylobatidae secara langsung dan mencatat jumlah individu, komposisi dan kepadatan kelompok. Data jumlah individu didapat dengan menghitung individu dari semua kelompok. Komposisi kelompok dibagi berdasarkan struktur umur yang diidentifikasi dari ukuran tubuh dan perilakunya.
Kelompok dibedakan dengan mengidentifikasi jumlah, struktur umur, ciri fisik dan lokasi penemuan. Pengambilan data kepadatan populasi dilakukan dengan VES lapang untuk menemukan ukuran dan komposisi kelompok ungko maupun siamang. Kelompok yang ditemukan sebisa mungkin diikuti sehingga
(16)
kelompok yang sedang memisahkan diri.
VES dilakukan di area transek dan di fokuskan di wilayah selatan dan timur stasiun penelitian. Jumlah pengamat sebanyak 5-8 pengamat yang terbagi menjadi 3-4 tim selama 40 hari. VES dilakukan mulai pukul 07.30-15.00 WIB. VES tidak dilakukan saat turun hujan.
3.3.3 Pemetaan
Hasil titik triangle count dan perjumpaan langsung saat dituangkan dalam peta setiap setelah pengamatan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui distribusi Hylobatidae dan memberikan data kepadatan kelompok. Titik-titik triangle count
pada masing-masing jenis dengan jarak >500 m terpisah dianggap kelompok berbeda. Pada ungko, Jarak ini ditentukan berdasarkan perkiraan diameter perpindahan kelompok Hylobatidae diantara waktu bersuara (O‟Brien et al.
2004). O‟Brien et al. (2004) menjelaskan dengan wilayah jelajah 70 ha, bila diasumsikan berbentuk lingkaran akan didapat diameter 472 m. Sehingga 500 m adalah jarak pemisahan konservatif antar titik suara untuk membedakan kelompok
(O‟Brien et al. 2004). Pada siamang, perpindahan dalam 3 jam pertama aktivitas sehari-harinya sangat jarang melebihi 500 m (O‟Brien et al. 2004). Sehingga 500 m merupakan batas jarak untuk membedakan suara kelompok berbeda (Brockelman et al.1993; O‟Brien et al. 2004).
3.4 Analisis Data
Distribusi ungko dan siamang dianalisis berdasarkan peta dari perjumpaan langsung dan triangle count. Hasil distribusi dua metode dikembangkan membentuk sketsa pembagian home range masing-masing spesies. Selanjutnya tumpang tindih home range dan teritori antar spesies dianalisis secara deskriptif terkait distribusi intra dan interspesifik.
Perkiraan kepadatan diperoleh berdasarkan perhitungan denagan rumus (Brockelman et al. 1993):
D = n / [ p (m) x E]
D adalah kepadatan, n adalah jumlah kelompok terdengar per periode sampel, p (m) adalah proporsi bersuara kelompok selama periode sampel dan E adalah area
(17)
efektif pendengaran. Area efektif pendengaran ditentukan berdasarkan polygon yang terbentuk dari titik-titik terluar suara kelompok terdeteksi. Proporsi bersuara kelompok selama periode sampel [p (m)], ditentukan dengan rumus:
p (m) = 1 – [ 1 – p (1) ]m
dimana p (1) adalah probabilitas rata-rata bersuara selama hari tertentu dan m adalah jumlah hari survei.
(18)
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak dan Luas
Secara administratif Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) terletak di Propinsi Sumatera Utara yang mencakup tiga kabupaten yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Secara geografis KHBT terletak di antara 980 53‟ – 990 26‟ Bujur Timur dan 020 03‟ – 010 27‟ Lintang Utara (Gambar 3). Luas KHBT sebesar 132.716 ha terbagi 90.106 ha atau sekitar 60% di Kab. Tapanuli Utara, 45.953 ha atau sekitar 31% di Kab. Tapanuli Selatan dan 12.510 ha atau sekitar 8.4% di Kab. Tapanuli Tengah. Berdasarkan fungsi hutan dan penetapannya, KHBT terbagi menjadi hutan produksi tetap seluas 115.241,6 ha, hutan lindung seluas 17.382,7 ha, hutan suaka alam 12.994,7 ha dan hutan produksi terbatas seluas 2.951,1 ha (Perbatakusuma et al. 2007). Lokasi penelitian ditunjukan pada Gambar 3.
(19)
4.2 Kondisi Fisik
KHBT memiliki topografi yang beragam mulai landai hingga terjal, lebih didominasi daerah perbukitan dan pegunungan dengan kemiringan lahan antara 16% hingga lebih dari 60%. Ketinggian kawasan mulai dari 50 meter diatas permukaan laut (m dpl) di sekitar Sungai Sipan Sihaporas hingga 1,875 m dpl di Puncak Dolok Lubuk Raya. Kawasan ini juga dilewati rangkaian jalur pegunungan vulkanis aktif Pegunungan Bukit Barisan Selatan. Daerah ini juga merupakan Daerah Patahan Besar Sumatera atau dikenal sebagai bagian dari rangkaian Sub Patahan Batang Gadis – Batang Angkola – Batang Toco. Kondisi ini menyebabkan kawasan memiliki potensi besar terjadinya gempa bumi akibat pergerakan patahan (Perbatakakusuma et al. 2007).
Jenis tanah di area kawasan antara lain ultisolik, alluvioculluvial dan inseptisolic. Area kawasan secara umum tersusun oleh 15 jenis batuan geologis yang didominasi batuan Qvt. Batuan Qvt merupakan batuan vulkanik tufa toba (Toba Tuffs) yaitu batuan polimik bersusun riolit-dasit, aliran tufa kristal, gelas, debu dengan sedikit tufa eksposif pada bagian atasnya.
Kawasan ini masih memiliki tutupan hutan relatif baik dan utuh. Terdapat sedikitnya lima Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu Das Batang Toru, DAS Aek Kolang, DAS Bila, DAS DAS Barumum dan DAS Batang Gadis. Kondisi ini menjadikan KHBT memiliki fungsi ekologi yang cukup tinggi sehingga sangat penting bagi kehidupan masyarakat sekitar kawasan, baik sebagai pengatur tata air maupun sebagai pencegah banjir, erosi dan tanah longsor. Selain itu, potensi ini juga dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi PLTA Sipan Sihaporas (Midora dan Angraeni 2007 dalam Perbatakakusuma et al. 2007).
4.3 Potensi Flora dan Fauna
KHBT memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Kawasan ini memiliki beberapa tipe habitat. Tipe habitat yang ada di KHBT diantaranya hutan pegunungan bawah, hutan gambut dan hutan dataran rendah. Jenis pohon yang mendominasi tiap vegetasi berbeda-beda pada masing-masing habitat. Jenis-jenis itu antara lain dari famili Casuarinaceae, Podocarpaceae, dan Myrtaceae. Pada hutan dataran rendah terdapat jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae dan Fagaceae. KHBT juga menyimpan jenis-jenis anggrek hutan, Nephentes spp. dan
(20)
memiliki 688 jenis tumbuhan. Dari sekian banyak jenis tumbuhan, terdapat 8 jenis terancam punah, 3 endemik Sumatera, 4 jenis dilindungi Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999, 2 jenis endemik dan langka yaitu Amorphophalus baccari
dan Amorphophalus gigas. Selain itu juga terdapat 3 jenis Nephenthes yang terancam punah (Perbatakusuma et al. 2007).
Berdasarkan inventarisasi fauna yang telah dilakukan, KHBT memiliki 67 jenis mamalia, 287 jenis burung, 110 jenis herpetofauna. Pada jenis mamalia terdapat 20 jenis satwa dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999, 12 jenis masuk kedalam daftar terancam punah IUCN dan 14 jenis masuk kategori CITES. Jenis-jenis satwaliar yang terancam punah antara lain ungko (Hylobathes agilis), siamang (Symphalangus syndactilus), orangutan sumatera (Pongo abelii), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus) dan lainnya. Pada jenis burung terdapat 51 jenis dilindungi PP No. 7 Tahun 1999. Jenis burung langka yang ditemukan di kawasan ini antara lain jenis rangkong seperti Buceros rhinoceros, Buceros bicornis, Rhyticeros comatus dan Rhinoplax vigil. Jenis-jenis elang seperti Ictinaetus malayensis, Spilornis cheela dan
Accipiter virgatus (Perbatakusuma et al. 2007). Pada jenis herpetofauna terdapat 4 jenis endemik, 7 jenis masuk kategori CITES dan 5 jenis terancam punah secara global (Perbatakusuma et al. 2007).
