Analisis Tataniaga Bunga Krisan di Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur

ANALISIS TATANIAGA BUNGA KRISAN
DI KECAMATAN CUGENANG
KABUPATEN CIANJUR

NADA FAJRIAH

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Tataniaga
Bunga Krisan di Kecamatan Cugenang Kabupaten Bogor adalah benar karya saya
dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Nada Fajriah
H34100056

*

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar
IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

ABSTRAK
NADA FAJRIAH. Analisis Tataniaga Bunga Krisan di Kecamatan Cugenang
Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh JOKO PURWONO.
Krisan merupakan bunga potong yang menyumbangkan produksi paling
besar di Indonesia. Dari tahun 2008 hingga tahun 2012 produksi krisan
mengalami peningkatan dari 101 777 126 tangkai hingga 397 651 571 tangkai.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis saluran tataniaga, lembaga tataniaga,
fungsi tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar dan efisiensi saluran tataniaga
krisan berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan
terhadap biaya. Observasi dan wawancara dilakukan pada petani melalui teknik

random sampling dan lembaga tataniaga berikutnya menggunakan snowball
sampling. Hasil dari penelitian ini yaitu saluran tataniaga krisan di Kecamatan
Cugenang terdiri dari empat saluran dengan lembaga tataniaga yang terdiri dari
pedagang pengumpul dan pedagang besar. Keuntungan terbesar dapat diperoleh
petani apabila menggunakan saluran tataniaga III, keuntungan yang didapatkan
oleh petani sebesar Rp473,00 per tangkai. Nilai marjin yang terbesar juga
diperoleh pada saluran tataniaga III, yaitu sebesar Rp1 313,00 per tangkai.
Saluran tataniaga II merupakan saluran memiliki nilai farmer’s share tertinggi
yaitu sebesar 57.47 persen. Nilai farmer’s share yang lebih tinggi saluran
tataniaga lainnya menunjukkan bahwa saluran tersebut memiliki tingkat efisien
yang lebih tinggi dibandingkan saluran lainnya secara operasional.
Kata kunci : bunga, efisiensi, krisan, tataniaga
ABSTRACT
NADA FAJRIAH. Crysanthemum Marketing Analysis in Cugenang District
Cianjur Regency. Supervised by JOKO PURWONO.
Chrysanthemum is one of cut flower that contribute highest production in
Indonesia. From 2008 until 2012, chrysanthemum production has been increased
from 101 777 126 to 397 651 571 stalks. The purpose of this research is to
analyze marketing channels, marketing institutions, marketing functions,
marketing structures, marketing conducts and marketing channel efficienct based

on marketing margin, farmer’s share and profit ratio against cost. Observation
and interview were conducted to farmers through random sampling technique
then the next marketing institution using snowball sampling. The result of this
research shows that chrysanthemum marketing in Cugenang consist of four
channels with marketing institute consist of middleman and wholesalers. Highest
profit can be achieved by farmers when using marketing channel III, the profit
achieved by farmers is Rp473.00/stalk. Highest margin value also achieved on
marketing channel III, that is Rp1 313.00/stalk. Marketing channel II is the one
that have highest farmer’s share, that is 54.57 percent. Higher farmer’s share
value compared to other marketing channel means that channel have higher
efficiency compare to other channel operationally.
Keywords : chrysanthemum, efficiency, flower, marketing

ANALISIS TATANIAGA BUNGA KRISAN
DI KECAMATAN CUGENANG
KABUPATEN CIANJUR

NADA FAJRIAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

Judul Skripsi
Nama
NRP

: Analisis Tataniaga Bunga Krisan di Kecamatan Cugenang
Kabupaten Cianjur
: Nada Fajriah
: H34100056

Disetujui oleh


Ir. Joko Purwono, MS
Pembimbing Skripsi

Diketahui oleh

Dr. Ir. Dwi Rachmina, M.Si
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah tataniaga dengan
judul Analisis Tataniaga Bunga Krisan di Kecamatan Cugenang Kabupaten
Bogor.
Skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan tanpa bantuan, dukungan, arahan
dan doa dari berbagai pihak. Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, kepada :
1. Ir. Achmad Djauhari, MS dan Siti Djumhurijah, M.Pd sebagai orang tua

penulis yang selalu memberikan bimbingan dalam mengerjakan skripsi
baik secara ilmu maupun secara moral, juga tidak berhenti mendoakan dan
mendukung penulis. Husna Alfiani dan Aditya Tri Putranto sebagai
saudara penulis yang senantiasa memberikan bantuan, dukungan dan
semangat kepada penulis.
2. Ir. Joko Purwono, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran. Dr. Amzul Rifin,
SP. MA selaku dosen penguji utama dan Dr Ir. Burhanuddin, MM selaku
dosen penguji komisi akademik, yang telah meluangkan waktu serta
memberikan kritik dan saran kepada penulis.
3. Endi Sutiti dan Mandalyca Sendjaja yang telah memperkenalkan lokasi
penelitian dan petani krisan, serta memberikan waktu dan arahannya
terkait dengan komoditi bunga krisan. Wawan selaku petani krisan di
Kecamatan Cugenang yang telah memberikan informasi yang sangat
penulis butuhkan dalam penulisan skripsi ini.
4. Seluruh instansi pemerintahan dan non pemerintahan serta perorangan
Kecamatan Cugenang dan sekitarnya yang terkait dalam penyusunan
skripsi ini, penulis berterima kasih atas waktu, kesempatan, informasi dan
dukungan yang telah diberikan.
5. Arina Pradiahsari, Ajeng Tiara Cesari, Raissa Rahmaditya Rabilla,

Khairunnisa Rahmah, Dyandra Febbyani, Sella Maharani, Yustina Ismi,
Harsalina Eka Saraya, Dila Anandatri, Yasmine Nur Edwina, Dania Putri
Azis, Kinanti Putri Cahyani, Aprillia Dwi Eristiani, Mauliridiyah Sevilia,
Khairanie Tasrida dan Zul Iqmal Damar yang senantiasa menyempatkan
waktunya, memberikan dukungan serta doa dalam penyusunan skripsi ini.
6. Rekan-rekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, SMA Negeri 1 Bogor
dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014

Nada Fajriah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR


x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian


5

Manfaat Penelitian

6

Ruang Lingkup Penelitian

6

TINJAUAN PUSTAKA

6

Pemasaran Bunga Potong

6

Studi Relevan


7

KERANGKA PEMIKIRAN

11

Kerangka Pemikiran Konseptual

11

Tataniaga

11

Saluran Tataniaga

12

Lembaga Tataniaga


13

Fungsi Tataniaga

14

Efisiensi Tataniaga

15

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Tataniaga

19

Struktur Pasar

19

Perilaku Pasar

21

Keragaan Pasar

22

Kerangka Pemikiran Operasional

23

Kontribusi antara Saluran Tataniaga terhadap Efisiensi Tataniaga

23

Kontribusi antara Lembaga Tataniaga terhadap Efisiensi Tataniaga

23

Kontribusi antara Fungsi Tataniaga terhadap Efisiensi Tataniaga

23

Hubungan Struktur Pasar dengan Efisiensi Tataniaga

23

Hubungan Perilaku Pasar dengan Efisiensi Tataniaga

23

Hubungan Keragaan Pasar dengan Efisensi Tataniaga

24

Hubungan Saluran Tataniaga, Lembaga Tataniaga, Fungsi Tataniaga,
Struktur Pasar, Perilaku Pasar dan Keragaan Pasar terhadap Efisiensi
Tataniaga

