Struktur dan Komposisi Jenis Vegetasi pada Habitat Ungko (Hylobates agilis F.Cuvier 1821) dan Siamang (Symphalangus syndactylus Gloger 1841) di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Bagian Barat, Sumatera Utara

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan dua jenis Hylobatidae yang menghuni habitat hutan di Pulau Sumatera. Penyebaran populasi ungko terdapat di Semenanjung Melayu, Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan, sedangkan sebaran siamang terbatas di Pulau Sumatera dan beberapa wilayah di Semenanjung Melayu. Pada kawasan Pulau Sumatera kedua satwa ini menghuni kawasan hutan hujan tropis dataran rendah dan hutan hujan pegunungan hingga ketinggian 2000 mdpl. Sebaran Ungko di Pulau Sumatera terutama berlokasi di Sumatera Tengah hingga Sumatera Bagian Selatan, sedangkan populasi siamang memiliki sebaran yang lebih luas yaitu menyebar dari bagian utara Pulau Sumatera hingga bagian selatan Pulau Sumatera (Nijman 2009). Salah satu kawasan hutan di Pulau Sumatera yang dihuni secara simpatrik oleh kedua jenis Hylobatidae tersebut adalah Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat (KHBTBB).

Populasi ungko dan siamang saat ini terus mengalami penurunan di habitat alaminya yaitu Pulau Sumatera. Beberapa penyebab terjadinya penurunan populasi tersebut antara lain perburuan liar yang bertujuan untuk diperdagangkan, perusakan habitat akibat pembalakan liar, konversi kawasan hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan dan berbagai penyebab lain yang menyebabkan hilangnya kawasan hutan di Pulau Sumatera (Geissman et al. 2006).

Beberapa upaya perlindungan terhadap kedua spesies ini juga telah dilakukan melalui perlindungan hukum dengan UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Masyarakat internasional juga memberikan fokus perlindungan terhadap spesies ini melalui International Union on Conservation for Nature (IUCN) redlist dengan memasukkannya ke dalam status endangered, serta melalui Convention on International Trade of Endangeres Species (CITES) dengan memasukkan ke dalam kategori Appendix 1 CITES.


(2)

Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat (KHBTBB) seluas 148570,3 ha, merupakan salah satu habitat alami ungko dan siamang yang hidup secara simpatrik di Sumatera Utara. Sebagai salah satu satwa herbivora arboreal kehidupan ungko sangat berkaitan dengan keberadaan vegetasi sebagai habitat dilokasi tersebut. Simorangkir et al. (2009) menyebutkan Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) terus mengalami degradasi habitat dengan laju rata-rata 2% setiap tahunnya akibat aktivitas penebangan hutan, dan apabila hal tersebut terus berlangsung maka laju kehilangan habitat alami kedua jenis Hylobatidae di kawasan tersebut diperkirakan akan semaking tinggi di masa mendatang. Hal ini akan semakin mengancam populasi ungko dan siamang sehingga dapat menjadi pemicu punahnya spesies tersebut.

Perlu dilakukan berbagai upaya untuk melindungi populasi ungko dan siamang di Kawasan Hutan Batang Toru, salah satunya dengan melakukan pengelolaan habitat kedua Hylobatidae tersebut. Studi mengenai struktur dan komposisi vegetasi habitat serta sumber pakan ungko dan siamang diharapkan akan memberikan manfaat sebagai salah satu acuan data dalam upaya untuk mendukung upaya konservasi kedua spesies tersebut.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan struktur, komposisi dan keanekaragaman jenis pohon di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat sebagai habitat ungko dan siamang. 2. Mengidentifikasi pola pemanfaatan ruang serta jenis vegetasi sumber pakan

ungko dan siamang di habitat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat.

1.3 Manfaat

Studi ini diharapkan memberikan manfaat mengenai deskripsi struktur dan komposisi jenis vegetasi habitat serta pemanfaatannya sebagai salah satu acuan data dalam pengelolaan habitat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat untuk mendukung upaya konservasi spesies Hylobatidae tersebut.


(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus)

2.1.1 Klasifikasi

Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis kera kecil (lesser ape) yang termasuk kedalam keluarga Hylobatidae. Ungko dan siamang masing-masing memiliki klasifikasi sebagai berikut (Tabel 1).

Tabel 1 Klasifikasi taksonomi antara ungko dan siamang (Napier & Napier 1985)

Klasifikasi Jenis

Ungko Siamang

Kingdom Animalia Animalia

Filum Chordata Chordata

Kelas Mammalia Mammalia

Ordo Primata Primata

Famili Hylobatidae Hylobatidae

Genus Hylobates Symphalangus

Spesies Hylobates Agilis (F. Cuvier 1821) Symphalangus syndactylus

(Gloger 1841)

Nama lokal Ungko Siamang

Spesies Hylobates agilis memiliki tiga sub-spesies di Indonesia, yaitu Hylobates agilis ungko, Hylobates agilis agilis dan Hylobates agilis albibarbis (Supriatna & Wahyono 2000). Sedangkan untuk siamang hanya terdapat satu sub-spesies di Indonesia yaitu Symphalangus syndactylus syndactylus yang terbatas sebarannya di Pulau Sumatera (Brandon-Jones et al 2003).

2.1.2 Morfologi

Secara umum ciri-ciri fisik ungko dapat dikenali melalui warna rambutnya yang beragam, mulai dari abu-abu, coklat muda sampai dengan hitam. Rambut tersebut menutupi seluruh tubuh satwa ini dan terdapat juga alis yang berwarna putih atau pirang di atas matanya. Satwa ini juga memiliki warna yang lebih gelap pada bagian pergelangan dan jari tangan serta kaki jika dibandingkan dengan anggota bagian tubuh lainnya. Spesies Hylobates agilis memiliki fenomena sexual dichromatism (pembedaan warna tubuh berdasarkan jenis kelamin). Pada pejantan dewasa memiliki warna rambut yang lebih terang dari betina pada bagian


(4)

sekeliling pipi hingga dagu (abu-abu hingga coklat muda). Hal yang sama juga terdapat pada betina remaja namun pada saat mencapai usia dewasa warna rambut disekitar muka dan dagu tersebut berubah menjadi lebih gelap (Geissman & Nijman 2008) (Gambar 1).

Ungko memiliki ukuran tubuh antara 44 cm sampai 63,5 cm serta memiliki berat tubuh antara 5 sampai 8 kg untuk ungko dewasa (Geissman & Nijman 2008). Ungko memiliki tangan yang lebih panjang dibandingkan kakinya dan satwa ini tidak dapat berenang. Struktur tangan, kaki dan jari-jarinya panjang sehingga memungkinkannya untuk menjangkau dahan-dahan disekitarnya sehingga efektif untuk melakukan pergerakan berayun di tajuk-tajuk pohon dalam hutan (Supriatna & Wahyono 2000).

Gambar 1 Penampakan fisik Hylobates agilis; sebelah kiri merupakan jenis dengan warna rambut kuning dan sebelah kanan warna rambut hitam (Sumber: www.arkive.org).

Siamang memiliki ukuran fisik yang paling besar diantara jenis Hylobatidae lainnya. Siamang dapat dikenali melalui warna rambutnya yang hitam pekat dengan warna sedikit keabu-abuan diantara dagu dan mulut mereka (Gambar 2). Selain itu Siamang juga memiliki kekhasan tersendiri dibanding Hylobatidae lain yaitu terdapatnya kantung suara (gular sacs) yang dapat membesar ketika mereka melakukan panggilan suara (Ankel-Simon 2000). Siamang dapat tumbuh hingga mencapai ukuran lebih dari 1 meter ketika mereka dewasa dan bobot tubuh siamang jauh lebih berat ketimbang ungko dengan berat rata-rata mencapai 10-15 kg (Palombit 1997).


(5)

Gambar 2 Penampakan fisik Symphalangus syndactylus. Ket: jantan (kanan) dan betina (kiri) dengan ciri khas gular sacs (kantung suara) (sumber : www.jackieprime.org).

2.1.3 Penyebaran dan habitat

Habitat merupakan kawasan yang merupakan tempat tinggal satwaliar yang didalamnya terdapat beberapa komponen yakni fisik dan biologi dan memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya (Alikodra 2002). Fungsi habitat secara umum adalah sebagai penyedia makanan, air dan perlindungan bagi satwaliar. Selain itu habitat juga menjadi tempat bagi satwaliar untuk berkembangbiak (breeding) dan membesarkan anak (rearing).

Sebagai salah satu satwa herbivora arboreal kehidupan Hylobatidae sangat berkaitan dengan keberadaan vegetasi sebagai habitatnya. Kawasan hutan dengan tajuk pohon yang kontinyu merupakan model habitat yang penting bagi keberadaan Hylobatidae, karena dapat mendukung pergerakan (brankiasi) satwa tersebut dari satu pohon ke pohon lainnya (Sultan 2009).

Ungko memiliki penyebaran habitat mulai dari Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaysia hingga daerah selatan Thailand. Sedangkan penyebaran Siamang terbatas pada Pulau Sumatera, Semenanjung Malaysia hingga daerah selatan Thailand. Kedua jenis Hylobatidae ini menghuni kawasan hutan primer, hutan sekunder, hutan rawa, hutan hujan tropis dataran rendah dan hutan hujan pegunungan hingga ketinggian 2000 mdpl. Penyebaran siamang di Pulau Sumatera tersebar luas mulai dari Sumatera bagian utara (Aceh) hingga ke bagian selatan pulau tersebut. Sedangkan ungko memiliki sebaran dari Sumatera bagian


(6)

tengah (mulai selatan Danau Toba) hingga ke Sumatera bagian selatan (Supriatna & Wahyono 2000) (Gambar 3).

(a) (b)

Gambar 3 Peta penyebaran kedua jenis Hylobatidae di Sumatera. Ket: (a) distribusi ungko (Hylobates agilis) dan (b) siamang (Symphalangus syndactylus) (Sumber: www.iucnredlist.org).

2.1.4 Aktivitas harian

Aktivitas harian pada satwaliar adalah refleksi fisiologis terhadap lingkungan sekitarnya. Jenis Hylobatidae pada umumnya melakukan aktivitas harian di tajuk-tajuk pohon (arboreal) yaitu dimulai dari meninggalkan pohon tidur hingga masuk ke pohon tidur selanjutnya. Chivers (1984) menyebutkan jenis Hylobatidae umumnya mulai beraktivitas sebelum matahari terbit dan mengakhirinya pada sore hari untuk beristirahat lebih awal dari jenis primata diurnal lainnya. Waktu aktivitas hariannya kurang lebih berlangsung 9,5 jam hingga 10,5 jam. Aktivitas yang dilakukan ungko antara lain bersuara (calling), berpindah (travelling), makan (feeding and foraging), berkutu-kutuan (grooming) bermain (playing) dan istirahat (resting) (Nowak 1999).

Aktivitas harian pada kelompok Hylobatidae diawali dengan bersuara, hal ini dilakukan untuk menunjukan teritorial dan pengaturan ruang antar kelompok (Chivers 2001). Aktivitas bersuara dilakukan sebagai pengaturan ruang dengan alasan suara keras dilakukan agar terdengar oleh kelompok lain sebagai komunikasi antar kelompok kemudian saling bersahutan dan jarang terjadinya kontak langsung antar kelompok. Pada ungko aktivitas calling diawali dengan dawn call (suara jantan sendiri) pada saat sebelum matahari terbit, sedangkan siamang tidak terdapat aktivitas calling sebelum matahari terbit (Chivers 1984).


(7)

Makan merupakan aktivitas yang dilakukan setelah bersuara. Jenis Hylobatidae dapat melakukan kegiatan makan pada satu pohon yang sama selama 2-3 hari berturut-turut. Pada saat itu, satwa jenis ini melakukan perpindahan dan biasanya tidur di sekitar atau dekat pohon pakan. Lama aktivitas makan tergantung pada jenis dan kelimpahan jenis pakan. Hylobatidae makan dengan cara memetik satu-persatu buah atau daun muda yang dimakan (Rinaldi 1992).

