Analisis Sistem Tataniaga Kedelai di Desa Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur
ANALISIS SISTEM TATANIAGA KEDELAI DI DESA
CIPEUYEUM, KECAMATAN HAURWANGI,
KABUPATEN CIANJUR
ALDHA HERMIANTY ALANG
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Sistem
Tataniaga Kedelai di Desa Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten
Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Aldha Hermianty Alang
NIM H34090030
iv
ABSTRAK
ALDHA HERMIANTY ALANG. Analisis Sistem Tataniaga Kedelai di Desa
Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh HENY
KUSWANTI SUWARSINAH.
Kedelai adalah tanaman pangan terpenting ketiga di Indonesia setelah padi
dan jagung. Permintaan terhadap kedelai di Indonesia mengalami peningkatan
setiap tahun. Hingga saat ini, Indonesia belum mampu untuk memenuhi
permintaan nasional akan kedelai. Ketidakmampuan ini dapat diatasi dengan
melakukan perbaikan pada sistem agribsnis kedelai di mana tataniaga merupakan
salah satu aspek yang perlu diperbaiki. Perbaikan dalam aspek tataniaga dapat
dimulai dari daerah sentra produksi kedelai. Jawa Barat merupakan provinsi
kelima penghasil kedelai terbesar di Indonesia. Desa Cipeuyeum, Kabupaten
Cianjur merupakan salah satu daerah penghasil kedelai di Jawa Barat. Terdapat
empat saluran tataniaga dengan lima lembaga yang diidentifikasi dengan metode
snowball. Lembaga-lembaga tataniaga ini masing-masing melakukan fungsi dan
menghadapi struktur pasar yang beragam. Analisis kuantitatif menunjukkan satu
saluran tataniaga yang paling efisien dengan marjin sebesar Rp917.00, nilai
farmer’s share sebesar 85.89%, dan rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 7.06.
Kata kunci: agribisnis kedelai, Desa Cipeuyeum, efisien, permintaan kedelai,
tataniaga
ABSTRACT
ALDHA HERMIANTY ALANG. Marketing System Analysis of Soy in
Cipeuyeum Village, Subdistrict Haurwangi, Cianjur Regency. Supervised HENY
KUSWANTI SUWARSINAH.
Soy is the third most important food crop in Indonesia after rice and corn.
Demand for soy in Indonesia has increased every year. Until now, Indonesia has
been unable to meet the national demand for soy. This inability can be overcome
by improving soy agribusiness system where marketing system is one aspect that
needs to be fixed. Improvement of the marketing system aspect can be started
from the central areas of soy production. West Java is the fifth province with the
largest value of soy productivity in Indonesia. Cipeuyeum village, Cianjur
regency is one of soy producing area in West Java. There are four channels of
marketing system in this village with five institutions tha identified with the
snowball method. This marketing system institutions perform each functions and
face the diverse market structures. Quantitative analysis showed the most efficient
channel with Rp917.00 for the marketing margin, 85.89% for the farmer’s share
value, and 7.06 for ratio of profit to cost.
Keywords: Cipeuyeum village, demand for soy, efficient, marketing, soy
agribusiness
ANALISIS SISTEM TATANIAGA KEDELAI DI DESA
CIPEUYEUM, KECAMATAN HAURWANGI,
KABUPATEN CIANJUR
ALDHA HERMIANTY ALANG
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
vi
Judul Skripsi: Analisis Sistem Tataniaga Kedelai di Desa Cipeuyeum, Kecamatan
Haurwangi, Kabupaten Cianjur
: Aldha Hermianty Alang
Nama
NIM
: H34090030
Disetujui oleh
Dr Ir Hen
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
0 5 SEP 2013
Judul Skripsi : Analisis Sistem Tataniaga Kedelai di Desa Cipeuyeum, Kecamatan
Haurwangi, Kabupaten Cianjur
Nama
: Aldha Hermianty Alang
NIM
: H34090030
Disetujui oleh
Dr Ir Heny Kuswanti Suwarsinah, MEc
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen Agribisnis
Tanggal Lulus:
viii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah yang adalah kasih adanya
atas segala rancangan-rancangan indah-Nya selama proses penyelesaian skripsi
ini. Penelitian dengan topik tataniaga produk agribisnis ini dilakukan mulai dari
bulan April 2013 dan mengangkat judul, Analisis Sistem Tataniaga Kedelai di
Desa Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Heny Kuswanti Suwarsinah,
MEc selaku dosen pembimbing skripsi serta Ibu Dr Ir Ratna Winandi, MS dan Ibu
Ir Popong Nurhayati, MM selaku dosen penguji dalam ujian skripsi atas semua
saran yang diberikan demi penyempurnaan skripsi ini. Penghargaan besar juga
penulis sampaikan kepada Bapak Jaenal selaku ketua Poktan Mandiri dan
Gapoktan Saluyu Desa Cipeuyeum, Bapak Abas selaku Penyuluh Pertanian
Lapang Desa Cipeuyeum, seluruh staf Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur dan
Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Haurwangi, serta segala pihak yang
terlibat langsung selama proses pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada kerabat dan keluarga, secara khusus ayah dan kakak atas
setiap dukungan moril yang diberikan, sehingga skripsi ini dapat selesai pada
waktu yang terbaik.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013
Aldha Hermianty Alang
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
7
Keragaan Kedelai
7
Permasalahan dalam Pengembangan Agribisnis Kedelai di Indonesia
8
Strategi Pengembangan Agribisnis Kedelai di Indonesia
9
Hasil Penelitian Terdahulu mengenai Komoditi Pangan
10
Hasil Penelitian Terdahulu mengenai Kedelai
13
KERANGKA PEMIKIRAN
14
Kerangka Pemikiran Teoritis
14
Kerangka Pemikiran Operasional
19
METODE PENELITIAN
21
Lokasi dan Waktu Penelitian
21
Jenis dan Sumber Data
21
Metode Penentuan Responden dan Pengumpulan Data
21
Metode Analisis dan Pengolahan Data
22
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
24
Karakteristik Wilayah
24
Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat
25
Karakteristik Petani Responden
26
Karakteristik lembaga tataniaga yang terlibat
28
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Saluran dan Lembaga Tataniaga
29
29
x
Analisis Fungsi-fungsi Tataniaga Petani dan Lembaga yang Terlibat
34
Analisis Struktur Pasar
38
Analisis Perilaku Pasar
40
Analisis Marjin Tataniaga
42
Analisis Farmer’s Share
47
Analisis Rasio Keuntungan terhadap Biaya
48
SIMPULAN DAN SARAN
49
Simpulan
49
Saran
49
DAFTAR PUSTAKA
50
LAMPIRAN
52
RIWAYAT HIDUP
58
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12
13.
14
15.
16.
Luas panen, produksi, dan produktivitas kedelai nasional tahun
2010-2012
Produksi kedelai di lima provinsi sentra produksi nasional tahun
2008-2012
Target dan realisasi tanam, panen, produksi, dan produktivitas
kedelai Kabupaten Cianjur tahun 2011
Target dan realisasi produksi kedelai di lima kecamatan sentra
produksi Kabupaten Cianjur 2011
Perbandingan struktur pasar dalam industri
Jenis dan sumber data
Mata pencaharian pokok penduduk Desa Cipeuyeum
Karakteristik petani responden berdasarkan kelompok usia
Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan
Karakteristik petani responden berdasarkan lama berusahatani
kedelai
Karakteristik petani responden berdasarkan status kepemilikan
lahan
Karakteristik mayoritas lembaga tataniaga yang terlibat
Fungsi dan aktivitas setiap lembaga tataniaga kedelai di Desa
Cipeueyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur
Analisis marjin tataniaga kedelai di Desa Cipeuyeum, Kecamatan
Haurwangi, Kabupaten Cianjur
Nilai Farmer’s Share setiap saluran tataniaga kedelai di Desa
Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur
Nilai rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga kedelai di Desa
Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur
2
3
3
4
16
21
25
26
27
27
28
29
37
43-44
47
48
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
Konsep marjin tataniaga
Kerangka pemikiran operasional
Skema aliran kedelai yang dijual petani tidak dengan sistem
borong
Skema aliran kedelai yang dijual petani dengan sistem
borong
18
20
32
32
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
Rincian biaya tataniaga kedelai di Desa Cipeuyeum, Kecamatan
Haurwangi, Kabupaten Cianjur
Kuesioner di tingkat petani
Kuesioner di tingkat lembaga tataniaga setelah petani
52
53-54
55-57
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan ekonomi yang tepat dalam suatu negara didasari pada
keunggulan komparatif yang dimilikinya. Asmarantaka (2012) mendefinisikan
keunggulan komparatif sebagai keunggulan dalam spesialisasi produk yang
dimiliki oleh suatu negara berdasarkan jumlah yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan negara lain. Selanjutnya, melalui pembangunan yang
bertahap dan konsisten, keunggulan komparatif ini dikembangkan menjadi
keunggulan kompetitif, tidak ada hanya melihat pada spesialisasi produk yang
dimiliki. Hal ini dikemukakan oleh Saragih (2000) yang kemudian menyatakan
bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif dari segi keanekaragaman
sumber daya hayati. Kegiatan ekonomi yang memanfaatkan keunggulan ini adalah
sektor pertanian dalam arti luas, yang dikenal dengan sistem agribisnis.
Lampiran Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16/Permentan/OT.140/
2/2008 dalam buku Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan
PUAP sebagaimana dikutip oleh Krisnamurthi et al. (2010) mendefinisikan
agribisnis sebagai:
“Rangkaian kegiatan usaha pertanian yang terdiri atas 4 (empat) sub-sistem, yaitu:
(a) subsistem hulu yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi
(input) pertanian; (b) subsistem pertanian primer yaitu kegiatan ekonomi yang
menggunakan sarana produksi yang dihasilkan subsistem hulu;
(c) subsistem
agribisnis hilir yaitu yang mengolah dan memasarkan komoditas pertanian; dan (d)
subsistem penunjang yaitu kegiatan yang menyediakan jasa penunjang antara lain
permodalan, teknologi, dan lain-lain”.
Berdasarkan definisinya, sistem agribisnis memiliki cakupan luas dan
peranan penting bagi pembangunan Indonesia. Salah satu peranan agribisnis
sebagaimana dinyatakan oleh Saragih (2000) adalah pemenuhan terhadap bahan
pangan. Pemenuhan yang dimaksud, yaitu ketersediaan berbagai jenis dan kualitas
pangan baik dari segi jumlah, waktu, maupun tempat yang terjangkau.
Komoditi pangan sendiri, menurut Deptan (2012), memiliki peranan pokok
sebagai pemenuh kebutuhan pangan, pakan, dan industrinya yang jumlah
permintaannya cenderung mengalami kenaikan setiap tahun. Kenaikan ini terjadi
seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri
pangan dan pakan.
Harsono (2008) menyatakan bahwa kedelai merupakan komoditi pangan
terpenting ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Kedelai memiliki peranan
sebagai sumber protein nabati bukan hanya untuk kepentingan industri pangan,
tetapi juga industri pakan. Konsumsi kedelai di Indonesia mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Selanjutnya, Harsono (2008) menyebutkan bahwa komsumsi
kedelai di Indonesia pada tahun 2008 adalah 1.9 juta ton dan diramalkan akan
mencapai angka 2.6 juta ton pada tahun 2020. Sementara itu, Menteri
Perdagangan, Gita Wiryawan dalam Antaranews (2012) menyatakan bahwa angka
2.6 juta ini telah tercapai pada tahun 2012.
Peningkatan nilai konsumsi tersebut tidak diikuti dengan bertambahnya nilai
produksi nasional. Padahal pada periode sebelum tahun 1975, Indonesia mampu
mencapai swasembada kedelai. Swastika dalam Sumarno et al. (2007)
2
menyatakan bahwa saat itu, nisbah (nilai rasio) produksi-konsumsi kedelai di
Indonesia mencapai nilai lebih besar dari 1 yang berarti bahwa nilai produksi lebih
besar dibandingkan dengan nilai konsumsi. Saat ini, Indonesia belum dapat
memenuhi kebutuhan konsumsi kedelai dalam negeri. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah produksi yang tidak dapat menutupi jumlah konsumsi (tabel 1), sehingga
mengakibatkan dilakukannya impor kedelai untuk memenuhi kelebihan
permintaan yang ada. Hal ini disebutkan juga oleh Purwanto (2011), bahwa
rendahnya produksi yang tidak dapat memenuhi permintaan atau konsumsi
kedelai nasional inilah yang menjadi faktor utama dilakukannya impor terhadap
komoditas kedelai.
Tabel 1 Luas panen, produksi, dan produktivitas kedelai nasional tahun 20102012
Tahun
Luas panen (ha)
Produksi (ton)
Produktvitas (ton ha-1)
2010
660 823
907 031
1.373
2011
622 254
851 286
1.368
2012
566 693
779 741
1.367
a
Sumber: Deptan (2012)
Harsono (2008) menyatakan bahwa mulai tahun 2008, kedelai sudah
menjadi barang langka. Pada tahun tersebut, harga kedelai mengalami
peningkatan dari Rp3 500 menjadi Rp8 500. Kondisi ini menyulitkan konsumen
juga industri pengolahan kedelai yang pada akhirnya melakukan pengurangan
jumlah produksi dan/atau ukuran produk mereka. Oleh sebab itu, Harsono
menambahkan bahwa diperlukan perbaikan dan pengembangan terhadap sistem
agribisnis kedelai secara keseluruhan. Tataniaga merupakan salah satu aspek
dalam usaha perbaikan dan pengembangan sistem agribisnis kedelai. Sudaryanto
dan Swastika dalam Sumarno et al. (2007) juga menyoroti permasalahan
pemasaran atau tataniaga sebagai salah satu aspek yang membutuhkan perhatian,
kebijakan, serta tindakan yang mengandung inovasi di dalamnya untuk
pengembangan agribisnis kedelai secara menyeluruh di Indonesia.