24

Hipotesis Penelitian

25

METODE PENELITIAN

26

Lokasi dan Waktu Penelitian

26

Populasi dan Sampel

26

Data dan Teknik Pengumpulan Data

27

Metode Analisis Data

31

Analisis Saluran, Lembaga dan Fungsi Tataniaga

31

Analisis Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar

31

Analisis Marjin Tataniaga

31

Analisis Farmer’s share

32

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

32

Keadaan Umum Kabupaten Cianjur

32

Keadaan Umum Kecamatan Cugenang

33

Keadaan Agribisnis Bunga Krisan di Kecamatan Cugenang

34

Karakteristik Petani Sampel

34

Karakteristik Lembaga Tataniaga

37

Responden Pedagang Pengumpul

37

Responden Pedagang Besar

38

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga Krisan

40
40

Lembaga Tataniaga dan Pola Saluran Tataniaga Krisan I

41

Lembaga Tataniaga dan Pola Saluran Tataniaga Krisan II

42

Lembaga Tataniaga dan Pola Saluran Tataniaga Krisan III

43

Lembaga Tataniaga dan Pola Saluran Tataniaga Krisan IV

44

Analisis Fungsi Tataniaga Krisan

44

Fungsi Pertukaran pada Saluran Tataniaga Krisan I

44

Fungsi Fisik pada Saluran Tataniaga Krisan I

45

Fungsi Fasilitas pada Saluran Tataniaga Krisan I

45

Fungsi Pertukaran pada Saluran Tataniaga Krisan II

47

Fungsi Fisik pada Saluran Tataniaga Krisan II

47

Fungsi Fasilitas pada Saluran Tataniaga II

47

Fungsi Pertukaran pada Saluran Tataniaga III

48

Fungsi Fisik pada Saluran Tataniaga Krisan III

48

Fungsi Fasilitas pada Saluran Tataniaga Krisan III

49

Fungsi Pertukaran pada Saluran Tataniaga Krisan IV

49

Fungsi Fisik pada Saluran Tataniaga Krisan IV

49

Fungsi Fasilitas pada Saluran Tataniaga Krisan IV

50

Analisis Struktur Pasar Krisan

51

Struktur Pasar di Tingkat Petani

51

Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Kebun

52

Struktur di Tingkat Pedagang Besar (Grosir)

52

Analisis Perilaku Pasar Krisan

53

Praktek Pembelian dan Penjualan pada Saluran Tataniaga Krisan I

53

Praktek Penentuan Harga pada Saluran Tataniaga Krisan I

54

Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga Krisan I

55

Praktek Pembelian dan Penjualan pada Saluran Tataniaga Krisan II

55

Praktek Penentuan Harga pada Saluran Tataniaga Krisan II

55

Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga Krisan II

56

Praktek Pembelian dan Penjualan pada Saluran Tataniaga Krisan III

56

Praktek Penentuan Harga pada Saluran Tataniaga Krisan III

57

Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga Krisan II

57

Praktek Pembelian dan Penjualan pada Saluran Tataniaga Krisan IV

58

Praktek Penentuan Harga pada Saluran Tataniaga Krisan III

58

Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga Krisan IV

58

Analisis Keragaan Pasar Krisan

59

Marjin Tataniaga

60

Farmer’s share

61

Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Tataniaga

62

Analisis Efisiensi Tataniaga
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

63
67
67

Saran

68

DAFTAR PUSTAKA

70

LAMPIRAN

71

DAFTAR TABEL
1 Produksi tanaman florikultura bunga potong di Indonesia tahun 2008-2012 1
2 Volume impor dan ekspor florikultura tahun 2012
3
3 Sentra produksi tanaman hias unggulan di Jawa Barat tahun 2012
4
4 Karakteristik (ciri) struktur pasar
20
5 Karakteristik pasar berdasarkan sudut penjual dan pembeli
21
6 Populasi dan sampel petani krisan di Kecamatan Cugenang
27
7 Teknik pengumpulan data
30
8 Luas tanah darat dirinci menurut penggunaannya
33
9 Golongan usia petani sampel di Kecamatan Cugenang
35
10 Tingkat pendidikan formal petani sampel di Kecamatan Cugenang
35
11 Status usahatani krisan petani sampel di Kecamatan Cugenang
35
12 Pengalaman usahatani krisan petani sampel di Kecamatan Cugenang
36
13 Luas lahan krisan petani sampel di Kecamatan Cugenang
36
14 Status kepemilikan lahan petani sampel di Kecamatan Cugenang
37
15 Responden menurut jenis lembaga tataniaga
37
16 Tingkat pendidikan formal pedagang pengumpul
38
17 Pengalaman usaha pedagang pengumpul di Kecamatan Cugenang
38
18 Tingkat pendidikan formal pedagang besar
38
19 Pengalaman usaha pedagang besar
39
20 Fungsi tataniaga masing-masing lembaga tataniaga dalam sistem tataniaga
krisan di Kecamatan Cugenang 2014
50
21 Struktur pasar pada masing-masing lembaga tataniaga krisan di Kecamatan
Cugenang
53
22 Perilaku pasar yang dilakukan oleh lembaga tataniaga krisan di Kecamatan
Cugenang tahun 2014
59
23 Persentase total biaya tataniaga, keuntungan dan marjin tataniaga krisan di
Kecamatan Cugenang tahun 2014
59
24 Marjin tataniaga krisan di Kecamatan Cugenang tahun 2014
60
25 Farmer’s share pada saluran tataniaga krisan di Kecamatan Cugenang pada
tahun 2014
62
26 Rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga krisan di Kecamatan Cugenang
tahun 2014
63
27 Nilai efisiensi tataniaga pada masing-masing saluran tataniaga krisan di
Kecamatan Cugenang pada tahun 2014
64

DAFTAR GAMBAR
1 Provinsi sentra produksi krisan tahun 2011
2 Marjin pemasaran
3 Kerangka pemikiran operasional tataniaga bunga krisan
4 Saluran tataniaga krisan Kecamatan Cugenang

2
16
25
41

DAFTAR LAMPIRAN
1 Biaya, marjin tataniaga bunga krisan di Kecamatan Cugenang
2 Rincian biaya tataniaga bunga krisan di Kecamatan Cugenang
3 Pangsa pasar bunga krisan di Kecamatan Cugenang
4 Dokumentasi lokasi penelitian