2.2 Hutan Sebagai Habitat Hylobatidae 2.2.1 Struktur dan komposisi ekosistem hutan

Hutan sebagai habitat ungko memiliki karakteristik tersendiri dari elemen penyusunnya. Salah satu hal yang berkaitan dengan karakteristik tersebut adalah struktur dan komposisi jenis vegetasi dalam suatu ekosistem hutan. Richard (1966) diacu dalam Marpaung (2009) mendefinisikan struktur hutan sebagai hal yang menyangkut susunan bentuk (life form) dari suatu vegetasi yang merupakan karakteristik vegetasi yang kompleks, dapat digunakan dalam penentuan stratifikasi (vertikal dan horizontal) dan menjadi dasar dalam melihat jenis-jenis dominan, kodominan dan tertekan. Komposisi masyarakat tumbuhan dapat diartikan variasi jenis flora yang menyusun suatu komunitas. Misra (1973) diacu dalam Marpaung (2009) menyebutkan komposisi jenis tumbuhan dapat diartikan juga sebagai daftar floristik dari jenis tumbuhan yang ada dalam suatu komunitas.

2.2.2 Pohon sebagai sumber pakan Hylobatidae

Pohon sumber pakan ungko dan siamang adalah jenis pepohonan yang menyediakan sumber pakan untuk kedua jenis Hylobatidae tersebut yang meliputi buah, daun, bunga ataupun bagian tumbuhan lainnya. Secara umum bagian jenis sumber pakan satwa primata terbagi atas bagian vegetatif tumbuhan, bagian reproduktif tumbuhan dan hewan seperti serangga maupun hewan kecil lainnya (Palombit 1997). Sebagai satwa primata frugivorous (pemakan buah) komposisi pakan alami ungko dan siamang yang terbesar adalah buah-buahan yang berasal dari pepohonan hutan. Proporsi pakan alami ungko menurut Elder (2009) terdiri dari buah 63%, daun 26%, bunga 4% dan serangga 7 %. Sedangkan menurut Palombit (1997) proporsi pakan alami siamang terdiri dari 51% buah, 33% daun, 10 % serangga dan 6% bunga. Chivers (2001) menyebutkan beberapa jenis


(8)

vegetasi yang menjadi sumber pakan bagi keberadaan ungko antara lain dari genus Artocarpus, Baccauarea, Dillenia, Ficus, Litsea, Canarium, Diospyros, Mangifera, Eugenia, Callophylum, Gnetum dan Vitex.

2.2.3. Pohon sebagai cover dan shelter Hylobatidae

Pohon di habitat satwa liar harus memenuhi fungsi sebagai tempat untuk berlindung (cover) dan bernaung (shelter) bagi satwaliar (Weddel 2002). Pepohonan sebagai tempat berlindung (cover) bagi keberadaan satwa liar dapat didefinisikan terutama untuk tempat bersembunyi, melarikan diri dan mengawasi keberadaan predator disekitar mereka atau mendukung strategi predator avoidance (penghindaran pemangsa). Sedangkan fungsi kedua yaitu pepohonan sebagai shelter (tempat bernaung) lebih mengutamakan pada fungsi perlindungan terhadap cuaca (panas, angin, hujan dan udara dingin).


(9)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat dan difokuskan pada stasiun riset penelitian YEL-SOCP (Yayasan Ekosistem Lestari-Sumatran Orangutan Conservation Program) Blok Hutan Batang Toru Bagian Barat, Kecamatan Pahae Jae, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara (Gambar 4).

Gambar 4 Peta lokasi penelitian di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat. Ket: tanda kuning dalam insert merupakan area Stasiun Penelitian YEL-SOCP di KHBTBB; garis kuning menunjukkan transect yang terdapat dalam areal penelitian.

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pita ukur, meteran 50 m, range finder insight 400 XL, kompas, GPS, peta kerja, kantong plastik spesimen, binocular, kamera dan alat tulis-menulis. Objek atau bahan utama dalam penelitian ini adalah populasi siamang dan ungko yang terdapat dalam kawasan tersebut.


(10)

3.3 Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Pengamatan vegetasi

Pengumpulan data mengenai vegetasi meliputi aspek fisik, komposisi dan struktur vegetasi serta penutupan tajuk. Pengambilan data ini dilakukan dengan jalur analisis vegetasi yang dipilih secara purposive sampling yaitu dengan menggunakan 15 plot monitoring permanen berukuran 10 x 100 m dalam kawasan tersebut.

Data yang berkaitan dengan vegetasi habitat yaitu komposisi, struktur vegetasi dan penutupan tajuk diambil dengan cara menganalisis jalur plot vegetasi yang terdapat dalam plot permanen berukuran 10 x 100 m. Analisis vegetasi dilakukan menggunakan metode koordinat yaitu pembuatan absis dan ordinat pada plot tersebut dengan cara membentangkan meteran berukuran 50 meter sebagai garis sumbu absis (x) dan meteran berukuran 10 meter sebagai ordinat (y) (Gambar 5).

Gambar 5 Bentuk plot pengamatan vegetasi pada habitat Hylobatidae di KHBTBB.

Data mengenai vegetasi yang dicatat dalam pengamatan pada petak tersebut, yang terdiri dari data jenis tumbuhan, jumlah individu setiap jenis, diameter breast height (diameter setinggi dada), tinggi bebas cabang, tinggi total, diameter tajuk berdasarkan arah mata angin (utara-selatan; barat-timur) dan posisi pohon berdasarkan koordinat (x,y).

3.3.2 Pengamatan penggunaan ruang oleh Hylobatidae

Pengamatan penggunaan ruang oleh kedua jenis Hylobatidae dilakukan dengan cara observasi langsung diseluruh transek dan hutan dalam area Camp Pondok Mayang YEL-SOCP. Metode yang digunakan dalam pengamatan ini adalah scan sampling terhadap setiap individu kedua jenis Hylobatidae yang ditemukan. Pengamatan ini juga mengasumsikan setiap individu yang ditemukan dalam waktu yang berbeda dijadikan sampel yang berbeda. Asumsi ini digunakan


(11)

karena populasi dari kedua jenis Hylobatidae dalam kawasan tersebut belum terhabituasi dan cukup sulit untuk dilakukan pengamatan aktivitas penggunaan ruang dalam periode waktu yang lama, sehingga dengan menggunakan asumsi tersebut diharapkan dapat memperkaya data penggunaan habitat. Data mengenai penggunaan ruang yang dicatat antara lain waktu perjumpaan, lokasi perjumpaan, jenis kelamin, aktivitas, ketinggian dari tanah dan jenis pohon.

3.4. Analisis Data

3.4.1 Analisis data vegetasi

Analisis vegetasi habitat ungko dan siamang dengan metode jalur berpetak dihitung menggunakan rumus berdasarkan Soerianegara dan Indrawan (2002) sebagai berikut:

Kerapatan suatu jenis (K) (individu/ha)

K = Jumlah Individu jenis ke-i Luas total petak contoh

Kerapatan relatif suatu jenis (KR)

KR = Kerapatan jenis ke-i X 100%

Kerapatan seluruh jenis

Frekuensi suatu jenis (F)

F = Jumlah petak ditemukannya jenis ke-i Jumlah seluruh petak contoh

Frekuensi relatif suatu jenis (FR)

FR = Frekuensi jenis ke-i X 100%

Jumlah frekuensi seluruh jenis

Dominansi suatu jenis (D)

D= Luas bidang dasar jenis ke-i Luas total petak contoh

Dominansi relatif (DR)

DR =

Dominansi jenis ke-i

X 100% Dominansi seluruh jenis


(12)

Hasil pengolahan data selanjutnya dianalisis dalam bentuk tabulasi dan penjelasan secara deskriptif. Seluruh hasil perhitungan nilai kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, dominansi, dominansi relatif serta Indeks Nilai Penting (INP) dimaknai dengan mengkaitkannya terhadap keberadaan kedua jenis Hylobatidae terutama untuk pemanfaatan jenis pepohonan.

3.4.2 Analisis ketersediaan ruang berdasarkan kelas strata dan tinggi pohon.

Analisis ketersediaan ruang dilakukan dengan mengklasifikasikan tiap individu pohon yang teramati kedalam kelas-kelas tertentu. Klasifikasi strata pohon yang terdapat dalam habitat ungko dan siamang dibagi kedalam empat kategori yaitu strata A (>30 m), B (20-30 m), C (10-20 m) dan D (<10 m) (Mills et al 1993, diacu dalam Parker & Brown 2000). Setelah dikelompokan dalam masing-masing kategori klasifikasi tersebut, selanjutnya dicari nilai frekuensi relatif ketersediaan ruang antara satu kelas strata dengan kelas strata lain menggunakan persamaan:

Ketersediaan ruang strata i = (total individu pohon strata ke i/total individu seluruh pohon) x 100%

Analisis yang sama juga digunakan untuk mencari ketersediaan ruang berdasarkan kelas tinggi pohon yang teramati. Namun untuk kelas tinggi pohon dibagi kedalam enam kelas dengan yaitu 0-11 meter, 11-15 meter, 16-20 meter, 21-25 meter, 26-30 meter dan >30 meter. Setelah dikelompokan dalam masing-masing kategori klasifikasi tersebut, selanjutnya dicari nilai frekuensi relatif ketersediaan ruang antara satu kelas strata dengan kelas strata lain menggunakan persamaan:

Ketersediaan ruang kelas tinggi i = (total individu pohon kelas tinggi ke i/total individu seluruh pohon) x 100%

Kedua hasil analisis data ini selanjutnya akan digunakan sebagai salah satu variabel dalam perhitungan preferensi pemanfaatan ruang oleh kedua jenis Hylobatidae.

3.4.3 Visualisasi profil habitat dan persentase coverage area

Penggambaran profil habitat dilakukan berdasarkan data hasil pengamatan vegetasi. Dengan menggunakan perangkat lunak coreldraw atau adobe photoshop


(13)

kemudian data-data hasil pengamatan vegetasi habitat yang telah dilakukan dikonversi kedalam gambar digital untuk menggambarkan struktur pohon dalam habitat tersebut.

Persentase coverage area merupakan analisis data mengenai akumulasi seluruh tutupan tajuk pepohonan dalam suatu plot. Persentase coverage area dicari dengan metode overlay dari suatu tajuk pohon menggunakan perangkat lunak coreldraw. Setelah terbentuk seluruh tutupan tajuk pohon yang terdapat di plot tersebut kemudian digunakan perangkat lunak imageJ untuk mencari luasan (measurement) yang telah di-overlay, kemudian dibandingkan dengan luasan keseluruhan plot sehigga dapat ditemukan nilai persentase luasan area yang ternaungi (cover area) dan area yang terbuka (open area)

3.4.4 Analisis pemanfaatan ruang

Data mengenai pemanfaatan ruang oleh ungko dan siamang dianalisis dengan menggunakan Jacob’s D value index. Jacob’s D value index adalah sebuah indeks yang menggambarkan preferensi penggunaan ruang suatu jenis satwa berdasarkan srata maupun ketinggian dalam hutan. Indeks ini sebelumnya telah banyak digunakan untuk menghitung preferensi pakan berdasarkan kelimpahannnya di alam (Jacob 1974, diacu dalam Cannon & Leighton 1994). Dalam penghitungan indeks tersebut digunakan proporsi kelimpahan relatif aktivitas penggunaan ruang dan kelimpahan relatif (ketersediaan) ruang dihabitat dengan menggunakan persamaan:

D= (r-p)/(r+p-2rp)

Keterangan: D= Jacob’s D value index; r= frekuensi relatif pemanfaatan ruang; p= kelimpahan relatif (frekuensi) ruang dihabitat.

Selanjutnya data tersebut dideskripsikan dengan menggunakan analisis crosstabs menggunakan perangkat lunak SPSS 16.0 untuk menjelaskan nilai perbedaan penggunaan ruang oleh ungko dan siamang. Selanjutnya hasil tersebut di-visualisasikan kedalam bentuk grafik untuk menggambarkan perbedaan nilai pemanfaatan ruang ungko dan siamang.

3.4.5 Pemanfaatan vegetasi sebagai sumber pakan

Datamengenaipemanfaatan vegetasi sebagai sumber pakan oleh ungko dan siamang dianalisis secara deskriptif dengan mengaitkan antara jenis-jenis yang


(14)

dimanfaatkan oleh kedua jenis Hylobatidae tersebut dan ketersediaannya dihabitat.