Perbaikan dan pengembangan tataniaga kedelai ini akan lebih efektif bila
dilakukan terutama pada daerah sentra produksi kedelai. Indonesia memiliki
beberapa daerah sentra produksi kedelai. Jawa Barat merupakan salah satu
provinsi dengan produksi kedelai yang tinggi di Indonesia. Walaupun mengalami
penurunan pertumbuhan produksi dari tahun 2010 hingga tahun 2011 dan 2012,
Jawa Barat menempati posisi lima besar setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa
Tenggara Barat, dan Aceh (tabel 2).
Di Jawa Barat sendiri, daerah yang merupakan sentra produksi tanaman
kedelai adalah Kabupaten Garut, Cianjur, Ciamis, Kuningan, Majalengka, dan
Karawang. Luas panen kedelai di keenam kabupaten tersebut, berdasarkan data
Dinas Pertanian Jawa Barat (2012), berturut-turut adalah 7 236, 4 130, 2 769,
1 370, 1 116, 1 039 ha. Kabupaten Cianjur menempati posisi kedua sebagai daerah
dengan luas panen kedelai terbesar di Jawa Barat. Dinas Pertanian Kabupaten
Cianjur sendiri memiliki beberapa program unggulan, salah satunya adalah
3
peningkatan ketahanan pangan dengan kedelai sebagai komoditas unggulan kedua
setelah padi.
Tabel 2 Produksi kedelai di lima provinsi sentra produksi nasional tahun 20082012
Provinsi
Jumlah produksi (ton)
Growth (%)
2008
2009
2010
2011
2012
2011-2012
Jawa
Timur
277 281 355 260 339 491 366 999 316 395
-13,79
Jawa
Tengah
167 345 175 156 187 992 112 273 134 346
19,66
NTB
95 106 95 846 93 122 88 099 67 279
-23,63
Aceh
43 885 63 538 53 347 50 006 57 781
15,55
Jawa
Barat
32 921 60 257 55 823 56 166 47 043
-16,24
a
Sumber: Deptan (2012)
Pada tahun 2011, pencapaian atau realisasi nilai tanam dan panen kedelai di
Cianjur (tabel 3) lebih besar dibandingkan dengan target yang dipatok oleh Dinas
Pertanian setempat. Target tersebut merupakan proyeksi dari realisasi yang
dicapai sebelumnya. Di satu sisi, pencapaian atau realisasi nilai produksi dan
produktivitas menunjukkan angka yang lebih kecil dibandingkan dengan target
yang ditetapkan. Namun, perbedaan antara target dan realisasi untuk nilai
produksi dan produkitvitas ini tidak signifikan berbeda. Hal utama yang
menyebabkan kurangnya pencapaian atau realisasi produksi maupun produktivitas
dibandingkan target adalah faktor eksternal, yaitu cuaca yang keadaannya tidak
dapat diprediksi.
Tabel 3
Target dan realisasi tanam, panen, produksi, produktivitas kedelai
Kabupaten Cianjur Tahun 2011
Keterangan
Target
Realisasi
Tanam (ha)
8 071
9 121
Panen (ha)
7 685
8 514
Produksi (ton)
12 680
12 678
Produktivitas (ton ha-1)
1 650
1 489
a
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur (2011)
Sentra produksi kedelai di Kabupaten Cianjur sendiri terdapat di beberapa
kecamatan seperti Cilaku, Sukaluyu, Ciranjang, Cidaun, dan Haurwangi. Kelima
kecamatan ini menunjukkan pencapaian yang baik terutama untuk Kecamatan
Ciranjang, Sukaluyu dan Haurwangi. Baik Kecamatan Ciranjang, Sukaluyu, dan
Haurwangi menghasilkan nilai realisasi yang melebihi target yang dicanangkan
Dinas Pertanian seperti yang dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4 menunjukkan
4
bahwa pada tahun 2011, Kecamatan Cilaku dan Cidaun tidak mampu mencapai
nilai target produksi. Sementara itu, tiga kecamatan lainnya menunjukkan
pencapaian atau realisasi nilai produksi yang melebihi target.
Tabel 4 Target dan realisasi produksi kedelai di lima kecamatan sentra produksi
Kabupaten Cianjur tahun 2011
Kecamatan
Target (ton)
Realisasi (ton)
Cilaku
1 176
1 111
Ciranjang
1 274
2 064
Sukaluyu
953
1 810
Cidaun
939
727
Haurwangi
676
1 388
a
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur (2011)
Haurwangi merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Cianjur yang
mampu menghasilkan produksi kedelai melebihi target pada tahun 2011. Terdapat
delapan desa di Kecamatan Haurwangi di mana petani desa-desa tersebut
melakukan penanaman kedelai setiap tahunnya. Desa Cipeuyeum merupakan
salah satu desa dengan pencapaian produktivitas cukup tinggi dibandingkan desadesa lainnya di kecamatan ini. Berdasarkan data yang diperoleh dari Balai
Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan Haurwangi, Desa Cipeuyeum menempati
posisi tertinggi kedua dalam produktivitas kedelai di tahun 2012 dengan nilai 1.40
ton ha-1.
Perumusan Masalah
Pengembangan komoditas kedelai di Kabupaten Cianjur didukung oleh
program-program yang dicanangkan Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur. Salah
satu program tersebut adalah peningkatan ketahanan pangan. Program ini
selanjutnya didukung juga oleh Bupati Cianjur dengan mengeluarkan kebijakan
pola tanam padi dan palawija setiap tahunnya. Berdasarkan peraturan tersebut,
para petani padi dihimbau untuk melakukan penanaman palawija setiap tahun
dengan pola tanam yang berbeda sesuai dengan keadaan wilayah. Desa
Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi termasuk ke dalam wilayah Cianjur Utara di
mana kebijakan pola tanam yang berlaku di desa ini adalah pola tanam IP 2. Pola
tanam IP 2 yang dimaksud ialah pola tanam bergantian antara padi dan palawija
setelah dua kali penanaman padi terlebih dahulu dalam satu tahun. Palawija yang
mayoritas diusahakan adalah kedelai dikarenakan kedelai merupakan komoditas
pangan unggulan kedua setelah padi di Kabupaten Cianjur.
Kebijakan penanaman palawija, secara khusus kedelai, dijadikan juga
sebagai salah satu solusi untuk menjaga kesuburan tanah atau lahan pertanian di
daerah Cianjur yang mayoritas digunakan untuk usahatani padi. Selain itu,
penerapan pola tanam kedelai minimal satu kali dalam satu tahun ini, di satu sisi
dapat dipandang sebagai salah satu solusi untuk menumbuhkan gairah petani
dalam melakukan usahatani kedelai, sehingga hal tersebut kemudian menjadi
5
jawaban bagi kontinyuitas produksi kedelai khususnya di Desa Cipeuyeum.
Kedelai dari Desa Cipeuyeum memiliki kontribusi terhadap pasokan kedelai baik
di daerah Cianjur maupun Jawa Barat secara umum. Aturan ini perlu didukung
oleh sistem tataniaga yang baik, sehingga kedelai yang telah diproduksi dapat
sampai ke tangan konsumen akhir dengan nilai guna (bentuk, tempat, waktu, dan
kepemilikan) yang tepat. Sementara itu, penanganan tataniaga kedelai di desa ini
masih tergolong lemah, terlihat dari beberapa faktor.
Pada umumnya petani akan menjual kedelainya dengan sistem borong
karena didesak oleh kebutuhan. Sistem borong yang dimaksud ialah menjual
seluruh tanaman tanpa dipanen sendiri oleh petani, sehingga baik proses
pemanenan, perontokan, penjemuran, hingga pengemasan dilakukan oleh
pemborong. Di satu sisi, petani sendiri memiliki pilihan yang lebih baik dengan
menjual hasil panen kedelainya sudah dalam bentuk bijian. Petani memiliki
pilihan untuk menunggu hingga kedelai berusia tua (polong tua) kemudian
melakukan proses panen sendiri serta beberapa kegiatan pascapanen sederhana
berupa perontokkan, penjemuran, dan pengemasan terlebih dahulu. Hal ini
kemudian berdampak pada rendahnya harga yang diterima oleh petani.
Berdasarkan data yang diperoleh dari survey lapang, rata-rata harga yang diterima
oleh petani berkisar antara Rp5 500 hingga Rp6 500 untuk kedelai yang dijual
sudah dalam bentuk bijian dan sekitar Rp3 500 hingga Rp4 000 (dengan perkiraan
konversi) untuk kedelai yang dijual dengan sistem borong.
Lemahnya sistem tataniaga di Desa Cipeuyeum, dari hasil survey lapang,
terlihat juga dari adanya lembaga tataniaga pada satu saluran yang melakukan
fungsi sama yang kemudian menjadi salah satu indikator kurang efisiennya sistem
tataniaga tersebut. Lembaga atau pihak ini bertujuan untuk memperoleh sedikit
keuntungan dengan menghubungkan petani kepada lembaga setelahnya, namun
tidak melakukan fungsi tataniaga yang berarti. Dengan kata lain, pihak ini akan
memperpanjang rantai tataniaga yang ada. Hal ini dapat berdampak pada sebaran
marjin yang diterima oleh pihak sebelumnya (petani) dan setelahnya di mana nilai
sebaran marjin diduga akan lebih tinggi tanpa adanya lembaga atau pihak yang
dimaksud.
Di lain sisi, kedelai merupakan komoditi pangan yang umumnya dikonsumsi
setelah diolah terlebih dahulu. Sudaryanto dan Swastika dalam Sumarno et al.
(2007) menyatakan bahwa sekitar lebih dari 90% kedelai di Indonesia
dimanfaatkan sebagai bahan pangan olahan. Hal ini mengindikasikan adanya
pihak-pihak pengolah yang membutuhkan kedelai sebagai bahan baku
produksinya. Proses mengalirkan kedelai dari petani sebagai produsen menuju
konsumen akhir atau pun pihak-pihak pengolah tersebut memerlukan biaya
tataniaga tertentu. Sementara itu, lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat
cenderung menginginkan adanya keuntungan besar dari kegiatan tataniaga yang
dilakukannya, sehingga biaya yang dikeluarkan akan dilimpahkan kepada
konsumen atau produsen. Pilihan yang tercipta adalah konsumen akhir akan
membayar harga yang cenderung tinggi atau produsen (petani) akan menerima
harga yang cenderung rendah.
Beberapa hal yang telah diuraikan tersebut membuat perlunya dilakukan
penelitian terhadap analisis sisem tataniaga kedelai di Desa Cipeuyeum,
Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur. Adapun permasalahan yang akan
dijawab dalam penelitian ini adalah:
6
1. Bagaimana tataniaga kedelai di Desa Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi,
Kabupaten Cianjur dilihat dari pendekatan fungsi dan kelembagaan?
2. Bagaimana tataniaga kedelai di Desa Cipeueyeum, Kecamatan Haurwangi,
Kabupaten Cianjur dilihat dari pendekatan struktur dan perilaku pasar?
3. Bagaimana tingkat efisiensi tataniaga kedelai di Desa Cipeuyeum, Kecamatan
Haurwangi, Kabupaten Cianjur?
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi saluran, lembaga, dan fungsi tataniaga kedelai di Desa
Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur
2. Menganalisis struktur dan perilaku pasar kedelai di Desa Cipeuyeum,
Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur
3. Menganalisis efisiensi tataniaga kedelai pada setiap saluran yang ada dengan
pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan terhadap
biaya (π/c)
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, yaitu:
1. Penulis
Penelitian ini diharapkan menjadi sarana untuk mengaplikasikan ilmu
yang telah diperoleh penulis khususnya di bidang tataniaga produk agirbisnis.
2. Pihak akademisi
Penelitian ini diharapkan juga menjadi sumber informasi bagi pihak
akademisi sehingga dapat dilakukan perbaikan secara berkesinambungan
terhadap permasalahan tataniaga kedelai khususnya di Kabupaten Cianjur.
3. Lembaga dan pihak terkait
Penelitian ini diharapkan juga menjadi referensi tertentu bagi lembaga
atau pihak-pihak (seperti Dinas Pertanian, penyuluh pertanian, atau kelompok
tani) yang secara langsung atau tidak terlibat dalam kegiatan tataniaga kedelai.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi untuk mengidentifikasi dan mengaji seluruh saluran
tataniaga kedelai di Desa Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur
dalam bentuk bijian (kedelai polong tua) dan hijauan (kedelai polong muda), tidak
termasuk kedelai yang akan dijadikan pakan. Dengan demikian, alur penelitian ini
berhenti pada pihak yang membeli kedelai untuk diolah menjadi bentuk selain
bijian dan hijauan. Pihak yang berperan sebagai pengolah atau pabrikan tersebut
kemudian disetarakan posisinya dengan konsumen akhir walaupun bukan
merupakan konsumen akhir. Adapun konsumen akhir yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah konsumen yang membeli kedelai baik dalam bentuk bijian
maupun hijauan dari pihak pedagang pengecer. Penelitian ini tidak melakukan
identifikasi lebih kanjut mengenai karakteristik konsumen akhir tersebut.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Keragaan Kedelai
Kedelai, atau yang bernama latin Glicine max, merupakan tanaman yang
termasuk famiy Leguminosae. Tanaman ini diduga berasal dari Cina dan
kemudian dikembangkan ke berbagai negara seperti negara-negara bagian
Amerika, Amerika Latin, dan Asia. Di Indonesia, kedelai pertama kali
dikembangkan di Pulau Jawa dan Bali sekitar tahun 1750-an.