71
72
72
73

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman hias atau biasa disebut florikultura merupakan komoditi yang
menjadikan keindahan sebagai daya tariknya. Indonesia memiliki berbagai macam
florikultura yang tumbuh diberbagai wilayah. Bunga merupakan florikultura yang
banyak diminati karena sering menjadi lambang keindahan. Bunga tidak hanya
ditanam di perkebunan untuk dipandang dan dinikmati keindahannya, kini bunga
menjadi salah satu komoditi yang diperdagangkan dan memiliki banyak peminat.
Bunga potong merupakan salah satu bentuk florikultura yang banyak
diperdagangkan karena memiliki berbagai manfaat seperti sebagai hiasan ruangan,
pengharum ruangan, simbol tanda terimakasih ataupun simbol tanda berduka cita.
Semakin beragam manfaat dari bunga potong menyebabkan meningkatnya
ketertarikan konsumen terhadap bunga potong. Hal ini dapat dilihat dari
peningkatan produksi florikultura bunga potong pada Tabel 1.
Tabel 1 Produksi tanaman florikultura bunga potong di Indonesia tahun 20082012a
Komoditas

Produksi (Tangkai)
2008

2009

2010

2011

2012

Anggrek

15 309 964

16 205 949

14 050 445

15 490 256

20 727 891

Anyelir

3 024 558

5 320 824

7 607 588

5 130 332

5 299 671

4 101 631

5 185 586

9 693 487

10 543 445

9 854 787

8 581 395

9 775 500

10 064 082

5 448 740

3 417 580

Krisan

101 777 126

107 847 072

185 232 970

305 867 882

397 651 571

Mawar

39 265 696

60 191 362

82 351 332

74 319 773

68 624 998

Sedap Malam

25 598 314

51 047 807

59 298 954

62 535 465

101 197 847

205 564 659

263 531 374

378 915 785

486 851 880

606 774 345

Gerbera
( Herbras )
Gladiol

Total
a

Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (2013), diadaptasi dari data
Perkembangan Produksi Tanaman Florikultura Periode 2008-2012 yang dapat diunduh dari
http://hortikultura.deptan.go.id/

Dapat dilihat pada Tabel 1 bahwa total produksi bunga potong terus
meningkat dari tahun 2008 hingga tahun 2012 dari 205 264 659 tangkai hingaa
606 774 345 tangkai. Peningkatan produk mengindikasikan permintaan terhadap
bunga potong yang selalu meningkat dari setiap tahunnya. Dapat dilihat bahwa
trend produksi bunga potong untuk beberapa komoditi mengalami peningkatan.
Komoditi yang memiliki sumbangan terbesar terhadap bunga potong dan yang
memiliki trend selalu meningkat adalah krisan. Produksi krisan meningkat dari
101 777 126 tangkai pada tahun 2008, hingga 397 651 571 tangkai pada tahun
2012.
Hampir seluruh provinsi di Indonesia memiliki wilayah yang dapat ditanami
krisan, hal ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Namun Indonesia memiliki beberapa

2

provinsi yang merupakan sentra produksi krisan. Jawa Barat merupakan provinsi
yang memberikan sumbangan produksi terbesar di Indonesia, hal ini terlihat dari
Gambar 1.
33.99%

46.50%

16.68%
0.39%

2.20%
0.24%

Keterangan :
: Jawa Barat
: Jawa Tengah
: Jawa Timur

: Sumatera Utara
: Bali
: Lainnya

Gambar 1 Provinsi sentra produksi krisan tahun 20111
Gambar 1 menjelaskan bahwa Jawa Barat berhasil menyumbangkan
produksi krisan sebesar 46.50 persen dari total produksi krisan di Indonesia. Jawa
Barat memiliki banyak wilayah yang cocok untuk budidaya krisan, pH tanah
yang sesuai dan ketinggian wilayah pada 700 - 1 200 meter diatas permukaan
laut. Kabupaten yang merupakan sentra produksi krisan di Jawa Barat adalah
Cianjur, Bandung Barat dan Sukabumi, dari ketiga kabupaten tersebut Cianjur
adalah kabupaten yang memiliki produksi krisan terbesar, bahkan
menyumbangkan lebih dari 50 persen produksi krisan di Jawa Barat2. Petani di
Cianjur terdiri dari petani lokal dan petani PT, petani lokal merupakan petani
kecil yang mengusahakan sendiri kebun bunganya sedangkan petani PT
merupakan petani yang memiliki skala usaha lebih besar dan sudah memiliki
bentuk usaha berupa perusahaan sendiri seperti PT ataupun CV. Masing-masing
petani memiliki segmentasi tersendiri karena kualitas bunga yang dihasilkan pun
berbeda. Menurut konsumen, bunga yang dihasilkan oleh petani PT lebih tahan
lama dibandingkan petani lokal. Sehingga baik petani lokal maupun petani PT
telah memiliki pelanggan dan saluran tataniaganya masing-masing walaupun ada
beberapa lembaga tataniaga yang sama dalam saluran tersebut.
Beragamnya petani di Cianjur dan tingginya produksi krisan yang
dihasilkan ternyata tidak dapat menghindarkan petani dari fluktuasi harga yang
terjadi dan perbedaan harga pada petani dan yang diterima oleh konsumen akhir.
Dalam hari-hari tertentu seperti lebaran, imlek dan natal harga krisan dapat
melonjak tajam hingga lebih dari 100 persen. Kenaikan harga akan
menguntungkan apabila petani dapat menikmati peningkatan keuntungan juga,
namun akan menjadi permasalahan apabila hanya pedagang yang menikmati
1

http://eksim.pertanian.go.id/tinymcpuk/.../C1_Mar_Krisan.pdf. Sentra Produksi Krisan pada
Tahun 2011. Diakses pada tanggal 17 Februari 2014.
2
http://eksim.pertanian.go.id/tinymcpuk/.../C1_Mar_Krisan.pdf. Tabel Kabupaten Sentra Produksi
Krisan Jawa Barat pada Tahun 2011. Diakses pada tanggal 17 Februari 2014.