3.4.6 Indeks keanekaragaman jenis vegetasi

Indeks Keanekaragaman jenis vegetasi pada habitat ungko dihitung dengan menggunakan persamaan indeks keanekaragaman Shanon-Wiener (Latifah 2005).

H’ = -∑ pi ln pi Keterangan:

H’ : Indeks keanekaragaman jenis

Pi : Kelimpahan relatif spesies ke-I (Ni/Nt) Ni : Jumlah individu spesies ke-i

Nt : Jumlah total untuk semua individu Ln : Logaritma natural

Setelah diketahui nilai indeks Shanon-Wiener berdasarkan perhitungan di atas, selanjutnya nilai indeks tersebut dibandingkan untuk tiap lokasi pengamatan ataupun dengan hasil penelitian habitat ungko lainnya. Barbour et al. (1987) diacu dalam Simorangkir et al. (2009) menyebutkan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis umumnya berkisar 0-7 dan memiliki beberapa kriteria yaitu

rendah untuk H’=0-2; sedang jika H’=2-3; dan tinggi jika H’>3.

3.4.7 Indeks kemerataan jenis vegetasi

Tingkat kemerataan vegetasi pada suatu komunitas ditunjukkan oleh indeks kemerataan spesies (species eveness index). Indeks kemerataan ini menunjukkan penyebaran individu spesies dalam suatu komunitas. Menurut Ludwig dan Reynold (1988) indeks ini dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

E=H’/Ln S

Keterangan: E=Indeks kemerataan jenis; H’= indeks keanekaragaman jenis; S=jumlah spesies

Nilai indeks kemerataan jenis berkisar antara nol sampai satu. Menurut Krebs (1978) nilai indeks kemerataan mendekati satu menunjukkan bahwa spesies yang terdapat dalam suatu komunitas semakin merata, sementara apabila nilai indeks kemerataan mendekati nol menunjukkan ketidakmerataan spesies dalam komunitas tersebut.


(15)

3.4.8 Indeks kekayaan jenis vegetasi

Indeks kekayaan jenis Margalef (R)’ merupakan perhitungan kekayaan jenis spesies dalam suatu komunitas. Indeks ini menurut Magurran (1988) dapat dihitungdengan menggunakan persamaan:

R= S-1/ ln N

Keterangan: R=Indeks kekayaan jenis margalef; S= jumlah jenis; N=Jumlah individu)

Indeks kekayaan jenis Margalef merupakan indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas, dimana besarnya nilai ini dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu pada areal tersebut. Berdasarkan Magurran (1988) besaran R<3,5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, R=3,5-5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R>5 kekayaan jenis tergolong tinggi.

3.4.9 Indeks Kesamaan Komunitas

Indeks kesamaan komunitas atau index of similarity diperlukan untuk mengetahui tingkat kesamaan antar komunitas di habitat yang diamati. Indeks ini menurut Soerianegara dan Indrawan (1998) dapat dicari dengan menggunakan rumus:

IS= (2w/(a+b)) x100%

Keterangan: IS= Indeks kesamaan jenis w= jumlah spesies yang terdapat dalam kedua komunitas; a=jumlah spesies dalam komunitas a; b=jumlah spesies dalam komunitas b


(16)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas

Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) berada pada koordinat 98046’48”

-99017’24” Bujur Timur dan 1027’00”-1059’24” Lintang Utara. Kawasan ini secara

administrasi berada pada wilayah tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah. Luas ekosistem KHBT sebesar 148570,3 ha dan berdasarkan fungsi hutan dan penetapannya, kawasan tersebut terbagi menjadi hutan produksi tetap, hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan produksi terbatas (Perbatakusuma et al. 2006).


(17)

4.2 Topografi

Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat memiliki ketinggian antara 50 – 1875 m dpl, dimana titik terendah berada di Sungai Sipan Sihaporas (dekat Kota Sibolga) dan titik tertinggi berada di Dolok Lubuk Raya. Kelerengan yang terdapat dalam kawasan ini memiliki nilai antara 16 - 60 %, dengan bentang lahan yang berbukit dan bergunung. Kombinasi dari curah hujan yang tinggi, dominasi kemiringan lereng > 50 %, topografi yang umumnya perbukitan dan pegunungan serta letaknya yang berada di daerah vulkanis aktif, membuat kondisi biologis kawasan ini sangatlah labil dan rawan erosi.

4.3 Geologi (Bebatuan) dan Tanah

Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat berada di daerah vulkanis aktif, dimana kawasan ini merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan Bukit Barisan dan juga merupakan bagian dari Daerah Patahan Besar Sumatera (Great Sumatran Fault Zone) atau secara spesifik dikenal sebagai Sub Patahan Batang Gadis– Batang Angkola–Batang Toru. Patahan ini terus bergerak, sehingga kerap kali menimbukan gempa bumi besar. Berdasarkan batuan geologinya, pada kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat terdapat 15 jenis batuan geologis dan tipe batuan Qvt yaitu batuan vulkanik Toba Tuffs atau Tufa Toba (batuan polimik bersusun riolit-dasit, aliran tufa kristal, gelas, debu dengan sedikit tufa eksposif pada bagian atas). Jenis batuan Qvt ini mendominasi jenis batuan Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat, dimana lebih dari 50% luas kawasan tersebut memiliki jenis batuan geologis Qvt.

4.4 Iklim

Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat merupakan hamparan hutan hujan tropis dengan hari hujan rata-rata bulanan adalah 12-13 hari/bulan, curah hujan tahunan rata-rata >1717,5 mm/tahun dan temperatur rata-rata bulanan adalah 23-25,4⁰C. Tipe iklim di kawasan ini termasuk kedalam tipe A klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson berdasarkan rata-rata tersebut. Tipe iklim ini menggambarkan bahwa kawasan tersebut memiliki curah hujan yang cukup tinggi.


(18)

4.5 Hidrologi

Kawasan ini masih memiliki tutupan hutan relatif baik dan utuh. Ada sedikitnya lima Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berhulu dilokasi tersebut, yaitu DAS Batang Toru, DAS Aek Kolang, DAS Bila, DAS Barumun dan DAS Batang Gadis. Kondisi ini menjadikan KHBT memiliki fungsi ekologi yang cukup tinggi sehingga sangat penting bagi kehidupan masyarakat sekitar kawasan, baik sebagai pengatur tata air maupun sebagai pencegah banjir, erosi dan tanah longsor. Selain itu, potensi ini juga dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi PLTA Sipan Sihaporas (Perbatakakusuma et al. 2006).

4.6 Flora

Kawasan Hutan Batang Toru memiliki berbagai jenis vegetasi yang menyusun tiga ekosistem utama yaitu hutan pegunungan bawah, hutan gambut pada ketinggian 900-1200 meter dan hutan hutan dipterocarpaceae atas. Jenis pohon yang mendominasi berbeda-beda pada masing-masing habitat. Jenis-jenis itu antara lain dari famili Sapotaceae, Casuarinaceae, Podocarpaceae, dan Myrtaceae. Pada hutan dataran rendah terdapat jenis-jenis yang mendominasi yaitu pohon dari famili Dipterocarpaceae dan pada dataran tinggi terdapat beberapa jenis vegetasi yang mendominasi diantaranya Fagaceae dan Podocarpaceae. Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat juga menyimpan jenis-jenis angrek hutan, Nephentes spp. dan Rafflesia spp. Berdasarkan kegiatan inventarisassi yang telah dilakukan kawasan ini memiliki 688 jenis tumbuhan. Dari sekian banyak jenis tumbuhan, ada 8 jenis terancam punah, 3 endemik Sumatera, 4 jenis dilindungi Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999, 2 jenis endemik dan langka yaitu Amorphophalus baccari dan Amorphophalus gigas. Selain itu juga terdapat 3 jenis Nephenthes yang terancam punah (Perbatakusuma et al. 2006).

4.7 Fauna

Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat merupakan habitat alam bagi berbagai jenis satwaliar Pulau Sumatera. Berdasarkan hasil survei Martabe Project Area, satwaliar jenis mamalia yang ditemukan di kawasan ini antara lain harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Naemorhedus sumatrens), tapir (Tapirus indicus), kucing emas (Catopuma temminckii), kancil


(19)

(Tragulus javanicus), binturong (Arctitis binturong), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjac) dan landak (Hystix brachyura). Selain itu dikawasan ini juga dapat dijumpai beberapa jenis primata seperti orang utan ras angkola (Pongo abelii), siamang (Symphalangus syndactylus), ungko (Hylobates agilis), simpai (Presbytis melalophos), beruk (Macaca nemestrina) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) (Perbatakusuma et al. 2006).


(20)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Umum Habitat

Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat merupakan hutan hujan tropis primer yang sebagian besar merupakan areal konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Teluk Nauli. Namun sampai saat ini belum dilakukan eksploitasi terhadap vegetasi yang terdapat dalam area tersebut karena kondisi topografi yang tidak memungkinkan untuk kegiatan HPH. Areal penelitian Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat terletak pada ketinggian 800-1200 mdpl sehingga dapat dikategorikan kedalam tipe hutan peralihan antara ekosistem hutan perbukitan tengah (medium elevation hills) dan hutan sub-montana berdasarkan zona altitudinal dari permukaan laut (Laumonier 1997). Sedangkan berdasarkan zona floristik kawasan tersebut dapat dikategorikan kedalam formasi hutan Dipterocarpaceae atas dan hutan Fagaceae-Lauraceae (Whitemore 1975).

Tipe Habitat yang teramati dalam kawasan hutan areal penelitian tersebut dapat dibedakan berdasarkan struktur dan komposisi vegetasinya. Terdapat tiga tipe habitat utama dalam kawasan tersebut yaitu hutan Dipterocarpaceae atas (upper Dipterocarp forest), hutan gambut (peat forest) dan hutan peralihan hill-montana (Wijiarti 2009; Wich et al. 2003). Ketiga tipe hutan tersebut dalam pembahasan berikutnya disebut dengan formasi hutan peralihan hill-montana (FHHM), formasi hutan gambut (FHG) dan formasi hutan Dipterocarpaceae atas (FHDA).

Ketiga formasi hutan di areal penelitian tersebar dalam tiga wilayah besar yaitu formasi hutan hill-montana (FHHM) di area sebelah timur-utara, formasi hutan gambut (FHG) di area selatan-barat daya dan formasi hutan Dipterocarpaceae atas (FHDA) di area sebelah barat-barat laut lokasi penelitian (Gambar 7). Penggambaran kondisi vegetasi ketiga tipe habitat tersebut disajikan pada Gambar 8.


(21)

Gambar 7 Sketsa lokasi pembagian ketiga tipe habitat ungko dan siamang di KHBTBB.

Gambar 8 Tipe formasi hutan di KHBTBB berdasarkan jenis vegetasi. Ket: (a) formasi hutan hill-montana; (b) formasi hutan gambut dan (c) formasi hutan Dipterocarpaceae atas.

Hasil pengamatan vegetasi pada areal penelitian ini menunjukkan terdapat 216 jenis dari 50 famili pepohonan dengan jumlah individu sebanyak 1360 pohon pada plot contoh berukuran 1,5 ha untuk tiga tipe habitat yang berbeda. Hasil penelitian ini juga mengamati beberapa parameter umum yang menjadi karakteristik pada tiap tipe habitat tersebut, antara lain jumlah famili dan spesies vegetasi, rerata diameter setinggi dada, rerata tinggi total pohon dan beberapa parameter lainnya (Tabel 2).


(22)

Tabel 2 Beberapa parameter umum vegetasi pada tiga tipe habitat di KHBTBB

Tipe Hutan

∑Famili ∑ Jenis DBH (cm) TTP (m) K (ind/ha) LBDS (m2)

FHHM 37 100 22,51± 12,84 19,92± 6,21 888 23,32

FHG 34 102 21,28± 12,51 18,63± 5,65 1016 24,28

FHDA 39 134 24,82± 20,66 19,57± 6,56 816 33,30

Batang Toru 50 216 22,71±15,56 19,60±6,30 907 80,89 Keterangan: FHHM= Formasi hutan peralihan hill-montana; FHG= formasi hutan Gambut;

FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; DBH= rerata diameter setinggi dada; TTP= rerata tinggi total pohon; K= kelimpahan; LBDS= luas bidang dasar.