Kedelai dapat dikembangkan dengan teknis budidaya yang sederhana. Nazar
et al. (2008) menyatakan bahwa pengembangan kedelai dapat dilakukan baik di
lahan sawah (basah) maupun lahan kering. Tanaman ini juga dapat tumbuh di
berbagai jenih tanah dengan syarat drainase (tata air) dan aerasi (tata udara) tanah
cukup baik. Di satu sisi, kedelai merupakan salah satu tanaman yang tidak dapat
bertahan dalam tanah dengan tingkat kemasaman yang tinggi dan keadaan
tergenang air.
Selain itu, kondisi ideal daerah yang dapat ditanami kedelai adalah memiliki
curah hujan 100-400 mm/bulan, suhu udara 23-30°C, kelembaban 60-70%, pH
tanah 5.8-7.0, dan ketinggian kurang dari 600 m di atas permukaan laut. Perlu
diperhatikan juga bahwa lahan tanam kedelai sebaiknya bebas dari kandungan
atau wabah nematoda. Kedelai varietas unggulan pada awalnya umum
dibudidayakan di wilayah Jepang, Taiwan, Kolumbia, Amerika Serikat, dan
Filipina. Saat ini, Badan Penelitian dan Pengembangan Indonesia telah
mengembangkan varietas-varietas lokal. Beberapa varietas lokal yang menjadi
unggulan adalah Wilis, Burangrang, Kaba, Anjasmoro, dan Sinabung.
Harsono et al. (2008) menyatakan bahwa penanaman kedelai berguna untuk
meningkatkan kesuburan tanah, karena akar-akar kedelai akan mengikat Nitrogen
yang terdapat di udara sehingga memperbanyak ketersediaan Nitrogen di dalam
tanah. Di samping itu, kedelai juga memiliki peranan penting sebagai bahan
pangan utama ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Kedelai merupakan
sumber protein yang tinggi. Protein yang terkandung dalam kedelai ini memiliki
peranan penting bagi peningkatan gizi masyarakat Indonesia. Kedelai umumnya
dikonsumsi dalam bentuk produk olahan seperti tahu, tempe, tauco, kecap, susu,
atau pun produk olahan lainnya.
Permasalahan dalam Pengembangan Agribisnis Kedelai di Indonesia
Suryana dalam Harsono et al. (2008) mengemukakan bahwa permasalahan
dalam pengembangan agribisnis kedelai di Indonesia dapat ditinjau dari beberapa
aspek. Aspek-aspek yang dimaksud adalah aspek penelitian dan pengembangan,
sistem produksi, penanganan panen dan pascapanen, distribusi dan pemasaran
atau tataniaga, serta kelembagaan. Berikut merupakan penjelasan dari masingmasing aspek tersebut.
Aspek Penelitian dan Pengembangan
Beberapa permasalahan yang terdapat pada aspek penelitian dan
pengembangan komoditas kedelai di Indonesia dapat dipisahkan menjadi
8
kelemahan internal dan ancaman eksternal. Kelemahan internal meliputi: (1)
belum adanya kontinyuitas pemenuhan kebutuhan peneliti baik secara kualitas
maupun kuantitas, (2) belum optimalnya diseminasi hasil, serta (3) kurangnya
konsistensi program-program penelitian. Ancaman eksternal yang dihadapi antara
lain: (1) adanya sistem diseminasi dan alih teknologi yang dinilai belum memadai,
(2) penerimaan tenaga peneliti yang belum memadai, serta (3) kurangnya
penghargaan terhadap hasil karya peneliti.
Aspek Pembenihan
Permasalahan yang dihadapi pada aspek pembenihan kedelai di Indonesia
juga dapat dibedakan menjadi permasalahan internal dan eksternal. Contoh
kendala internal yang dihadapi adalah inkonsistensi alur benih dari benih sumber
hingga benih sebar, pendeknya umur label sertifikat benih, dan belum
berkembangnya industri benih dengan baik. Contoh kendala eksternal seperti
kurangnya insentif harga benih bagi para penangkar, menurunnya kepercayaan
petani terhadap mutu benih yang diperoleh dari kios, serta adanya budaya di
beberapa petani yang membuat benih asalan.
Aspek Sistem Produksi
Identifikasi permasalahan pada aspek sistem produksi dapat dibedakan
menjadi hambatan internal dan ancaman eksternal yang dihadapi. Hambatan
internal antara lain meliputi terbatasnya ketersediaan terhadap sarana produksi,
lemahnya sistem penyuluhan, dan terbatasnya akses petani terhadap sumber
pemodalan. Sarana produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida yang baik dan
bermutu tidak dapat dijangkau oleh petani karena tingginya harga beli produkproduk tersebut. Di satu sisi, petani tidak memiliki akses yang baik terhadap
sumber modal, sehingga banyak petani kedelai yang semakin enggan menanam
kedelai dan membuat produksi kedelai nasional terus mengalami penurunan.
Adapun beberapa ancaman eksternal yang dihadapi adalah tingginya impor
kedelai yang menjadikan usahatani kedelai dalam negeri kurang kompetitif,
adanya cekaman Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), dan anomali iklim
yang menyebabkan gagal panen.
Aspek Panen dan Pascapanen
Beberapa kendala yang dihadapi pada aspek panen dan pascapanen seperti
kehilangan hasil panen yang tinggi, penerapan teknologi yang belum memadai,
terbatasnya modal untuk membeli alsintan, makin meningkatnya biaya
operasional alsintan, belum adanya insentif harga yang memadai bagi produk
(hasil panen) yang bermutu, dan terbatasnya tenaga kerja pengolah.
Penerapan teknologi yang tergolong masih sangat sederhana menyebabkan
petani sering kehilangan beberapa bagian dari hasil panennya. Misalnya, petani
yang tidak menggunakan alas jemur untuk biji-biji kedelainya akan kehilangan
cukup banyak hasil panennya. Sementara itu, petani juga menghadapi
permasalahan modal untuk memiliki alsintan yang memadai. Hal ini
menyebabkan proses panen dan beberapa kegiatan pascapanen menjadi tidak
efisien.
9
Aspek Distribusi dan Tataniaga
Kendala internal yang dihadapi dalam aspek ini seperti lemahnya daya tawar
petani dan sistem informasi pasar, tingginya impor kedelai dengan harga murah,
panjangnya rantai tataniaga, dan mahalnya biaya transportasi. Panjangnya rantai
tataniaga dari produsen hingga konsumen pada umumnya menyebabkan tidak
efektifnya proses tataniaga yang terjadi. Di beberapa daerah, sistem informasi
pasar belum terbentuk sehingga tida ada titik temu antara produsen primer dengan
konsumen akhir. Hal ini menyebabkan nilai jual kedelai di tingkat petani
khususnya sering mengalami fluktuasi.
Aspek Kelembagaan
Kendala-kendala yang dihadapi pada aspek kelembagaan adalah seperti
lemahnya sistem penyuluhan, tidak optimalnya kinerja kelompok tani, dan
terbatasnya akses petani terhadap lembaga permodalan. Di satu sisi, terdapat
beberapa kendala eksternal seperti menurunnya kepercayaan petani terhadap
kelembagaan yang ada, rendahnya komitmen pimpinan dan anggota lembaga
dalam menjalankan fungsi kelembagaan, dan inkonsistensi peraturan yang
terdapat di tingkat pusat dan daerah.
Strategi Pengembangan Agribisnis Kedelai di Indonesia
Permintaan atau kebutuhan mesyarakat Indonesia terhadap komoditi kedelai
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk. Pemerintah, sebagai penetap kebijakan dan fasilisator, memiliki
peranan penting dalam hal ketahanan pangan termasuk untuk komoditas kedelai.
Harsono (2008) mengatakan bahwa pada tahun 1995, produksi kedelai mencapai
angka yang tinggi, yaitu 1.52 juta ton. Namun, produksi kedelai nasional
mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2007, yaitu 592 ribu ton.
Sehingga, kekurangan harus ditutupi dengan impor dalam jumlah yang besar di
mana jumlah permintaan kedelai saat itu adalah 1.94 juta ton. Hingga saat ini,
Indonesia masih melakukan impor dalam jumlah besar untuk menutupi
permintaan kedelai nasional.
Upaya menekan jumlah impor kedelai ditempuh dengan berbagai cara mulai
dari kebijakan di sub sistem hulu hingga hilir (pasca panen). Balitbangtan (2012)
menjabarkan startegi-strategi yang dapat ditempuh, meliputi strategi peningkatan
produktivitas, perluasan areal tanam, peningkatan efisiensi produksi, penguatan
kelembagaan petani, peningkatan kualitas produk, peningkatan nilai tambah,
perbaikan akses pasar, perbaikan sistem permodalan, pengembangan infrastruktur,
serta pengaturan tataniaga dan insentif usaha.
Peningkatan Produktivitas, Efisiensi Produksi, dan Kualitas Produk
Peningkatan produkvitas dilakukan melalui penggunaan varietas unggul dan
teknologi budidaya yang lebih baik. Teknologi budidaya ini meliputi pengelolaan
lahan, air, tanaman, dan organisme pengganggu tanaman atau yang dikenal
dengan sistem pengelolaan LATO. Penggunaan varietas berdampak pada sifat
tanaman yang dihasilkan, di antaranya hasil tinggi, umur genjah, dan tahan/toleran
terhadap cekaman biotik (hama dan penyakit) dan abiotik (lingkungan fisik).
10
Teknologi yang lebih baik dapat diterapkan pula pada kegiatan panen dan
pasca panen dengan alsintan yang mampu meningkatkan produksi kedelai sesuai
dengan potensi genetiknya. Alsintan yang digunakan baik untuk kegiatan panen
maupun pasca panen telah tersedia di pasar lokal. Penerapan teknologi ini mampu
menjawab startegi peningkatan prouktivitas, peningkatan efisiensi produksi, dan
peningkatan kualitas produk.
Pengembangan Infrastruktur dan Akses Pasar
Pada aspek distribusi dan tataniaga, faktor-faktor potensi yang telah
teridentifikasi antara lain infrastruktur distribusi yang dinilai telah memadai, aspek
transportasi yang tergolong lancar, dan telah terbentuknya wilayah-wilayah sentra
produksi. Infrasrtuktur dan transportasi yang dinilai pemerintah telah memadai
inilah yang diharapkan akan menjadi jawaban terciptanya sistem tataniaga kedelai
di Indonesia yang lebih efektif dan efisien, khususnya di wilayah-wilayah yang
menjadi sentra produksi.
Penguatan Kelembagaan
Pada aspek kelembagaan, potensi yang dapat dimanfaatkan adalah telah
berkembangnya lembaga permodalan (kredit) dalam berbagai skim,
berkembangnya kelembagaan alih teknologi, dan telah terbentuknya kelembagaan
kelompok tani. Berkembangnya berbagai skim lembaga permodalan seperti
Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP), Kredit Ketahanan Pangan (KKP),
dan lembaga keuangan mikro lainnya yang lebih mudah diakses petani menjadi
potensi yang besar bagi petani dalam memperoleh modal untuk menerapkan
teknologi yang lebih maju.
Kemajuan yang dialami oleh lembaga alih teknologi juga dapat dilihat dari
terbentuknya Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP) di tiap provinsi dan
revitalisasi penyuluhan pertanian untuk mempercepat proses alih teknologi dari
lembaga penelitian ke pengguna. Keberadaan kelompok tani merupakan wadah
yang efektif baik dalam penyaluran kredit, penyebaran informasi mengenai
perkembagan teknologi, maupun tataniaga hasil pertanian. Meskipun diakui dalam
hal tataniaga, kelompok tani pada umumnya belum menunjukkan dampak yang
baik bagi anggotanya (petani-petani kedelai).
Kebijakan-kebijakan yang terintegrasi dari subsistem hulu hingga hilir ini
merupakan langkah yang diambil pemerintah terkait dengan pengembangan
agribisnis kedelai di Indonesia. Kebijakan yang diputuskan dan
diimplementasikan tidak dapat hanya menitikberatkan pada salah satu aspek saja
tetapi merata di seluruh aspek agribisnis kedelai di Indonesia. Tataniaga menjadi
salah satu aspek penting yang tidak dapat dipisahkan dalam pengembangan
agribisnis kedelai di Indonesia.
Hasil Penelitian Terdahulu Mengenai Tataniaga Komoditi Pangan
Beberapa contoh penelitian terdahulu mengenai tataniaga komoditi pangan
adalah penelitian yang dilakukan oleh Meryani (2008) dengan judul “Analisis
Usahatani dan Tataniaga Kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat”, Gandhi (2008) dengan judul “Analisis Usahatani dan Tataniaga Padi
11
Varietas Unggul (Studi Kasus Padi Pandan Wangi di Kecamatan Warung
Kondang, Kabupaten Cianjur)”, Purba (2010) dengan judul “Analisis Tataniaga
Ubi Jalar (Studi Kasus: Desa Gunung Malang Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat)”, dan Aditama (2011) dengan judul “Analisis
Tataniaga Beras di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak”.
Permasalahan dalam Penelitian Terdahulu
Permasalahan mendasar yang dilakukan untuk penelitian mengenai tataniaga
komoditi pangan adalah rendahnya keuntungan yang diterima oleh petani bila
dibandingkan dengan lembaga tataniaga setelahnya. Penelitian yang dilakukan
Meryani (2008) menyatakan permasalahan itu terjadi karena pada umumnya
petani di wilayah penelitian tersebut tidak menjual produknya secara berkelompok
karena terdesak oleh kebutuhan, sehingga petani lebih memilih menjual
produknya dengan waktu yang tidak bersamaan. Gandhi (2008) menambahkan
bahwa tidak diolahnya hasil panen oleh petani menyebabkan terlalu banyaknya
lembaga yang akan terlibat dalam rantai tataniaga yang akan menyebabkan
panjangnya rantai tataniaga yang tercipta. Hal ini mengakibatkan besarnya
perbedaan harga produk yang diterima oleh petani dan konsumen akhir.