3

kenaikan harga tersebut. Adanya rantai tataniaga yang melibatkan beberapa
lembaga tataniga akan menyebabkan terjadinya perbedaan harga yang cukup
tinggi antara harga ditingkat petani dan harga yang diterima konsumen akhir.
Perumusan Masalah
Tanaman florikultura merupakan salah satu komoditas yang memiliki
potensi yang cukup besar dalam upaya penumbuhan perekonomian nasional
maupun daerah. Dalam lima tahun terakhir banyak pelaku usaha tanaman
florikultura mulai skala kecil sampai menengah, mengingat permintaan tanaman
florikultura terus meningkat baik kebutuhan domestik maupun ekspor3. Hal ini
membuktikan bahwa tanaman florikultura merupakan komoditas yang menjadi
andalan untuk bersaing di pasar global. Tanaman florikultura yang telah
menyumbangkan ekspor indonesia dalam jumlah yang cukup besar adalah
anggrek, krisan dan mawar. Namun dari ketiga jenis bunga tersebut krisan pula
yang memiliki angka impor terbesar. Uraian selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 Volume impor dan ekspor florikultura tahun 20124
Volume (Ton)

No

Komoditi

1

Anggrek

4.30

57.61

2

Krisan

8.00

50.92

3
5

Mawar
Tanaman Hias Lainnya
Total

0.29
12 893.43
12 906.02

43.27
6 341.24
6 493.04

Impor

Ekspor

Berdasarkan Tabel 2, krisan menyumbangkan angka terbesar pada impor
florikultura yaitu sebesar 8 ton. Hal tersebut menunjukan permintaan krisan
dalam negeri cukup tinggi sehingga harus dilakukan impor. Kabupaten Cianjur
merupakan salah satu wilayah yang diandalkan pemerintah dalam pengembangan
tanaman hias khususnya krisan. Pada tahun 2012 Kabupaten Cianjur
menyumbangkan 5 907 463 tangkai krisan dari total 24 828 704 tangkai yang
dihasilkan oleh Jawa Barat, sehingga Kabupaten Cianjur merupakan sentra
produksi krisan terbesar kedua setelah Kabupaten Bandung Barat di Provinsi
Jawa Barat. Diperkirakan beberapa tahun ke depan Jawa Barat akan tetap
menjadi sentra produksi krisan sama seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Berikut merupakan tabel sentra produksi tanaman hias unggulan di Jawa Barat
pada Tahun 2012.

3

http:// hortikultura.deptan.go.id. Petunjuk Teknis Kegiatan Peningkatan Produksi, Produktivitas
dan Mutu Produk Hortikultura Berkelanjutan. Diakses pada tanggal 20 Februari 2014.
4
http://hortikultura.deptan.go.id/index.php?option=...ekspor-impor&Itemid=473. Tabel Volume
Impor dan Ekspor Florikultura Tahun 2012. Diakses pada tanggal 20 Februari 2014.

4

Tabel 3 Sentra produksi tanaman hias unggulan di Jawa Barat tahun 20125
No
1

2

3

Komoditas

Kabupaten/Kota

Anggrek

Bogor

Krisan

Sedap Malam

Mawar

1 878 403

Kecamatan Utama
Gunung Sindur

Karawang

553 422

Cikampek

Cirebon

160 950

Sawangan

Bandung

16 378 091

Cianjur

5 907 463

Sukabumi
Bandung

2 543 150
5 803 664

Cianjur

1 834 953

Kota Tasikmalaya
4

Produksi
(tangkai)

Bandung
Cianjur

592 000
4 907 037
324 183

Parompong, Lembang,
Cisarua
Sukaresmi, Pacet,
Cugenang,Cipanas
Nangrak, Cibadak
Banjaran, Soreang
Warungkondang,
Sukaluyu
Indihiang
Parompong, Lembang,
Cisarua
Cipanas, Sukaresmi

Produksi krisan jarang mengalami fluktuasi dalam jumlah yang besar
namun permasalahan pada krisan adalah setelah bunga dipotong (panen). Krisan
merupakan komoditas yang memerlukan penanganan khusus pasca panen.
Kesalahan pada penanganan berakibat pada perbedaan kualitas bunga hingga
tidak dapat dijualnya bunga sehingga produksi yang dihasilkan tidak mampu
mencukupi permintaan konsumen yang cenderung tinggi. Perbedaan kualitas
bunga dapat diatasi dengan variasi saluran dengan permintaan grade bunga yang
berbeda. Dari fakta tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah ada berapa saluran
tataniaga yang dilakukan oleh petani krisan di Cugenang? Saluran tataniaga tentu
terkait dengan lembaga-lembaga yang ada di dalamnya dan lembaga tataniaga
memiliki tata cara pembelian maupun penjualan yang berbeda-beda begitu juga
dengan fungsi tataniaga yang dilakukan oleh masing-masing lembaga. Contohnya
kelopak bunga dan kesegaran krisan harus terjaga dengan baik agar tidak
mengurangi harga jual. Hal ini berkaitan dengan fungsi-fungsi apa saja yang
dilakukan oleh petani maupun lembaga tataniaga selanjutnya yang terlibat dalam
sistem tataniaga krisan di Cugenang. Apabila fungsi-fungsi tataniaga tidak
dilakukan dengan baik maka perbedaan harga diantara tingkat petani dan
konsumen akhir menjadi tidak efisien. Dari fakta tersebut yang menjadi
pertanyaan adalah, lembaga tataniaga apa saja yang terlibat dalam saluran
tataniaga di Cugenang? Fungsi-fungsi tataniaga apa saja yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga tataniaga tersebut?
Sebagian besar petani di Kecamatan Cugenang menjual krisan dengan
harga Rp5 000 per ikat (satu ikat berisi 10 tangkai), sedangkan yang dijual oleh
pedagang berkisar antara Rp10 000 per ikat hingga Rp15 000 per ikat. Perbedaan
harga yang terjadi merupakan pengaruh dari petani yang tidak memiliki posisi
5

http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/547. Tabel Sentra Produksi Tanaman Hias.
Diakses pada 20 Februari 2014.

5

tawar yang kuat. Petani berperan sebagai price taker sehingga hanya menerima
harga yang diberikan oleh pedagang yang dianggap lebih mengetahui situasi
harga di pasar oleh petani di Cugenang. Hal ini menentukan perbandingan yang
diterima petani terhadap harga yang dibayarkan konsumen atau yang disebut
dengan farmer’s share. Perbedaan harga atau marjin yang terjadi di Cugenang
merupakan akibat dari adanya biaya-biaya tataniaga dan juga keuntungan yang
diambil setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga ini.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut maka yang yang menjadi pertanyaan adalah,
bagaimana efisiensi tataniaga krisan di Cugenang berdasarkan marjin, farmer’s
share dan rasio keuntungan terhadap biaya yang diperoleh?
Struktur pasar yang menjadi penghubung akan mempengaruhi harga yang
diterima oleh petani dan konsumen akhir. Masing-masing lembaga tataniaga
dapat menghadapi stuktur pasar yang berbeda-beda pada masing-masing saluran
tataniaga dimana mereka terlibat. Perbedaan struktur pasar yang dihadapi oleh
masing-masing lembaga tataniaga krisan di Cugenang dan sekitarnya akan
menghasilkan perilaku pasar yang berbeda-beda pula. Struktur dan perilaku pasar
tersebut diduga merupakan faktor-faktor yang akan mempengaruhi tingkat
efisiensi tataniaga. Berdasarkan hal tersebut maka yang menjadi pertanyaan
adalah, bagaimana struktur dan perilaku pasar pada masing-masing lembaga
tataniaga yang terlibat?
Peran penting fungsi tataniaga dalam tataniaga krisan dan perbedaan
harga yang terjadi diantara tingkat petani dan konsumen akhir di Cugenang akan
menunjukkan saluran tataniga yang efisien. Sehingga perlu dilakukan analisis
pada saluran tataniaga yang efisien mengingat petani dan pedagang krisan
memiliki tujuan penjualan yang berbeda-beda yang menyebabkan bervariasinya
saluran tataniaga krisan di Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur. Analisis
saluran tataniaga pada pemasaran krisan ini diperlukan agar diketahui saluran
tataniaga yang efisien dan bermanfaat kepada petani dan lembaga-lembaga yang
terlibat pada sistem tataniaga tersebut. Intansi terkait yang merupakan pengambil
urgensi dalam penelitian ini adalah Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) dan
Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura. Berdasarkan permasalahan yang telah
diuraikan di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.
Bagaimana saluran tataniaga dan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga tataniaga pada komoditas krisan?
2.
Bagaimana struktur, perilaku dan keragaan pasar pada masing-masing
lembaga tataniaga yang terlibat?
3.
Bagaimana efisiensi saluran tataniga krisan berdasarkan marjin tataniaga,
farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
1.
Menganalisis saluran tataniaga dan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga tataniaga pada komoditas krisan.
2.
Menganalisis struktur, perilaku dan keragaan pasar pada masing-masing
lembaga tataniaga yang terlibat.