(21)
BAB V
HASIL
5.1 Distribusi
5.1.1 Kondisi Habitat
Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan berdasarkan kombinasi struktur vegetasi dan habitat fisik, yaitu habitat hutan gambut, Dipterocarpaceae atas, dan peralihan (Gambar 4). Habitat hutan gambut ditandai dengan adanya tumbuhan khas seperti kantung semar dan mosses. Tajuk pada hutan gambut didominasi oleh pepohonan dengan daun berwarna coklat kemerahan seperti mayang merah (Palaquium sp.). Daerah peralihan ditunjukan
(22)
(23)
5.1.2 Distribusi Ungko dan Siamang Berdasarkan VES
Perjumpaan dengan ungko dan siamang paling banyak terjadi pada saat melakukan aktivitas pergerakan (moving). Perjumpaan juga terjadi pada saat aktivitas makan, istirahat, bersuara dan beberapa kali aktivitas membuang kotoran pada ungko (Gambar 6).
Gambar 6 Aktivitas istirahat pada ungko (kiri) dan makan pada siamang (kanan).
Peta distribusi ungko dan siamang berdasarkan titik-titik perjumpaan selama penelitian (Gambar 7). Tercatat ada 59 perjumpaan ungko (110 individu) dan 23 perjumpaan siamang (46 individu). Perjumpaan banyak terjadi di bagian timur dan selatan, hal ini dikarenakan VES lebih difokuskan di daerah tersebut.
Berdasarkan titik-titik perjumpaan yang disajikan pada peta, dapat menggambarkan distribusi dan besarnya populasi relatif ungko dan siamang. Selain menggambarkan populasi relatif, data ini juga dapat menunjukan posisi strategis untuk menjumpainya. Terlihat ada siamang dan ungko dijumpai pada titik lokasi yang sama, namun ada beberapa lokasi hanya dijumpai ungko dan hanya dijumpai siamang.
(24)
Gambar 7 Peta distribusi ungko dan siamang berdasarkan VES di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.
(25)
Selain kedua spesies, juga dijumpai primata lain yaitu orangutan sumatera (Pongo abelii), simpai (Presbytis melalophos) dan beruk (Macaca nemestrina) (Lampiran 3). Mereka sama-sama primata arboreal yang hidup di tempat sama. Simpai dan beruk memiliki wilayah jelajah yang lebih sempit dan cukup terkonsentrasi di suatu wilayah. Sementara orangutan memiliki wilayah jelajah sangat luas dibandingkan jenis primata lain di area penelitian. Individu orangutan yang sama dapat ditemukan di lokasi berbeda hingga berjarak lebih dari 3 km dalam waktu dua hari.
5.1.3 Distribusi Ungko dan Siamang Berdasarkan Triangle Count
Selain perjumpaan langsung, titik-titik perkiraan lokasi ungko dan siamang yang disusun berdasarkan data triangle count (Gambar 8). Triangle count
dilakukan di 4 area yang memiliki tumpang tindih. Tumpang tindih area dilakukan karena lokasi penelitian memiliki topografi ekstrim sehingga memungkinkan adanya suara yang tidak terdengar.
Distribusi berdasarkan triangle count menunjukan titik-titik keberadaan siamang lebih luas daripada ungko. Hal ini disebabkan karena suara yang dikeluarkan siamang lebih keras. Distribusi siamang terdeteksi lebih dari 1km dari pengamat. Sementara suara ungko terdengar lebih dari 1km pada kondisi tertentu yaitu saat lokasi sumber suara tidak terhalang bukit.
Estimasi berdasarkan titik-titik hasil triangle count (Gambar 9) mewakili titik-titik lokasi keberadaan ungko dan siamang hasil VES (Gambar 8) dengan area yang lebih luas. Sebagian besar area ditempati oleh kedua jenis, beberapa lokasi terlihat hanya terdapat ungko saja atau siamang saja.
Ada beberapa lokasi yang tidak di jumpai ungko dan siamang secara langsung, namun ada titik-titik perkiraan keberadaan berdasarkan triangulasi. Hal ini dkarena VES tidak dilakukan di semua wilayah Stasiun Penelitian. Lokasi-lokasi tersebut terdeteksi berdasarkan suara, selain itu jarak yang relatif dekat dengan titik-titik perjumpaan langsung, terutama di wilayah selatan dan timur.
(26)
Gambar 8 Peta distribusi ungko dan siamang berdasarkan triangle count di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.
(27)
5.1.4 Distribusi Intra dan Interspesifik
Distribusi ungko dan siamang membentuk blok-blok home range dan teritori. Setiap Kelompok memiliki mekanisme dalam mendapatkan dan mempertahankan daerah kekuasaan dengan vokalisasi. Posisi ditemukannya kelompok menunjukkan daerah tersebut menjadi bagian home range. Hasil pengamatan dan survei suara menunjukan pola pembagian wilayah ungko dan siamang di area penelitian.
Peta sebaran ungko dan siamang dari hasil VES dan triangle count dapat menunjukkan sketsa distribusi home range masing-masing kelompok pada ungko dan siamang (Gambar 9). Selama penelitian dijumpai 13 kelompok ungko dan 9 kelompok siamang yang teridentifikasi ukuran dan komposisinya. Beberapa kelompok lain dijumpai namun tidak teridentifikasi jumlah individunya yaitu kelompok siamang SJ, SK dan SL.
Ungko dan siamang memiliki cara yang khas dalam mempertahankan wilayahnya. Perilaku yang dilakukannya ialah vokalisasi untuk menandakan keberadaan suatu kelompok terhadap kelompok tetangganya. Konflik antar kelompok dapat terjadi saat terjadi pertemuan antar kelompok (encounter).
Encounter banyak terjadi di dekat perbatasan dan area tumpang tindih home
range. Secara umum pada saat encounter jantan dewasa berada pada paling depan dan saling bertatapan dari kejauhan. Sementara betina berada di belakangnya dan bersuara keras. Pada survei suara, encounter dapat di ketahui berdasarkan dua vokalisasi kelompok atau lebih dalam satu lokasi. Selama penelitian, sedikitnya terdapat 9 lokasi dijumpai encounter pada ungko dan 1 kali pada siamang.
Tumpang tindih wilayah sangat besar terjadi antara kedua spesies. Hampir semua home range dan teritori antar kedua spesies tumpang tindih. Tumpang tindih terjadi diperkirakan mencapai lebih dari 80% (Gambar 10). Hampir di semua lokasi ditemukannya ungko selama penelitian ditemukan juga siamang. Ada sebagian wilayah kelompok ungko GA tidak ditemukan siamang baik dari perjumpaan langsung maupun tanda keberadaan berdasarkan suara. Namun, sebagian wilayah kelompok ungko GA tumpang tindih dengan siamang kelompok SA dan SF.
(28)
Keterangan : area tumpang tindih; encounter
Gambar 9 Sketsa perkiraan home range kelompok ungko (kiri) dan kelompok siamang (kanan) berdasarkan VES dan triangle count.
(29)
Gambar 10 Sketsa tumpang tindih home range ungko dan siamang.
Ungko dan siamang memiliki persaingan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada. Selama pengamatan dijumpai dua kali encounter antar keduanya. Pertama, ungko masuk ke pohon Ficus sp. yang sama dengan siamang, namun siamang tidak menghiraukan. Ungko hanya singgah sebentar untuk makan dan kemudian pergi meninggalkan pohon dan siamang masih tetap di pohon. Kedua,
... Siamang ____ Ungko
(30)
menjauh dengan cepat.