Selain hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Purba (2010) juga
didasari dengan permasalahan kurangnya pengetahuan petani terhadap informasi
harga, sehingga petani akan menerima harga yang diberikan oleh tengkulak tanpa
memperhitungkan harga yang tercipta di pasar saat itu. Aditama (2011) juga
menyatakan bahwa adanya ketidakstabilan dalam ketersediaan produk
menyebabkan fluktuasi harga yang tidak dapat dikontrol oleh petani sehingga
petani tidak memiliki kekuatan untuk menentukan harga.
Permasalahan yang mendasari penelitian ini adalah kecenderungan petani
kedelai di Desa Cipeuyeum untuk menjual langsung hasil panennya tanpa
melakukan beberapa kegiatan pascapanen sederhana untuk memberikan nilai
tambah pada kedelainya terlebih dahulu. Penjualan langsung yang dimaksud
adalah penjualan dengan sistem borong. Hal ini berdampak pada rendahnya harga
yang diterima oleh petani. Di satu sisi, kedelai merupakan tanaman pangan yang
pada umumnya dikonsumsi dalam bentuk produk olahan. Hal ini cenderung akan
menyebabkan banyaknya mata rantai tataniaga yang ada yang dapat menjadi salah
satu indikator tidak efisiennya saluran tataniaga yang tercipta. Sistem tataniaga
juga diduga kurang efisien dikarenakan adanya pihak atau lembaga tataniaga yang
melakukan fungsi yang cenderung sama.
Lembaga, Saluran, dan Fungsi Tataniaga dalam Penelitian Terdahulu
Lembaga-lembaga yang terlibat dalam tataniaga komoditi pangan pada
umumnya terbilang cukup banyak. Terdapat delapan lembaga tataniaga dalam
penelitiaan yang dilakukan Meryani (2008), enam lembaga tataniaga dalam
penelitian Gandhi (2008), lima lembaga tataniaga dalam penelitian Purba (2010),
dan empat lembaga tataniaga dalam penelitian Aditama (2010). Penelitian dengan
ruang lingkup kecamatan, menghasilkan identifikasi jumlah saluran tataniaga
yang lebih banyak dibandingkan dengan penelitian dengan ruang lingkup desa.
Penelitian ini mengidentifikasi lembaga dan saluran tataniaga kedelai yang
merupakan komoditi yang umumnya dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan
pakan dengan ruang lingkup satu desa. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis
12
fungsi-fungsi yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga. Fungsi-fungsi
tersebut terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas.
Kajian terhadap penelitian-penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa pada
umumnya, petani merupakan lembaga yang paling sedikit melakukan aktivitas
fungsi tataniaga. Petani hanya akan melakukan fungsi pertukaran dan fungsi
fasilitas. Gandhi (2008) dalam hasil penelitiannya, menyatakan bahwa petani
enggan untuk melakukan fungsi fisik dikarenakan kurangnya pengetahuan,
keahlian, dan modal untuk melakukannya. Fungsi fisik seperti pengolahan,
pengemasan, dan penyimpanan akan dilakukan oleh lembaga tataniaga setelahnya.
Efisiensi Saluran Tataniaga dalam Penelitian Terdahulu
Meryani (2008), dalam penelitian yang dilakukannya, menyimpulkan satu
saluran tataniaga yang paling efisien berdasarkan paling rendahnya marjin yang
ada (Rp1 000), paling tingginya nilai farmer’s share (77.78%), dan rasio π/c yang
relatif besar (6.30) dibandingkan saluran lainnya walaupun bukan merupakan nilai
rasio π/c terbesar. Penentuan juga dilakukan dengan melihat pangsa marjin dan
marjin bersih yang cenderung telah merata di setiap tingkat lembaga tataniaga
pada saluran tersebut.
Purba (2010) menyimpulkan satu saluran tataniaga paling efisien yang
merupakan saluran tataniaga terpendek. Saluran ini terdiri dari tiga lembaga
tataniaga termasuk petani sebelum akhirnya produk sampai ke tangan konsumen
akhir. Selain itu, analisis kuantitatif yang dilakukan menyatakan bahwa saluran ini
memiliki marjin tataniaga terkecil yang bernilai Rp325 dengan FS terbesar
(74.51%), dan analisis π/c terbesar yang bernilai 1.17. Pendeknya rantai tataniaga
tersebut memotong biaya-biaya yang kurang efektif, sehingga menghasilkan
marjin yang bernilai jauh lebih rendah dibandingkan saluran lainnya (1/3 dari nilai
marjin terendah berikutnya). Petani pun mendapatkan bagian cukup tinggi dari
nilai yang dibayarkan konsumen akhir.
Penelitian yang dilakukan Aditama (2011), menyimpulkan satu saluran
paling efisien berdasarkan marjin terkecil (Rp1 464) dan nilai farmer’s share
terbesar (71%), sedangkan jika melihat rasio π/c, terdapat beberapa saluran yang
lebih efisien. Saluran dengan marjin terkecil dan nilai farmer’s share terbesar
inilah yang memberikan prospek besar bagi petani sehingga volume penjualan
terbesar dilakukan melalui saluran yang dimaksud.
Gandhi (2008) memandang efisiensi saluran tataniaga dari sudut produsen
atau penjual dan dari sudut konsumen. Terdapat dua jenis beras pandan wangi,
yaitu jenis super dan kepala. Keduanya memiliki saluran tataniaga terefisien yang
berbeda. Saluran yang lebih efisien bagi konsumen dilihat dari nilai marjin
terkecil, sedangkan saluran yang lebih efisien bagi produsen dilihat dari biaya
terkecil dan total keuntungan terbesar. Perhitungan FS menunjukkan 53.52%
untuk nilai FS terbesar dan 41.67% untuk nilai FS terkecil pada rantai tataniaga
beras pandan wangi jenis super.
Secara umum, berdasarkan penelitian efisiensi terhadap komoditi pangan
menggambarkan bahwa nilai FS menunjukkan rata-rata angka di atas 50%. Hal ini
berarti petani mendapatkan sekitar setengah dari harga yang dibayarkan konsumen.
Berdasarkan perhitungan marjin, khususnya bagi komoditi yang termasuk tiga
pangan utama di Indonesia (dalam hal ini adalah padi atau beras dan kedelai), nilai
marjin terkecil menunjukkan angka yang cukup besar dibandingkan dengan ubi
13
jalar. Nilai π/c yang terbesar diperoleh dari rantai tataniaga pada komoditi kedelai,
hal ini dapat menjadi indikator bahwa komoditi kedelai memiliki prospek
keuntungan yang lebih baik di antara komoditi pangan lainnya.
Penelitian ini menganalisis tataniaga kedelai melalui analisis kualitatif dan
kuantitatif. Sama halnya dengan penelitan terdahulu, analisis kuantitatif juga
dilakukan dengan memperhitungkan nilai marjin, farmer’s share, dan rasio
keuntungan terhadap biaya. Saluran tataniaga dengan marjin terkecil, farmer’s
share terbesar, dan rasio π/c yang relatif besar, idealnya akan menjadi saluran
tataniaga yang paling efisien.
Hasil Penelitian Terdahulu Mengenai Kedelai
Hasil penelitian terdahulu mengenai kedelai yang dapat dijadikan referensi
untuk penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Purwanto (2011)
dengan judul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Kacang Kedelai
Nasional Periode 1987-2007”, dan Facino (2012) dengan judul “Penawaran
Kedelai Dunia dan Permintaan Kedelai Indonesia serta Kebijakan Perkedelaian
Nasional”. Purwanto (2011) mengangkat permasalahan tingginya permintaan
kacang kedelai dunia untuk pangan serta berkurangnya pasokan kacang kedelai
dari negara-negara produsen utama sebagai dampak aktivitas produksi biofuel di
negaranya, merupakan pemacu peningkatan harga kacang kedelai dunia termasuk
Indonesia. Sementara itu, permasalahan utama yang mendasari penelitian Facino
(2012) adalah ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai untuk memenuhi
permintaan nasional yang cenderung meningkat.
Produksi kedelai, menurut Purwanto (2011), merupakan salah satu faktor
utama yang mempengaruhi nilai impornya. Facino (2012) menyimpulkan bahwa
hanya sekitar 36.59% dari permintaan kedelai nasional yang dapat dipenuhi oleh
produksi dalam negeri dan lebih dari setengah permintaan nasional dipenuhi lewat
produk impor. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu memenuhi
ketahanan pangan bagi komoditas kedelai. Hal ini kemudian diperburuk dengan
berkurangnya penawaran kedelai dunia yang berimbas pada semakin mahalnya
harga kedelai impor. Mahalnya harga kedelai impor mengakibatkan harga kedelai
Indonesia berfluktuasi dan cenderung meningkat akibat penurunan produksi
kedelai dalam negeri sementara permintaan kedelai impor semakin tinggi.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan umum terkait komoditi
kedelai di Indonesia, yaitu adanya impor kedelai yang masih terhitung besar untuk
menutupi permintaan nasional yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi lokal.
Selanjutnya, penelitian ini menghususkan pembahasan mengenai analisis tataniaga
kedelai yang merupakan salah satu faktor penting yang perlu dikembangkan
dalam upaya pengembangan agribisnis kedelai di Indonesia.
14
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Definisi Tataniaga
Asmarantaka (2012) mendefinisikan tataniaga dari perspektif makro sebagai
segala kegiatan dalam mengalirkan produk mulai dari petani sebagai produsen
primer hingga konsumen akhir. Terdapat banyak kegiatan produktif selama proses
mengalirkan produk yang dimaksudkan untuk menambah nilai guna dengan
tujuan memenuhi kepuasan konsumen akhir. Penambahan nilai guna yang
dimaksud adalah berupa bentuk, tempat, waktu, dan kepemilikan. Rahim dan
Hastuti (2008) menyatakan hal serupa, bahwa dalam tataniaga atau yang juga
dapat dikatakan dengan pemasaran tidak hanya memiliki arti menawarkan atau
menjual barang. Tataniaga mencakup berbagai kegiatan, di antaranya penjualan,
pembelian, pengangkutan, penyimpanan, penyortiran, dan sebagainya.
Boyd, Walker, and Larreche dalam Asmarantaka (2012) juga
mendefinisikan pemasaran atau tataniaga sebagai suatu proses sosial dengan
kegiatan yang memungkinkan pihak-pihak terlibat mendapatkan apa yang
dibutuhkan melalui pertukaran produk kepada pihak lainnya. Berdasarkan definisi
tersebut, tujuan tataniaga adalah pencapaian kepuasan kebutuhan konsumen di
mana untuk mencapai kepuasan tersebut dilakukanlah serangkaian kegiatan
identifikasi, komunikasi, negosiasi, pengolahan, dan sebagainya terhadap barang
atau jasa yang diperjualbelikan.
Pendekatan Tataniaga
Terdapat beberapa cara dalam melakukan pendekatan pada suatu sistem
tataniaga. Setiap pendekatan-pendekatan memiliki perspektif dasar dan cara
berpikir tersendiri terhadap suatu proses tataniaga. Pendekatan yang umum
digunakan adalah melalui tiga pendekatan seperti yang didefinisikan Kohls and
Uhl (2002), yaitu pendekatan fungsi, pendekatan kelembagaan, dan pendekatan
sistem perilaku.
Salah satu cara pengklasifikasian aktivitas-aktivitas yang terjadi dalam suatu
proses tataniaga adalah dengan cara membagi aktivitas-aktivitas tersebut ke dalam
fungsi-fungsi tertentu. Inilah yang dimaksudkan dengan pendekatan fungsi. Setiap
aktivitas yang dilakukan ditujukan untuk meningkatkan nilai guna suatu produk
dengan tujuan mencapai kepuasan konsumen. Kohl and Uhl (2002) membagi
fungsi tataniaga menjadi tiga, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi
fasilitas. Masing-masing fungsi terdiri dari berbagai aktivitas. Fungsi pertukaran
terdiri dari aktivitas pembelian dan penjualan. Fungsi fisik dapat terdiri dari
aktivitas pengolahan, transportasi, dan penyimpanan. Fungsi fasilitas terdiri dari
aktivitas seperti manajemen keuangan, standardisasi produk, dan penanggungan
risiko.
Pendekatan lain dapat dilakukan dengan analisis terhadap lembaga-lembaga
yang terlibat atau stukrtur bisnis yang terdapat dalam suatu sistem tataniaga.
Pendekatan ini disebut dengan pendekatan institusional. Asmarantaka (2012)
menyebutkan bahwa kelembagaan tataniaga mencakup berbagai organisasi atau
15
kelompok bisnis yang menjalankan fungsi-fungsi tataniaga. Tidak semua lembaga
melakukan semua fungsi.
Adapun lembaga-lembaga tataniaga, menurut Kohls and Uhl (2002), yang
dimaksud dapat dibedakan menjadi pedagang perantara, agen perantara,
spekulator, pedagang pengolah atau manufaktur, dan organisasi. Pedagang
perantara sendiri dapat dibedakan menjadi pedagang pengumpul, pengecer dan
grosir. Sementara itu, agen perantara juga dapat dibedakan menjadi broker dan
komisioner. Berdasarkan definisi dan jenis-jenis lembaga tataniaga tersebut, dapat
dikatakan bahwa petani bukan merupakan lembaga tataniaga, demikian juga
dengan konsumen akhir. Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dalam Yunar (2013), konsumen akhir adalah pemakai atau pihak yang
mengonsumsi barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan individu, keluarga,
atau rumah tangganya tanpa maksud untuk diperdagangkan kembali.