6

3.

Menganalisis efisiensi saluran tataniaga krisan berdasarkan marjin
tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya.
Manfaat Penelitian

Terkait dengan tujuan yang telah diuraikan maka diharapkan penelitian
ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan informasi mengenai
tataniaga krisan, terutama bagi instansi terkait seperti Balai Penelitian Tanaman
Hias, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, Direktorat Jenderal
Hortikultura Kementrian Pertanian serta Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur
untuk mengambil langkah-langkah maupun kebijakan yang tepat dalam
peningkatan efektivitas dan efisiensi budidaya krisan sebagai komoditi unggulan
daerah serta memperbaiki sistem tataniaga yang telah dilakukan selama ini. Bagi
penulis penelitian ini merupakan sarana dalam penerapan ilmu atau teori yang
telah didapatkan selama masa perkuliahan dan dapat memberikan alternatif
pemecahan masalah terkait sistem tataniaga yang terjadi di daerah penelitian.
Selain itu penelitian ini merupakan syarat dalam menyelesaikan studi kuliah dan
dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi penelitian berikutnya yang berkaitan
dengan tataniaga krisan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan analisis tataniaga yang dilakukan di
Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur. Komoditi yang menjadi objek
penelitian adalah krisan. Harga yang dijadikan acuan merupakan harga yang
berlaku pada saat penelitian. Indikator yang digunakan untuk menganalisis
efisiensi tataniaga adalah efisiensi operasional (teknis) yaitu anlisis marjin
tataniaga, analisis farmer’s share dan analisis rasio keuntungan terhadap biaya.
Petani yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah petani lokal.

TINJAUAN PUSTAKA
Pemasaran Bunga Potong
Menurut Soekartawi (1996), subsistem pemasaran merupakan subsistem
yang terpenting dalam susbsistem agribisnis karena subsistem ini yang biasanya
dihadapi oleh petani atau pengusaha dengan berbagai masalah. Pasar bunga
potong memang punya ciri tersendiri, karena tiap segmen pasar tertentu
menghendaki jenis bunga potong tertentu. Untuk menghasilkan pasar yang baik,
diperlukan data yang rinci tentang calon konsumen, produk apa saja yang
diperlukan konsumen, bnerapa harga jualnya, ditujukan untuk segmen pasar yang
mana dan data yang diperlukan untuk sasaran komunikasi antara produsen dan
konsumen.
Umumnya aktivitas lembaga pemasaran melakukan hal-hal sebagai
berikut, melakukan pembelian, mengangkut barang yang dibeli, melakukan
pengolahan, melakukan grading (sortasi kualitas), melakukan pengemasan atau

7

pengepakan, melakukan penyimpanan dan melaksanakan penjualan. Kegiatan
tersebut menyebabkan harga di tingkat lembaga pemasaran menjadi berbeda.
Masalahnya adalah jangan sampai distribusi laba di tiap lembaga pemasaran
menjadi terlalu timpang. Peran lembaga pemasaran menjadi amat penting dalam
menyalurkan bunga potong ke tangan konsumen.
Berdasarkan penelitian Soekartawi (1996) konsumen bunga potong terdiri
dari dua macam yaitu konsumen individu dan konsumen organisasi (institusi).
Konsumen individu umumnya adalah golongan masyarakat kelas menengah ke
atas, baik bunga itu dipakai untuk keperluan sendiri yang sifatnya rutin, untuk
ulang tahun, untuk pemberian rekannya yang sakit dan sebagainya. Tipe
konsumen ini sifatnya individual (sebagai kebalikan dari konsumen organisasi),
yang frekuensi pembeliannya tidak tetap dan jumlahnya relatif sedikit. Konsumen
organisasi atau institusi yaitu konsumen yang bukan individu tetapi konsumen
yang terkait dengan keperluan institusinya, seperti kantor pemerintah atau swasta,
bank, hotel dan sebagainya. Tipe konsumen ini biasanya frekuensinya relatif
mudah ditaksir dan jumlahnya relatif besar.
Soekartawi (1996) mengungkapkan bahwa potensi pasar bunga dan
identifikasi kebutuhan bunga dapat diukur dari besarnya konsumsi bunga.
Berdasarkan rantai pemasaran bunga potong, tiap lembaga pemasaran memiliki
ciri tersendiri terhadap bunga tertentu yang dipasarkan. Konsumen bunga potong
tidak memiliki keterkaitan yang kuat terhadap lembaga tataniataga bunga potong.
Hal ini terbukti dengan bahwa hingga saat ini konsumen masih bebas memesan
dan membeli bunga potong dari berbagai lembaga tataniaga yang ada. Keadaan
seperti ini menjadikan rantai pemasaran menjadi lebih sederhana yang mungkin
disebabkan karena sifat bunga yang cepat rusak.
Studi Relevan
Hortikultura yang terdiri dari sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan
biofarmaka dianggap sebagai sub sektor pertanian yang memiliki peranan penting
dalam memberikan kontribusi bagi perekonomian Indonesia. Ibrahim (2013) pada
penelitiannya memfokuskan pada komoditas hortikultura yaitu mentimun.
Fluktuasi harga yang terus menerus merupakan masalah yang ditemui pada petani
mentimun di Desa Laladon. Petani juga kurang memiliki peran dalam penentuan
harga yang disebabkan minimnya informasi mengenai harga mentimun yang
diterima oleh petani. Sehingga para pedagang memperoleh keuntungan yang
lebih besar dibandingkan dengan petani pada sistem tataniaga mentimun di Desa
Laladon. Tujuan dari penelitian Ibrahim (2013) adalah (1) menganalisis saluran
dan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga
komoditas mentimun (2) menganalisis struktur dan perilaku pasar pada masingmasing lembaga tataniaga yang terlibat (3) menganalisis saluran tataniaga
mentimun berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan
terhadap biaya.
Hasil penelitian Ibrahim (2013) menunjukkan bahwa petani pada saluran
terpendek yaitu saluran III memperoleh farmer’s share yang paling tinggi yaitu
69.5 persen untuk mentimun grade A dan 75.9 persen untuk mentimun grade B.
Pada saluran yang memiliki pola, petani – pedagang pengecer – konsumen, petani
memiliki harga jual tertinggi dibandingkan dengan saluran lainnya, yaitu Rp4