Persaingan antar keduanya juga terjadi dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya. Perselisihan tidak dijumpai secara langsung, namun ungko dan siamang ditemukan makan buah dan daun yang sama pada waktu yang berbeda. Kedua jenis dijumpai memakan buah daun dan bunga (Gambar 11). Jenis-jenis vegetasi yang sama menjadi sumber pakan bagi keduanya antara lain buah Ficus,
bunga dan buah Palaqium rostratum dan buah Camnosperma auriculatum.
Gambar 11 Perilaku makan pada ungko dan siamang: (a) siamang makan daun, (b) ungko makan daun dan (c) ungko makan buah dan bunga Palaqium rostratum.
5.2 Ukuran dan Komposisi Kelompok
5.2.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok Ungko
Ungko dan siamang merupakan satwa primata yang hidup dalam kelompok-kelompok keluarga monogami selayaknya jenis-jenis Hylobatidae lainnya. Setiap kelompok umumnya terdiri dari sepasang induk jantan dan betina beserta anak. Induk jantan dan betina melahirkan satu anak per kelahiran serta hidup bersama hingga menjelang dewasa dan keluar membentuk kelompok baru. Anak dapat hidup dengan induknya hingga berumur ± 10 tahun, dengan rentang waktu kelahiran 3,2 tahun (Mitani 1990) maka satu kelompok dapat berjumlah 5 individu dengan 3 anak didalamnya.
Selama pengamatan di stasiun penelitian ada 14 kelompok ungko yang teridentifikasi. Ukuran kelompok ungko yang bervariasi antara 2-5 individu per
(31)
kelompok. Kelompok dengan ukuran 3 individu memiliki persentase terbanyak yaitu 64% (9 kelompok) kemudian diikuti 2 dan 4 individu masing-masing 14% dan 5 individu sebesar 7% (Gambar 12). Setiap kelompok ungko sebagai satwa monogami umumnya memiliki 1 jantan dewasa, 1 betina dewasa sebagai pasangan dan 1-2 anak sebelum mandiri serta memisahkan diri untuk membentuk kelompok baru.
Gambar 12 Ukuran kelompok ungko di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.
Individu-individu pada kelompok memiliki komposisi baik dari jenis kelamin maupun kelas umur. Ungko memiliki variasi warna rambut yang dapat hidup dalam satu kelompok. Komposisi kelompok dapat menunjukan pola kelangsungan hidup dalam berkembang biak. Selain itu komposisi tiap kelompok juga mempengaruhi sistem sosialnya.
Selama pengamatan tercatat 14 kelompok dengan komposisi bervariasi (Tabel 3). Berdasarkan jenis kelamin, perbandingan jantan dan betina (sex ratio) secara menyeluruh sebesar 19:17. Hal ini wajar karena ungko merupakan salah satu jenis Hylobates yang dikenal monogami. Dari 44 individu ungko yang ditemukan, ada 8 individu tidak teridentifikasi jenis kelaminnya. Delapan individu tidak teridentifikasi kelamin sebagian besar merupakan bayi (umur <2 tahun) dan beberapa anak (umur 2-6 tahun). Komposisi kelas umur pada kelompok ungko memiliki perbandingan dewasa:pra-dewasa:anak:bayi berturut-turut sebesar 62,90:9,10:11,36:13,64. 14 64 14 7 0 20 40 60 80
1 2 3 4 5
p
e
rsen
tase
Ukuran kelompok (individu)
(32)
(33)
kelompok ungko yang terdeteksi, tercatat 48% kelompok berwarna rambut hitam semua, 23% berwarna kuning dan 29% berwarna campuran kuning hitam.
5.2.2 Ukuran dan Komposisi Kelompok Siamang
Hasil pengamatan tercatat 9 kelompok siamang yang teridentifikasi. Ukuran kelompok siamang bervariasi antara 1-4 individu per kelompok. Kelompok dengan ukuran 3 individu memiliki persentase terbanyak yaitu 67% (6 kelompok). Sama seperti kelompok ungko, setiap kelompok siamang juga merupakan satwa monogami yang umumnya memiliki 1 jantan dewasa, 1 betina dewasa sebagai pasangan dan 1-2 anak sebelum mandiri serta memisahkan diri untuk membentuk kelompok baru.
Ukuran kelompok siamang di lokasi penelitian sebesar 2,78 individu/kelompok, lebih kecil dibandingkan ungko (3,14 individu/kelompok). Pada siamang jarang ditemui kelompok lebih dari 3 individu dan hanya ada 14% kelompok dengan 4 individu yang merupakan kelompok dengan anggota terbesar (Gambar 14). Berbeda dengan ungko, ada 21% kelompok yang anggotanya lebih dari 3 individu dan dijumpai juga kelompok dengan 5 individu.
Gambar 14 Ukuran kelompok siamang di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT.
Selama pengamatan dijumpai 9 kelompok siamang yang seluruhnya berjumlah 25 individu dengan komposisi bervariasi (Tabel 4). Terdapat 19 individu teridentifikasi jenis kelaminnya yaitu 10:9 betina dan jantan. Komposisi kelas umur pada kelompok siamang memiliki persentase dewasa:pra-dewasa:anak:bayi sebesar 68:4:20:8 (Tabel 4).
11 11
67
11
0 20 40 60 80
1 2 3 4 5
Per
sen
tase
Ukuran kelompok (individu)
(34)
Kelompok Dewasa Pra-dewasa Anak Bayi Σ
B J J B J B ?
SA 1 - - - 1
SB 1 1 - - 1 - - 1 4
SC 1 1 - 1 - - - - 3
SD 1 1 - - - - 1 - 3
SE 1 1 - - - - 1 - 3
SF 1 1 - - - 2
SG 1 1 - - - - 1 - 3
SH 1 1 - - - 1 3
SI 1 1 - - - - 1 - 3
Σ 9 8 1 1 4 2 25
Persentase 36 32 0 4 4 0 16 8 100
68 4 20 8 100
Ket: J = jantan; B = betina; ? = tidak teridentifikasi
Warna rambut hitam antara siamang dan ungko memiliki perbedaan. Perbedaan warna hitam pada ungko dan siamang terlihat mencolok pada saat terkena sinar matahari langsung (Gambar 15). Siamang memiliki warna rambut hitam pekat. Warna rambut hitam ungko tidak pekat dan lebih terlihat pudar menuju coklat.
Gambar 15 Beda kehitaman warna rambut antara siamang (kiri) dan ungko versi hitam (kanan).
5.2 Kepadatan Populasi
Kepadatan populasi merupakan banyaknya individu per satuan luas. Kepadatan satwaliar cukup sulit diketahui karena sifat liar itu sendiri. Namun, ada metode yang memudahkan hal tersebut. Primata jenis-jenis Hylobatidae seperti ungko dan siamang memiliki vokalisasi khas yang dapat mempermudah mengetahui kepadatan yaitu dengan metode triangle count. Vokalisasi yang dimaksud dalam metode triangle count yaitu group call dan duet call jantan dan
(35)
betina dewasa pada setiap kelompok. Vokalisasi dapat menunjukan informasi keberadaan kelompok di suatu titik lokasi. Vokalisasi solo tidak dipakai karena tidak menunjukan suatu kelompok.
Kepadatan populasi pada Hylobatidae dapat menunjukan besarnya persaingan, tumpang tindih wilayah (home range) antar kelompok sejenis dan keberlangsungan hidup suatu spesies dalam mempertahankan keturunannya. Kepadatan yang besar akan mengakibatkan tingginya persaingan dan tumpang tindih wilayah. Namun kondisi ini lebih menjamin kelestarian spesies tersebut daripada kepadatan yang rendah dalam habitat yang normal. Belum diketahui secara pasti mengenai kepadatan ideal pada ungko dan siamang.
Hasil kepadatan ungko di Stasiun Penelitian YEL-SOCP disajikan dalam Tabel 5. Berdasarkan hasil data yang dipetakan menggunakan ArcGis 9.3, area dengar efektif triangle count sebesar 2,64 ha. Area dengar efektif dipengaruhi oleh pemilihan pos pendengaran dan topografi area survei. Hambatan suara pada survei adalah terhalang bukit, arah angin dan suara bising di sekitar pos. Pos pendengaran yang baik yaitu berada pada lokasi tertinggi di areanya sehingga dapat mengurangi hambatan.
