Biopelet Kayu Agathis dengan Penguat Kulit Lepasnya

BIOPELET KAYU AGATHIS DENGAN PENGUAT KULIT
LEPASNYA

SYAIFUL BAHRI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Biopelet Kayu Agathis
dengan Penguat Kulit Lepasnya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2014
Syaiful Bahri
NIM E24100043

ABSTRAK
SYAIFUL BAHRI. Biopelet Kayu Agathis dengan Penguat Kulit Lepasnya.
Dibimbing oleh NYOMAN J WISTARA dan GUSTAN PARI.
Kulit agathis dapat dijadikan sebagai penguat (fortifier) yang diharapakan
mampu meningkatkan kandungan energi serta ketahanan biopelet. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis komponen kimia dan proksimat kayu dan kulit
agathis, menentukan mutu biopelet kayu agathis dengan penguat kulit lepasnya,
serta menentukan sifat termal biopelet. Penentuan lignin klason, ekstraktif, dan
holoselulosa serta α-selulosa masing-masing mengacu TAPPI T 222 0m-88, TAPPI
T 204 0m-88, dan Browning (1967). Biopelet dibuat menggunakan pencetak
biopelet hidrolik dengan diameter 15 mm dan tekanan kempa 1500 psi. Kualitas
biopelet seperti kadar air, kerapatan, kadar abu, ketahanan, dan nilai kalor
ditentukan berdasarkan DIN EN 14961-2 dan 51731. Kulit agathis memiliki kadar
α-selulosa dan holoselulosa lebih rendah dari pada bagian kayunya, tetapi kadar
lignin klason, ekstraktif, dan kadar abunya lebih tinggi. Biopelet yang dihasilkan
memiliki nilai kerapatan 0.61-0.71 g/cm3, kadar air 0.42-4.52%, kadar abu 0.792.73%, ketahanan 21.26-44.59%, dan nilai kalor 4524-4628 kkal/kg. Biopelet yang

dihasilkan telah memenuhi standar DIN EN 14961-2 dan 51731 kecuali untuk
kerapatan dan ketahanannya. Analisis termal menunjukkan bahwa biopelet
mengalami reaksi kehilangan air pada suhu 36-100 oC, reaksi dekomposisi 100-476
o
C dengan kehilangan massa 77.34-80.51%, dan kehilangan massa secara
signifikan berhenti pada suhu di atas 480 oC.
Kata kunci: agathis, biopelet, kulit, termal

ABSTRACT
SYAIFUL BAHRI. Biopellet Properties of Agathis Wood Fortified with Its Loosen
Bark. Supervised by NYOMAN J WISTARA and GUSTAN PARI.
The agathis bark is expected to increase the energy content and durability of
the resulting biopellet. The present research was aimed to analyze chemical
components of agathis and to determine the quality of agathis wood biopellet
fortified with its loosen bark. The klason lignin, extractives, holocellulose and αcellulose content of wood and bark of the agathis were determined following the
standard procedures of TAPPI T 222 0m-88, TAPPI T 204 0m-88, and Browning
(1967), respectively. Biopellets of 15 mm diameter were prepared with pelletizing
pressure of 1500 psi. The moisture content, ash content, density, durability, and
calorific value of the resulting biopellet were compared to those required by DIN
EN 14961-2 and 51731 standards. The α-cellulose and holocellulose content of the

agathis bark were found lower than these of its wood. However, its klason lignin,
extractive, and ash content were higher than these of its wood. The resulting
biopellet retained the density of 0.61-0.71 g/cm3, moisture content of 0.42-4.52%,
ash content of 0.79-2.73%, durability of 21.26-44.59%, and calorific value of 45244628 kcal/kg. Except for that of the biopellet density and durability, all parameters
satisfied the requirements of DIN EN standards. Thermal analysis of biopellet
showed that water loss occurred at 36-100 oC and significant mass decomposition
between 100 up to 475 oC with the weight loss of 77.34-80.51%. No further
decomposition was found at above 480 oC.
Keywords: agathis, biopellet, bark, thermal

BIOPELET KAYU AGATHIS DENGAN PENGUAT KULIT
LEPASNYA

SYAIFUL BAHRI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Hasil Hutan


DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Biopelet Kayu Agathis dengan Penguat Kulit Lepasnya
Nama
: Syaiful Bahri
NIM
: E24100043

Disetujui oleh

Nyoman J Wistara, Ph.D
Pembimbing I

Prof. (R) Dr. Gustan Pari, M.Si
Pembimbing II


Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah biopelet,
dengan judul Biopelet Kayu Agathis dengan Penguat Kulit Lepasnya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Burhan dan Ibu Uti sebagai
orang tua yang selalu mendukung dan memberikan do`a untuk kelancaran studi
penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Nyoman J Wistara, Ph.D dan
Bapak Prof. (R) Dr. Gustan Pari, M.Si selaku dosen pembimbing serta seluruh
dosen, laboran, dan karyawan Departemen Hasil Hutan yang telah membantu dan
memberikan arahan selama menjalani studi di IPB. Penulis juga menyampaikan
terima kasih kepada Dinas Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan

Beasiswa Bidik Misi dan Departemen Hasil Hutan yang telah memberikan
Beasiswa Tanabe Foundation. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Bapak Ali dari Laboratorium Kimia dan Energi Hasil Hutan Puslitbang
Bogor dan pihak Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) yang telah membantu
dalam kegiatan penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Sintia,
Samuel, Adi, dan Arif yang telah membantu selama kegiatan penelitian dan
penyusunan tugas akhir.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2014
Syaiful Bahri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3