Pendekatan yang ketiga yang umum digunakan dalam menganalisis suatu
s
CIPEUYEUM, KECAMATAN HAURWANGI,
KABUPATEN CIANJUR
ALDHA HERMIANTY ALANG
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Sistem
Tataniaga Kedelai di Desa Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten
Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Aldha Hermianty Alang
NIM H34090030
iv
ABSTRAK
ALDHA HERMIANTY ALANG. Analisis Sistem Tataniaga Kedelai di Desa
Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh HENY
KUSWANTI SUWARSINAH.
Kedelai adalah tanaman pangan terpenting ketiga di Indonesia setelah padi
dan jagung. Permintaan terhadap kedelai di Indonesia mengalami peningkatan
setiap tahun. Hingga saat ini, Indonesia belum mampu untuk memenuhi
permintaan nasional akan kedelai. Ketidakmampuan ini dapat diatasi dengan
melakukan perbaikan pada sistem agribsnis kedelai di mana tataniaga merupakan
salah satu aspek yang perlu diperbaiki. Perbaikan dalam aspek tataniaga dapat
dimulai dari daerah sentra produksi kedelai. Jawa Barat merupakan provinsi
kelima penghasil kedelai terbesar di Indonesia. Desa Cipeuyeum, Kabupaten
Cianjur merupakan salah satu daerah penghasil kedelai di Jawa Barat. Terdapat
empat saluran tataniaga dengan lima lembaga yang diidentifikasi dengan metode
snowball. Lembaga-lembaga tataniaga ini masing-masing melakukan fungsi dan
menghadapi struktur pasar yang beragam. Analisis kuantitatif menunjukkan satu
saluran tataniaga yang paling efisien dengan marjin sebesar Rp917.00, nilai
farmer’s share sebesar 85.89%, dan rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 7.06.
Kata kunci: agribisnis kedelai, Desa Cipeuyeum, efisien, permintaan kedelai,
tataniaga
ABSTRACT
ALDHA HERMIANTY ALANG. Marketing System Analysis of Soy in
Cipeuyeum Village, Subdistrict Haurwangi, Cianjur Regency. Supervised HENY
KUSWANTI SUWARSINAH.
Soy is the third most important food crop in Indonesia after rice and corn.
Demand for soy in Indonesia has increased every year. Until now, Indonesia has
been unable to meet the national demand for soy. This inability can be overcome
by improving soy agribusiness system where marketing system is one aspect that
needs to be fixed. Improvement of the marketing system aspect can be started
from the central areas of soy production. West Java is the fifth province with the
largest value of soy productivity in Indonesia. Cipeuyeum village, Cianjur
regency is one of soy producing area in West Java. There are four channels of
marketing system in this village with five institutions tha identified with the
snowball method. This marketing system institutions perform each functions and
face the diverse market structures. Quantitative analysis showed the most efficient
channel with Rp917.00 for the marketing margin, 85.89% for the farmer’s share
value, and 7.06 for ratio of profit to cost.
Keywords: Cipeuyeum village, demand for soy, efficient, marketing, soy
agribusiness
ANALISIS SISTEM TATANIAGA KEDELAI DI DESA
CIPEUYEUM, KECAMATAN HAURWANGI,
KABUPATEN CIANJUR
ALDHA HERMIANTY ALANG
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
vi
Judul Skripsi: Analisis Sistem Tataniaga Kedelai di Desa Cipeuyeum, Kecamatan
Haurwangi, Kabupaten Cianjur
: Aldha Hermianty Alang
Nama
NIM
: H34090030
Disetujui oleh
Dr Ir Hen
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
0 5 SEP 2013
Judul Skripsi : Analisis Sistem Tataniaga Kedelai di Desa Cipeuyeum, Kecamatan
Haurwangi, Kabupaten Cianjur
Nama
: Aldha Hermianty Alang
NIM
: H34090030
Disetujui oleh
Dr Ir Heny Kuswanti Suwarsinah, MEc
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen Agribisnis
Tanggal Lulus:
viii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah yang adalah kasih adanya
atas segala rancangan-rancangan indah-Nya selama proses penyelesaian skripsi
ini. Penelitian dengan topik tataniaga produk agribisnis ini dilakukan mulai dari
bulan April 2013 dan mengangkat judul, Analisis Sistem Tataniaga Kedelai di
Desa Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Heny Kuswanti Suwarsinah,
MEc selaku dosen pembimbing skripsi serta Ibu Dr Ir Ratna Winandi, MS dan Ibu
Ir Popong Nurhayati, MM selaku dosen penguji dalam ujian skripsi atas semua
saran yang diberikan demi penyempurnaan skripsi ini. Penghargaan besar juga
penulis sampaikan kepada Bapak Jaenal selaku ketua Poktan Mandiri dan
Gapoktan Saluyu Desa Cipeuyeum, Bapak Abas selaku Penyuluh Pertanian
Lapang Desa Cipeuyeum, seluruh staf Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur dan
Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Haurwangi, serta segala pihak yang
terlibat langsung selama proses pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada kerabat dan keluarga, secara khusus ayah dan kakak atas
setiap dukungan moril yang diberikan, sehingga skripsi ini dapat selesai pada
waktu yang terbaik.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013
Aldha Hermianty Alang
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
7
Keragaan Kedelai
7
Permasalahan dalam Pengembangan Agribisnis Kedelai di Indonesia
8
Strategi Pengembangan Agribisnis Kedelai di Indonesia
9
Hasil Penelitian Terdahulu mengenai Komoditi Pangan
10
Hasil Penelitian Terdahulu mengenai Kedelai
13
KERANGKA PEMIKIRAN
14
Kerangka Pemikiran Teoritis
14
Kerangka Pemikiran Operasional
19
METODE PENELITIAN
21
Lokasi dan Waktu Penelitian
21
Jenis dan Sumber Data
21
Metode Penentuan Responden dan Pengumpulan Data
21
Metode Analisis dan Pengolahan Data
22
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
24
Karakteristik Wilayah
24
Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat
25
Karakteristik Petani Responden
26
Karakteristik lembaga tataniaga yang terlibat
28
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Saluran dan Lembaga Tataniaga
29
29
x
Analisis Fungsi-fungsi Tataniaga Petani dan Lembaga yang Terlibat
34
Analisis Struktur Pasar
38
Analisis Perilaku Pasar
40
Analisis Marjin Tataniaga
42
Analisis Farmer’s Share
47
Analisis Rasio Keuntungan terhadap Biaya
48
SIMPULAN DAN SARAN
49
Simpulan
49
Saran
49
DAFTAR PUSTAKA
50
LAMPIRAN
52
RIWAYAT HIDUP
58
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12
13.
14
15.
16.
Luas panen, produksi, dan produktivitas kedelai nasional tahun
2010-2012
Produksi kedelai di lima provinsi sentra produksi nasional tahun
2008-2012
Target dan realisasi tanam, panen, produksi, dan produktivitas
kedelai Kabupaten Cianjur tahun 2011
Target dan realisasi produksi kedelai di lima kecamatan sentra
produksi Kabupaten Cianjur 2011
Perbandingan struktur pasar dalam industri
Jenis dan sumber data
Mata pencaharian pokok penduduk Desa Cipeuyeum
Karakteristik petani responden berdasarkan kelompok usia
Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan
Karakteristik petani responden berdasarkan lama berusahatani
kedelai
Karakteristik petani responden berdasarkan status kepemilikan
lahan
Karakteristik mayoritas lembaga tataniaga yang terlibat
Fungsi dan aktivitas setiap lembaga tataniaga kedelai di Desa
Cipeueyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur
Analisis marjin tataniaga kedelai di Desa Cipeuyeum, Kecamatan
Haurwangi, Kabupaten Cianjur
Nilai Farmer’s Share setiap saluran tataniaga kedelai di Desa
Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur
Nilai rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga kedelai di Desa
Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur
2
3
3
4
16
21
25
26
27
27
28
29
37
43-44
47
48
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
Konsep marjin tataniaga
Kerangka pemikiran operasional
Skema aliran kedelai yang dijual petani tidak dengan sistem
borong
Skema aliran kedelai yang dijual petani dengan sistem
borong
18
20
32
32
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
Rincian biaya tataniaga kedelai di Desa Cipeuyeum, Kecamatan
Haurwangi, Kabupaten Cianjur
Kuesioner di tingkat petani
Kuesioner di tingkat lembaga tataniaga setelah petani
52
53-54
55-57
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan ekonomi yang tepat dalam suatu negara didasari pada
keunggulan komparatif yang dimilikinya. Asmarantaka (2012) mendefinisikan
keunggulan komparatif sebagai keunggulan dalam spesialisasi produk yang
dimiliki oleh suatu negara berdasarkan jumlah yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan negara lain. Selanjutnya, melalui pembangunan yang
bertahap dan konsisten, keunggulan komparatif ini dikembangkan menjadi
keunggulan kompetitif, tidak ada hanya melihat pada spesialisasi produk yang
dimiliki. Hal ini dikemukakan oleh Saragih (2000) yang kemudian menyatakan
bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif dari segi keanekaragaman
sumber daya hayati. Kegiatan ekonomi yang memanfaatkan keunggulan ini adalah
sektor pertanian dalam arti luas, yang dikenal dengan sistem agribisnis.
Lampiran Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16/Permentan/OT.140/
2/2008 dalam buku Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan
PUAP sebagaimana dikutip oleh Krisnamurthi et al. (2010) mendefinisikan
agribisnis sebagai:
“Rangkaian kegiatan usaha pertanian yang terdiri atas 4 (empat) sub-sistem, yaitu:
(a) subsistem hulu yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi
(input) pertanian; (b) subsistem pertanian primer yaitu kegiatan ekonomi yang
menggunakan sarana produksi yang dihasilkan subsistem hulu;
(c) subsistem
agribisnis hilir yaitu yang mengolah dan memasarkan komoditas pertanian; dan (d)
subsistem penunjang yaitu kegiatan yang menyediakan jasa penunjang antara lain
permodalan, teknologi, dan lain-lain”.
Berdasarkan definisinya, sistem agribisnis memiliki cakupan luas dan
peranan penting bagi pembangunan Indonesia. Salah satu peranan agribisnis
sebagaimana dinyatakan oleh Saragih (2000) adalah pemenuhan terhadap bahan
pangan. Pemenuhan yang dimaksud, yaitu ketersediaan berbagai jenis dan kualitas
pangan baik dari segi jumlah, waktu, maupun tempat yang terjangkau.
Komoditi pangan sendiri, menurut Deptan (2012), memiliki peranan pokok
sebagai pemenuh kebutuhan pangan, pakan, dan industrinya yang jumlah
permintaannya cenderung mengalami kenaikan setiap tahun. Kenaikan ini terjadi
seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri
pangan dan pakan.
Harsono (2008) menyatakan bahwa kedelai merupakan komoditi pangan
terpenting ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Kedelai memiliki peranan
sebagai sumber protein nabati bukan hanya untuk kepentingan industri pangan,
tetapi juga industri pakan. Konsumsi kedelai di Indonesia mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Selanjutnya, Harsono (2008) menyebutkan bahwa komsumsi
kedelai di Indonesia pada tahun 2008 adalah 1.9 juta ton dan diramalkan akan
mencapai angka 2.6 juta ton pada tahun 2020. Sementara itu, Menteri
Perdagangan, Gita Wiryawan dalam Antaranews (2012) menyatakan bahwa angka
2.6 juta ini telah tercapai pada tahun 2012.
Peningkatan nilai konsumsi tersebut tidak diikuti dengan bertambahnya nilai
produksi nasional. Padahal pada periode sebelum tahun 1975, Indonesia mampu
mencapai swasembada kedelai. Swastika dalam Sumarno et al. (2007)
2
menyatakan bahwa saat itu, nisbah (nilai rasio) produksi-konsumsi kedelai di
Indonesia mencapai nilai lebih besar dari 1 yang berarti bahwa nilai produksi lebih
besar dibandingkan dengan nilai konsumsi. Saat ini, Indonesia belum dapat
memenuhi kebutuhan konsumsi kedelai dalam negeri. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah produksi yang tidak dapat menutupi jumlah konsumsi (tabel 1), sehingga
mengakibatkan dilakukannya impor kedelai untuk memenuhi kelebihan
permintaan yang ada. Hal ini disebutkan juga oleh Purwanto (2011), bahwa
rendahnya produksi yang tidak dapat memenuhi permintaan atau konsumsi
kedelai nasional inilah yang menjadi faktor utama dilakukannya impor terhadap
komoditas kedelai.
Tabel 1 Luas panen, produksi, dan produktivitas kedelai nasional tahun 20102012
Tahun
Luas panen (ha)
Produksi (ton)
Produktvitas (ton ha-1)
2010
660 823
907 031
1.373
2011
622 254
851 286
1.368
2012
566 693
779 741
1.367
a
Sumber: Deptan (2012)
Harsono (2008) menyatakan bahwa mulai tahun 2008, kedelai sudah
menjadi barang langka. Pada tahun tersebut, harga kedelai mengalami
peningkatan dari Rp3 500 menjadi Rp8 500. Kondisi ini menyulitkan konsumen
juga industri pengolahan kedelai yang pada akhirnya melakukan pengurangan
jumlah produksi dan/atau ukuran produk mereka. Oleh sebab itu, Harsono
menambahkan bahwa diperlukan perbaikan dan pengembangan terhadap sistem
agribisnis kedelai secara keseluruhan. Tataniaga merupakan salah satu aspek
dalam usaha perbaikan dan pengembangan sistem agribisnis kedelai. Sudaryanto
dan Swastika dalam Sumarno et al. (2007) juga menyoroti permasalahan
pemasaran atau tataniaga sebagai salah satu aspek yang membutuhkan perhatian,
kebijakan, serta tindakan yang mengandung inovasi di dalamnya untuk
pengembangan agribisnis kedelai secara menyeluruh di Indonesia.