8

500.00 untuk mentimun grade A dan Rp3 000.00 untuk mentimun grade B.
Ibrahim (2013) menggunakan marjin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan
terhadap biaya dalam menganilisis efisiensi tataniaganya. Saluran III merupakan
saluran yang paling efisien jika diukur melalui ketiga indikator tersebut, namun
pada saluran ini volume penjualan mentimun lebih kecil dibandingkan kedua
saluran lainnya yaitu sebesar 4 600 untuk mentimun grade A dan 900 untuk
mentimun grade B, sedangkan volume mentimun pada saluran I sebanyak 211
500 kilogram untuk grade A dan 29 400 kilogram untuk grade B dan pada
saluran II sebanyak 74 000 kilogram untuk grade A dan 11 000 untuk grade B.
Namun petani di Desa Laladon lebih banyak menggunakan pola saluran I
dibandingkan pola saluran III.
Aeni (2013) juga menjadikan salah satu komoditas hortikultura sebagai
objek penelitiannya, yaitu kentang. Terdapat lima pola saluran tataniaga kentang
di Desa Sangiang, pola yang paling banyak digunakan oleh petani adalah pola
saluran tataniaga I yaitu petani – pedagang pengumpul – pedagang besar non
lokal – pedagang pengecer non lokal – konsumen non lokal. Pola saluran
tataniaga I merupakan pola saluran tataniaga kedua terpanjang diantara pola
saluran tataniaga lainnya. Penelitian Aeni (2013) menyebutkan bahwa panjang
pendeknya saluran tataniaga dapat mempengaruhi total biaya tataniaga dan total
marjin pada salura tersebut. Saluran V yang memiliki pola petani – pedagang
besar lokal – pedagang pengecer non lokal – konsumen non lokal, merupakan
saluran tataniaga terpendek dengan biaya total tataniaga terkecil yaitu 478.81,
total marjin terkecil yaitu Rp2 500.00, farmer’s share yang terbesar yaitu 56.52
persen dan rasio keuntungan terhadap biaya yang terbesar yaitu 4.22.
Petani kentang di Desa Sangiang berperan sebagai price taker karena
bargaining position petani lemah dalam menentukan harga. Pedagang pengumpul
merupakan lembaga tataniaga yang memiliki kekuatan dalam menentukkan harga
kepada petani karena pedagang pengumpul lebih mengetahui informasi pasar
serta memberikan bantuan modal kepada petani. Hubungan kekerabatan dan
kepercayaan menjadi alasan petani tetap melakukan penjualan kepada pedagang
pengumpul meskipun dengan kondisi sebagai price taker dan pedagang
pengumpul sebagai price maker. Fungsi tataniaga yang dilakukan petani pada
penelitian Aeni (2013) yaitu fungsi pengangkutan dan pengemasan. Petani jarang
melakukan fungsi penyimpanan karena biasanya petani langsung mengirim ke
gudang pedagang pengumpul atau pedagang pengumpul yang datang langsung ke
lahan petani untuk mengambil kentang. Hal ini juga yang menyebabkan petani
lebih banyak yang menjual ke pedagang pengumpul dibandingkan harus menjual
ke pedagang besar di Pasar Maja.
Alang (2013) menjadikan kedelai sebagai objek penelitiannya. Fungsi
tataniaga ditingkat petani yaitu petani melakukan fungsi pertukaran dan fungsi
fisik. Fungsi pertukaran dilakukaan saat melakukan penjualan dan fungsi fisik
dilakukan pada perontokkan, pengemasan dan pengangkutan. Umumnya aktivitas
yang dilakukan petani dalam menjalankan fungsi tataniaga tidak mengeluarkan
biaya. Petani kedelai di Desa Cipeuyeum melakukan aktivitas pengolahan
sederhana seperti perontokkan, penjemuran dan pengemasan, tanpa
mengeluarkan biaya. Fungsi pertukaran yang dilakukan juga tidak mengeluarkan
biaya karena biasanya pedagang pengumpul yang datang ke tempat petani untuk
membeli produknya, walaupun ada petani yang menyerahkan sendiri hasil

9

produknya ke pedagang pengumpul besar namun aktivitas ini tetap tidak
mengeluarkan biaya karena petani tersebut tidak menggunakan alat transportasi
melainkan membawa hasil panennya dengan cara dipikul.
Struktur pasar yang ada di tingkat petani kedelai Desa Cipeuyeum
cenderung mendekati pasar persaingan sempurna, begitu juga pada tingkat
pedagang pengumpul kecil dan tingkat pedagang pengecer. Namun pada tingkat
pedagang pengumpul besar struktur pasar lebih mendekati oligopoli karena
pedagang sebagai price taker dengan jumlahnya yang sedikit sedangkan jumlah
pembeli yang tergolong banyak, produk yang dijual pun tidak homogen. Struktur
pasar oligopoli juga ditemukan pada tingkat pedagang grosir dan di tingkat agen.
Akses pasar yang agak sulit juga menjadi alasan struktur pasar pada ketiga
tingkat tersebut lebih cenderung kepada struktur pasar oligopoli.
Hasil dari penelitian Priambudi (2013) menganalisis sistem tataniaga
beras di Kecamatan Rogojampi yaitu terdapat dua belas saluran tataniaga beras
yang melibatkan enam lembaga tataniaga yaitu penebas gabah, penggiling padi,
kelompok tani, pedagang besar, Subdivre Bulog Banyuwangi dan pedagang
pengecer. Struktur pasar yang banyak dihadapi di masing-masing tingkat
lembaga tataniaga adalah struktur pasar oligopoli. Struktur pasar oligopoli
ditemukan pada tingkat penggiling, penebas, kelompok tani dan pedagang besar.
Pada tingkat petani, petani menghadapi pasar persaingan tidak sempurna yaitu
oligopsoni karena jumlah petani yang lebih banyak dibandingkan jumlah lembaga
yang akan menyerap hasil panen petani. Pedagang pengecer cenderung
menghadapi pasar persaingan sempurna karena terdapat banayk pedagang
pengecer dan banyak konsumen akhir sebagai pembeli.
Analisis perilaku pasar dilihat dari praktek penjualan dan pembelian,
penentuan harga, sistem pembayaran dan kerjasama antar lembaga. Pada
penelitian Priambudi (2013), sistem penjualan yang dilakukan oleh petani padi
adalah menjual hasil panen sekaligus dalam sekali transaksi. Hal ini didasari oleh
kebutuhan petani untuk membayar input produksi dan kebutuhan sehari-hari.
Sistem pembelian yang dilakukan oleh pedagang besar yaitu membeli seluruh
beras dari penggilingan dengan sistem beli putus dan terikat kontrak jaminan
kualitas. Pedagang besar melakukan pemesanan kualitas, kuantitas dan ukuran
kemasan yang akan dibeli. Selanjutnya pedagang pengecer membeli beras kepada
pedagang besar dan kelompok tani yang kemudian akan dijual kepasa konsumen.
Penentuan harga yang dilakukan oleh seluruh lembaga dalam tataniaga beras di
Kecamatan Rogojampi ditentukan melalui informasi yang didapatkan masingmasing lembaga tataniaga, baik dari lembaga tataniaga lainnya maupun media
massa. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh petani, penebas dan subdivre
kepada penggiling serta pedagang pengecer kepada pedagang besar adalah
menggunakan sistem pembayaran tunai. Sedangkan pedagang besar dan
kelompok tani memberlakukan sistem pembayaran angsuran. Kerjasama yang
dilakukan oleh petani beras di Kecamatan Rogojampi belum terkoordinasi
dengan baik.
Asmarantaka (2013) meneliti sistem tataniaga dengan komoditas kelapa
sawit. Praktik penjualan dan pembelian dilakukan oleh seluruh lembaga tataniaga
kelapa sawit di Desa Tanjung Jaya, kecuali petani yang hanya melakukan praktik
penjualan. Dalam penelitian ini, seluruh lembaga tataniaga melakukan praktik
penjualan dan pembelian secara bebas tanpa kontrak tertentu. Penentuan harga