Tabel 5 Kepadatan ungko di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT
Area Estimasi Area
Dengar
Area Dengar
Efektif Grup
Terdengar p (1) m (hari) p (m)
Kepadatan
kel/km2 ind/km2
(km2) (km2)
1 4,53 2,36 12,00 0,52 5,00 0,98 5,19 16,30
2 4,79 2,28 12,00 0,60 4,00 0,98 5,37 16,86
3 4,73 2,39 12,00 0,48 4,00 0,93 5,40 16,96
4 4,79 3,54 16,00 0,75 4,00 1,00 4,52 14,19
Rerata 4,71 2,64 13,00 0,59 4,25 0,97 5,12 16,08
ket: p (1): probabilitas rata-rata; m: jumlah hari pengamatan; p (m): proporsi bersuara kelompok
Pengamatan yang dikukan selama 4-5 hari pada setiap area, rata-rata kelompok terdengar setiap padaareasebanyak13 kelompok. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, rata-rata kepadatan ungko sebesar 5,12 kelompok/km2. Mengacu rata-rata ukuran kelompok ungko berdasarkan pengamatan langsung pada 14 kelompok yaitu 3,14 per kelompok, didapat estimasi kepadatan ungko sebanyak 16,08 individu/km2. Hasil yang sedikit berbeda ditunjukan pada area ke-4, berdasarkan teknisnya hal ini dikarenakan pos yang digunakan lebih strategis sehingga luas area dengar efektif dan kelompok yang terdengar lebih banyak.
(36)
dengar efektif rata-rata dari 4 area sebesar 2,85 ha dengan kepadatan rata-rata 3,37 kelompok/km2. Sama halnya dengan ungko, berdasarkan ukuran rata-rata kelompok siamang sebesar 2,28 individu/kelompok, didapatkan kepadatan rata-rata sebesar 9,37 individu/km2.
Tabel 6 Kepadatan siamang di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT
Area Estimasi Area
Dengar
Area Dengar
Efektif Grup
Terdengar p (1) m (hari) p (m)
Kepadatan
(km2) (km2) kel/km2 ind/km2
1 4,53 2,12 8,00 0,40 5,00 0,93 4,06 11,29
2 4,79 3,35 8,00 0,53 4,00 0,95 2,51 6,98
3 4,73 2,67 10,00 0,63 4,00 0,98 3,82 10,62
4 4,79 3,27 10,00 0,45 4,00 0,99 3,09 8,59
Rerata 4,71 2,85 9,00 0,50 4,25 0,96 3,37 9,37
ket: p (1): probabilitas rata-rata; m: jumlah hari pengamatan; p (m): proporsi bersuara kelompok
5.3 Perilaku Bersuara
Perilaku bersuara memiliki peranan penting bagi satwa primata Hylobatidae. Satwa ini tergolong satwa teritorial dan suara menjadi komunikasi sosial baik antar individu dalam kelompok maupun komunikasi antar kelompok. Ungko dan siamang melakukan vokalisasi dapat diartikan sebagai penanda teritorinya dan sebagai media pembagian wilayah antar kelompok serta sebagai komunikasi antar pasangan dalam satu kelompok. Hasil pengamatan menunjukan waktu dan tahapan perilaku bersuara. Jantan dan betina memiliki suara dengan tahapan dan waktu yang berbeda. Vokalisasi dapat dilakukan solo maupun duet dan juga dapat berupa vokalisasi kelompok.
Ungko mulai bersuara sebelum matahari terbit. Suara yang dikeluarkan sebelum matahari terbit dilakukan oleh individu jantan dewasa disebut dawn call,
sementara vokalisasi dengan tipe yang sama setelah matahari terbit disebut male solo. Awal waktu dawn call bervariasi tiap harinya, yaitu tercatat paling awal pada pukul 05.03 WIB (Gambar 16). Pada beberapa kondisi berbeda, dawn
call/male solo diawali pada pukul 07.42 WIB. Selama penelitian tercatat ada 103
vokalisasi dalam 17 kali pengamatan. Secara umum, aktivitas suara ini diawali antara pukul 05.30 sampai 05.59 WIB sebanyak 52 %. Dawn call/male solo
(37)
Gambar 16 Grafik pemilihan waktu dawn call/male solo pada ungko dalam tujuh periode waktu pengamatan dihitung dari frekuensinya.
Jenis kelamin individu Hylobatidae dapat dibedakan berdasarkan suaranya (vokalisasi). Betina menghasilkan vokalisasi lebih menonjol, nyaring, melengking dan panjang yang biasa disebut great call. Great call dibagi menjadi tiga fase, yaitu pre-trill, trill dan post-trill. Sangat berbeda dengan vokalisasi jantan yang lebih pendek (male solo). Male solo merupakan vokalisasi jantan yang berurutan tanpa jeda oleh fase atau not vokalisasi betina (Duma 2007).
Jantan dewasa bersuara pagi sebagai awal aktivitas setelah bangun dan kemudian berpindah untuk mencari makan. Umumnya setelah ungko jantan melakukan dawn call/male solo pada awal bersuara, kemudian betina dewasa membalasnya dengan great call dan dawn call berhenti. Setelah selang beberapa waktu kelompok ungko melakukan duet call maupun group call yaitu great call
oleh betina dewasa yang langsung diikuti coda jantan dewasa
Great call dapat dilakukan oleh dua betina sekaligus atau biasa disebut
double great call. Double great call dapat dilakukan oleh kelompok yang memiliki anak betina remaja atau hingga dewasa. Begitu juga dengan jantan, suara balasan dapat dilakukan double pada kelompok yang memiliki anak jantan atau hingga dewasa. Berbeda dengan ungko, siamang bersuara setelah matahari terbit. Pada siamang juga ada vokalisasi double seperti ungko. Bedanya, suara jantan pada siamang dilakukan pada saat great call betina belum selesai atau pada tengah-tengah dan mengikuti alur suara betina.
0
14
52
21
7
2 4 0
0 10 20 30 40 50 60 Per sen tase Pukul (WIB)
(38)
kelompok ungko. Ungko melakukan group call paling awal yaitu sebelum pukul 06.00 WIB tercatat 2%. Terlihat pada Gambar 16, mulai pukul 06.00 WIB frekuensi bersuara ungko mulai terus naik hingga mencapai puncaknya pada pukul 08.00 WIB dan menurun setelahnya hingga tidak terdengar lagi setelah pukul 11.00 WIB. Frekuansi vokalisasi ungko paling tinggi pada pukul 07.00 – 08.00 WIB sebesar 36%.
\
Gambar 17 Grafik perbandingan aktivitas group call ungko dan siamang pada tujuh periode waktu pengamatan, dihitung dari frekuensinya.
Tercatat ada 150 group call siamang selama 16 hari pengamatan. Siamang melakukan vokalisasi paling awal yaitu sebelum pukul 08.00 WIB sebanyak 2%. Namun siamang memulai vokalisasi pertamanya paling banyak pada pukul 09.00-10.00 WIB sebanyak 27%. Pemilihan waktu awal panggil siamang 1 jam sebelum dan sesudah waktu terbanyak tidak berbeda jauh. Dengan kata lain siamang cenderung melakukan vokalisasi awal pada pukul 08.00-11.00.
Gambar 17 menunjukan adanya kecenderungan pergantian aktivitas panggil yang dilakukan antara ungko dan siamang dari segi waktu. Ketika frekuensi vokalisasi ungko menurun, pada saat itu frekuensi vokalisasi siamang meningkat hingga mencapai puncaknya. Kedua jenis ini sudah sedikit mengawali vokalisasi setelah pukul 11.00 WIB, bahkan pada ungko tidak ada yang memulai vokalisasi setelah pukul 11.00 WIB.
Probabilitas vokalisasi menunjukan kemungkinan kelompok melakukan satu kali vokalisasi dalam waktu tertentu.Hal ini penting diketahui dalam penggunaan
2
34 36
18
8 3
0
0 2
12
25 27
24 10 5 10 15 20 25 30 35 40
5-6 6-7 7-8 8-9 9-10 10-11 11-12
Per sen tase Pukul (WIB) ungko siamang
(39)
triangel count untuk menunjukan minimal jumlah hari pengamatan untuk menghindari kelompok yang tidak melakukan vokalisasi selama pengamatan.