Ketiga formasi hutan yang teramati secara umum memiliki kemiripan satu dengan lainnya berdasarkan beberapa nilai parameter umum yang teramati. Namun formasi hutan Dipterocarpacae atas (FHDA) merupakan tipe habitat yang memiliki nilai parameter umum tertinggi dibandingkan dengan lainnya. Pendugaan mengenai karakteristik parameter umum vegetasi di kawasan hutan tersebut akan dibahas secara lebih rinci pada sub-bab pembahasan selanjutnya.

Hasil analisis data memberikan beberapa nilai indeks untuk ketiga tipe formasi hutan yang teramati yaitu indeks keanekaragaman jenis pohon Shanon-Wiener, kemerataan jenis Shanon-Shanon-Wiener, kekayaan jenis Margalef dan kesamaan komunitas (similarity index). Hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis pohon Shanon-Wiener, kemerataan jenis Shanon-Wiener, kekayaan jenis Margalef disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Indeks keanekaragaman jenis dan keseragaman jenis Shanon-Wiener pada ketiga tipe hutan di KHBTBB

Tipe Hutan H' H' max E’ R

FHHM 3,65 4,61 79,26% 16,24

FHG 3,22 4,63 69,62% 16,22

FHDA 4,42 4,90 90,24% 22,13

Keterangan: FHHM= Formasi hutan peralihan hill-montana; FHG= formasi hutan Gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; H’= indeks keanekaragaman jenis Shanon-Wiener; H’ max= nilai maksimum H” di habitat; E’= Indeks kemerataan jenis Shanon-Wiener; R= Nilai kekayaan jenis Margalef.

Indeks keanekaragaman Shanon-Wiener (H’) yang terdapat pada ketiga tipe habitat tersebut masing-masing sebesar 3,65 (FHHM), 3,22 (FHG) dan 4,42 (FHDA). Ketiga nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener masing-masing habitat termasuk kedalam kategori tinggi. Barbour et al. (1987) diacu dalam Simorangkir et al. (2009) menyebutkan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis umumnya berkisar 0-7 dan memiliki beberapa kriteria yaitu rendah untuk H’=0-2;


(23)

sedang jika H’=2-3; dan tinggi jika H’>3. Tingginya nilai keanekaragaman jenis vegetasi untuk tiap formasi hutan di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat diduga merupakan implikasi dari kondisi biogeografisnya yang merupakan daerah peralihan kawasan biogeografis Danau Toba bagian utara dan kawasan biogeografis Danau Toba Bagian selatan (Perbatakusuma et al. 2006).

Indeks kemerataan jenis menunjukkan penyebaran individu spesies dalam komunitas. Nilai indeks kemerataan jenis (E’) berkisar antara nol sampai satu. Tabel 3 menunjukkan nilai kemerataan jenis untuk masing-masing tipe habitat sebesar 79,26% (FHHM), 69,62% (FHG) dan 90,24% (FHDA). Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat penyebaran individu spesies vegetasi di ketiga tipe hutan tersebut cukup merata. Krebs (1978) menyebutkan bahwa nilai indeks kemerataan (E’) mendekati satu menunjukkan bahwa spesies yang terdapat dalam suatu komunitas semakin merata, sementara apabila nilai indeks kemerataan mendekati nol menunjukkan ketidakmerataan spesies dalam komunitas tersebut.

Indeks kekayaan jenis Margalef merupakan indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas, dimana besarnya nilai ini dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu pada areal tersebut. Seluruh tipe habitat yang teramati memiliki nilai kekayaan jenis yang tinggi. Berdasarkan Magurran (1988) besaran R<3,5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, R=3,5-5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R>5 kekayaan jenis tergolong tinggi.

Hasil analisis data juga menghasilkan indeks kesamaan komunitas bagi ketiga tipe habitat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat. Ketiga tipe habitat tersebut memiliki nilai kemiripan diatas 30% (Tabel 4).

Tabel 4 Indeks kesamaan komunitas (similarity index) pada ketiga tipe hutan di KHBTBB

FHHM FHG FHDA

FHHM 48,51% 47,86%

FHG 39,83%

FHDA

Keterangan: FHHM= Formasi hutan peralihan hill-montana; FHG= formasi hutan Gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas.

Nilai indeks kesamaan yang bervariasi antara satu komunitas dengan komunitas lainnya pada lokasi penelitian, menunjukkan terdapatnya susunan


(24)

(struktur dan komposisi) tumbuhan untuk masing-masing komunitas tersebut. Nilai indeks kesamaan komunitas antara masing-masing tipe habitat yang teramati yaitu 48,51% (FHHM-FHG), 47,86 % (FHHM-FHDA) dan 39,83 % (FHG-FHDA), menunjukkan tingkat kesamaan jenis pada masing-masing habitat yang dibandingkan. Nilai tersebut juga menggambarkan sekurang-kurangnya terdapat 40% organisme spesies yang sama dan terdapat di dua habitat yang dibandingkan. Kesamaan spesies antar komunitas termasuk kedalam kategori tidak mirip atau spesifik lokal. Hal ini didasarkan atas Suin (2002) diacu dalam Astuti (2010) yang menyebutkan tingkat pengelompokkan tipe komunitas dapat dikategorikan

menjadi empat tingkat yaitu sangat tidak mirip (IS≤25%), tidak mirip (25%<IS≤50%), mirip (50%<IS<75%) dan sangat mirip (IS ≥ 75%).

5.2 Struktur Vegetasi 5.2.1 Kerapatan vegetasi

Hasil pengamatan menunjukkan terdapatnya perbedaaan jenis vegetasi yang memiliki nilai kerapatan relatif tertinggi pada tiap tipe habitat yang teramati. Pada tipe hutan peralihan hill-montana, jenis Campnosperma auriculatum dari famili Anacardiaceae merupakan jenis yang memiliki nilai kerapatan relatif tertinggi yaitu 66 individu/ha atau 7,43% dari keseluruhan plot di tipe habitat tersebut. Jenis Madhuca laurifolia dari famili Sapotaceae merupakan spesies yang memiliki nilai kerapatan tertinggi pada tipe habitat hutan gambut dengan nilai 202 individu/ha atau 19,88 % dari keseluruhan individu yang terdapat dalam plot tipe habitat tersebut. Jenis Gironniera subequalis dari famili Ulmaceae merupakan jenis vegetasi yang memiliki nilai kerapatan tertinggi pada tipe habitat hutan Dipterocarpaceae atas dengan nilai kerapatan 54 individu/ha atau 6,62% dari keseluruhan individu yang teramati pada tipe habitat tersebut (Tabel 5).

Ketiga tipe habitat yang teramati memiliki kesamaan terhadap jenis Palaquium rostratum, yang merupakan jenis pohon pakan bagi ungko dan siamang, yang termasuk kedalam lima jenis vegetasi dengan nilai kerapatan tertinggi di masing-masing tipe habitat (Tabel 5). Selain itu hampir disemua tipe habitat yang teramati terdapat jenis pohon sumber pakan ungko dan siamang yang termasuk kedalam lima jenis vegetasi dengan nilai kerapatan relatif tertinggi seperti jenis Anacardiaceae Campnosperma auriculatum pada tipe hutan peralihan


(25)

hill-montana dan Sapotaceae Madhuca laurifolia pada tipe habitat hutan gambut. Hal ini menunjukkan ketiga tipe habitat tersebut memiliki potensi sumberdaya pohon pakan yang cukup tinggi untuk mendukung kehidupan kedua jenis Hylobatidae tersebut di area penelitian ini.

Tabel 5 Daftar lima jenis vegetasi dengan nilai kerapatan tertinggi pada tiap tipe habitat di KHBTBB

Famili Jenis

Individu

K

(ind/ha) KR (%) FHHM

Anacardiaceae Campnosperma auriculatum*** 33 66 7,43%

Theaceae Schima walichii 32 64 7,21%

Myrsinaceae Labisia pumila 30 60 6,76%

Sapotaceae Palaquium rostratum*** 24 48 5,41%

Unknown Unknown 16 32 3,60%

FHG

Sapotaceae Madhuca laurifolia** 101 202 19,88%

Sapotaceae Palaquium rostratum*** 70 140 13,78%

Myrtaceae Tristaniopsis whiteana 28 56 5,51%

Myrtaceae Syzygium sp. 36 19 38 3,74%

Anacardiaceae Gluta aptera 18 36 3,54%

FHDA

Ulmaceae Gironniera subaequalis* 27 54 6,62%

Myrtaceae Syzygium napiformis 17 34 4,17%

Sapotaceae Palaquium rostratum*** 16 32 3,92%

Rubiaceae Diplospora cf. malaccensis 15 30 3,68%

Rhizophoraceae Carallia eugenioidea 13 26 3,19%

Keterangan: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; *= jenis pohon sumber pakan ungko; **= jenis pohon sumber pakan siamang; ***= jenis pohon sumber pakan ungko dan siamang. 5.2.2 Frekuensi jenis vegetasi

Frekuensi jenis vegetasi dapat didefinisikan sebagai banyaknya jumlah plot pengamatan temat ditemukannya suatu spesies vegetasi dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukkan terdapat lima jenis vegetasi yang memiliki nilai frekuensi tertinggi pada masing-masing tipe habitat. Jenis Ancardiaceae Campnosperma auriculatum, Theaceae Schima wallichii dan Sapotaceae Palaquium rostratum merupakan jenis vegetasi yang memiliki sebaran populasi terluas pada formasi hutan perlaihan hill-montana. Ketiga jenis tersebut ditemukan pada tiap plot pengamatan di tipe habitat tersebut.

Formasi hutan gambut yang terdapat dalam kawasan hutan Batang Toru memiliki lima jenis vegetasi yang sebaran populasinya dapat ditemuka hampir di tiap plot pengamatan. Jenis-jenis tersebut antara lain Sapotaceae Madhuca laurifolia, Sapotaceae Palaquium rostratum, Myrtaceae Syzigium sp. 36,


(26)

Icacinaceae Stermonurus malaccensis dan Anacardiaceae Campnosperma auriculatum. Tiga dari lima jenis vegetasi yang memiliki nilai frekuensi relatif tertinggi pada formasi hutan gambut merupakan jenis vegetasi sumber pakan ungko dan siamang. Hal mengindikasikan bahwa ketersediaan pakan bagi ungko dan siamang di tipe hutan tersebut tersebar hampir di setiap area.

Formasi hutan Dipetrocarpaceae atas memiliki sruktur frekuensi vegetasi yang berbeda dengan kedua tipe hutan lainnya. Hal ini ditandai dengan tidak terdapatnya jenis dari famili Sapotaceae yang termasuk kedalam vegetasi yang memiliki nilai frekuensi relatif tertinggi. Terdapat tiga jenis vegetasi yang memiliki sebaran terluas dalam formasi hutan Dipterocarpaceae atas yaitu Ulmaceae Girroniera subequalis, Myrtaceae Syzigium napiformis dan Rubiaceae Diplospora cf malaccensis (Tabel 6).

Tabel 6 Daftar lima jenis vegetasi yang memiliki nilai frekuensi tertinggi pada masing-masing tipe habitat di KHBTBB

Famili Jenis ∑ Plot F FR (%)

FHHM

Anacardiaceae Campnosperma auriculatum*** 5 1 2,66%

Theaceae Schima walichii 5 1 2,66%

Sapotaceae Palaquium rostratum*** 5 1 2,66%

Icacinaceae Stermonurus scorpioides 4 0,8 2,13%

Myrsinaceae Labisia pumila 4 0,8 2,13%

FHG

Sapotaceae Madhuca laurifolia** 5 1 2,92%

Sapotaceae Palaquium rostratum*** 5 1 2,92%

Myrtaceae Syzygium sp. 36 5 1 2,92%

Icacinaceae Stemonurus malaccensis 5 1 2,92%

Anacardiaceae Campnosperma auriculatum*** 5 1 2,92%

FHDA

Ulmaceae Gironniera subaequalis* 5 1 2,28%

Myrtaceae Syzygium napiformis 5 1 2,28%

Rubiaceae Diplospora cf. malaccensis 5 1 2,28%

Sapotaceae Palaquium rostratum*** 4 0,8 1,83%

Rhizophoraceae Carallia eugenioidea 4 0,8 1,83%

Keterangan: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; *= jenis pohon sumber pakan ungko; **= jenis pohon sumber pakan siamang; ***= jenis pohon sumber pakan ungko dan siamang.