10

dilakukan melalui informasi yang didapatkan oleh setiap lembaga dan juga
ditentukan oleh kualitas produk yang ada. Dalam penentuan harga, petani
memiliki posisi tawar yang rendah sehingga yang menentukkan adalah pedagang
pengumpul. Sistem pembayaran dilakukan melalui sistem pembayaran langsung
baik secara tunai maupun melalui transfer. Kerjasama yang dilakukan antar
lembaga tataniaga pada penelitian ini cukup baik karena kerjasama meliputi
penyaluran informasi harga, bantuang panen, bantuan pengangkutan TBS dan
bantuan pinjaman. Bantuan pinjaman didasari oleh adanya hubungan dagang dan
juga rasa saling percaya antara petani dengan pihak pedagang pengumpul dan
atau agen perantara.
Kabupaten Cianjur merupakan salah satu sentra produksi krisan potong di
Jawa Barat memiliki potensi lahan dan agroklimat yang mendukung sebagai
daerah pengembangan komoditas pertanian tersebut (Candraningtyas 2013).
Namun jumlah permintaan akan krisan potong yang semakin meningkat.
Kabupaten Cianjur, sebagai salah satu sentra produksi krisan potong di Jawa
Barat memiliki potensi lahan dan agroklimat yang mendukung sebagai daerah
pengembangan komoditas pertanian tersebut. Namun jumlah permintaan akan
krisan potong yang semakin meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada aspek pasar, usaha krisan potong di wilayah ini masih memiliki peluang
pasar. Pada bauran pemasaran tidak terdapat masalah yang dapat mengganggu
jalannya proses pemasaran. Pada aspek teknis, pemilihan lokasi hingga teknik
budidaya tidak menemui kendala yang berarti. Pada aspek manajemen, meskipun
manajemen usaha masih sederhana namun telah terdapat pembagian tugas yang
jelas dan usaha ini pun terdaftar dalam keanggotaan gapoktan setempat. Pada
aspek sosial dan lingkungan, usaha ini memberikan dampak positif yang cukup
banyak bagi masyarakat sekitar.
Hasil dari penelitian Nursakinah (2012), penggunaan bunga krisan yang
semakin meningkat menyebabkan permintaan bunga krisan juga meningkat.
Namun, permintaan bunga krisan tersebut masih bersifat musiman. Permintaan
bunga krisan yang bersifat musiman tersebut berpengaruh pada berfluktuasi dan
tidak pastinya permintaan bunga krisan. Hal tersebut menyebabkan timbulnya
ketidakpastian harga dan berpengaruh pada ketidakpastian pendapatan pada
pedagang di Pasar Bunga Rawabelong yang merupakan Pusat Promosi dan
Pemasaran Hortikultura di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui risiko harga dari bunga krisan di Pasar Bunga Rawabelong
serta menganalisis alternatif strategi dalam mengatasi risiko harga pada bunga
krisan di Pasar Bunga Rawabelong. Berdasarkan perhitungan Value at Risk
(VAR) diperoleh bahwa risiko harga krisan cipanas oleh pedagang memiliki
tingkat risiko yang lebih besar dibandingkan risiko harga krisan pt yang dihadapi
pedagang. Ketika pedagang berinvestasi untuk krisan cipanas sebesar Rp2 450
000.00 maka risiko atau kerugian yang dihadapi dalam periode waktu satu hari
sebesar Rp249 472.00, periode tiga hari sebesar Rp432 099.00, dan periode
seminggu sebesar Rp660 042.00. Sedangkan, ketika pedagang krisan pt
berinvestasi sebesar Rp2 450 000 maka risiko atau kerugian yang dihadapi dalam
periode waktu satu hari sebesar Rp345 392.00, periode tiga hari sebesar Rp598
237, dan periode seminggu sebesar Rp913 822.00
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Estefan (2011), selisih
antara harga jual yang diterima petani anggrek di Kecamatan Gunung Sindur,

11

Kabupaten Bogor dengan harga yang diberlakukan pedagang (marjin pemasaran)
cukup besar, dimana posisi petani diantara pelaku ekonomi adalah sebagai
penerima harga (price taker). Marjin pemasaran yang semakin besar umumnya
akan menyebabkan persentase bagian harga yang yang diterima oleh petani
(farmer’s share) akan semakin kecil. Penyebaran marjin yang tidak merata dan
harga yang rendah ditingkat petani tersebut dapat mempengaruhi pendapatan
petani. Harga ditingkat petani adalah Rp1 700.00 sedangkan di tingkat konsumen
harga mencapai Rp2 200.00 hingga Rp3 125.00. Selisih antara harga jual yang
diterima petani anggrek di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor dengan
harga yang diberlakukan pedagang (marjin pemasaran) cukup besar, dimana
posisi petani diantara pelaku ekonomi adalah sebagai penerima harga (price
taker). Marjin pemasaran yang semakin besar umumnya akan menyebabkan
persentase bagian harga yang yang diterima oleh petani (farmer’s share) akan
semakin kecil. Penyebaran marjin yang tidak merata dan harga yang rendah
ditingkat petani tersebut dapat mempengaruhi pendapatan petani.