METODE

4

Persiapan Bahan Baku

4

Analisis Komponen Kimia dan Proksimat

4

Pembuatan Biopelet

5

Pengujian Kualitas Biopelet

5


Kadar Air

5

Kerapatan

5

Kadar Abu

5

Ketahanan (Durability)

5

Nilai Kalor

6


Analisis Termal

6

Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Komponen Kimia Kayu Agathis

8

Kualitas Biopelet

9


Kadar Air

9

Kerapatan

10

Kadar Abu

11

Ketahanan (Durability)

13

Nilai Kalor

14

Analisis Termal

14

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

17
17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

18

RIWAYAT HIDUP

21

DAFTAR TABEL
1 Analisis komponen kimia dan proksimat kayu agathis
2 Rataan dan standar deviasi kualitas biopelet
3 Analisis keragaman kualitas biopelet
4 Uji lanjut Duncan kualitas biopelet
5 Rataan, standar deviasi, dan uji lanjut Duncan nilai kalor biopelet
6 Analisis termal biopelet

8
10
11
12
14
15

DAFTAR GAMBAR
1 Garis besar penelitian
2 Analisis termal bahan baku kayu (B0)
3 Analisis termal biopelet komposisi B30
4 Analisis termal bahan baku kulit (B100)

4
16
16
17

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Energi berbasis fosil menjadi sumber utama energi rumah tangga yang
kebutuhannya semakin meningkat. Tetapi, persediaan sumber energi fosil dunia
untuk minyak bumi, gas alam, dan batu bara masing-masing diperkirakan hanya
tersedia sampai 40, 60, dan 200 tahun kedepan (Quan 2006). Sumber energi
alternatif diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Energi berbasis
biomassa merupakan alternatif dalam menjawab krisis energi yang berasal dari fosil.
Penggunaan energi berbasis biomassa tidak memberikan kontribusi terhadap
peningkatan gas rumah kaca dan emisi CO2 (Demirbas 2004; Lehmann et al. 2012)
serta berfungsi sebagai karbon netral (Gil et al. 2010). Penggunaan bahan bakar
fosil dapat menyumbang emisi karbon sekitar 98% dari proses pembakarannya,
dimana batu bara menyumbang emisi sebesar 30-40% (Demirbas 2005). Biomassa
memiliki sifat dapat diperbaharui dan ramah lingkungan sehingga penggunaannya
sangat potensial untuk dikembangkan di masa yang akan datang.
Biomassa sebagai sumber energi menempati urutan keempat dan dapat
memenuhi sekitar 14% kebutuhan energi dunia (Demirbas 2004). Berdasarkan
laporan Kementerian ESDM (2012), konsumsi energi berbasis biomassa Indonesia
lebih besar (56.12 juta ton) dari batu bara (28.97 juta ton). Menurut Demirbas
(2001), bahan bakar berbasis biomassa berasal dari kayu, limbah penggergajian,
limbah kehutanan, limbah pertanian, limbah kertas, kenaf, tebu, bambu, jerami, dan
bahan berlignoselulosa lainnya. Biomassa dapat dikonversi menjadi tiga bentuk
sumber energi yaitu gas, padat, dan cair. Bentuk padat sumber energi biomassa
antara lain briket, biopelet, dan cubes. Pelletizing merupakan konversi biomassa
dengan cara pemadatan menjadi produk biopelet yang ditujukan untuk
memudahkan penanganan, penyimpanan, dan transportasi.
Biopelet memiliki potensi menggantikan bahan bakar berbasis batu bara atau
sebagai bahan campuran dengan batu bara (Demirbas 2005; Uasuf dan Becker
2011). Meskipun nilai kalor kayu berkisar 3900-4778 kkal/kg lebih rendah dari nilai
kalor batu bara yang berkisar 6000-6450 kkal/kg (Demirbas 2005, Cahyono et al.
2008), ketersediaan batu bara yang terbatas dan pembakarannya bersifat tidak
ramah lingkungan menyebabkan batu bara tidak akan menjadi sumber energi
pilihan dunia di masa depan. Dilihat dari aspek pemasaran, permintaan biopelet
menunjukkan peningkatan khususnya di Eropa (Toscano et al. 2013). Penggunaan
biopelet di Swedia mengalami peningkatan sebesar 240% dari tahun 1997 sampai
2006 serta harga pasarnya meningkat 45% (Nilsson et al. 2011) sehingga dapat
dijadikan peluang bisnis.
Agathis dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan kayu berupa kayu
pertukangan dan kayu bakar serta hasil hutan bukan kayu berupa getah. Produksi
kayu agathis Perum Perhutani tahun 2010-2011 sebesar 305728 m3 (Departemen
Kehutanan 2012). Umumnya pohon memiliki proporsi kulit 10-20% terhadap
beratnya (Fengel dan Wegener 1995) sehingga potensi kulit agathis diperkirakan
sebesar 30572.8-61145.6 m3. Agathis memiliki ciri khas kulit terkelupas dan
ukurannya lebih tebal ketika berumur dewasa. Selain pemanfaatan kayu dan
getahnya, bagian kulit agathis memiliki potensi untuk dijadikan bahan bakar karena