Frekuensi dari suatu jenis spesies dapat menggambarkan sebaran jenis vegetasi tersebut di habitat yang teramati. Suin (2002) diacu dalam astuti (2010) menyatakan bahwa apabila nilai frekuensi suatu jenis vegetasi yang ditemukan tinggi, mengindikasikan jenis tersebut memiliki sebaran yang luas di habitat itu. Jenis vegetasi yang terdapat dalam suatu area pengamatan juga dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori berdasarkan nilai frekuensinya yaitu


(27)

jenis aksidental apabila nilai f= 0-0,25; jenis asesori f= 0,25-0,5; jenis konstan f= 0,5-0,75 dan jenis absolut f > 0,75 (Suin 2002, diacu dalam astuti 2010).

Terdapatnya beberapa jenis pohon sumber pakan diantaranya Anacardiaceae Campnosperma auriculatum dan Sapotaceae Palaquium rostratum kedalam kategori konstan dan absolut di tiap tipe habitat ungko dan siamang menunjukkan bahwa hampir di setiap area dalam tipe habitat yang teramati tersedia sumber pakan bagi kedua jenis Hylobatidae tersebut.

5.2.3 Luas bidang dasar vegetasi

Salah satu parameter struktur hutan yang diukur dalam penelitian ini adalah luas bidang dasar per jenis vegetasi. Luas bidang dasar suatu jenis spesies dapat dijadikan indikator tingkat dominansi jenis tersebut di habitat yang teramati. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat lima jenis vegetasi pada masing-masing tipe habitat dengan nilai luas bidang dasar tertinggi (Tabel 7).

Tabel 7 Jenis vegetasi dengan Basal Area Tertinggi pada habitat Hylobatidae di KHBTBB

Famili Jenis LBDS (m2) DR (%)

FHHM

Myrsinaceae Labisia pumila* 2,74 11,76%

Sapotaceae Palaquium rostratum*** 2,21 9,47%

Anacardiaceae Campnosperma auriculatum*** 1,23 5,27%

Apocynaceae Kibatalia borneensis 0,78 3,36%

FHG

Sapotaceae Madhuca laurifolia** 4,44 18,32%

Sapotaceae Palaquium rostratum*** 2,61 10,80%

Araucariaceae Agathis borneensis** 1,75 7,21%

Myrtaceae Tristaniopsis whiteana 1,51 6,24%

Anacardiaceae Swintonia floribunda 1,35 5,59%

FHDA

Dipterocarpaceae Shorea platyclados 7,44 22,34%

Anacardiaceae Campnosperma auriculatum*** 2,91 8,74%

Annonaceae Polyalthia sumatrana 1,50 4,52%

Guttiferae Garcinia hombroniana* 1,24 3,72%

Fagaceae Lithocarpus rassa 1,2 3,59%

Keterangan: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; *= jenis pohon sumber pakan ungko; **= jenis pohon sumber pakan siamang; ***= jenis pohon sumber pakan ungko dan siamang.

Terdapat perbedaan mekanisme pembentukan nilai basal area tertinggi antara satu tipe habitat dengan tipe habitat lainnya. Tabel 5 menunjukkan nilai luas bidang dasar spesies Dipterocarpaceae Shorea platyclados yang hanya terdapat di formasi hutan Dipterocarpaceae atas merupakan nilai tertinggi diantara seluruh vegetasi yang ditemukan di tiga habitat. Spesies tersebut hanya ditemukan


(28)

sebanyak 8 individu dalam 15 plot contoh pengamatan atau dengan kata lain rerata basal area untuk masing-masing individu jenis tersebut sebesar 0,93 m2 (diameter = 109 cm). Hal ini menunjukkan adanya diferensiasi karakteristik fisik pohon antara jenis Dipterocarpaceae dengan jenis lainnya, dimana jenis tersebut merupakan pohon memiliki diameter yang sangat besar. Myrisnaceae Labisia pumila dan Sapotaceae Madhuca laurifolia yang menjadi spesies dengan LBDS dominan di formasi hutan peralihan hill-montana dan hutan gambut, memiliki nilai tertinggi karena hasil akumulasi dari banyaknya individu yang terdapat dalam habitat tersebut.

Nilai luas bidang dasar vegetasi yang beragam pada tiap formasi hutan tersebut mengindikasikan kemungkinan adanya pengaruh tempat hidup dan kemampuan berkompetisi antara satu jenis vegetasi dan jenis vegetasi lainnya. Jenis Myrisnaceae Labisia pumila, Sapotaceae Madhuca laurifolia dan Dipterocarpaceae Shorea platyclados sebagai jenis vegetasi yang memiliki nilai basal area tertinggi di masing-masing habitat diduga memiliki dominansi yang kuat di habitatnya sehingga mampu untuk tumbuh hingga mencapai ukuran yang lebih besar dibanding jenis lainnya. Kemungkinan lain yang mempengaruhi tingginya nilai luas bidang dasar ketiga vegetasi dengan LBDS dominan tersebut adalah jenis dan umur pohon tersebut dialam. Hortson (1976) diacu dalam Astuti (2010) mengungkapkan selain faktor lingkungan (eksternal) yang mempengaruhi besarnya nilai basal area suatu jenis tumbuhan, terdapat juga faktor internal yang mempengaruhi hal tersebut yaitu jenis dan umur pohon.

5.3 Komposisi Jenis Vegetasi

Komposisi jenis vegetasi yang membentuk kawasan hutan penelitian ini secara umum memiliki perbedaan pada masing-masing tipe habitat. Pengamatan menunjukkan terdapatnya perbedaan jenis-jenis yang menjadi ciri khas bagi masing-masing formasi hutan. Beberapa jenis vegetasi yang menjadi ciri khas antara lain Sapotaceae Madhuca lauriofolia yang merupakan ciri bagi formasi hutan gambut dan Dipterocarpaceae Shorea platyclados bagi formasi hutan Dipterocarpaceae atas. Seluruh hasil pengamatan terhadap komposisi jenis vegetasi disajikan pada Tabel 8.


(29)

Tabel 8 Komposisi vegetasi pada masing-masing tipe habitat di KHBTBB

Parameter Formasi Hutan

FHHM FHG FHDA

∑ Famili 37 34 39

∑ Jenis 100 102 134

Famili Lauraceae Myrtaceae Lauraceae

Dominan Myrtaceae Lauraceae Myrtaceae

(Jumlah jenis) Sapotaceae Fagaceae Fagaceae

Fagaceae Sapotaceae Flacourtiaceae

Annonaceae Icacinaceae Euphorbiaceae

Jenis Myrsinaceae Sapotaceae Dipterocarpaceae Dominan L. pumila* M. laurifolia** S. platyclados

(INP) Sapotaceae Sapotaceae Ulmaceae

P. rostratum*** P. rostratum*** G. subequalis*

Anacardiaceae Myrtaceae Myrtaceae

C. auriculatum*** T. whiteana S. napiformis

Keterangan: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; *= jenis pohon sumber pakan ungko; **= jenis pohon sumber pakan siamang; ***= jenis pohon sumber pakan ungko dan siamang.

Kawasan hutan peralihan hill-montana memiliki komposisi jenis vegetasi yang terbesar dari famili Lauraceae dengan jumlah jenis sebesar 14 jenis atau 14% dari keseluruhan jenis yang terdapat dalam tipe habitat ini. Beberapa jenis vegetasi dari famili Lauraceae yang terdapat dalam tipe habitat hutan peralihan hill-montana antara lain Endiandra rubescens, Actinodaphne montana dan Cinnamomum iners. Famili vegetasi lain yang memiliki kelimpahan jumlah jenis tertinggi dalam tipe hutan hill-montana yaitu Myrtaceae (10%), Fagaceae (8%), Sapotaceae (7%) dan Annonaceae (4%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara altitudinal formasi hutan peralihan hill-montana yang terdapat di kawasan ini termasuk kedalam zona sub-montana forest. Laumonier (1997) menyebutkan terdapat beberapa famili yang menjadi karakteristik tegakan hutan sub-montana pada ketinggian 800-1400 mdpl di Pulau Sumatera yaitu Fagaceae, Lauraceae dan Myrtacaeae.

Formasi hutan gambut yang terdapat dalam kawasan ini bukan merupakan tipe hutan gambut yang tergenang oleh air rawa, melainkan hutan gambut kering. Formasi hutan ini ditandai dengan beberapa jenis vegetasi dengan jumlah individu yang dominan dari famili Sapotaceae seperti Maducha laurifolia ataupun Palaquium rostratum, sehingga tutupan tajuk pepohonan yang terdapat dalam formasi hutan ini didominasi warna daun coklat. Whitemore (1975) menyebutkan


(30)

bahwa jenis dari famili Sapotaceae yang memiliki daun berwarna kecoklatan seperti Madhuca spp. dan Palaquium spp. merupakan spesies yang dominan pada tipe hutan gambut. Hasil pengamatan menunjukkan walaupun Famili Sapotaceae memiliki jumlah individu yang dominan, namun famili tersebut bukanlah yang dominan dari segi jumlah jenis. Famili Myrtaceae (jambu-jambuan) merupakan famili yang memiliki jumlah jenis terbanyak dengan nilai relatif 20,59% dari keseluruhan jenis yang terdapat dalam tipe hutan tersebut. Beberapa spesies dari famili Myrtaceae yang memiliki kelimpahan terbanyak dalam tipe hutan gambut antara lain Myrtaceae Syzigium sp. 36 dan Tristaniopsis whiteana. Empat Famili lain yang memiliki jumlah jenis terbanyak dalam formasi hutan gambut Batang Toru antara lain Lauraceae (10,78%), Fagaceae (8,82%), Sapotaceae (6,86%), Icacinaceae (4,90%).

Komposisi jenis vegetasi pada formasi hutan Dipterocarpaceae atas (upper Dipterocarpaceae forest) memiliki perbedaan dengan dua tipe formasi hutan lainnya yaitu terdapatnya jenis Shorea platyclados dari famili Dipterocarpaceae. Secara umum famili vegetasi yang terdapat dalam formasi hutan Dipterocarpaceae atas tidak berbeda jauh dari kedua tipe formasi hutan lain dengan Lauraceae sebagai famili vegetasi yang memiliki jumlah jenis terbanyak 12,69% dari seluruh jenis vegetasi yang terdapat dalam tipe hutan tersebut. Empat famili vegetasi lain yang memiliki jumlah jenis terbanyak dalam fomasi hutan Dipetrocarpaceae atas antara lain Myrtaceae (10,45%), Fagaceae (7,46%), Flacourtiaceae (5,97%) dan Euphorbiaceae (5,97%). Kawasan hutan Dipterocarpaceae atas biasanya ditandai dengan terdapatnya vegetasi dari Famili Dipterocarpaceae seperti tegakan Shorea platyclados berukuran raksasa yang berasosiasi dengan beberapa jenis vegetasi dari Famili lain yang dominan, contohnya Fagaceae dan Burseraceae (Laumonier 1997).

Hasil pengamatan yang tertera pada Tabel 6 juga menunjukkan terdapatnya potensi pohon sumber pakan yang termasuk kedalam tiga besar jenis dominan pada seluruh formasi hutan. Pada formasi hutan peralihan ketiga jenis vegetasi yang mendominasi kawasan tersebut seperti Myrisnaceae Labisia pumila, Sapotaceae Palaquium rostratum dan Anacardiaceae Campnosperma auriculatum merupakan jenis pepohonan yang berperan penting karena berpotensi sebagai


(31)

sumber pakan bagi ungko dan siamang (Nowak 2010). Selanjutnya jenis Sapotaceae Madhuca laurifolia dan Palaquium rostratum merupakan jenis vegetasi yang berpotensi sebagai sumber pohon pakan pada formasi hutan gambut. Kelimpahan yang tinggi di tipe hutan tersebut untuk kedua jenis vegetasi ini akan berkorelasi positif terhadap keberadaan ungko dan siamang karena dapat menjamin ketersediaan pakan bagi kedua jenis Hylobatidae tersebut.