Perbaikan dan pengembangan tataniaga kedelai ini akan lebih efektif bila
dilakukan terutama pada daerah sentra produksi kedelai. Indonesia memiliki
beberapa daerah sentra produksi kedelai. Jawa Barat merupakan salah satu
provinsi dengan produksi kedelai yang tinggi di Indonesia. Walaupun mengalami
penurunan pertumbuhan produksi dari tahun 2010 hingga tahun 2011 dan 2012,
Jawa Barat menempati posisi lima besar setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa
Tenggara Barat, dan Aceh (tabel 2).
Di Jawa Barat sendiri, daerah yang merupakan sentra produksi tanaman
kedelai adalah Kabupaten Garut, Cianjur, Ciamis, Kuningan, Majalengka, dan
Karawang. Luas panen kedelai di keenam kabupaten tersebut, berdasarkan data
Dinas Pertanian Jawa Barat (2012), berturut-turut adalah 7 236, 4 130, 2 769,
1 370, 1 116, 1 039 ha. Kabupaten Cianjur menempati posisi kedua sebagai daerah
dengan luas panen kedelai terbesar di Jawa Barat. Dinas Pertanian Kabupaten
Cianjur sendiri memiliki beberapa program unggulan, salah satunya adalah
3
peningkatan ketahanan pangan dengan kedelai sebagai komoditas unggulan kedua
setelah padi.
Tabel 2 Produksi kedelai di lima provinsi sentra produksi nasional tahun 20082012
Provinsi
Jumlah produksi (ton)
Growth (%)
2008
2009
2010
2011
2012
2011-2012
Jawa
Timur
277 281 355 260 339 491 366 999 316 395
-13,79
Jawa
Tengah
167 345 175 156 187 992 112 273 134 346
19,66
NTB
95 106 95 846 93 122 88 099 67 279
-23,63
Aceh
43 885 63 538 53 347 50 006 57 781
15,55
Jawa
Barat
32 921 60 257 55 823 56 166 47 043
-16,24
a
Sumber: Deptan (2012)
Pada tahun 2011, pencapaian atau realisasi nilai tanam dan panen kedelai di
Cianjur (tabel 3) lebih besar dibandingkan dengan target yang dipatok oleh Dinas
Pertanian setempat. Target tersebut merupakan proyeksi dari realisasi yang
dicapai sebelumnya. Di satu sisi, pencapaian atau realisasi nilai produksi dan
produktivitas menunjukkan angka yang lebih kecil dibandingkan dengan target
yang ditetapkan. Namun, perbedaan antara target dan realisasi untuk nilai
produksi dan produkitvitas ini tidak signifikan berbeda. Hal utama yang
menyebabkan kurangnya pencapaian atau realisasi produksi maupun produktivitas
dibandingkan target adalah faktor eksternal, yaitu cuaca yang keadaannya tidak
dapat diprediksi.
Tabel 3
Target dan realisasi tanam, panen, produksi, produktivitas kedelai
Kabupaten Cianjur Tahun 2011
Keterangan
Target
Realisasi
Tanam (ha)
8 071
9 121
Panen (ha)
7 685
8 514
Produksi (ton)
12 680
12 678
Produktivitas (ton ha-1)
1 650
1 489
a
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur (2011)
Sentra produksi kedelai di Kabupaten Cianjur sendiri terdapat di beberapa
kecamatan seperti Cilaku, Sukaluyu, Ciranjang, Cidaun, dan Haurwangi. Kelima
kecamatan ini menunjukkan pencapaian yang baik terutama untuk Kecamatan
Ciranjang, Sukaluyu dan Haurwangi. Baik Kecamatan Ciranjang, Sukaluyu, dan
Haurwangi menghasilkan nilai realisasi yang melebihi target yang dicanangkan
Dinas Pertanian seperti yang dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4 menunjukkan
4
bahwa pada tahun 2011, Kecamatan Cilaku dan Cidaun tidak mampu mencapai
nilai target produksi. Sementara itu, tiga kecamatan lainnya menunjukkan
pencapaian atau realisasi nilai produksi yang melebihi target.
Tabel 4 Target dan realisasi produksi kedelai di lima kecamatan sentra produksi
Kabupaten Cianjur tahun 2011
Kecamatan
Target (ton)
Realisasi (ton)
Cilaku
1 176
1 111
Ciranjang
1 274
2 064
Sukaluyu
953
1 810
Cidaun
939
727
Haurwangi
676
1 388
a
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur (2011)
Haurwangi merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Cianjur yang
mampu menghasilkan produksi kedelai melebihi target pada tahun 2011. Terdapat
delapan desa di Kecamatan Haurwangi di mana petani desa-desa tersebut
melakukan penanaman kedelai setiap tahunnya. Desa Cipeuyeum merupakan
salah satu desa dengan pencapaian produktivitas cukup tinggi dibandingkan desadesa lainnya di kecamatan ini. Berdasarkan data yang diperoleh dari Balai
Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan Haurwangi, Desa Cipeuyeum menempati
posisi tertinggi kedua dalam produktivitas kedelai di tahun 2012 dengan nilai 1.40
ton ha-1.
Perumusan Masalah
Pengembangan komoditas kedelai di Kabupaten Cianjur didukung oleh
program-program yang dicanangkan Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur. Salah
satu program tersebut adalah peningkatan ketahanan pangan. Program ini
selanjutnya didukung juga oleh Bupati Cianjur dengan mengeluarkan kebijakan
pola tanam padi dan palawija setiap tahunnya. Berdasarkan peraturan tersebut,
para petani padi dihimbau untuk melakukan penanaman palawija setiap tahun
dengan pola tanam yang berbeda sesuai dengan keadaan wilayah. Desa
Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi termasuk ke dalam wilayah Cianjur Utara di
mana kebijakan pola tanam yang berlaku di desa ini adalah pola tanam IP 2. Pola
tanam IP 2 yang dimaksud ialah pola tanam bergantian antara padi dan palawija
setelah dua kali penanaman padi terlebih dahulu dalam satu tahun. Palawija yang
mayoritas diusahakan adalah kedelai dikarenakan kedelai merupakan komoditas
pangan unggulan kedua setelah padi di Kabupaten Cianjur.
Kebijakan penanaman palawija, secara khusus kedelai, dijadikan juga
sebagai salah satu solusi untuk menjaga kesuburan tanah atau lahan pertanian di
daerah Cianjur yang mayoritas digunakan untuk usahatani padi. Selain itu,
penerapan pola tanam kedelai minimal satu kali dalam satu tahun ini, di satu sisi
dapat dipandang sebagai salah satu solusi untuk menumbuhkan gairah petani
dalam melakukan usahatani kedelai, sehingga hal tersebut kemudian menjadi
5
jawaban bagi kontinyuitas produksi kedelai khususnya di Desa Cipeuyeum.
Kedelai dari Desa Cipeuyeum memiliki kontribusi terhadap pasokan kedelai baik
di daerah Cianjur maupun Jawa Barat secara umum. Aturan ini perlu didukung
oleh sistem tataniaga yang baik, sehingga kedelai yang telah diproduksi dapat
sampai ke tangan konsumen akhir dengan nilai guna (bentuk, tempat, waktu, dan
kepemilikan) yang tepat. Sementara itu, penanganan tataniaga kedelai di desa ini
masih tergolong lemah, terlihat dari beberapa faktor.
Pada umumnya petani akan menjual kedelainya dengan sistem borong
karena didesak oleh kebutuhan. Sistem borong yang dimaksud ialah menjual
seluruh tanaman tanpa dipanen sendiri oleh petani, sehingga baik proses
pemanenan, perontokan, penjemuran, hingga pengemasan dilakukan oleh
pemborong. Di satu sisi, petani sendiri memiliki pilihan yang lebih baik dengan
menjual hasil panen kedelainya sudah dalam bentuk bijian. Petani memiliki
pilihan untuk menunggu hingga kedelai berusia tua (polong tua) kemudian
melakukan proses panen sendiri serta beberapa kegiatan pascapanen sederhana
berupa perontokkan, penjemuran, dan pengemasan terlebih dahulu. Hal ini
kemudian berdampak pada rendahnya harga yang diterima oleh petani.
Berdasarkan data yang diperoleh dari survey lapang, rata-rata harga yang diterima
oleh petani berkisar antara Rp5 500 hingga Rp6 500 untuk kedelai yang dijual
sudah dalam bentuk bijian dan sekitar Rp3 500 hingga Rp4 000 (dengan perkiraan
konversi) untuk kedelai yang dijual dengan sistem borong.
Lemahnya sistem tataniaga di Desa Cipeuyeum, dari hasil survey lapang,
terlihat juga dari adanya lembaga tataniaga pada satu saluran yang melakukan
fungsi sama yang kemudian menjadi salah satu indikator kurang efisiennya sistem
tataniaga tersebut. Lembaga atau pihak ini bertujuan untuk memperoleh sedikit
keuntungan dengan menghubungkan petani kepada lembaga setelahnya, namun
tidak melakukan fungsi tataniaga yang berarti. Dengan kata lain, pihak ini akan
memperpanjang rantai tataniaga yang ada. Hal ini dapat berdampak pada sebaran
marjin yang diterima oleh pihak sebelumnya (petani) dan setelahnya di mana nilai
sebaran marjin diduga akan lebih tinggi tanpa adanya lembaga atau pihak yang
dimaksud.
Di lain sisi, kedelai merupakan komoditi pangan yang umumnya dikonsumsi
setelah diolah terlebih dahulu. Sudaryanto dan Swastika dalam Sumarno et al.
(2007) menyatakan bahwa sekitar lebih dari 90% kedelai di Indonesia
dimanfaatkan sebagai bahan pangan olahan. Hal ini mengindikasikan adanya
pihak-pihak pengolah yang membutuhkan kedelai sebagai bahan baku
produksinya. Proses mengalirkan kedelai dari petani sebagai produsen menuju
konsumen akhir atau pun pihak-pihak pengolah tersebut memerlukan biaya
tataniaga tertentu. Sementara itu, lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat
cenderung menginginkan adanya keuntungan besar dari kegiatan tataniaga yang
dilakukannya, sehingga biaya yang dikeluarkan akan dilimpahkan kepada
konsumen atau produsen. Pilihan yang tercipta adalah konsumen akhir akan
membayar harga yang cenderung tinggi atau produsen (petani) akan menerima
harga yang cenderung rendah.
Beberapa hal yang telah diuraikan tersebut membuat perlunya dilakukan
penelitian terhadap analisis sisem tataniaga kedelai di Desa Cipeuyeum,
Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur. Adapun permasalahan yang akan
dijawab dalam penelitian ini adalah:
6
1. Bagaimana tataniaga kedelai di Desa Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi,
Kabupaten Cianjur dilihat dari pendekatan fungsi dan kelembagaan?
2. Bagaimana tataniaga kedelai di Desa Cipeueyeum, Kecamatan Haurwangi,
Kabupaten Cianjur dilihat dari pendekatan struktur dan perilaku pasar?
3. Bagaimana tingkat efisiensi tataniaga kedelai di Desa Cipeuyeum, Kecamatan
Haurwangi, Kabupaten Cianjur?
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi saluran, lembaga, dan fungsi tataniaga kedelai di Desa
Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur
2. Menganalisis struktur dan perilaku pasar kedelai di Desa Cipeuyeum,
Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur
3. Menganalisis efisiensi tataniaga kedelai pada setiap saluran yang ada dengan
pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan terhadap
biaya (π/c)
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, yaitu:
1. Penulis
Penelitian ini diharapkan menjadi sarana untuk mengaplikasikan ilmu
yang telah diperoleh penulis khususnya di bidang tataniaga produk agirbisnis.
2. Pihak akademisi
Penelitian ini diharapkan juga menjadi sumber informasi bagi pihak
akademisi sehingga dapat dilakukan perbaikan secara berkesinambungan
terhadap permasalahan tataniaga kedelai khususnya di Kabupaten Cianjur.
3. Lembaga dan pihak terkait
Penelitian ini diharapkan juga menjadi referensi tertentu bagi lembaga
atau pihak-pihak (seperti Dinas Pertanian, penyuluh pertanian, atau kelompok
tani) yang secara langsung atau tidak terlibat dalam kegiatan tataniaga kedelai.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi untuk mengidentifikasi dan mengaji seluruh saluran
tataniaga kedelai di Desa Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur
dalam bentuk bijian (kedelai polong tua) dan hijauan (kedelai polong muda), tidak
termasuk kedelai yang akan dijadikan pakan. Dengan demikian, alur penelitian ini
berhenti pada pihak yang membeli kedelai untuk diolah menjadi bentuk selain
bijian dan hijauan. Pihak yang berperan sebagai pengolah atau pabrikan tersebut
kemudian disetarakan posisinya dengan konsumen akhir walaupun bukan
merupakan konsumen akhir. Adapun konsumen akhir yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah konsumen yang membeli kedelai baik dalam bentuk bijian
maupun hijauan dari pihak pedagang pengecer. Penelitian ini tidak melakukan
identifikasi lebih kanjut mengenai karakteristik konsumen akhir tersebut.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Keragaan Kedelai
Kedelai, atau yang bernama latin Glicine max, merupakan tanaman yang
termasuk famiy Leguminosae. Tanaman ini diduga berasal dari Cina dan
kemudian dikembangkan ke berbagai negara seperti negara-negara bagian
Amerika, Amerika Latin, dan Asia. Di Indonesia, kedelai pertama kali
dikembangkan di Pulau Jawa dan Bali sekitar tahun 1750-an.