2
kandungan lignin dan ekstraktifnya relatif tinggi. Kandungan lignin dan ekstraktif
kayu agathis masing-masing 24.7 dan 2.0% serta nilai kalornya sebesar 4762
kkal/kg (Martawijaya et al. 1981).
Kulit agathis dapat dijadikan penguat yang berfungsi untuk mempertahankan
dan meningkatkan sifat biopelet terutama sifat mekanisnya (Hoong et al. 2009).
Fortifikasi dengan kulit pinus dalam pembuatan biopelet telah dilakukan oleh
Filbakk et al. (2011) dimana ketahanan yang dihasilkan berkisar 95-97%. Kadar air,
kerapatan, kadar abu, ketahanan, nilai kalor, panjang dan diameter biopelet, serta
analisis dasar merupakan parameter yang dapat digunakan untuk menentukan
kualitas biopelet. Nilai parameter yang disyaratkan bergantung pada masingmasing negara atau standar yang digunakan. Ketahanan merupakan faktor penting
penentu mutu biopelet karena terkait dengan kerusakan biopelet dalam
transportasinya. Tingginya kandungan lignin pada kulit agathis diduga akan
meningkatkan nilai ketahanan biopelet yang dihasilkan. Faktor yang berpengaruh
terhadap ketahanan biopelet antara lain prapemanasan, kadar air dan jenis bahan
baku, ukuran partikel, tekanan, suhu, diameter dan lamanya waktu pembuatan
biopelet (Kaliyan dan Morey 2009; Lee et al. 2013).
Ukuran partikel berpengaruh terhadap kerapatan, waktu pembakaran, dan
ketahanan biopelet (Saptoadi 2008; Hendra 2012; Lee et al. 2013). Penggunaan
ukuran partikel yang semakin kecil pada pembuatan briket arang akan
meningkatkan nilai kerapatannya namun waktu pembakarannya relatif lama
(Saptoadi 2009). Ukuran partikel yang lebih besar akan menghasilkan briket yang
lebih poros sehingga lebih mudah terbakar. Biopelet yang terbuat dari partikel 3.20.8 mm menghasilkan kerapatan yang relatif tinggi yaitu 0.88-1.40 g/cm3 (Mani et
al. 2006). Pembuatan biopelet Larix kaempferi C. menggunakan partikel kurang
dari 1.41 mm memiliki ketahanan yang lebih tinggi dari partikel 1.41-3.17 mm (Lee
et al. 2013). Penggunaan ukuran partikel biopelet kulit agathis yang semakin kecil
diduga akan meningkatkan nilai ketahanan serta kerapatannya. Ukuran partikel
yang semakin kecil akan meningkatkan ikatan antar partikel serta bidang kontak
partikel satu dengan lainnya.
Penggunaan variasi nisbah kulit dalam pembuatan biopelet berpengaruh
terhadap kadar abu dan nilai kalor. Nisbah kulit kayu pinus pada pencampuran
biopelet akan meningkatkan nilai kalor serta kadar abunya (Filbakk et al. 2011).
Kadar abu yang tinggi akan membentuk kerak pada tungku pembakaran. Nilai kalor
biopelet dipengaruhi oleh komponen kimia penyusun bahan (Telmo dan Lousada
2011). Penambahan kulit ke dalam biopelet diduga akan meningkatkan komponen
lignin dan ekstraktif sehingga nilai kalornya meningkat. Keragaman kadar kulit
digunakan untuk melihat tingkat penguatan optimum biopelet yang dihasilkan.
Penggunaan kulit agathis sebagai penguat biopelet pada penelitian ini adalah
maksimum 30%. Persentase tersebut digunakan karena proporsi kulit pada pohon
yang kurang dari 30%. Karena jumlahnya terbatas, diharapkan penggunaan kulit
sebagai penguat dapat meningkatkan sifat fisis dan mekanis biopelet yang
dihasilkan.
Suhu pembuatan biopelet akan berpengaruh terutama terhadap kadar airnya.
Suhu pembuatan biopelet yang tinggi akan menurunkan kadar airnya (Hendra 2012).
Namun, penggunaan suhu tinggi akan mendekomposisi sebagian komponen
kimianya. Dekomposisi komponen kimia akan menurunkan kualitas biopelet.
Kandungan kimia terutama lignin akan memengaruhi proses terjadinya ikatan antar

3
partikel, dimana semakin tinggi lignin pada bahan maka diduga ketahanan akan
semakin meningkat. Variasi suhu dalam pembuatan biopelet terkait dengan proses
pelunakan lignin, dan diharapkan dari penelitian ini ditemukan suhu optimum untuk
membuat biopelet kayu agathis yang berkualitas.

Perumusan Masalah
Energi berbasis biomassa seperti kayu adalah alternatif energi berbasis batu
bara yang ketersediaannya kian menurun. Kadar energi kayu tergolong rendah
dibandingkan dengan batu bara. Peningkatan kadar energinya dapat dilakukan
melalui koversi menjadi biopelet dan dengan penguat seperti komponen kulitnya.
Kadar lignin dan ekstraktif kulit yang relatif tinggi diharapkan mampu
memperbaiki kadar energi dan sifat fisik biopelet kayu. Keragaman suhu dalam
penelitian ini ditujukan untuk mencari suhu peletisasi paling optimum yang secara
penuh memanfaatkan fungsi lignin sebagai bahan perekat dan peningkat kadar
energi. Penggunaan ukuran partikel berbeda ditujukan untuk mengetahui ukuran
partikel paling tepat untuk menghasilkan biopelet dengan ketahanan terbaik.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kualitas biopelet kayu agathis yang
diperkuat dengan kulit lepasnya, dan menentukan suhu peletisasi terbaik melalui
analisis sifat termal bahan baku dan biopeletnya.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kadar kulit
lepas, suhu peletisasi, dan ukuran partikel terbaik untuk menghasilkan biopelet
kayu agathis yang memenuhi standar mutu DIN EN 14961-2 dan 51731. Penelitian
ini juga diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah hutan dalam hal penyediaan
energi terbarukan.