5.4 Profil Habitat

5.4.1 Kelas strata dan tinggi pohon serta visualisasi tegakan

Sebaran individu pohon yang teramati pada masing-masing formasi hutan dikategorikan kedalam empat kategori berdasarkan kelas stratifikasi pohon yaitu strata A (kelas ketinggian >30 m), B (21-25 m dan 26-30 m), C (11-15 m dan 16-20 m) dan D (<10 m). Secara umum kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat memiliki nilai kelimpahan relatif stratifikasi pohon tertinggi pada kelas strata C dengan jumlah pohon 764 individu (56,18%). Tingkat nilai kelimpahan relatif stratifikasi selanjutnya yaitu Strata B 467 individu (34,34%), strata D 73 individu (5,36%) dan strata A 56 individu (4,12%).

Stratifikasi pada Formasi hutan peralihan hill-montana didominasi oleh pepohonan yang termasuk kedalam strata C dengan jumlah individu pohon sebanyak 220 atau 49,5% relatif terhadap keseluruhan individu yang teramati pada formasi hutan tersebut. Tingkat stratifikasi selanjutnya yang memiliki kelimpahan individu terbanyak berturut-turut pada formasi hutan peralihan hill-montana adalah kelas strata B (38,06%), strata D (7,2%) dan strata A (5,24%). Beberapa jenis vegetasi yang masuk kedalam kelas strata A pada habitat hutan peralihan hill-montana antara lain Anacardiaceae Campnosperma auriculatum, Icacinaceae Platea latifolia dan Stermonurus scorpioides.

Stratifikasi pada formasi hutan gambut didominasi oleh pepohonan yang memiliki ketinggian kelas strata C dengan jumlah individu sebanyak 310 pohon (61,02%). Tingkat strata B (kelas tinggi 21-25 dan 26-30 meter) merupakan kelas stratifikasi yang memiliki kelimpahan individu tertinggi kedua dengan jumlah 170 pohon (33,46%), kemudian diikuti oleh tingkat strata D dengan 20 pohon (3,94%) pada urutan ketiga. Habitat formasi hutan gambut merupakan tipe habitat yang memiliki kelimpahan individu terkecil pada kelas strata A dibanding kedua tipe


(32)

habitat lainnya. Hasil pengamatan menunjukkan hanya terdapat 8 individu pohon (1,57%) yang masuk kedalam kelas strata tersebut atau pepohonan yang memiliki tinggi >30 meter. Hal ini menunjukkan bahwa jarang terdapat pepohonan yang secara fisik memiliki ukuran raksasa pada tipe hutan tersebut. Beberapa jenis pepohonan tersebut yang memiliki ketinggian >30 meter antara lain Sapotaceae Madhuca laurifolia, Casuarinaceae Gymnostoma Sumatrana dan Araucariaceae Agathis boornensis.

Hasil klasifikasi data dengan menggunakan rerata tinggi tajuk masing-masing famili pada formasi hutan Dipterocarpaceae atas diketahui famili yang dominan dalam strata hutan tersebut. Strata A yang terdiri atas pepohonan dengan tajuk lebih dari 30 meter di dominasi oleh famili Dipterocarpaceae yaitu dari jenis Shorea platcylados. Selain itu terdapat beberapa jenis lain yang termasuk kedalam strata tersebut seperti Annonaceae Polyalthia sumatrana dan Fagacaeae Lithocarpus rassa. Susunan tajuk berikutnya yaitu strata B yang merupakan pepohonan dengan ketinggian tajuk antara 21 sampai 30 meter didominasi oleh beberapa famili antara lain famili Flacourtiaceae, Burseraceae dan Fagaceae. Strata selanjutnya yaitu strata C dalam formasi hutan ini beberapa jenis famili diantaranya adalah Myrtaceae, Sapotaceae, Lauraceae, Euphorbiaceae dan Ulmaceae. Sedangkan untuk strata D yang merupakan tingkat paling bawah dalam tegakan hutan tersebut terdapat beberapa famili seperti Magnoliaceae dan Rhizoporaceae.

Seluruh hasil klasifikasi strata maupun kelas tinggi pohon di ketiga tipe habitat menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu kelimpahan pohon tertinggi pada kelas strata C dan terendah pada strata D. Hal ini menunjukkan kemungkinan Kawasasn Hutan Batang Toru Bagian Barat merupakan tegakan yang dihuni oleh pepohonan muda yang masih dalam pertumbuhan untuk mencapai tinggi pohon yang klimaks. Penggambaran ketersediaan ruang berdasarkan strata dan kelas tinggi pohon di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat disajikan pada Gambar 9 dan 10.


(33)

Gambar 9 Klasifikasi jumlah pohon berdasarkan strata tajuk pada tiap tipe habitat Hylobatidae di KHBTBB. Ket: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas.

Gambar 10 Klasifikasi jumlah pohon berdasarkan kelas ketinggian dari tanah pada habitat Hylobatidae di KHBTBB. Ket: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas.

Pola stratifikasi tajuk pepohonan pada tiap formasi hutan yang teramati memiliki kecenderungan yang sama yaitu kelimpahan yang rendah pada strata D, kemudian mencapai titik tertinggi pada kelas strata C dan menunjukkan kecenderungan yang menurun pada strata B dan A. Hal yang sama juga terjadi untuk stratifikasi berdasarkan kelas tinggi pohon. Proporsi individu pohon yang

23 169 220 32 8 170 310 20 25 128 234 21 0 50 100 150 200 250 300 350

A B C D

J um la h po ho n Strata FHHM FHG FHDA 32

107 113 112

57 23 20 136 174 130 40 8 21 108 126 98 30 25 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

0-10 11-15 16-20 21-25 26-30 >30

J um la h P o ho n Kelas Tinggi FHHM FHG FHDA


(34)

rendah ditunjukkan pada kelas ketinggian <10 meter, kemudian mengalami peningkatan kelimpahan individu pada kelas ketinggian 11-15 hingga mencapai puncak pada kelas ketinggian 16-20 meter dan kecenderungan kembali menurun pada kelas ketinggian selanjutnya. Kelimpahan individu pepohonan yang tinggi pada kelas strata B dan C atau pada kelas ketinggian 11-30 meter menunjukkan kesesuaian yang tinggi bagi keberadaan kedua jenis Hylobatidae terutama dalam mendukung aktivitas pergerakan mereka (Cannon & Leighton 1974; Gittins 1983; Chivers 1974). Profil vertikal habitat Hutan Batang Toru Bagian Barat disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11 Profil vertikal vegetasi pada tiga tipe habitat ungko dan siamang di KHBTBB. Ket: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas.

5.4.2 Kelas diameter pohon

Hasil pengamatan pada semua tipe habitat menujukkan terdapat 10 kelas diameter pohon dengan jumlah kelas diameter terbesar ditemukan pada kelas diameter 10-19 cm sebanyak 762 individu pohon dan jumlah dengan individu pohon paling sedikit terdapat pada kelas diameter 60-69 cm. Sebaran pepohonan yang berdiameter besar dengan ukuran lebih dari 70 cm sangat minim sekali (jumlah individu <5) pada formasi hutan hill-montana dan formasi hutan gambut,


(35)

namun hal berbeda ditunjukkan oleh habitat formasi hutan Dipterocarpaceae atas yang memiliki jumlah individu yang cukup banyak pada tingkat sebaran kelas diameter tersebut. Gambaran mengenai sebaran kelas diameter pohon yang terdapat di ketiga tipe habitat tersebut disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Jumlah individu pohon berdasarkan kelas diameter pada tiap tipe habitat Hylobatidae di KHBTBB. Ket: FHHM= formasi hutan peralihan Hill-Montana; FHM= formasi hutan Gambut; FHDA=formasi hutan Dipterocarpaceae atas.

Sebaran kelas diameter pohon yang terdapat diketiga tipe habitat tersebut menggambarkan keadaan fisik pepohonan yang didominasi oleh pepohonan muda dan dalam masa pertumbuhan untuk mencapai klimaks. Tidak terdapat nilai signifikansi perbedaan yang tinggi bagi sebaran kelas diameter pohon untuk semua tipe habitat. Hal ini mengindikasikan kemiripan kelas diameter pohon yang dimiliki antara ketiga tipe habitat tersebut.

Kelas diameter ukuran diatas 80 cm yang secara fisik merupakan pohon raksasa didominasi oleh jenis Dipterocarpaceae yang terdapat hanya di formasi hutan Dipterocarpaceae atas. Sedangkan disisi lain untuk pepohonan yang memiliki diameter kurang dari 70 cm terdiri dari berbagai macam jenis vegetasi yang terdapat dalam ketiga tipe habitat, termasuk didalamnya pohon yang dimanfaatkan oleh kedua jenis Hylobatidae tersebut khususnya sebagai sumber pakan yang banyak terdapat di formasi hutan peralihan hill-montana dan formasi hutan gambut. Mendominasinya sebaran pepohonan yang berdiameter kecil

243 100 54 23 15 5 3 297 117 53 22

12 6 2

217

107

45

27

11 5 13

0 50 100 150 200 250 300 350

10-19 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 >70

J um la h P o ho n Kelas Diameter FHHM FHG FHDA


(36)

hingga sedang, merupakan hal yang positif bagi keberadaan ungko maupun siamang. Cannon dan Leighton (1994) menyebutkan primata dari famili Hylobatidae banyak menggunakan pepohonan yang 32-63 cm untuk aktivitas sehari-hari mereka khususnya dalam melakukan perjalanan dihabitatnya.

Hasil penelitian ini juga menggambarkan kerapatan vegetasi yang terdapat dalam ketiga tipe habitat dikawasan hutan lindung Batang Toru Bagian Barat memiliki trend yang menurun secara eksponensial dari pohon berdiameter kecil ke

besar seperti kurva “L” (Gambar 10). Hal ini mengindikasikan bahwa populasi

vegetasi di kawasan hutan Batang Toru terdiri dari campuran seluruh kelas diameter dan didominasi oleh pepohonan muda yang masih dalam tingkat pertumbuhan (diindikasikan dengan ukuran diameter kecil), sehingga dapat menjamin keberlangsungan tegakan di masa mendatang.

Perbatakusuma et al. (2006) dan Syaukani et al. (2005) menyatakan tegakan

hutan dengan distribusi diameter pohon seperti kurva “L” atau J terbalik disebut

sebagai hutan tidak seumur dalam kondisi seimbang (balanced forest). Hutan dengan tegakan tidak seumur memiliki tingkat sensitivitas ekologi yang tinggi dan banyak jenis yang saat ini dijumpai di hutan Batang Toru diperkirakan akan hilang dari kawasan tersebut di masa mendatang, apabila hutan di kawasan ini mendapat gangguan, misalnya pembukaan hutan dengan skala luas.

5.4.3 Tutupan tajuk

Hasil penelitian menunjukkan terdapatnya keragaman tingkat persentase tutupan tajuk pada tiap-tiap formasi hutan yang teramati. Formasi hutan peralihan hill-montana merupakan tipe habitat yang memiliki persentase tutupan tajuk pepohonan tertinggi yaitu 84,34% dari 5000 m2 area plot yang teramati. Selanjutnya formasi hutan gambut merupakan tipe habitat yang memiliki persentease tutupan tajuk tertinggi kedua. Dari luasan 5000m2 yang teramati terdapat 81,19% area yang ternaungi oleh tutupan tajuk. Formasi hutan Dipterocarpaceae atas memiliki persentase tutupan tajuk sebesar 78,51% dari keseluruhan 5000 m2 area yang teramati (Gambar 13).