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Konseptual
Tataniaga
Tataniaga merupakan aktivitas dalam mengalirkan produk mulai dari
petani (produsen primer) sampai ke konsumen akhir. Dalam aktivitas
mengalirnya produk sampai ke tangan konsumen akhir (end user), banyak
kegiatan produktif yang terjadi dalam upaya menciptakan atau menambah nilai
guna (bentuk, tempat, waktu dan kepemilikan) dengan tujuan memenuhi
kepuasan konsumen akhir (Asmarantaka 2012). Dahl dan Hammond (1987)
menyebutkan bahwa tataniaga dapat diartikan sebagai suatu tempat atau wahana
dimana ada kekuatan supply dan demand yang bekerja, ada proses pembentukan
harga dan terjadinya proses pengalihan kepemilikan barang maupun jasa.
Berdasarkan kedua pakar di atas maka dapat disintesakan bahwa tataniaga adalah
aktivitas penyaluran produk dari produsen ke konsumen dimana terdapat
kekuatan supply dan demand dan banyak terjadi kegiatan produktif didalamnya
seperti penciptaan maupun peningkatan nilai tambah. Hal ini didukung dengan
pernyataan Limbong dan Sitorus (1987) yang mengatakan bahwa tataniaga juga
diartikan sebagai serangkaian proses kegiatan atau aktivitas yang ditujukan untuk
menyalurkan barang-barang atau jasa-jasa dari titik produsen ke konsumen.
Dalam hal ini, konsep yang paling mendasar yang melandasi tataniaga yaitu
kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia merupakan pernyataan kehilangan,
berdasarkan kebutuhan inilah maka konsumen akan memenuhi kebutuhannya
dengan mempertukarkan produk dan nilai dari produsen.
Dari pernyataan di atas nilai tambah menjadi ciri khas dari kegiatan
tataniaga karena memilki memberikan manfaat baik kepada konsumen maupun
produsen hal ini diperkuat dengan pernyataan Asmarantaka (2012) yang
mengatakan bahwa penciptaan dan peningkatan nilai tambah terdapat pada

12

kegiatan tataniaga sehingga tataniaga merupakan kegiatan yang produktif dan
nilai tambah tersebut yaitu nilai guna bentuk, tempat, waktu dan kepemilikan.
Nilai guna bentuk merupakan penciptaan atau peningkatan nilai pada suatu
barang atau jasa yang bentuknya diubah menjadi bentuk yang lebih menarik
konsumen. Nilai guna tempat adalah suatu barang atau jasa akan semakin
bertambah nilainya jika tempatnya lebih sesuai dengan keinginan konsumen,
biasanya tempat yang lebih mudah diakses. Nilai guna waktu berkaitan dengan
nilai suatu barang atau jasa yang akan meningkat seiring dengan perubahan
waktu atau pada waktu-waktu tertentu. Nilai guna kepemilikan berarti barang
atau jasa akan meiningkat nilai tambahnya jika berpindah hak milik.
Tataniaga dapat diartikan sebagai kegiatan produktif yang dilakukan
sepanjang penyaluran produk dari produsen hingga konsumen melalui beberapa
saluran tataniaga dan tataniaga akan berjalan dengan baik dengan dukungan dari
lembaga tataniaga, saluran tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku
pasar.
Saluran Tataniaga
Saluran perdagangan atau saluran tataniaga merupakan saluran yang
digunakan oleh produsen untuk menyalurkan suatu produk dari produsen sampai
ke konsumen atau pemakai industri (Swastha 2002). Menurut Limbong dan
Sitorus (1985), saluran tataniaga dapat diartikan sebagai himpunan perusahaan
dan perorangan yang mengambil alih hak, atau membantu dalam pengalihan hak
atas barang atau jasa tertentu selama barang atau jasa tersebut berpindah dari
produsen ke konsumen. Saluran tataniaga dikelompokkan menjadi 4 macam
saluran (Limbong dan Sitorus 1985) :
1. Produsen – Konsumen (Zero Level Channel)
Merupakan bentuk saluran distribusi yang paling pendek dan paling
sederhana karena tanpa menggunalan perantara (Swastha 2002). Produsen
dapat menjual barang yang dihasilkannya melalui jasa pengantar ataupun
langsung mendatangi rumah konsumen (door to door). Oleh karena itu
saluran ini disebut sebagai saluran tataniaga langsung.
2. Produsen – Pengecer – Konsumen (One Level Channel)
Pada saluran ini pengecer langsung melakukan pembelian kepada produsen.
Ada pula beberapa produsen yang mendirikan toko pengecer sehingga dapat
secara langsung melayani konsumen, namun hal ini tidak umum digunakan
(Swastha 2002). Dalam pasar konsumsi perantara ini adalah pengecer, dalam
pasar industrial perantara tersebut adalah agen penjualan atau pialang.
3. Produsen – Grosir – Pengecer – Konsumen (Two Level Channel)
Saluran ini mencakup dua perantara, dalam pasar konsumsi perantara ini
adalah grosir dan pengecer sedangkan dalam pasar industrial perantara
tersebut adalah distributor dan dealer industrial. Produsen hanya melayani
penjualan dalam jumlah besar kepada pedagang besar saja dan tidak menjual
kepada pengecer. Penmbelian oleh pengecer dilayani pedagang besar dan
pembelian oleh konsumen dilayani pengecer saja (Swastha 2002).
4. Produsen – Grosir – Jobber – Pengecer – Konsumen (Three Level Channel)
Saluran ini mencakup tiga perantara, dalam hal ini selain grosir dan pengecer
terdapat pemborong (jobber). Pemborong tersebut membeli barang dari

13

pedagang grosir dan menjualnya ke pedagang pengecer kecil, yang umumnya
tidak dapat dilayani oleh pedagang grosir.
Berdasarkan kedua pakar tersebut maka saluran tataniaga adalah jalur
yang terdiri dari beberapa lembaga tataniaga yang bertujuan untuk mengalirkan
produk dari produsen sampai ke konsumen. Pada setiap saluran produsen
mempunyai alternatif yang sama untuk menggunakan cabang penjualan dan dapat
menggunakan lebih dari satu cabang penjualan. Setiap komoditi memiliki saluran
tataniaga yang berbeda-beda tergantung sifat dari komoditi tersebut. Panjang
pendeknya saluran tataniaga ditentukan dari banyaknya lembaga tataniaga yang
terlibat dalam saluran tataniaga tersebut.
Lembaga Tataniaga
Lembaga tataniaga merupakan suatu badan yang menyelenggarakan
kegiatan tataniaga atau pemasaran dan mengelompokkan lembaga
tataniaga/pemasaran menurut fungsinya serta menurut penguasaan terhadap
barang (Limbong dan Sitorus 1987). Lembaga tataniaga berada dalam saluran
tataniaga dari awal produksi hingga produk berada ditangan konsumen.
Penggolongan lembaga tataniaga menurut Limbong dan Sitorus (1987)
didasarkan pada fungsi, penguasaan terhadap suatu barang, kedudukan dalam
suatu pasar serta bentuk usahanya.
1. Berdasarkan fungsi yang dilakukan :
a. Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti pengecer,
grosir dan lembaga perantara lainnya.
b. Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan fisik, seperti pengolahan,
pengangkutan dan penyimpanan.
c. Lembaga tataniaga yang menyediakan fasi