4

METODE
Persiapan Bahan Baku
Kayu agathis berumur ±50 tahun dicacah dan dikeringudarakan dengan sinar
matahari. Kadar air serpih yang telah kering udara kemudian ditentukan. Kadar air
bahan baku untuk biopelet sebaiknya 8-12%. Serpih digiling menggunakan hammer
mill dan serbuk yang dihasilkan disaring menggunakan saringan bertingkat. Serbuk
berukuran 20-40 mesh (0.841-0.420 mm) dan 40-60 mesh (0.420-0.250 mm)
digunakan untuk pembuatan biopelet dan serbuk 40-60 mesh digunakan untuk
keperluan analisis komponen kimia dan proksimat. Untuk pembuatan biopelet,
serbuk bagian kayu (W) dicampur serbuk bagian kulit (B) dengan variasi komposisi
(%) sebagai berikut: B0/W100, B10/W90, B20/W80, B30/W70, dan B100/W0
yang merupakan modifikasi penelitian Filbakk et al. (2011) menggunakan bahan
baku kayu pinus. Perbandingan antara kulit dan kayu dihitung berdasarkan berat
keringnya. Berikut adalah garis besar penelitian yang dilakukan:
Biomassa
berlignoselulosa:
kayu dan kulit

Pencacahan

Analisis Proksimat:
Kadar air, kadar abu,
karbon terikat, dan zat
terbang
Biopelet

Analisis kualitas
biopelet

Kadar air

Pengecilan
ukuran

Pengeringan
dengan matahari

Analisis Kimia:
Ekstraktif, lignin klason,
holoselulosa, α-selulosa, dan
hemiselulosa

Perlakuan:
Ukuran partikel (40 dan 60 mesh),
nisbah kulit kayu (W - 100; B/W 10/90; B/W - 20/80; B/W - 30/70;
dan B - 100), dan suhu (130; 160;
dan 190 0C)

Kerapatan
Nilai kalor

Kadar abu

Pencetakan
biopelet

Ketahanan

Analisis Termal

Gambar 1 Garis besar penelitian
Analisis Komponen Kimia dan Proksimat
Analisis komponen kimia dan proksimat dilakukan terhadap bagian kayu dan
bagian kulit agathis. Analisis kimia yang dilakukan meliputi penentuan kelarutan
ekstraktif dalam etanol-benzen (TAPPI T 204 0m-88), lignin klason (TAPPI T 222
0m-88), holoselulosa (Browning 1967), α-selulosa dan hemiselulosa (Browning
1967). Analisis proksimat meliputi penentuan kadar air (ASTM E-871), kadar abu,
zat terbang, dan karbon terikat (ASTM D-1102).

5
Pembuatan Biopelet
Biopelet dibuat dengan pencetak pelet hidrolik hasil rekayasa Hendra (2012)
yang memiliki 40 lubang dengan diameter 15 mm dan tekanan kempa sebesar 1500
psi (10.34 MPa)/ 40 lubang. Dalam pencetakan biopelet, bahan baku serbuk
dimasukkan ke dalam lubang pencetak pelet dengan suhu kempa 130, 160, dan 190
o
C (Lee et al. 2013). Lamanya waktu kempa (pelleting time) adalah 6 menit
(preheating dan heating masing-masing 3 menit). Biopelet yang dihasilkan
dikondisikan (conditioning) selama satu hari kemudian kadar air, kerapatan, kadar
abu, ketahanan, dan nilai kalor biopelet ditentukan. Analisis termal dengan TGDTA dilakukan terhadap bagian kayu, bagian kulit, dan biopelet dengan komposisi
B30.
Pengujian Kualitas Biopelet
Kadar Air
Kadar air merupakan perbandingan berat basah dengan berat kering biopelet.
Sampel biopelet dioven pada suhu 103±2 0C sampai beratnya konstan. Biopelet
harus memiliki kadar air kurang dari sama dengan 10% (DIN EN 14961-2). Kadar
air biopelet dapat dihitung menggunakan rumus:
Kadar air (%)

=

BB

−BKT

x 100

BKT

Kerapatan
Kerapatan didefinisikan sebagai berat per satuan volume biopelet. Berat
biopelet ditimbang menggunakan neraca analitis digital dengan akurasi 0.01g dan
volume diukur dengan menggunakan rumus silinder. Kerapatan harus lebih dari
sama dengan 1.00-1.40 g/cm3 (DIN EN 51731). Kerapatan biopelet dapat dihitung
menggunakan rumus:
Kerapatan (g/cm3)

Be

=

3

e

Kadar Abu
Kadar abu dinyatakan sebagai persentase dari residu yang tersisa setelah
pembakaran dalam 600 0C oven selama sekitar 4 jam. Berat biopelet dicatat
sebelum dan sesudah pembakaran dengan menggunakan neraca analitis digital.
Kadar abu harus kurang dari sama dengan 3% (DIN EN 14961-2). Kadar abu
biopelet dapat dihitung menggunakan rumus:
Kadar abu (%)

=

Be

B

e

x 100

Ketahanan (Durability)
Sebanyak ±100 gram biopelet dimasukkan ke dalam drum berputar.
Kecepatan rotasi yang ditetapkan sebesar 50 rpm dengan waktu putar selama 10
menit. Setelah itu, biopelet dipindahkan dari drum dan disaring menggunakan
saringan 20 mesh. Partikel yang tertampung pada saringan 20 mesh selanjutnya
ditimbang. Ketahanan biopelet harus lebih dari sama dengan 96.5% (DIN EN
14961-2). Ketahanan biopelet dapat dihitung menggunakan rumus:

6
Ketahanan (%)

=

Be

Be

w

x 100
Nilai Kalor

Nilai kalor dihitung berdasarkan banyaknya kalor yang dilepaskan sama
dengan kalor yang akan diserap oleh air dan dinyatakan dalam kilo kalori per
kilogram. Sebanyak 15 sampel biopelet pada perlakuan nisbah kulit kayu dianalisis
nilai kalornya menggunakan alat bom kalorimeter Parr 6400. Analisis nilai kalor
dilakukan pada kondisi tertentu menggunakan gas oksigen (450 psi), nitrogen (80
psi), dan asam benzoat. DIN EN 14961-2 mensyaratkan nilai kalor biopelet berkisar
antara 3821-4538 kkal/kg. Nilai kalor dapat dihitung menggunakan rumus:
Nilai kalor (kkal/kg)
Keterangan: W
t
e1
e2
e3
m

. −e −e −e

=
= Energi ekuivalen value dari asam benzoat
= Selisih kenaikan suhu (0C)
= Koreksi dari kawat nikel krom
= Koreksi dari sulfur
= Koreksi dari nitric acid
= Bobot sampel (gram)
Analisis Termal

Analisis termal merupakan metode untuk menyelidiki kejadian termal dan
kinetik biopelet selama proses pembakaran. Analisis termal yang digunakan
meliputi analisis thermogravimetri (TGA) dan differential thermal (DTA). Alat
yang digunakan untuk analisis termal adalah Thermal Gravimetry/ Differential
Thermal Analyser (TG/DTA) SII EXTAR 7300 buatan Hitachi High-Tech Science
Corporation Tokyo. Sebanyak ±3-5 mg sampel dimasukkan ke dalam wadah TGDTA yang terbuat dari Alumina/Pt. Setelah itu alat diatur dengan memasukkan
parameter sampel meliputi nama sampel, berat sampel, jenis pan, range suhu, dan
laju alir suhu kemudian analisis dijalankan hingga pengukuran selesai. Analisis
dilakukan pada laju alir udara 50 cm3/menit dan laju pemanasan 10 0C/menit hingga
suhu mencapai 1200 0C.
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial
dengan tiga faktor yaitu faktor A adalah ukuran partikel (2 faktor yaitu A20-40 dan
A40-60), faktor B adalah nisbah kulit kayu (5 faktor yaitu B0, B10, B20, B30, dan
B100), dan faktor C adalah suhu yang digunakan (3 faktor yaitu C130, C160, dan
C190) dengan ulangan sebanyak 3 kali. Model umum rancangan yang digunakan
untuk menganalisis kualitas biopelet seperti kerapatan, kadar air, kadar abu, dan
ketahanan adalah sebagai berikut:
Yijk = μ + Ai + Bj + Ck + (AB)ij + (AC)ik + (BC)jk + (ABC)ijk + εijk

7
Keterangan
Yijk
μ
Ai
Bj
Ck
(AB)ij
(AC)ik
(BC)jk
εijk

:
: nilai respon pada taraf ke-i faktor ukuran partikel, taraf ke-j faktor
nisbah kulit kayu, dan taraf ke-k faktor suhu yang digunakan
: nilai rata-rata pengamatan
: pengaruh taraf ke-i dari faktor ukuran partikel
: pengaruh taraf ke-j dari faktor nisbah kulit kayu
: pengaruh taraf ke-k dari faktor suhu yang digunakan
:pengaruh interaksi faktor ukuran partikel pada taraf ke-i dan faktor
nisbah kulit kayu taraf ke-j
:pengaruh interaksi faktor ukuran partikel pada taraf ke-i dan faktor
suhu yang digunakan taraf ke-k
:pengaruh interaksi faktor nisbah kulit kayu pada taraf ke-j dan
faktor suhu yang digunakan taraf ke-k
: kesalahan (galat) percobaan pada faktor ukuran partikel pada taraf
ke-i, faktor nisbah kulit kayu pada taraf ke-j, dan faktor suhu yang
digunakan pada taraf ke-k

Nilai kalor dianalisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
Faktorial dengan satu faktor yaitu faktor nisbah kulit kayu (B0, B10, B20, B30, dan
B100). Model umum yang digunakan adalah sebagai berikut:
Yi = μ + Bi + εi
Keterangan
Yi
μ
Bi
εi

:
: nilai respon pada taraf ke-i faktor nisbah kulit kayu yang digunakan
: nilai rata-rata pengamatan
: pengaruh taraf ke-i dari faktor nisbah kulit kayu
: kesalahan (galat) percobaan pada faktor nisbah kulit kayu pada
taraf ke-i

Kriteria uji yang digunakan adalah jika P-Value lebih kecil atau sama dengan
0.05 maka perlakuan berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95% dan jika PValue lebih besar dari 0.05 maka perlakuan tidak berpengaruh nyata pada tingkat
kepercayaan 95%. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh nyata
dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Uji lanjut Duncan.