(1)

Lampiran 2

Data vegetasi formasi hutan gambut

di KHBTBB (lanjutan)

Famili Jenis K KR F FR D DR

Moraceae Parartocarpus bracteatus 2 0,20% 0,20 0,58% 0,02 0,04% Myristicaceae Myristica maingayi 4 0,39% 0,20 0,58% 0,04 0,09% Myristicaceae Myristica iners 4 0,39% 0,20 0,58% 0,12 0,26% Myrtaceae Tristaniopsis whiteana 56 5,51% 0,80 2,34% 3,02 6,22% Myrtaceae Syzygium sp. 36 38 3,74% 1,00 2,92% 1,62 3,34% Myrtaceae Syzygium garcinifolia 32 3,15% 0,80 2,34% 0,60 1,24% Myrtaceae Syzygium napiformis 14 1,38% 0,80 2,34% 0,62 1,27% Myrtaceae Syzygium fastigiata 18 1,77% 0,60 1,75% 0,39 0,80% Myrtaceae Syzygium avenis 8 0,79% 0,60 1,75% 0,21 0,44% Myrtaceae Syzygium stapfiana 4 0,39% 0,40 1,17% 0,06 0,13% Myrtaceae Rhodamnia cinerea 4 0,39% 0,40 1,17% 0,06 0,12% Myrtaceae Syzygium sp. 31 4 0,39% 0,20 0,58% 0,08 0,17% Myrtaceae Syzygium nemestrina 2 0,20% 0,20 0,58% 0,12 0,24% Myrtaceae Syzygium operculata 2 0,20% 0,20 0,58% 0,03 0,05% Myrtaceae Syzygium palembanicus 2 0,20% 0,20 0,58% 0,03 0,05% Myrtaceae Syzygium sp. 33 2 0,20% 0,20 0,58% 0,03 0,05% Myrtaceae Syzygium cf. flosculifera 2 0,20% 0,20 0,58% 0,02 0,03% Myrtaceae Syzygium tetraptera 2 0,20% 0,20 0,58% 0,01 0,03% Myrtaceae Syzygium cf. nigricens 4 0,39% 0,40 1,17% 0,06 0,12% Myrtaceae Syzygium sp. 10 4 0,39% 0,20 0,58% 0,03 0,07% Myrtaceae Syzygium cf. Inophylla 2 0,20% 0,20 0,58% 0,04 0,09% Myrtaceae Syzygium sp. new 2 2 0,20% 0,20 0,58% 0,03 0,07% Myrtaceae Syzygium sp. 18 2 0,20% 0,20 0,58% 0,02 0,04% Myrtaceae Syzygium chloroleuca 2 0,20% 0,20 0,58% 0,02 0,03% Ochnaceae Gomphia serrata 10 0,98% 0,60 1,75% 0,13 0,27% Podocarpaceae Dacrydium comosum 10 0,98% 0,60 1,75% 1,24 2,55% Podocarpaceae Dacrydium beccarii 18 1,77% 0,80 2,34% 2,62 5,40% Podocarpaceae Naigea neriifolium 2 0,20% 0,20 0,58% 0,08 0,17% Rhamnaceae Zizyphus cf. angustifolia 2 0,20% 0,20 0,58% 0,02 0,04% Rhizophoraceae Anisophyllea disticha 2 0,20% 0,20 0,58% 0,02 0,04% Rhizophoraceae Carallia eugenioidea 2 0,20% 0,20 0,58% 0,01 0,03% Rosaceae Prunus polystachya 4 0,39% 0,40 1,17% 0,09 0,19% Rubiaceae Canthium cf. confertum 2 0,20% 0,20 0,58% 0,02 0,04% Rubiaceae Porterandia anisophylla 2 0,20% 0,20 0,58% 0,02 0,04% Rutaceae Acronychia laurifolia 2 0,20% 0,20 0,58% 0,03 0,07% Sapotaceae Madhuca laurifolia 202 19,88% 1,00 2,92% 8,87 18,27% Sapotaceae Palaquium rostratum 140 13,78% 1,00 2,92% 5,23 10,77% Sapotaceae Palaquium hexandrum 18 1,77% 0,60 1,75% 0,55 1,14% Sapotaceae Palaquium microphyllum 6 0,59% 0,40 1,17% 0,17 0,35% Sapotaceae Palaquium oxleyanum 2 0,20% 0,20 0,58% 0,08 0,16% Sapotaceae Palaquium sp. 1 2 0,20% 0,20 0,58% 0,04 0,09% Sapotaceae Pouteria malaccensis 2 0,20% 0,20 0,58% 0,02 0,03% Tetramertisicaceae Tetramerista glabra 2 0,20% 0,20 0,58% 0,06 0,13% Theaceae Schima walichii 2 0,20% 0,20 0,58% 0,04 0,09% Theaceae Eurya latifolia 2 0,20% 0,20 0,58% 0,05 0,11% Theaceae Eurya nitida 2 0,20% 0,20 0,58% 0,02 0,04% Ulmaceae Girronierra subaequalis 2 0,20% 0,20 0,58% 0,01 0,03% Unknown Unknown 18 1,77% 0,80 2,34% 1,18 2,43%


(2)

63

Lampiran 3 Data vegetasi hutan Dipterocarpaceae atas di KHBTBB

Famili Jenis K KR F FR D DR

Anacardiaceae Gluta aptera 4 0,49% 0,4 0,91% 0,26 0,39% Anacardiaceae Campnosperma auriculatum 2 0,25% 0,2 0,46% 5,82 8,74% Anacardiaceae Mangifera foetida 6 0,74% 0,4 0,91% 0,16 0,23% Annonaceae Xylopia stenopetala 10 1,23% 0,6 1,37% 0,42 0,63% Annonaceae Mezzettia umbellata 12 1,47% 0,4 0,91% 0,23 0,35% Annonaceae Cananga sp. 2 0,25% 0,2 0,46% 0,32 0,48% Annonaceae Mezzettia cf. leptopoda 2 0,25% 0,2 0,46% 0,02 0,03% Annonaceae Polyalthia sumatrana 16 1,97% 0,8 1,83% 3,01 4,52% Aquifoliaceae Ilex cymosa 8 0,98% 0,6 1,37% 0,39 0,59% Bignoniaceae Oroxylum indicum 2 0,25% 0,2 0,46% 0,03 0,04% Bombacaceae Durio malaccensis 16 1,97% 0,2 0,46% 1,02 1,53% Burseraceae Santiria laevigata 6 0,74% 0,4 0,91% 0,85 1,27% Burseraceae Canarium patentinervium 2 0,25% 0,2 0,46% 0,21 0,32% Burseraceae Dacryodes rostrata 14 1,72% 0,6 1,37% 1,64 2,47% Burseraceae Santiria apiculata 12 1,47% 0,4 0,91% 0,67 1,01% Burseraceae Santiria tomentosa 2 0,25% 0,2 0,46% 0,02 0,03% Combretaceae Terminalia sp. 2 0,25% 0,2 0,46% 0,02 0,03% Dipterocarpaceae Shorea platyclados 16 1,97% 0,8 1,83% 14,87 22,33% Elaeocarpaceae Elaeocarpus palembanicus 2 0,25% 0,2 0,46% 0,84 1,26% Elaeocarpaceae Elaeocarpus sp. 4 0,49% 0,4 0,91% 0,10 0,16% Euphorbiaceae Baccaurea sumatrana 8 0,98% 0,6 1,37% 0,22 0,33% Euphorbiaceae Baccaurea deflexa 4 0,49% 0,4 0,91% 0,16 0,25% Euphorbiaceae Endospermum diadenum 4 0,49% 0,2 0,46% 0,08 0,12% Euphorbiaceae Aporusa lunata 2 0,25% 0,2 0,46% 0,14 0,21% Euphorbiaceae Baccaurea lanceolata 2 0,25% 0,2 0,46% 0,10 0,15% Euphorbiaceae Antidesma sp. 2 0,25% 0,2 0,46% 0,05 0,07% Euphorbiaceae Drypetes kikir 2 0,25% 0,2 0,46% 0,02 0,03% Euphorbiaceae Baccaurea velutina 2 0,25% 0,2 0,46% 0,02 0,02% Fagaceae Quercus cf. elmeri 8 0,98% 0,4 0,91% 0,21 0,31% Fagaceae Quercus lineata 2 0,25% 0,2 0,46% 0,07 0,10% Fagaceae Lithocarpus rassa 26 3,19% 0,8 1,83% 2,39 3,59% Fagaceae Lithocarpus wallichianus 8 0,98% 0,6 1,37% 0,25 0,38% Fagaceae Castanopsis argentata 4 0,49% 0,4 0,91% 0,60 0,90% Fagaceae Quercus sp. ? 4 0,49% 0,4 0,91% 0,37 0,56% Fagaceae Castanopsis wallichianus 2 0,25% 0,2 0,46% 0,06 0,09% Fagaceae Lithocarpus ewyckii 2 0,25% 0,2 0,46% 0,05 0,07% Fagaceae Lithocarpus wrayi 2 0,25% 0,2 0,46% 0,05 0,07% Fagaceae Lithocarpus conocarpus 2 0,25% 0,2 0,46% 0,03 0,04% Flacourtiaceae Hydnocarpus woodii 12 1,47% 0,8 1,83% 0,60 0,90% Flacourtiaceae Homalium longifolium 12 1,47% 0,2 0,46% 0,65 0,98% Flacourtiaceae Casearia tuberculata 2 0,25% 0,2 0,46% 0,57 0,86% Flacourtiaceae Ryparosa scortechinii 4 0,49% 0,2 0,46% 0,04 0,06% Flacourtiaceae Ryparosa kunstleri 2 0,25% 0,2 0,46% 0,02 0,03% Flacourtiaceae Hydnocarpus kunstleri 16 1,97% 0,6 1,37% 0,32 0,48% Flacourtiaceae Hydnocarpus wrayi 2 0,25% 0,2 0,46% 0,04 0,06% Flacourtiaceae Flacourtia rukam 2 0,25% 0,2 0,46% 0,03 0,05% Guttiferae Garcinia hombroniana 14 1,72% 0,6 1,37% 2,48 3,72% Guttiferae Calophyllum cf. cuneatum 2 0,25% 0,2 0,46% 1,48 2,22% Guttiferae Calophyllum soulattri 4 0,49% 0,2 0,46% 0,16 0,24% Guttiferae Garcinia cf. maranthe 2 0,25% 0,2 0,46% 0,05 0,08% Hamamelidaceae Altingia excelsa 2 0,25% 0,2 0,46% 0,30 0,45% Icacinaceae Stemonurus scorpioides 8 0,98% 0,6 1,37% 0,56 0,83% Icacinaceae Stemonurus umbellatus 2 0,25% 0,2 0,46% 0,06 0,09% Juglandaceae Engelhardtia serrata 8 0,98% 0,4 0,91% 0,14 0,21% Lauraceae Litsea grandis 2 0,25% 0,2 0,46% 0,41 0,61% Lauraceae Litsea aurea 4 0,49% 0,2 0,46% 0,11 0,17% Lauraceae Litsea odorata 2 0,25% 0,2 0,46% 0,06 0,10% Lauraceae Alseodaphne intermedia 2 0,25% 0,2 0,46% 0,04 0,06% Lauraceae Cryptocarya impressa 2 0,25% 0,2 0,46% 0,02 0,02% Lauraceae Litsea resinosa 4 0,49% 0,4 0,91% 0,50 0,76% Lauraceae Actinodaphne montana 8 0,98% 0,4 0,91% 0,13 0,20%


(3)

Lampiran 3 Data vegetasi hutan Dipterocarpaceae atas di KHBTBB (lanjutan)