Probabilitas vokalisasi kelompok ungko dan siamang disajikan pada Tabel 2. Semua probabilitas ungko dan siamang mencapai 100% pada hari ke-4, namun ada beberapa area yang sudah mencapai 100% pada hari ke-3 yaitu pada area 3 untuk ungko dan area 2 untuk siamang. Rata-rata kelompok bersuara pada setiap area sebanyak 13 kelompok ungko dan 9 kelompok siamang.
Tabel 7 Probabilitas vokalisasi kelompok ungko dan siamang
Hari ke-
Ungko
Rerata
Siamang
Rerata
Area 1 Area 2 Area 3 Area 4 Area 1 Area 2 Area 3 Area 4
1 50,00 50,00 58,33 50,00 52,08 25,00 62,50 50,00 50,00 46,88
2 66,67 91,67 75,00 62,50 73,96 62,50 87,50 70,00 60,00 70,00
3 83,33 91,67 100 93,75 92,19 75,00 100 80,00 90,00 86,25
4 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
5 100 100 100 100
Σ Kel. 12 12 12 16 8 8 10 10
(40)
PEMBAHASAN
6.1 Distribusi
6.1.1 Kondisi Habitat
Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) menunjukan sebagai hutan pegunungan bawah yang baik. Indikatornya adalah masih ditemukan satwa-satwa yang sensitif terhadap kerusakan dan gangguan dari luar seperti ungko (H. agilis), siamang (S. syndactylus), orangutan (Pongo abelii), harimau sumatera (Panhtera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus) dan tapir (Tapirus indicus) (camera trap Stasiun Penelitian). Kondisi hutan yang baik juga ditunjukan dengan kualitasnya menyediakan sumberdaya alam bagi kehidupan satwa-satwa didalamnya.
Lokasi Stasiun Penelitian YEL-SOCP di KHBT berada pada posisi relatif aman dari gangguan. Kegiatan yang mengganggu keberadaan ungko dan siamang adalah pengalihan fungsi lahan menjadi kebun karet yang dilakukan masyarakat sekitar hutan di wilayah barat Stasiun Penelitian. Sebelah timur merupakan hutan produksi yang dikelola oleh HPH, sementara disebelah utara dan selatan terdapat lokasi pertambangan. Kondisi ini memungkinkan satwa akan bergerak menuju kawasan hutan lindung dimana kondisi hutan masih baik.
Sebaran Hylobatidaedapat berubah dengan adanya beberapa gangguan yang memaksanya berpindah dan merubah wilayahnya. Gangguan yang mempengaruhi antara lain adanya aktivitas manusia dan pemukiman penduduk sehingga dapat menyebabkan kerusakan hutan serta fragmentasi habitat (Sultan 2009). Geissman
et al. (2006) menunjukan populasi ungko dan siamang di Sumatera Selatan semakin berkurang akibat aktivitas manusia yang membuat hutan terpisah-pisah
(patches) dan adanya penanaman karet secara monokultur meski masih
menyisakan beberapa pohon aslinya.
Iskandar (2007) menjelaskan, penyebaran Hylobatidae tergantung pada kualitas habitatnya. Kualitas habitat yang semakin baik, akan semakin banyak pula jumlah kelompok yang ada didalamnya. Kondisi habitat seperti ini memungkinkan kepadatan kelompok semakin tinggi dan jarak antar kelompok
(41)
semakin berdekatan. KHBT memiliki ciri habitat yang baik seperti yang dijelaskan Sultan (2009) yaitu memiliki kerapatan tajuk yang rapat untuk menunjang pergerakan brakhiasi, memiliki ketersediaan sumber pakan yang besar dan kawasan minim interaksi dengan manusia atau jauh dari pemukiman penduduk (> 4 km dari pemukiman).
6.1.2 Distribusi Ungko dan Siamang di Area Penelitian
Tiga spesies Hylobatidae tinggal di hutan hujan tropis Sumatera: siamang (Symphalangus syndactylus), owa tangan putih (H. lar), dan ungko (H. agilis): Groves 1972; Wilson dan Wilson 1976; Rijksen 1978). Owa tangan putih hidup simpatrik dengan siamang di Sumatera bagian ujung utara, sedangkan ungko simpatrik dengan siamang di Sumatera bagian utara hingga selatan. Distribusi ungko dan owa tangan putih dipisahkan oleh Danau Toba di Sumatera Utara, sehingga kawasan Hutan Batang Toru merupakan wilayah distribusi simpatrik ungko dan siamang paling utara.
Ungko dan Siamang tersebar hampir di seluruh area Stasiun Penelitian YEL-SOCP. Keduanya hidup dalam kelompok keluarga monogami dan termasuk satwa teritorial (Chivers 1974; Bartlett 2003) dan memanfaatkan habitat yang relatif sama. Aktivitas hidup keduanya dilakukan di tajuk-tajuk pohon. Mereka merupakan satwa frugivorous, namun juga memakan daun, bunga dan serangga (Chivers 1974; Palombit 1997). Peta distribusi menunjukan di seluruh kawasan mampu menampung ruang dan sumberdaya bagi mereka (Gambar 7; Gambar 8).
Penggunaan metode untuk mengetahui distribusi ungko dan siamang dilakukan dengan cara VES dan survei suara (triangle count). VES dapat menunjukkan posisi serta komposisi satwa secara langsung sehingga informasi yang didapat lebih lengkap dan akurat. Namun metode ini memiliki keterbatasan dalam area jangkauanya. Berbeda dengan triangle count, jangkauan untuk mengetahui posisi dan keberadaan lebih luas karena suara keduanya dapat terdengar hingga lebih dari 1 km. Kedua metode ini dapat saling melengkapi data yang didapat, selain itu juga menjadi perbandingan dalam mengoreksi agar data lebih mendekati kondisi sesungguhnya.
Perjumpaan dan tanda keberadaan ungko dan siamang dapat mengambarkan besar populasi relatif mereka. Kelompok ungko lebih sering dijumpai di bukit
(42)
al. (1976) melaporkan ungko biasanya tinggal di ketinggian yang lebih tinggi dan jarang terlihat di hutan dataran rendah di sebelah barat Pegunungan Barisan, sedangkan di bagian timur Sumatera mereka yang umum di dataran rendah. Sementara siamang di Sumatera lebih melimpah di hutan dataran rendah.
6.1.1 Distribusi Intra dan Interspesifik
Home range menjadi wilayah yang ditempati dan dimanfaatkan selama
masa sepanjang hidup dewasanya. Terjadi tumpang tindih wilayah antar kelompok. Sebagian wilayah di dalamnya merupakan teritori, di mana teritori pada ungko merupakan wilayah yang dipertahankan dan kelompok dapat mengusir kelompok lain yang akan masuk (Burt 1943 dalam Gittins 1980). Ellefson (1974) melaporkan ada 25-75 m diluar teritori H. lar menjadi wilayah yang dapat tumpang tindih dengan kelompok tetangga. Sementara pada siamang, Chivers (1974) melaporkan 50-100 m di luar teritori.
Sebagai satwa teritorial, ada daerah kekuasaan yang dipertahankan masing-masing kelompok. Tiap spesies memiliki mekanisme tersendiri dalam mempertahankan teritori (intraspesifik). Interaksi perselisihan antar kelompok menunjukan perilaku teritorial. Pembagian wilayah antar kelompok dilakukan menggunakan suara keras sebagai tanda keberadaan kelompok. Meskipun demikian perselisihan dapat terjadi untuk memperebutkan wilayah atau ada penyusupan dari kelompok lain. Terlebih lagi dengan adanya kelompok baru yang belum memiliki wilayah. Perselisian banyak ditemukan di pinggiran home range
karena di wilayah ini memiliki peluang besar terjadinya encounter antar kelompok. Kemungkinan terjadinya encounter diantaranya karena pertemuan yang tidak disengaja antar kelompok, kelompok mendeteksi keberadaan kelompok lain di dekat wilayahnya dari suara, dan perilaku patroli yang dilakukan. Namun sampai saat ini belum diketahui penyebab utama dan membutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini, sementara ini yang paling mungkin adalah pertemuan yang terjadi tidak disengaja (Gittins 1980).