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Komponen Kimia Kayu Agathis
Kayu memiliki komponen kimia struktural berupa selulosa, hemiselulosa, dan
lignin, serta komponen bukan struktural berupa ekstraktif dan mineral. Komponen
kimia yang terkandung dalam kayu berbeda proporsi bergantung pada jenisnya.
Selulosa merupakan komponen utama penyusun kayu yang memiliki proporsi
sekitar 40-45% sedangkan hemiselulosa berkisar antara 20-30% terhadap berat
keringnya (Sjostrom 1991). Hasil pengujian menunjukkan bahwa agathis memiliki
α-selulosa dan hemiselulosa masing-masing 49.80 dan 21.26% pada bagian kayu
serta 32.54 dan 21.99% pada bagian kulitnya. Kandungan α-selulosa pada bagian
kayu lebih tinggi dari bagian kulitnya (Tabel 1). Kontribusi energi selulosa yaitu
sebesar 4150-4350 kkal/kg (Haygreen et al. 2003).
Tabel 1 Analisis komponen kimia dan proksimat kayu agathis
Bagian
No. Keterangan*
Satuan
Kulit (B)
Kayu (W)
Analisis komponen kimia
1 Ekstraktif
%
12.47
6.65
2 Lignin Klason
%
42.64
30.94
3 Holoselulosa
%
54.53
71.06
4 α-Selulosa
%
32.54
49.80
5 Hemiselulosa
%
21.99
21.26
Analisis proksimat
6 Kadar Abu
%
2.63
1.08
7 Kadar Air
%
13.29
11.73
8 Zat Terbang
%
68.13
78.79
9 Karbon Terikat
%
30.79
18.58
keterangan
: (*) rataan dengan tiga kali ulangan kecuali ekstraktif dua kali
ulangan
Lignin merupakan senyawa fenolik yang tersusun atas unit-unit fenilpropana.
Lignin berperan dalam hal kekuatan mekanis kayu serta berfungsi sebagai bahan
perekat alami. Kandungan lignin klason kayu berkisar 20-40% dan diperkirakan
lignin pada bagian kayu dan kulit masing-masing sebesar 28 dan 36% (Fengel dan
Wegener 1984). Ekstraktif merupakan kelompok senyawa heterogen yang dapat
diekstraksi menggunakan pelarut polar dan non-polar. Ekstraktif dalam kayu terdiri
dari lilin, protein, gula, pektin, getah, resin, terpen, pati, saponin, dan lain-lain.
Ekstraktif dalam kayu daun jarum berkisar antara 4-10% bahkan pada kayu tropis
bisa mencapai 20% terhadap berat keringnya (Sjostrom 1991). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa lignin klason dan ekstraktif kulit agathis lebih tinggi dari
bagian kayunya. Miranda et al. (2012) menyatakan bahwa kulit Pinus sylvestris dan
Picea abies memiliki lignin klason 26.8-32.9 %, lignin terlarut asam 0.8-1.1%, dan
ekstraktif larut etanol 5.0-5.3%.
Komponen kimia seperti lignin klason dan ekstraktif perlu diketahui dalam
hal pemanfaatan biomassa sebagai energi. Lignin dan ekstraktif (oleoresin) masingmasing memiliki nilai kalor 6100 dan 8500 kkal/kg (Haygreen et al. 2003).
Biomassa yang memiliki kadar lignin klason dan ekstraktif yang tinggi dapat

9
menjadi bahan bakar yang baik. Lignin memiliki unsur karbon yang lebih tinggi
dari pada selulosa (Pasangulapati et al. 2012). Karbon dan hidrogen merupakan
unsur utama proses pembakaran dimana karbon berkorelasi positif terhadap nilai
kalor biomassa (Wang et al. 2009; Jiricek et al. 2013). Berdasarkan hasil pengujian,
lignin klason dan ekstraktif kulit agathis relatif tinggi sehingga diduga nilai kalor
akan meningkat seiring meningkatnya penambahan proporsi kulit dalam biopelet.
Abu adalah senyawa anorganik yang terdapat dalam kayu yang meliputi unsur
kalsium, kalium, magnesium, silika, oksalat, dan fosfat. Kadar abu agathis berkisar
1.08-2.63%, dimana bagian kulit memiliki kadar abu lebih tinggi dari bagian
kayunya. Kadar abu bagian kulit berkisar antara 2-5% dan persentasenya dua kali
lebih besar dari bagian kayunya (Fengel dan Wegener 1984; Sjostrom 1991).
Miranda et al. (2012) menyatakan bahwa kandungan abu pada kulit Pinus sylvestris
dan Picea abies mencapai 3.3-4.6%. Pengujian kadar abu penting untuk mengetahui
jumlah komponen abu yang akan dihasilkan dari penambahan kulit ke dalam
biopelet. Kadar air bahan baku adalah faktor penting lain penentu mutu biopelet.
Kadar air bahan baku biopelet disarankan sekitar 8-12%. Zat terbang hasil
penelitian berkisar 68.13-78.79%, sedangkan karbon terikat sebesar 18.58-30.79%.
Kualitas Biopelet
Kadar Air
Kadar air merupakan salah satu parameter mutu biopelet. Peningkatan kadar
air akan menurunkan mutu biopelet. Tingginya kadar air pada kayu Eucalyptus
urophylla dan Corymbia citriodora akan menurunkan nilai kalor (Zanuncio et al.
2013). Kadar air biopelet hasil pengujian berkisar antara 0.42-4.52% (Tabel 2).
Kadar air biopelet tertinggi terdapat pada kombinasi ukuran partikel 40 mesh,
nisbah kulit 100%, dan suhu 130 oC yaitu 4.52%, sedangkan kadar air terendah
pada kombinasi ukuran partikel 60 mesh, nisbah kulit 0%, dan suhu 190 oC yaitu 0.
42%. Biopelet yang dihasilkan memenuhi standar DIN EN 14961-2 yang
mensyaratkan kadar air biopelet kurang dari sama dengan 10%.
Analisis keragaman menunjukkan bahwa ukuran partikel, nisbah kulit, suhu,
serta semua interaksi berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air biopelet. Interaksi
ukuran partikel 60 mesh, nisbah kulit 20%, dan suhu 130 oC menghasilkan nilai
kadar air yang berbeda nyata dengan ukuran partikel 60 mesh, nisbah kulit 20%,
dan suhu 160 oC. Kadar air biopelet dengan suhu kempa 130, 160, dan 190 oC telah
memenuhi standar DIN EN 14961-2. Penggunaan suhu 130 oC dalam pembuatan
biopelet kayu agathis lebih efisien dari suhu 160 dan 190 oC.
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar air biopelet yang dibuat dari
serbuk berukuran 40 mesh berbeda dengan 60 mesh. Partikel yang lebih kecil akan
membuat air dalam biopelet sulit keluar masuk. Semakin kecil ukuran partikel,
kadar air biopelet semakin rendah. Nisbah kulit dan suhu menghasilkan kadar air
biopelet yang berbeda nyata, kecuali pada nisbah kulit 0 dan 20% yang
menunjukkaan hasil yang tidak berbeda nyata. Tabel 4 menunjukkan bahwa
peningkatan suhu menurunkan kadar air biopelet. Peningkatan suhu menyebabkan
peningkatan jumlah penguapan air dari dalam biopelet. Hasil penelitian ini sesuai
dengan temuan Hendra (2012) yang menunjukkan bahwa peningkatan suhu
pengempaan dari 150 menuju 250 oC menurunkan nilai kadar air biopelet kayu jati,
akasia, dan sengon hingga 0.95-2.91%.