Kedelai dapat dikembangkan dengan teknis budidaya yang sederhana. Nazar
et al. (2008) menyatakan bahwa pengembangan kedelai dapat dilakukan baik di
lahan sawah (basah) maupun lahan kering. Tanaman ini juga dapat tumbuh di
berbagai jenih tanah dengan syarat drainase (tata air) dan aerasi (tata udara) tanah
cukup baik. Di satu sisi, kedelai merupakan salah satu tanaman yang tidak dapat
bertahan dalam tanah dengan tingkat kemasaman yang tinggi dan keadaan
tergenang air.
Selain itu, kondisi ideal daerah yang dapat ditanami kedelai adalah memiliki
curah hujan 100-400 mm/bulan, suhu udara 23-30°C, kelembaban 60-70%, pH
tanah 5.8-7.0, dan ketinggian kurang dari 600 m di atas permukaan laut. Perlu
diperhatikan juga bahwa lahan tanam kedelai sebaiknya bebas dari kandungan
atau wabah nematoda. Kedelai varietas unggulan pada awalnya umum
dibudidayakan di wilayah Jepang, Taiwan, Kolumbia, Amerika Serikat, dan
Filipina. Saat ini, Badan Penelitian dan Pengembangan Indonesia telah
mengembangkan varietas-varietas lokal. Beberapa varietas lokal yang menjadi
unggulan adalah Wilis, Burangrang, Kaba, Anjasmoro, dan Sinabung.
Harsono et al. (2008) menyatakan bahwa penanaman kedelai berguna untuk
meningkatkan kesuburan tanah, karena akar-akar kedelai akan mengikat Nitrogen
yang terdapat di udara sehingga memperbanyak ketersediaan Nitrogen di dalam
tanah. Di samping itu, kedelai juga memiliki peranan penting sebagai bahan
pangan utama ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Kedelai merupakan
sumber protein yang tinggi. Protein yang terkandung dalam kedelai ini memiliki
peranan penting bagi peningkatan gizi masyarakat Indonesia. Kedelai umumnya
dikonsumsi dalam bentuk produk olahan seperti tahu, tempe, tauco, kecap, susu,
atau pun produk olahan lainnya.
Permasalahan dalam Pengembangan Agribisnis Kedelai di Indonesia
Suryana dalam Harsono et al. (2008) mengemukakan bahwa permasalahan
dalam pengembangan agribisnis kedelai di Indonesia dapat ditinjau dari beberapa
aspek. Aspek-aspek yang dimaksud adalah aspek penelitian dan pengembangan,
sistem produksi, penanganan panen dan pascapanen, distribusi dan pemasaran
atau tataniaga, serta kelembagaan. Berikut merupakan penjelasan dari masingmasing aspek tersebut.
Aspek Penelitian dan Pengembangan
Beberapa permasalahan yang terdapat pada aspek penelitian dan
pengembangan komoditas kedelai di Indonesia dapat dipisahkan menjadi
8
kelemahan internal dan ancaman eksternal. Kelemahan internal meliputi: (1)
belum adanya kontinyuitas pemenuhan kebutuhan peneliti baik secara kualitas
maupun kuantitas, (2) belum optimalnya diseminasi hasil, serta (3) kurangnya
konsistensi program-program penelitian. Ancaman eksternal yang dihadapi antara
lain: (1) adanya sistem diseminasi dan alih teknologi yang dinilai belum memadai,
(2) penerimaan tenaga peneliti yang belum memadai, serta (3) kurangnya
penghargaan terhadap hasil karya peneliti.
Aspek Pembenihan
Permasalahan yang dihadapi pada aspek pembenihan kedelai di Indonesia
juga dapat dibedakan menjadi permasalahan internal dan eksternal. Contoh
kendala internal yang dihadapi adalah inkonsistensi alur benih dari benih sumber
hingga benih sebar, pendeknya umur label sertifikat benih, dan belum
berkembangnya industri benih dengan baik. Contoh kendala eksternal seperti
kurangnya insentif harga benih bagi para penangkar, menurunnya kepercayaan
petani terhadap mutu benih yang diperoleh dari kios, serta adanya budaya di
beberapa petani yang membuat benih asalan.
Aspek Sistem Produksi
Identifikasi permasalahan pada aspek sistem produksi dapat dibedakan
menjadi hambatan internal dan ancaman eksternal yang dihadapi. Hambatan
internal antara lain meliputi terbatasnya ketersediaan terhadap sarana produksi,
lemahnya sistem penyuluhan, dan terbatasnya akses petani terhadap sumber
pemodalan. Sarana produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida yang baik dan
bermutu tidak dapat dijangkau oleh petani karena tingginya harga beli produkproduk tersebut. Di satu sisi, petani tidak memiliki akses yang baik terhadap
sumber modal, sehingga banyak petani kedelai yang semakin enggan menanam
kedelai dan membuat produksi kedelai nasional terus mengalami penurunan.
Adapun beberapa ancaman eksternal yang dihadapi adalah tingginya impor
kedelai yang menjadikan usahatani kedelai dalam negeri kurang kompetitif,
adanya cekaman Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), dan anomali iklim
yang menyebabkan gagal panen.
Aspek Panen dan Pascapanen
Beberapa kendala yang dihadapi pada aspek panen dan pascapanen seperti
kehilangan hasil panen yang tinggi, penerapan teknologi yang belum memadai,
terbatasnya modal untuk membeli alsintan, makin meningkatnya biaya
operasional alsintan, belum adanya insentif harga yang memadai bagi produk
(hasil panen) yang bermutu, dan terbatasnya tenaga kerja pengolah.
Penerapan teknologi yang tergolong masih sangat sederhana menyebabkan
petani sering kehilangan beberapa bagian dari hasil panennya. Misalnya, petani
yang tidak menggunakan alas jemur untuk biji-biji kedelainya akan kehilangan
cukup banyak hasil panennya. Sementara itu, petani juga menghadapi
permasalahan modal untuk memiliki alsintan yang memadai. Hal ini
menyebabkan proses panen dan beberapa kegiatan pascapanen menjadi tidak
efisien.
9
Aspek Distribusi dan Tataniaga
Kendala internal yang dihadapi dalam aspek ini seperti lemahnya daya tawar
petani dan sistem informasi pasar, tingginya impor kedelai dengan harga murah,
panjangnya rantai tataniaga, dan mahalnya biaya transportasi. Panjangnya rantai
tataniaga dari produsen hingga konsumen pada umumnya menyebabkan tidak
efektifnya proses tataniaga yang terjadi. Di beberapa daerah, sistem informasi
pasar belum terbentuk sehingga tida ada titik temu antara produsen primer dengan
konsumen akhir. Hal ini menyebabkan nilai jual kedelai di tingkat petani
khususnya sering mengalami fluktuasi.
Aspek Kelembagaan
Kendala-kendala yang dihadapi pada aspek kelembagaan adalah seperti
lemahnya sistem penyuluhan, tidak optimalnya kinerja kelompok tani, dan
terbatasnya akses petani terhadap lembaga permodalan. Di satu sisi, terdapat
beberapa kendala eksternal seperti menurunnya kepercayaan petani terhadap
kelembagaan yang ada, rendahnya komitmen pimpinan dan anggota lembaga
dalam menjalankan fungsi kelembagaan, dan inkonsistensi peraturan yang
terdapat di tingkat pusat dan daerah.
Strategi Pengembangan Agribisnis Kedelai di Indonesia
Permintaan atau kebutuhan mesyarakat Indonesia terhadap komoditi kedelai
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk. Pemerintah, sebagai penetap kebijakan dan fasilisator, memiliki
peranan penting dalam hal ketahanan pangan termasuk untuk komoditas kedelai.
Harsono (2008) mengatakan bahwa pada tahun 1995, produksi kedelai mencapai
angka yang tinggi, yaitu 1.52 juta ton. Namun, produksi kedelai nasional
mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2007, yaitu 592 ribu ton.
Sehingga, kekurangan harus ditutupi dengan impor dalam jumlah yang besar di
mana jumlah permintaan kedelai saat itu adalah 1.94 juta ton. Hingga saat ini,
Indonesia masih melakukan impor dalam jumlah besar untuk menutupi
permintaan kedelai nasional.
Upaya menekan jumlah impor kedelai ditempuh dengan berbagai cara mulai
dari kebijakan di sub sistem hulu hingga hilir (pasca panen). Balitbangtan (2012)
menjabarkan startegi-strategi yang dapat ditempuh, meliputi strategi peningkatan
produktivitas, perluasan areal tanam, peningkatan efisiensi produksi, penguatan
kelembagaan petani, peningkatan kualitas produk, peningkatan nilai tambah,
perbaikan akses pasar, perbaikan sistem permodalan, pengembangan infrastruktur,
serta pengaturan tataniaga dan insentif usaha.
Peningkatan Produktivitas, Efisiensi Produksi, dan Kualitas Produk
Peningkatan produkvitas dilakukan melalui penggunaan varietas unggul dan
teknologi budidaya yang lebih baik. Teknologi budidaya ini meliputi pengelolaan
lahan, air, tanaman, dan organisme pengganggu tanaman atau yang dikenal
dengan sistem pengelolaan LATO. Penggunaan varietas berdampak pada sifat
tanaman yang dihasilkan, di antaranya hasil tinggi, umur genjah, dan tahan/toleran
terhadap cekaman biotik (hama dan penyakit) dan abiotik (lingkungan fisik).
10
Teknologi yang lebih baik dapat diterapkan pula pada kegiatan panen dan
pasca panen dengan alsintan yang mampu meningkatkan produksi kedelai sesuai
dengan potensi genetiknya. Alsintan yang digunakan baik untuk kegiatan panen
maupun pasca panen telah tersedia di pasar lokal. Penerapan teknologi ini mampu
menjawab startegi peningkatan prouktivitas, peningkatan efisiensi produksi, dan
peningkatan kualitas produk.
Pengembangan Infrastruktur dan Akses Pasar
Pada aspek distribusi dan tataniaga, faktor-faktor potensi yang telah
teridentifikasi antara lain infrastruktur distribusi yang dinilai telah memadai, aspek
transportasi yang tergolong lancar, dan telah terbentuknya wilayah-wilayah sentra
produksi. Infrasrtuktur dan transportasi yang dinilai pemerintah telah memadai
inilah yang diharapkan akan menjadi jawaban terciptanya sistem tataniaga kedelai
di Indonesia yang lebih efektif dan efisien, khususnya di wilayah-wilayah yang
menjadi sentra produksi.
Penguatan Kelembagaan
Pada aspek kelembagaan, potensi yang dapat dimanfaatkan adalah telah
berkembangnya lembaga permodalan (kredit) dalam berbagai skim,
berkembangnya kelembagaan alih teknologi, dan telah terbentuknya kelembagaan
kelompok tani. Berkembangnya berbagai skim lembaga permodalan seperti
Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP), Kredit Ketahanan Pangan (KKP),
dan lembaga keuangan mikro lainnya yang lebih mudah diakses petani menjadi
potensi yang besar bagi petani dalam memperoleh modal untuk menerapkan
teknologi yang lebih maju.
Kemajuan yang dialami oleh lembaga alih teknologi juga dapat dilihat dari
terbentuknya Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP) di tiap provinsi dan
revitalisasi penyuluhan pertanian untuk mempercepat proses alih teknologi dari
lembaga penelitian ke pengguna. Keberadaan kelompok tani merupakan wadah
yang efektif baik dalam penyaluran kredit, penyebaran informasi mengenai
perkembagan teknologi, maupun tataniaga hasil pertanian. Meskipun diakui dalam
hal tataniaga, kelompok tani pada umumnya belum menunjukkan dampak yang
baik bagi anggotanya (petani-petani kedelai).
Kebijakan-kebijakan yang terintegrasi dari subsistem hulu hingga hilir ini
merupakan langkah yang diambil pemerintah terkait dengan pengembangan
agribisnis kedelai di Indonesia. Kebijakan yang diputuskan dan
diimplementasikan tidak dapat hanya menitikberatkan pada salah satu aspek saja
tetapi merata di seluruh aspek agribisnis kedelai di Indonesia. Tataniaga menjadi
salah satu aspek penting yang tidak dapat dipisahkan dalam pengembangan
agribisnis kedelai di Indonesia.
Hasil Penelitian Terdahulu Mengenai Tataniaga Komoditi Pangan
Beberapa contoh penelitian terdahulu mengenai tataniaga komoditi pangan
adalah penelitian yang dilakukan oleh Meryani (2008) dengan judul “Analisis
Usahatani dan Tataniaga Kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat”, Gandhi (2008) dengan judul “Analisis Usahatani dan Tataniaga Padi
11
Varietas Unggul (Studi Kasus Padi Pandan Wangi di Kecamatan Warung
Kondang, Kabupaten Cianjur)”, Purba (2010) dengan judul “Analisis Tataniaga
Ubi Jalar (Studi Kasus: Desa Gunung Malang Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat)”, dan Aditama (2011) dengan judul “Analisis
Tataniaga Beras di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak”.
Permasalahan dalam Penelitian Terdahulu
Permasalahan mendasar yang dilakukan untuk penelitian mengenai tataniaga
komoditi pangan adalah rendahnya keuntungan yang diterima oleh petani bila
dibandingkan dengan lembaga tataniaga setelahnya. Penelitian yang dilakukan
Meryani (2008) menyatakan permasalahan itu terjadi karena pada umumnya
petani di wilayah penelitian tersebut tidak menjual produknya secara berkelompok
karena terdesak oleh kebutuhan, sehingga petani lebih memilih menjual
produknya dengan waktu yang tidak bersamaan. Gandhi (2008) menambahkan
bahwa tidak diolahnya hasil panen oleh petani menyebabkan terlalu banyaknya
lembaga yang akan terlibat dalam rantai tataniaga yang akan menyebabkan
panjangnya rantai tataniaga yang tercipta. Hal ini mengakibatkan besarnya
perbedaan harga produk yang diterima oleh petani dan konsumen akhir.