Perselisihan akan lebih banyak terjadi pada saat terbentuknya kelompok baru. Individu jantan pra dewasa akan keluar dari kelompoknya untuk mendapatkan pasangan dan mencari wilayah kekuasaan sendiri. Awalnya pejantan
(43)
keluar dari kelompok namun masih dalam wilayah induknya dan biasanya di tepian perbatasan. Setelah kelompok baru terbentuk maka mereka harus berjuang untuk mendapatkan teritorinya dengan ancaman dari kelompok lain. Wilayah yang mungkin ditempati mereka diantaranya sebagian wilayah kelompok induknya, wilayah yang belum ada pemiliknya dan berjuang mendapatkan wilayah kelompok lain. Saat kelompok baru mampu mengusir kelompok lain di wilayah ini maka kelompok ini telah mendapatkan tempat untuk hidup (MacKinnon et al.1977). Pertahanan wilayah selanjutnya dilakukan seperti kelompok lain dengan melakukan vokalisasi keras untuk menunjukan kepemilikan wilayahnya.
Konflik pada kelompok ungko lebih sering terjadi daripada kelompok siamang. Hal ini di karenakan kepadatan ungko lebih besar. Hutan pegunungan bawah dan Dipterocarpaceae atas diketahui merupakan habitat baik untuk ungko, dan ungko lebih banyak ditemukan di habitat ini (Yanuar 2009). Selain itu ungko juga memiliki mobilisasi lebih aktif dan acak. Perilaku bersuara ungko sebagai penanda wilayah dilakukan secara bebas dan spontan serta dilakukan cenderung bukan sebagai respon atas kelompok tetangganya (Brockelman et al. 1987). Siamang menunjukan pembagian wilayah yang lebih teratur, jarang dijumpai perselisihan antar kelompok pada siamang. Sepertinya suara keras siamang efektif sebagai komunikasi pembagian wilayah antar kelompok. Siamang bersuara keras sebagai respon atas kelompok tetangganya (Bates 1970).
Terdapat sebagian wilayah di Stasiun Penelitian tidak dijumpai siamang baik secara langsung maupun tanda keberadaan berdasarkan suara. Lokasi ini diantara kelompok siamang SA, SB, SD, SF, dan SJ (Gambar 9) tidak dimiliki kelompok manapun. Hal yang paling mungkin adalah wilayah tersebut di tinggal pemiliknya atau mati, selain itu mungkin juga memang belum ada kelompok yang masuk kedalamnya. Kemungkinan lain adalah pengaruh dari kelompok ungko GA dengan 4 individu hitam yang hidup di wilayah tersebut. Namun belum jelas diketahui penyebabnya dan masih perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut.
Hal yang menarik adalah terjadinya tumpang tindih yang sangat besar antara wilayah kelompok pada siamang dan ungko. Kondisi simpatrik membuat keduanya memiliki mekanisme hidup masing-masing agar tetap dapat hidup
(44)
erat, namun tidak berada pada relung ekologi yang sama sehingga dapat hidup simpatrik (interspesifik) (Raemaker 1984).
Siamang yang memiliki ukuran tubuh hingga dua kali lipat daripada ungko memiliki keunggulan kompetitif dalam persaingan. Berdasarkan perilaku bersuara, ungko yang lebih pagi melakukan vokalisasi menunjukan aktivitas yang lebih awal daripada siamang. Saat vokalisasi siamang mulai terdengar dan mencapai puncaknya, vokalisasi ungko semakin menurun dan kemudian menghilang. Meskipun keduanya merupakan satwa diurnal serta memanfaatkan sumberdaya dan ruang yang hampir sama, namun waktu beraktifitasnya berbeda sehingga keduanya dapat hidup simpatrik.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa keduanya memiliki perbedaan dalam proporsi pakan dan perilaku yang lebih spesifik. Secara umum, Hylobates adalah spesialis buah masak yang menggunakan buah ficus sebagai sumber makanan utama (Polomnit 1997; Chivers 2001). Meskipun banyak asumsi bahwa siamang adalah
folivorous benar di beberapa lokasi, namun gagasan bahwa siamang bergantung pada buah ficus ke tingkat yang sama seperti Hylobates banyak ditemukan dalam berbagai penelitian (Palombit 1997; Chivers 2000; Elder 2009).
Kesamaan ekologi keduanya dan hidup pada lokasi yang sama memberikan pertanyaan mekanisme mereka sehingga dapat hidup berdampingan. Berdasarkan ukuran tubuh, siamang diperkirakan memiliki keunggulan dalam persaingannya dengan ungko (Raemakers 1978). Ukuran tubuh yang besar memberikan peningkatan kekuatan dalam mendapatkan sumberdaya. Hal ini menunjukan penguasaan yang lebih dominan oleh siamang dalam persaingannya dengan ungko menguasai wilayah beserta sumberdaya di dalamnya.
Kondisi dominan pada siamang bukan berarti dapat menempati semua ruang dan kesempatan setiap saat, sehingga ungko dapat memanfaatkannya dan dapat hidup walaupun terjadi tumpang tindih wilayah dengan membagi posisi dan waktu. Dominasi siamang dalam menguasai wilayah dapat diatasi ungko dengan kecepatan dan kemampuan pergerakan serta jangkauan yang lebih baik. Bahkan, usaha dan energi siamang untuk bergerak lebih besar karena tubuh mereka lebih
(45)
besar namun panjang tungkai yang hampir sama dengan ungko sehingga langkah/jangkauannya lebih pendek (Raemaekers 1979 dalam Raemaekers 1984). Siamang mungkin memiliki jelajah harian yang sedikit lebih pendek dan pergerakan lebih lambat daripada ungko. Ukuran tubuh ungko yang kecil membuatnya lebih mudah mengekplorasi tajuk baik dalam perjalananya maupun mendapatkan makanan di ujung-ujung tajuk di mana cabang dan ranting yang kecil. Kondisi ini tidak memungkinkan bagi siamang karena siamang lebih terbatas untuk bergerak pada cabang-cabang pohon kecil. Jadi kedua jenis dapat hidup simpatrik dengan membagi ruang dan menyiasati persaingan agar lebih damai menggunakan strategi beraktivitas seperti mencari makan yang berbeda menyesuaikan kelebihan masing-masing. Kondisi yang membedakan antara siamang dan ungko juga dapat menargetkan makanan yang berbeda baik dari proporsi, distribusi ataupun keduanya (Elder 2009).
6.2 Ukuran dan Komposisi Kelompok
6.2.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok Ungko
Ungko merupakan primata yang hidup dalam kelompok monogami. Induk jantan dan betina dewasa akan melahirkan anak sebagai bagian anggota kelompok hingga fase anak menjadi dewasa untuk kemudian keluar dari kelompok membentuk kelompok baru. Ungko memasuki fase dewasa setelah berumur 8 tahun. Mitani (1990) menyebutkan interval minimal kelahiran ungko adalah 3,2 tahun, sehingga secara umum satu kelompok ungko dapat mencapai 5 individu. Bahkan dapat dijumpai juga kelompok dengan 6 individu (Duma 2007). Fenomena kelompok dengan >4 individu dikarenakan adanya anakan dewasa belum mendapatkan pasangan atau betina dewasa maupun jantan dewasa memiliki pasangan lebih dari satu.
Ukuran kelompok ungko di area penelitian menunjukan ukuran yang umum. Beberapa hasil penelitian di lokasi berbeda menunjukan kelompok ungko dengan 3 individu paling banyak dijumpai (Bangun 2007; Sultan 2009). Begitu juga dengan Hylobates agilis albibarbis di Pulau Kalimantan (Suyanti 2007; Duma 2007).
Belum jelas diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi pewarisan warna rambut pada ungko termasuk dominasi serta kecenderungan pewarisan
(46)
Kelompok campuran hitam dan kuning menghasilkan keturunan dengan peluang yang sama mengenai pewarisan warna rambut. Ada yang menghasilkan anak dengan warna rambut hitam dan ada juga yang menghasilkan anak berambut kuning.