Famili Jenis K KR F FR D DR

Lauraceae Cinnamomum iners 6 0,74% 0,4 0,91% 0,19 0,28% Lauraceae Alseodaphne nigrescens 4 0,49% 0,4 0,91% 0,16 0,23% Lauraceae Dehaasia pauciflora 4 0,49% 0,4 0,91% 0,15 0,22% Lauraceae Cryptocarya crassinervia 4 0,49% 0,2 0,46% 0,28 0,42% Lauraceae Litsea sp. ? 6 0,74% 0,2 0,46% 0,06 0,08% Lauraceae Nothaphoebe cf. umbelliflora 4 0,49% 0,2 0,46% 0,21 0,32% Lauraceae Litsea castanea 2 0,25% 0,2 0,46% 0,21 0,31% Lauraceae Litsea cf. rubicunda 2 0,25% 0,2 0,46% 0,14 0,22% Lauraceae Persea fruticosa 2 0,25% 0,2 0,46% 0,04 0,05% Lauraceae Litsea erectinervia 2 0,25% 0,2 0,46% 0,03 0,04% Leguminosae Archidendron sp. 2 0,25% 0,2 0,46% 0,02 0,03% Magnoliaceae Magnolia maingayi 2 0,25% 0,2 0,46% 0,04 0,07% Melastomataceae Pternandra echinata 8 0,98% 0,4 0,91% 0,23 0,34% Melastomataceae Pternandra crassinervia 6 0,74% 0,4 0,91% 0,13 0,20% Melastomataceae Memecylon garcinioides 2 0,25% 0,2 0,46% 0,10 0,15% Melastomataceae Memecylon cantleyi 2 0,25% 0,2 0,46% 0,02 0,02% Meliaceae Aglaia tomentosa 6 0,74% 0,4 0,91% 0,67 1,00% Meliaceae Aglaia malaccensis 2 0,25% 0,2 0,46% 0,06 0,09% Meliaceae Dysoxylum rugulosum 2 0,25% 0,2 0,46% 0,04 0,06% Meliaceae Sandoricum koetjape 2 0,25% 0,2 0,46% 0,01 0,02% Moraceae Artocarpus maingayi 6 0,74% 0,6 1,37% 0,18 0,27% Moraceae Artocarpus lanceifolius 2 0,25% 0,2 0,46% 0,54 0,81%

Moraceae

Parartocarpus venenosus cf

forbesii 2 0,25% 0,2 0,46% 0,15 0,23% Moraceae Ficus sp. 2 0,25% 0,2 0,46% 0,04 0,06%

Moraceae

Ficus fistulata var.

tengerensis 2 0,25% 0,2 0,46% 0,02 0,03% Moraceae Artocarpus elasticus 2 0,25% 0,2 0,46% 0,14 0,21% Myristicaceae Myristica maxima 4 0,49% 0,2 0,46% 0,29 0,44% Myristicaceae Myristica iners 16 1,97% 0,6 1,37% 0,28 0,42% Myristicaceae Horsfieldia bracheata 10 1,23% 0,2 0,46% 0,34 0,50% Myristicaceae Myristica hookeriana 4 0,49% 0,2 0,46% 0,55 0,83% Myristicaceae Myristica cf. cinnamomea 2 0,25% 0,2 0,46% 0,04 0,06% Myrsinaceae Labisia pumila 8 0,98% 0,4 0,91% 0,89 1,34% Myrsinaceae Labisia lanceolata 6 0,74% 0,2 0,46% 0,08 0,12% Myrtaceae Syzygium napiformis 34 4,18% 1 2,28% 2,09 3,14% Myrtaceae Syzygium fastigiata 10 1,23% 0,8 1,83% 0,41 0,61% Myrtaceae Syzygium sp. ? 2 0,25% 0,2 0,46% 0,81 1,21% Myrtaceae Syzygium avenis 6 0,74% 0,2 0,46% 0,08 0,11% Myrtaceae Syzygium sp. 31 2 0,25% 0,2 0,46% 0,22 0,33% Myrtaceae Syzygium sp. 54 2 0,25% 0,2 0,46% 0,07 0,11% Myrtaceae Syzygium stapfiana 2 0,25% 0,2 0,46% 0,03 0,04% Myrtaceae Syzygium sp. 36 6 0,74% 0,2 0,46% 0,18 0,27% Myrtaceae Syzygium chloroleuca 2 0,25% 0,2 0,46% 0,28 0,42% Myrtaceae Syzygium cf. papillosa 2 0,25% 0,2 0,46% 0,16 0,24% Myrtaceae Syzygium cf. griffithii 2 0,25% 0,2 0,46% 0,11 0,17% Myrtaceae Rhodamnia cinerea 2 0,25% 0,2 0,46% 0,03 0,04% Myrtaceae Syzygium garcinifolia 2 0,25% 0,2 0,46% 0,02 0,04% Myrtaceae Syzygium sp. 10 2 0,25% 0,2 0,46% 0,02 0,03% Podocarpaceae Dacrycarpus imbricatus 2 0,25% 0,2 0,46% 0,62 0,93% Rhizophoraceae Carallia eugenioidea 26 3,19% 0,8 1,83% 1,17 1,75% Rosaceae Prunus polystachya 10 1,23% 0,8 1,83% 1,05 1,58% Rosaceae Prunus cf. javanica 2 0,25% 0,2 0,46% 0,04 0,06% Rubiaceae Diplospora cf. malaccensis 30 3,69% 1 2,28% 0,94 1,41% Rubiaceae Porterandia anisophylla 12 1,47% 0,4 0,91% 0,36 0,54% Rubiaceae Nauclea officinalis 10 1,23% 0,4 0,91% 0,23 0,35% Rubiaceae Diplospora wrayi 2 0,25% 0,2 0,46% 0,06 0,09% Rubiaceae Pertusadina cf. eurhyncha 2 0,25% 0,2 0,46% 0,03 0,04% Rubiaceae Pertusadina eurhyncha 2 0,25% 0,2 0,46% 0,02 0,03% Rutaceae Euodia glabra 4 0,49% 0,4 0,91% 0,18 0,27% Sapindaceae Nephelium lappaceum 8 0,98% 0,6 1,37% 2,09 3,14%


(4)

65

Lampiran 3 Data vegetasi hutan Dipterocarpaceae atas di KHBTBB (lanjutan)

Famili Jenis K KR F FR D DR

Sapindaceae Nephelium cuspidatum 8 0,98% 0,4 0,91% 0,61 0,92% Sapotaceae Palaquium rostratum 32 3,93% 0,8 1,83% 0,78 1,17% Sapotaceae Payena sp. 2 0,25% 0,2 0,46% 0,02 0,02% Sapotaceae Payena lucida 4 0,49% 0,2 0,46% 0,06 0,09% Sapotaceae Ganua kingiana 2 0,25% 0,2 0,46% 0,07 0,11% Sapotaceae Palaquium microphyllum 2 0,25% 0,2 0,46% 0,05 0,07% Sterculiaceae Pterigota sp. 2 0,25% 0,2 0,46% 0,03 0,05% Styracaceae Styrax paralleloneurum 10 1,23% 0,2 0,46% 0,26 0,38% Symplocaceae Symplocos cerasifolia 6 0,74% 0,2 0,46% 0,08 0,11% Theaceae Eurya acuminata 2 0,25% 0,2 0,46% 0,04 0,06% Theaceae Schima walichii 6 0,74% 0,2 0,46% 0,47 0,71% Thymelaeaceae Gonystylus macrophyllum 2 0,25% 0,2 0,46% 0,05 0,08% Ulmaceae Gironniera subaequalis 54 6,63% 1 2,28% 1,57 2,35% Unknown Unknown 16 1,97% 0,8 1,83% 0,35 0,53%


(5)

RINGKASAN

IRVAN NURMANSYAH. Struktur dan Komposisi Jenis Vegetasi Pada

Habitat Ungko (

Hylobates agilis

F.Cuvier 1821) dan Siamang (

Symphalangus

syndactylus

Gloger 1841) di Stasiun Penelitan Hutan Batang Toru Bagian

Barat, Sumatera Utara. Dibawah bimbingan DONES RINALDI dan

HARYANTO R. PUTRO.

Ungko (

Hylobates agilis

) dan siamang (

Symphalangus syndactylus

)

merupakan dua jenis hylobatidae yang menghuni hutan Pulau Sumatera. Salah

satu kawasan hutan di Pulau Sumatera yang dihuni secara simpatrik oleh kedua

jenis Hylobatidae tersebut adalah Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat.

Ungko dan siamang merupakan primata yang hidup eksklusif secara arboreal,

sehingga dalam kehidupan kedua jenis Hylobatidae tersebut sangat bergantung

kepada kondisi vegetasi habitatnya. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan

struktur, komposisi dan keanekaragaman jenis pohon sebagai habitat ungko dan

siamang dan mengidentifikasi pola pemanfaatan vegetasi oleh kedua jenis

Hylobatidae tersebut.

Hutan Batang Toru Bagian Barat sebagai salah satu habitat Hylobatidae di

Pulau Sumatera memiliki tiga tipe habitat yaitu formasi hutan peralihan

hill-montana

, formasi hutan gambut dan formasi hutan Dipterocarpaceae atas. Ketiga

tipe habitat tersebut memiliki tingkat keanekaragaman jenis vegetasi yang

termasuk dalam kategori tinggi

(H’>3)

. Secara umum struktur ketiga tipe habitat

tersebut memiliki rerata kerapatan 907 pohon/ha, dengan nilai total basal area

sebesar 80,89 m

2

. Nilai frekuensi jenis tertinggi yang terdapat dalam habitat

tersebut diberikan oleh Anacardiaceae

Campnosperma auriculatum

, Sapotaceae

Madhuca laurifolia

dan Ulmaceae

Girroniera subequalis

. Habitat Hylobatidae

tersebut juga memiliki stratifikasi tajuk pohon yang lengkap yaitu strata A, B, C,

dan D, dengan kelimpahan ruang terbesar terdapat pada strata C yaitu pada kelas

ketinggian 11-20 meter. Pemanfaatan vegetasi oleh kedua jenis Hylobatidae lebih

didominasi pada tajuk pepohonan yang kontinyu yaitu pada kelas strata B dan C.

Hal ini berkaitan dengan dukungan vegetasi terhadap pergerakan dan

perlindungan kedua jenis Hylobatidae tersebut, serta ketersediaan sumberdaya

pakan yang banyak terdapat dalam posisi kedua strata tersebut.

Upaya perlindunganperlu dilakukan terhadap ekosistem Kawasan Hutan

Batang Toru Bagian Barat secara menyeluruh, karena sampai saat ini kawasan

tersebut masih terancam dengan konsesi

logging area

milik salah satu HPH serta

pertambangan emas yang berada disebelah selatan hutan ini.


(6)

2

SUMMARY

IRVAN NURMANSYAH. Structure and Compositon of Vegetation on

Gibbon (

Hylobates agilis

F.Cuvier 1821) and Siamang (

Symphalangus

syndactylus

Gloger 1841) Habitat at Research Station of the Western Batang

Toru Forest, North Sumatera Province. Under supervision of DONES

RINALDI and HARYANTO R. PUTRO.

Gibbon (

Hylobates agiliis

) and siamang (

Symphalangus syndactylus

) are the

two kinds of Hylobatidae species that inhabit a Sumatera’s forest. One of the

Sumatera’s forest region

, which was sympatrycally inhabited by the two kinds of

Hylobatide, is Western Batang Toru Forest, North Sumatera Province. Gibbon

and siamang are arboreal primates that lived exclusively at the forest canopies,

and they are highly depended on

their habitat’s vegetati

on condition. This

research objectives were (1) to describe the structure, composition and diversity of

the trees speciesat the gibbon and siamang habitat and (2) to identify a use of the

vegetation by the gibbon and siamang in their habitat.

There were three types of the forest in Western Batang Toru Forest

namely transitory hill-montane forest formation (FHHM), peat forest formation

(FHG) and upper Dipterocarpaceae forest formation (FHDA). All of the forest

types in the

gibbon and siamang’s habitat had

high Shannon-

Wiener’

s diversity

index (H’>3). Structur

e of that three forest types had an average density at 907

trees/ha with 80,89 m

2

basal area value. Tree species with the highest frequency in

the three habitat types were Anacardiaceae

Campnosperma auriculatum

(FHHM),

Sapotaceae

Madhuca laurifolia

(FHG) and Ulmaceae

Girroniera subequalis

(FHDA). Hylobatidae habitat at Western Batang Toru Forest had a complete

forest stratification level which were strata A, B, C and D. The highest space

available on the gibbon and siamang habitat was strata C or 11-20 meter height

above ground. Gibbon and siamang used mostly strata B and C at their habitat. It

was related to the vegetation support for Hylobatidae movement and protection in

their habitat, as well as food r

esources’s availability on those strata.

Protection effort has to do to protect Western Batang Toru Forest

ecosystem, because those forest region still get a threats and pressures from gold

mining and logging area recently.