Selain hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Purba (2010) juga
didasari dengan permasalahan kurangnya pengetahuan petani terhadap informasi
harga, sehingga petani akan menerima harga yang diberikan oleh tengkulak tanpa
memperhitungkan harga yang tercipta di pasar saat itu. Aditama (2011) juga
menyatakan bahwa adanya ketidakstabilan dalam ketersediaan produk
menyebabkan fluktuasi harga yang tidak dapat dikontrol oleh petani sehingga
petani tidak memiliki kekuatan untuk menentukan harga.
Permasalahan yang mendasari penelitian ini adalah kecenderungan petani
kedelai di Desa Cipeuyeum untuk menjual langsung hasil panennya tanpa
melakukan beberapa kegiatan pascapanen sederhana untuk memberikan nilai
tambah pada kedelainya terlebih dahulu. Penjualan langsung yang dimaksud
adalah penjualan dengan sistem borong. Hal ini berdampak pada rendahnya harga
yang diterima oleh petani. Di satu sisi, kedelai merupakan tanaman pangan yang
pada umumnya dikonsumsi dalam bentuk produk olahan. Hal ini cenderung akan
menyebabkan banyaknya mata rantai tataniaga yang ada yang dapat menjadi salah
satu indikator tidak efisiennya saluran tataniaga yang tercipta. Sistem tataniaga
juga diduga kurang efisien dikarenakan adanya pihak atau lembaga tataniaga yang
melakukan fungsi yang cenderung sama.
Lembaga, Saluran, dan Fungsi Tataniaga dalam Penelitian Terdahulu
Lembaga-lembaga yang terlibat dalam tataniaga komoditi pangan pada
umumnya terbilang cukup banyak. Terdapat delapan lembaga tataniaga dalam
penelitiaan yang dilakukan Meryani (2008), enam lembaga tataniaga dalam
penelitian Gandhi (2008), lima lembaga tataniaga dalam penelitian Purba (2010),
dan empat lembaga tataniaga dalam penelitian Aditama (2010). Penelitian dengan
ruang lingkup kecamatan, menghasilkan identifikasi jumlah saluran tataniaga
yang lebih banyak dibandingkan dengan penelitian dengan ruang lingkup desa.
Penelitian ini mengidentifikasi lembaga dan saluran tataniaga kedelai yang
merupakan komoditi yang umumnya dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan
pakan dengan ruang lingkup satu desa. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis
12
fungsi-fungsi yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga. Fungsi-fungsi
tersebut terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas.
Kajian terhadap penelitian-penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa pada
umumnya, petani merupakan lembaga yang paling sedikit melakukan aktivitas
fungsi tataniaga. Petani hanya akan melakukan fungsi pertukaran dan fungsi
fasilitas. Gandhi (2008) dalam hasil penelitiannya, menyatakan bahwa petani
enggan untuk melakukan fungsi fisik dikarenakan kurangnya pengetahuan,
keahlian, dan modal untuk melakukannya. Fungsi fisik seperti pengolahan,
pengemasan, dan penyimpanan akan dilakukan oleh lembaga tataniaga setelahnya.
Efisiensi Saluran Tataniaga dalam Penelitian Terdahulu
Meryani (2008), dalam penelitian yang dilakukannya, menyimpulkan satu
saluran tataniaga yang paling efisien berdasarkan paling rendahnya marjin yang
ada (Rp1 000), paling tingginya nilai farmer’s share (77.78%), dan rasio π/c yang
relatif besar (6.30) dibandingkan saluran lainnya walaupun bukan merupakan nilai
rasio π/c terbesar. Penentuan juga dilakukan dengan melihat pangsa marjin dan
marjin bersih yang cenderung telah merata di setiap tingkat lembaga tataniaga
pada saluran tersebut.
Purba (2010) menyimpulkan satu saluran tataniaga paling efisien yang
merupakan saluran tataniaga terpendek. Saluran ini terdiri dari tiga lembaga
tataniaga termasuk petani sebelum akhirnya produk sampai ke tangan konsumen
akhir. Selain itu, analisis kuantitatif yang dilakukan menyatakan bahwa saluran ini
memiliki marjin tataniaga terkecil yang bernilai Rp325 dengan FS terbesar
(74.51%), dan analisis π/c terbesar yang bernilai 1.17. Pendeknya rantai tataniaga
tersebut memotong biaya-biaya yang kurang efektif, sehingga menghasilkan
marjin yang bernilai jauh lebih rendah dibandingkan saluran lainnya (1/3 dari nilai
marjin terendah berikutnya). Petani pun mendapatkan bagian cukup tinggi dari
nilai yang dibayarkan konsumen akhir.
Penelitian yang dilakukan Aditama (2011), menyimpulkan satu saluran
paling efisien berdasarkan marjin terkecil (Rp1 464) dan nilai farmer’s share
terbesar (71%), sedangkan jika melihat rasio π/c, terdapat beberapa saluran yang
lebih efisien. Saluran dengan marjin terkecil dan nilai farmer’s share terbesar
inilah yang memberikan prospek besar bagi petani sehingga volume penjualan
terbesar dilakukan melalui saluran yang dimaksud.
Gandhi (2008) memandang efisiensi saluran tataniaga dari sudut produsen
atau penjual dan dari sudut konsumen. Terdapat dua jenis beras pandan wangi,
yaitu jenis super dan kepala. Keduanya memiliki saluran tataniaga terefisien yang
berbeda. Saluran yang lebih efisien bagi konsumen dilihat dari nilai marjin
terkecil, sedangkan saluran yang lebih efisien bagi produsen dilihat dari biaya
terkecil dan total keuntungan terbesar. Perhitungan FS menunjukkan 53.52%
untuk nilai FS terbesar dan 41.67% untuk nilai FS terkecil pada rantai tataniaga
beras pandan wangi jenis super.
Secara umum, berdasarkan penelitian efisiensi terhadap komoditi pangan
menggambarkan bahwa nilai FS menunjukkan rata-rata angka di atas 50%. Hal ini
berarti petani mendapatkan sekitar setengah dari harga yang dibayarkan konsumen.
Berdasarkan perhitungan marjin, khususnya bagi komoditi yang termasuk tiga
pangan utama di Indonesia (dalam hal ini adalah padi atau beras dan kedelai), nilai
marjin terkecil menunjukkan angka yang cukup besar dibandingkan dengan ubi
13
jalar. Nilai π/c yang terbesar diperoleh dari rantai tataniaga pada komoditi kedelai,
hal ini dapat menjadi indikator bahwa komoditi kedelai memiliki prospek
keuntungan yang lebih baik di antara komoditi pangan lainnya.
Penelitian ini menganalisis tataniaga kedelai melalui analisis kualitatif dan
kuantitatif. Sama halnya dengan penelitan terdahulu, analisis kuantitatif juga
dilakukan dengan memperhitungkan nilai marjin, farmer’s share, dan rasio
keuntungan terhadap biaya. Saluran tataniaga dengan marjin terkecil, farmer’s
share terbesar, dan rasio π/c yang relatif besar, idealnya akan menjadi saluran
tataniaga yang paling efisien.
Hasil Penelitian Terdahulu Mengenai Kedelai
Hasil penelitian terdahulu mengenai kedelai yang dapat dijadikan referensi
untuk penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Purwanto (2011)
dengan judul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Kacang Kedelai
Nasional Periode 1987-2007”, dan Facino (2012) dengan judul “Penawaran
Kedelai Dunia dan Permintaan Kedelai Indonesia serta Kebijakan Perkedelaian
Nasional”. Purwanto (2011) mengangkat permasalahan tingginya permintaan
kacang kedelai dunia untuk pangan serta berkurangnya pasokan kacang kedelai
dari negara-negara produsen utama sebagai dampak aktivitas produksi biofuel di
negaranya, merupakan pemacu peningkatan harga kacang kedelai dunia termasuk
Indonesia. Sementara itu, permasalahan utama yang mendasari penelitian Facino
(2012) adalah ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai untuk memenuhi
permintaan nasional yang cenderung meningkat.
Produksi kedelai, menurut Purwanto (2011), merupakan salah satu faktor
utama yang mempengaruhi nilai impornya. Facino (2012) menyimpulkan bahwa
hanya sekitar 36.59% dari permintaan kedelai nasional yang dapat dipenuhi oleh
produksi dalam negeri dan lebih dari setengah permintaan nasional dipenuhi lewat
produk impor. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu memenuhi
ketahanan pangan bagi komoditas kedelai. Hal ini kemudian diperburuk dengan
berkurangnya penawaran kedelai dunia yang berimbas pada semakin mahalnya
harga kedelai impor. Mahalnya harga kedelai impor mengakibatkan harga kedelai
Indonesia berfluktuasi dan cenderung meningkat akibat penurunan produksi
kedelai dalam negeri sementara permintaan kedelai impor semakin tinggi.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan umum terkait komoditi
kedelai di Indonesia, yaitu adanya impor kedelai yang masih terhitung besar untuk
menutupi permintaan nasional yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi lokal.
Selanjutnya, penelitian ini menghususkan pembahasan mengenai analisis tataniaga
kedelai yang merupakan salah satu faktor penting yang perlu dikembangkan
dalam upaya pengembangan agribisnis kedelai di Indonesia.
14
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Definisi Tataniaga
Asmarantaka (2012) mendefinisikan tataniaga dari perspektif makro sebagai
segala kegiatan dalam mengalirkan produk mulai dari petani sebagai produsen
primer hingga konsumen akhir. Terdapat banyak kegiatan produktif selama proses
mengalirkan produk yang dimaksudkan untuk menambah nilai guna dengan
tujuan memenuhi kepuasan konsumen akhir. Penambahan nilai guna yang
dimaksud adalah berupa bentuk, tempat, waktu, dan kepemilikan. Rahim dan
Hastuti (2008) menyatakan hal serupa, bahwa dalam tataniaga atau yang juga
dapat dikatakan dengan pemasaran tidak hanya memiliki arti menawarkan atau
menjual barang. Tataniaga mencakup berbagai kegiatan, di antaranya penjualan,
pembelian, pengangkutan, penyimpanan, penyortiran, dan sebagainya.
Boyd, Walker, and Larreche dalam Asmarantaka (2012) juga
mendefinisikan pemasaran atau tataniaga sebagai suatu proses sosial dengan
kegiatan yang memungkinkan pihak-pihak terlibat mendapatkan apa yang
dibutuhkan melalui pertukaran produk kepada pihak lainnya. Berdasarkan definisi
tersebut, tujuan tataniaga adalah pencapaian kepuasan kebutuhan konsumen di
mana untuk mencapai kepuasan tersebut dilakukanlah serangkaian kegiatan
identifikasi, komunikasi, negosiasi, pengolahan, dan sebagainya terhadap barang
atau jasa yang diperjualbelikan.
Pendekatan Tataniaga
Terdapat beberapa cara dalam melakukan pendekatan pada suatu sistem
tataniaga. Setiap pendekatan-pendekatan memiliki perspektif dasar dan cara
berpikir tersendiri terhadap suatu proses tataniaga. Pendekatan yang umum
digunakan adalah melalui tiga pendekatan seperti yang didefinisikan Kohls and
Uhl (2002), yaitu pendekatan fungsi, pendekatan kelembagaan, dan pendekatan
sistem perilaku.
Salah satu cara pengklasifikasian aktivitas-aktivitas yang terjadi dalam suatu
proses tataniaga adalah dengan cara membagi aktivitas-aktivitas tersebut ke dalam
fungsi-fungsi tertentu. Inilah yang dimaksudkan dengan pendekatan fungsi. Setiap
aktivitas yang dilakukan ditujukan untuk meningkatkan nilai guna suatu produk
dengan tujuan mencapai kepuasan konsumen. Kohl and Uhl (2002) membagi
fungsi tataniaga menjadi tiga, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi
fasilitas. Masing-masing fungsi terdiri dari berbagai aktivitas. Fungsi pertukaran
terdiri dari aktivitas pembelian dan penjualan. Fungsi fisik dapat terdiri dari
aktivitas pengolahan, transportasi, dan penyimpanan. Fungsi fasilitas terdiri dari
aktivitas seperti manajemen keuangan, standardisasi produk, dan penanggungan
risiko.
Pendekatan lain dapat dilakukan dengan analisis terhadap lembaga-lembaga
yang terlibat atau stukrtur bisnis yang terdapat dalam suatu sistem tataniaga.
Pendekatan ini disebut dengan pendekatan institusional. Asmarantaka (2012)
menyebutkan bahwa kelembagaan tataniaga mencakup berbagai organisasi atau
15
kelompok bisnis yang menjalankan fungsi-fungsi tataniaga. Tidak semua lembaga
melakukan semua fungsi.
Adapun lembaga-lembaga tataniaga, menurut Kohls and Uhl (2002), yang
dimaksud dapat dibedakan menjadi pedagang perantara, agen perantara,
spekulator, pedagang pengolah atau manufaktur, dan organisasi. Pedagang
perantara sendiri dapat dibedakan menjadi pedagang pengumpul, pengecer dan
grosir. Sementara itu, agen perantara juga dapat dibedakan menjadi broker dan
komisioner. Berdasarkan definisi dan jenis-jenis lembaga tataniaga tersebut, dapat
dikatakan bahwa petani bukan merupakan lembaga tataniaga, demikian juga
dengan konsumen akhir. Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dalam Yunar (2013), konsumen akhir adalah pemakai atau pihak yang
mengonsumsi barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan individu, keluarga,
atau rumah tangganya tanpa maksud untuk diperdagangkan kembali.
Pendekatan yang ketiga yang umum digunakan dalam menganalisis suatu
s