Berdasarkan warna rambut, ungko dapat memilih pasangannya secara acak, tidak terlihat adanya kecenderungan memilih pasangan dengan warna rambut yang sama. Walaupun sebagian besar kelompok ungko yang ditemukan memiliki semua anggota berwarna hitam (43%) seperti disajikan paga Gambar 12. namun banyak juga kelompok dengan anggota campuran antara ungko berambut hitam dan kuning (36%). Hal ini menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai warna rambut baik dari segi genetik maupun perilaku sosialnya untuk menunjukan seberapa jauh pengaruh warna rambut dalam kehidupan ungko.
Beberapa peneliti berpendapat perbedaan/pewarisan warna rambut pada ungko dipengaruhi adanya faktor genetik dan/atau adanya persilangan atar sub-spesies bahkan antar sub-spesies. Berdasarkan distribusi beberapa spesis dan sub spesies dintaranya H. lar dan 2 sub-spesies H. agilis, Bangun (2007) menjelaskan adanya kemungkinan persilangan antar ketiganya sehingga mempengaruhi pewarisan warna rambut. Geismann (2006) menunjukan adanya persilangan antara H. lar dan H. agilis ungko di Thailand dan Semenanjung Malaysia yang menghasilkan anak dengan variasi warna rambut hitam, kuning dan coklat.
6.2.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok Siamang
Siamang memiliki pola hidup berkelompok mirip dengan ungko. Ukuran kelompok di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT termasuk kecil bila
dibandingkan dengan ukuran kelompok di beberapa lokasi berbeda. O‟brian et al.
(2004) melaporkan ukuran kelompok siamang sebesar 3,75 dan 3,9 individu/kelompok pada 2 lokasi berbeda di TN Bukit Barisan Selatan, Bashari (1999) melaporkan 2,9 individu/kelompok di kawasan hutan Sumatera Selatan, Chivers et al.(1978) menunjukan ukuran kelompok sebesar 3,5 individu/ kelompok, Rinaldi (1992) sebesar 3,29 individu/kelompok di TN Way Kambas, serta MacKinnon (1976) di Ranun; Rijksen (1976) di Ketambe; Wilson et al.
(47)
(1977) dalam Chivers (1977) berturut-turut sebesar 3,3;4,1;3,8 individu/ kelompok.
Ukuran kelompok yang termasuk kecil disebabkan banyaknya kelompok-kelompok yang baru terbentuk sehingga belum melahirkan banyak anak. Angka ini juga dipengaruhi adanya 1 betina soliter yang dianggap kelompok. Betina ini memang hidup sendiri tanpa pasangan namun terlihat memiliki hubungan dekat dengan satu kelompok beranggotakan 3 individu karena memiliki tumpang tindih
home range cukup besar dan beberapa kali dijumpai melakukan vokalisasi
bersama-sama di lokasi yang berdekatan.
6.3 Kepadatan Populasi
Area dengar efektif antar kedua spesies menunjukan angka berbeda. Siamang memiliki kemampuan bersuara lebih keras dibandingkan ungko, sehingga jangkaun luasan survei suara pada siamang lebih luas. Penelitian ini menggunakan estimasi area dengar dengan radius 1 km dari masing masing pos pendengaran (Brockelman et al. 1993; Buckley et al. 2006; Cheyne et al. 2008 ). Radius 1 km diambil dengan pertimbangan suara keras kedua spesies dapat terdengar efektif, meskipun vokalisasi keras kedua spesies mampu terdengar lebih dari 1km bahkan hingga mencapai 2 km di hutan dengan kondisi tertentu (O‟Brien
et al. 2004).
Penelitian ini yang dilakukan di habitat hutan Dipterocarpaceae dan hutan pegunungan bawah. Hasil penelitian ini menunjukan kepadatan yang lebih tinggi ungko (5,13 kelompok/km2) daripada siamang (3,37 kelompok/km2). Yanuar (2009) melaporkan kepadatan tertinggi di Taman Nasional Kerinci Sebelat siamang mencapai 5,4 kelompok/km2 di hutan pegunungan atas dan 5,0 kelompok/km2 di hutan dataran rendah. Sementara, ungko kepadatan tinggi di hutan Dipterocarpaceae sebesar 3,8 kelompok/km2 dan hutan pegunungan bawah 3,6 kelompok/km2. Sama halnya dengan hasil O‟Brien et al. (2004) di Taman Nasional Buki Barisan Selatan namun kepadatan siamang dan ungko lebih kecil di setiap tipe habitat. Hasil penelitian diatas menunjukan hutan Dipterocarpaceae dan hutan pegunungan bawah seperti di Stasiun Penelitian YEL-SOCP menjadi habitat terbaik bagi ungko di Sumatera.
(1)
(2)
62
Lampiran 2 Daftar perjumpaan ungko dan siamang.
No Tanggal Jenis Jumlah Lokasi Keterangan
1 04/06/2011 Ungko 1 Gua 1955 grup GA 2 05/06/2011 Ungko 1 C X JMK grup GC 3 05/06/2011 Ungko 2 B 2430 semua hitam 4 05/06/2011 Ungko 1 CII2 785 Kuning 5 07/06/2011 Ungko 2 JMK 2425 grup GA 6 08/06/2011 Ungko 1 F ig 1912 Kuning 7 08/06/2011 Ungko 1 plot 13 grup GF 8 08/06/2011 Siamang 1 plot 13 grup SA 9 09/06/2011 Ungko 3 C 4500 grup GQ 10 09/06/2011 Ungko 3 C X M grup GE 11 30/06/2011 Ungko 1 S 1025 grup GB 12 30/06/2011 Siamang 2 S1200 grup SC 13 30/06/2011 Ungko 4 AP 125-S520 grup GB 14 01/07/2011 Ungko 1 Gua X HA grup GA 15 01/07/2011 Ungko 4 Gua 500 grup GF dan GG 16 01/07/2011 Ungko 2 Gua 475 grup GG 17 01/07/2011 Ungko 1 Gua 0 semua hitam 18 03/07/2011 Ungko 1 I 900 grup GB 19 03/07/2011 Siamang 3 S 1125 grup SC 20 05/07/2011 Ungko 1 Gua 1600 Hitam 21 05/07/2011 Ungko 1 Gua 1100 Hitam 22 05/07/2011 Siamang 3 Gua 1100 grup SG 23 05/07/2011 Ungko 3 Gua 475 grup GF 24 06/07/2011 Ungko 1 C 3225 Hitam 25 06/07/2011 Siamang 1 C 3150 Dewasa 26 06/07/2011 Ungko 2 Gua 500 grup GG 27 06/07/2011 Siamang 1 M 800 grup SC 28 06/07/2011 Ungko 3 Gua 2900 grup GB 29 07/07/2011 Ungko 2 AP 400 grup GC 30 07/07/2011 Ungko 2 S 225 grup GB 31 08/07/2011 Ungko 1 plot 8 grup GB 32 08/07/2011 Ungko 3 C 4100-O 1300 grup GD 33 09/07/2011 Siamang 2 C 900 Dewasa 34 09/07/2011 Siamang 1 IXJ - LXGua - CXL grup SD 35 09/07/2011 Ungko 3 NL 725 grup GB 36 09/07/2011 Siamang 3 I 800 grup SE 37 09/07/2011 Ungko 1 S 275 grup GB 38 10/07/2011 Ungko 2 Gua X HB grup GA 39 10/07/2011 Ungko 3 I X Gua grup GD 40 13/07/2011 Ungko 3 Gua X I – C grup GD 41 13/07/2011 Siamang 3 JMK 75 2 dewasa 1 anak 42 15/07/2011 Ungko 1 B 2400 Hitam
(3)
Lampiran 2 (lanjutan)
No Tanggal Jenis Jumlah Lokasi Keterangan
43 15/07/2011 Ungko 3 JMK 1175 2 hitam 1 kuning 44 15/07/2011 Ungko 3 HA 1200 grup GF