10
Kerapatan
Kerapatan biopelet dipengaruhi oleh kerapatan bahan bakunya. Kerapatan
bahan baku Agathis sp berkisar antara 0.47-0.48 kg/cm3 (Martawijaya et al. 1981).
Kerapatan biopelet hasil pengujian berkisar antara 0.61-0.71 g/cm3 (Tabel 2). Nilai
kerapatan biopelet hasil pengujian tidak masuk dalam persyaratan DIN EN 51731
yaitu 1.00-1.40 g/cm3. Namun hasil pengujian menunjukkan bahwa proses
densifikasi dapat meningkatkan kerapatan biopelet. Salah satu keuntungan konversi
biomassa menjadi produk biopelet adalah penurunan sifat bulky biomassa. Sifat
bulky biomassa berkaitan dengan biaya penyimpanan dan transportasi.
Tabel 2 Rataan dan standar deviasi kualitas biopelet
Perlakuan
Kadar Air Kerapatan Kadar Abu Ketahanan
Ukuran
Nisbah
Suhu
(%)*
(g/cm3)*
(%)*
(%)*
(Mesh) Kulit (%)
(oC)
130
3.59±0.31 0.64±0.03 0.82±0.10 26.10±1.07
B0
160
2.19±0.05 0.65±0.01 0.79±0.07 21.26±0.83
190
1.34±0.19 0.61±0.02 0.82±0.02 24.65±0.28
130
3.40±0.02 0.64±0.02 0.79±0.09 30.22±0.62
B10
160
1.93±0.21 0.67±0.01 1.19±0.14 22.17±1.22
190
1.16±0.16 0.68±0.02 0.99±0.16 25.57±1.71
130
3.00±0.28 0.61±0.02 1.11±0.19 34.20±0.92
20-40
B20
160
2.65±0.19 0.61±0.01 1.03±0.07 26.37±1.06
190
2.11±0.09 0.63±0.01 1.36±0.15 30.01±1.06
130
3.96±0.34 0.69±0.04 1.48±0.09 35.87±1.63
B30
160
3.30±0.24 0.62±0.01 1.50±0.07 26.26±0.79
190
1.32±0.27 0.65±0.02 1.42±0.09 31.60±1.10
130
4.52±0.20 0.61±0.00 2.48±0.05 30.54±0.74
B100
160
2.57±0.29 0.63±0.03 2.58±0.04 25.65±0.64
190
1.57±0.17 0.65±0.02 2.73±0.06 29.65±0.56
130
1.43±0.31 0.67±0.03 1.21±0.09 36.31±0.92
B0
160
1.13±0.24 0.63±0.00 1.11±0.12 26.28±0.75
190
0.42±0.14 0.68±0.02 1.03±0.14 33.62±1.07
130
1.45±0.13 0.64±0.02 1.22±0.04 40.39±0.85
B10
160
0.77±0.16 0.65±0.02 1.24±0.07 27.80±0.58
190
0.42±0.21 0.68±0.02 1.45±0.17 36.44±1.07
130
1.44±0.30 0.64±0.03 1.43±0.08 44.12±1.39
40-60
B20
160
0.63±0.07 0.62±0.01 1.44±0.14 31.25±1.47
190
0.55±2.31 0.65±0.04 1.46±0.06 41.38±0.83
130
2.31±0.16 0.63±0.03 1.79±0.06 44.59±0.54
B30
160
1.02±0.12 0.66±0.02 1.65±0.01 38.91±1.01
190
0.56±0.03 0.62±0.01 1.64±0.17 42.54±0.78
130
3.25±0.24 0.66±0.01 2.25±0.05 34.33±0.74
B100
160
1.39±0.26 0.71±0.02 2.48±0.08 40.84±0.86
190
0.90±0.29 0.70±0.03 2.50±0.06 39.63±0.53
keterangan
: (*) rataan dengan tiga kali ulangan
Analisis keragaman menunujukkan bahwa ukuran partikel, nisbah kulit,
interaksi ukuran partikel dengan nisbah kulit, nisbah kulit dengan suhu, dan
ketiganya berpengaruh nyata terhadap nilai kerapatan. Suhu dan interaksi antara