45 16/07/2011 Ungko 2 C 3200 grup GA 46 16/07/2011 Siamang 3 H 1550 2 dewasa 1 anak 47 16/07/2011 Ungko 3 Fig 33 grup GF 48 16/07/2011 Ungko 1 CGLG Hitam 49 16/07/2011 Ungko 1 Gua 1400 grup GA 50 16/07/2011 Siamang 1 C X M grup SK 51 16/07/2011 Ungko 2 S 650 grup GB 52 17/07/2011 Siamang 3 Plot 13 grup SD 53 17/07/2011 Ungko 1 Gua 525 Hitam 54 17/07/2011 Siamang 3 antara C dan HB grup SD 55 18/07/2011 Siamang 3 H 2125 grup SG 56 19/07/2011 Ungko 1 C 2350 grup GJ 57 19/07/2011 Ungko 1 CGLG/survei 3A grup GH 58 19/07/2011 Siamang 3 CGLG/survei 3A grup SH 59 19/07/2011 Ungko 1 plot 13 Hitam 60 19/07/2011 Ungko 2 Gua 1500 grup GA 61 21/07/2011 Siamang 3 Survei 3B grup SI 62 21/07/2011 Ungko 1 Survei 3B grup GJ 63 24/07/2011 Siamang 1 Gua 1500 grup SA 64 26/07/2011 Ungko 1 HE 75 grup GG 65 26/07/2011 Ungko 1 plot 13 grup GF 66 26/07/2011 Siamang 1 CGLG grup SH 67 05/08/2011 Ungko 4 S700-S600 grup GB 68 05/08/2011 Ungko 1 plot 13 grup GF 69 05/08/2011 Siamang 1 plot 14 grup SA 70 05/08/2011 Ungko 4 S525 grup GB 71 05/08/2011 Ungko 1 H2500 grup GA 72 05/08/2011 Ungko 2 Gua 1250 grup GA 73 05/08/2011 Siamang 1 plot 13-Gua350 grup SA 74 05/08/2011 Ungko 1 plot 13 grup GF 75 12/08/2011 Siamang 2 R X jalan masy grup SC 76 12/08/2011 Ungko 1 plot 13 grup GF 77 12/08/2011 Ungko 1 Gua 625 grup GF 78 13/08/2011 Ungko 3 HA X Gua grup GF 79 13/08/2011 Siamang 1 Gua 600 grup SA 80 14/08/2011 Ungko 1 HM 50 Hitam 81 14/08/2011 Ungko 3 C X CGLG grup GH 82 15/08/2011 Ungko 3 JMK 450 Hitam
(4)
64
Lampiran 3 Daftar perjumpaan primata lain. No Jenis Jumlah Lokasi
1 orangutan 2 Gua 950 2 orangutan 2 C2250 3 orangutan 1 Plot 14 4 orangutan 1 Camp 2 5 orangutan 1 Camp 2 6 orangutan 1 JMK 2600 7 orangutan 2 Gua X L 8 orangutan 1 Gua X L 9 orangutan 1 O 1300 10 orangutan 1 C 11 orangutan 1 S500 12 orangutan 2 HA1300 13 orangutan 1 C2375 14 orangutan 1 C2375 15 orangutan 1 N325 16 orangutan 1 S525 17 orangutan 1 M25 18 orangutan 2 Gua 750 19 simpai 5 Ap 1325 20 simpai 7 C X CGLG 21 simpai 5 AP X HI 22 simpai 3 Plot 19 23 simpai 6 Plot 13 24 simpai 5 I X S 25 beruk 8 HH 200 26 beruk 6 C X O 27 beruk 7 C 3800 28 beruk 5 I 900 29 beruk 8 C 4300
(5)
RINGKASAN
AKROM MUBAROK. Distribusi dan Kepadatan Simpatrik Ungko
(Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasan
Hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Dibawah bimbingan DONES RINALDI dan ANI MARDIASTUTI.
Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) termasuk keluarga Hylobatidae yang dapat dijumpai di Hutan Sumatera. Keduanya merupakan primata arboreal yang hidup dalam kelompok monogami dan memiliki banyak kemiripan termasuk kebutuhan hidup dan perilakunya. Keduanya memiliki banyak kemiripan dan dapat hidup dalam satu area yang sama (simpatrik), salah satunya di Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT). Saat ini, keduanya terancam keberadaanya akibat perubahan dan degradasi hutan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan mempelajari distribusi, kepadatan dan pemilihan waktu bersuara kedua spesies simpatrik.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah
triangle count dan VES (Visual Encounter Survey). Triangle count dilakukan untuk mendapatkan kepadatan, distribusi dan pemilihan waktu panggil ungko dan siamang berdasarkan suara. Triangle count dilakukan pada 4 area dimana setiap area dilakukan survei 4-5 hari berturut-turut. VES dilakukan untuk mengetahui ukuran dan komposisi kelompok serta distribusi kedua spesies.
Hasil pengamatan menunjukan ungko dan siamang tersebar hampir di seluruh area Stasiun Penelitian Yayasan Ekosistem Lestari-Sumatran Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP). Walaupun terjadi tumpang tindih home range dan teritori antar spesies maupun antar kelompok, setiap kelompok ungko dan siamang tetap memiliki teritori yang dipertahankan. Keduanya dapat hidup simpatrik karena tidak berada pada relung ekologi yang sama. Kepadatan populasi ungko dan siamang di Stasiun Penelitian YEL-SOCP berturut-turut sebesar 5,12 kelompok/km2 dan 3,37 kelompok/ km2. KHBT yang berupa hutan pegunungan bawah dan hutan Dipterocarpaceae merupakan habitat yang baik bagi ungko. Ungko melakukan group call lebih awal dibandingkan siamang. Probabilitas
group call ungko dan siamang stabil pada hari ke-4.
KHBT memiliki biodiversitas yang tinggi untuk itu perlu dipertahankan untuk pelestarian plasma nutfah. Pengelolaan KHBT hendaknya memperhatikan keberadaan flora fauna di dalamnya. Ungko dan siamang memerlukan vegetasi dengan tajuk rapat dan kontinu, sehingga dalam pembuatan insfrastruktur seperti jalan dan bangunan tidak membuat habitatnya terpisah-pisah dan tetap menyisakan koridor yang menghubungkan antar hutan.
(6)
SUMMARY
AKROM MUBAROK. Distribution and Density of Sympatric Agile Gibbon
(Hylobates agilis) and Siamang (Symphalangus syndactylus) in Batang Toru
Forest, North Sumatera. Supervised by DONES RINALDI and ANI MARDIASTUTI.
Agile gibbon (Hylobates agilis) and Siamang (Symphalangus syndactylus) are belonging to Hylobatidae family and both species can be found in the forest of Sumatera. Both species are arboreal primates living in monogamous groups and have many similarities, including habitat requirements and behavior. Both species are able to live in the same area (sympatric) in Batang Toru forest area, North Sumatera. Currently, both species are threatened to extinction due to the habitat changes and forest degradation. The research objective is to determine the distribution, density, and call timing of the sympatrics Agile Gibbons and Siamangs in Yayasan Ekosistem Lestari - Sumatran Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP) Research Station, Batang Toru forest (approximately 2.400ha).
Data were collected by triangulation and Visual Encounter Survey (VES). Triangulation was performed to obtain population density of both species, distribution and call timing. Triangulation was performed in four sites and each site were surveyed in 4 to 5 consecutive days. VES was carried out to determine the size and composition of the group and the distribution of both spesies.
The observations revealed that Agile gibbon and Siamang spreaded almost in all of the study areas. Although the overlapping home ranges between species and between groups occured, each group still has the exclusive territory. Both can live sympatric for not being in the same ecological niche. Population density in Agile gibbon and Siamang in the YEL-SOCP Research Station were 5.12 groups/km2 and 3.37 groups/km2, respectively. The low mountains forest and Dipterocarp forest was the best habitat for Agile gibbons. Agile gibbon made group call earlier than Siamang. The probability of group call in Agile gibbon and Siamang stabilized on day-4.
Batang Toru Forest Area has a high biodiversity that need to be maintained for conservation. Batang Toru forest area should be managed in such as way in order to maintain the existence of plants and animals in the study area.