11
ukuran partikel dengan suhu tidak berpengaruh nyata. Kerapatan biopelet tertinggi
terdapat pada kombinasi ukuran partikel 60 mesh, nisbah kulit 100%, dan suhu 160
o
C yaitu 0.71 g/cm3, sedangkan kerapatan terendah pada kombinasi ukuran partikel
40 mesh, nisbah kulit 100%, dan suhu 130 oC yaitu 0.61 g/cm3. Uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa kerapatan biopelet yang dihasilkan dari interaksi ukuran
partikel 60 mesh, nisbah kulit 20%, dan suhu 130 oC tidak berbeda dengan ukuran
partikel 60 mesh, nisbah kulit 30%, dan suhu 130 oC sehingga penggunaan nisbah
kulit 20% lebih efisien.
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa ukuran partikel 40 mesh berbeda
nyata dengan 60 mesh. Semakin kecil ukuran partikel maka kerapatan biopelet
relatif lebih besar. Hal ini disebabkan oleh bidang kontak antar partikel yang
semakin luas sehingga ruang kosong antar partikel biopelet semakin kecil. Hal
serupa juga diungkapkan oleh Saptoadi (2008) bahwa semakin kecil ukuran partikel
pada pembuatan briket arang maka kerapatannya semakin besar. Berdasarkan
penambahan nisbah kulit kayu ke dalam biopelet, kerapatan yang dihasilkan relatif
sama. Namun uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai kerapatan pada
penambahan nisbah kulit 0, 20 dan 30% berbeda nyata, sedangkan penambahan
nisbah kulit 10, dan 100% tidak berbeda. Filbakk et al. (2012) menyatakan bahwa
penambahan kulit kayu pinus kedalam biopelet relatif tidak meningkatkan nilai
kerapatannya.
Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai R-squared untuk kerapatan adalah 69%.
Dengan demikian terdapat 31% faktor lain yang memengaruhi nilai kerapatan
selain ukuran partikel, nisbah kulit, dan suhu. Nilai kerapatan dipengaruhi oleh
tekanan yang diberikan pada saat proses pengempaan. Semakin tinggi tekanan
maka kerapatan akan semakin tinggi. Tekanan yang diberikan pada proses
pembuatan biopelet dalam penelitian ini adalah 1500 psi (10.34 MPa), jauh lebih
rendah dari tekanan pembuatan biopelet dalam skala industri. Kaliyan dan Morey
(2009) menyatakan bahwa tekanan optimum pembuatan biopelet maupun briket
adalah 100-150 MPa.
Tabel 3 Analisis keragaman kualitas biopelet
Keterangan
Kadar Air Kerapatan Kadar Abu Ketahanan
Dependent Variables (Models)
R-squared
0.97
0.69
0.98
0.99
RMSE
0.21
0.02
0.10
0.98
Effect Test (P-Values)
Ukuran
< 0.0001
0.0006
< 0.0001
< 0.0001
Nisbah
< 0.0001
0.0003
< 0.0001
< 0.0001
Suhu
< 0.0001
0.1915
0.1327
< 0.0001
Ukuran * Nisbah
0.0001
< 0.0001
< 0.0001
0.0006
Ukuran * Suhu
< 0.0001
0.6028
0.0089
< 0.0001
Nisbah * Suhu
< 0.0001
0.0024
0.0006
< 0.0001
Ukuran * Nisbah * Suhu
< 0.0001
0.0008
0.0071
< 0.0001
Keterangan: P-Value ≤ 0.05 maka perlakuan berpengaruh nyata pada tingkat
kepercayaan 95% dan sebaliknya.
Kadar Abu
Kadar abu biopelet yang tinggi akan menurunkan mutunya. Kadar abu
biopelet hasil penelitian berkisar antara 0.79-2.73% (Tabel 2). Nilai tersebut berada
di bawah persyaratan standar yang ditetapkan oleh DIN EN 14961-2 yaitu kurang

12
dari sama dengan 3%, sehingga sudak layak untuk diproduksi. Pembuatan biopelet
dari kulit murni memiliki nilai kadar abu yang lebih besar dari campurannya. Bahan
bakar berbasis biomassa relatif lebih ramah lingkungan dari bahan bakar berbasis
batu bara karena kadar abu biomassa lebih rendah sehingga polusi udara akibat
pembakarannya relatif lebih rendah (Demirbas 2005). Kadar abu yang dihasilkan
dari proses pembakaran batu bara dapat mencapai 18.1-19.2 % (Cahyono et al.
2008).
Tabel 4 Uji lanjut Duncan kualitas biopelet
Perlakuan
Ukuran
Nisbah
Suhu Kadar Air Kerapatan Kadar Abu Ketahanan
(Mesh) Kulit (%)
(oC)
130
C
CDEFGH
KL
LM
B0
160
GH
CDEFGH
L
O
190
IJK
H
KL
M
130
C
DEFGH
L
JK
B10
160
H
ABCDE
GHI
N
190
JKL
ABC
JK
M
130
DE
GH
HIJ
G
20-40
B20
160
EF
GH
IJ
LM
190
GH
EFGH
FG
JK
130
B
AB
DEF
GH
B30
160
CD
GH
DEF
LM
190
IJK
CDEFGH
F
J
130
A
H
B
JK
B100
160
F
EFGH
AB
M
190
I
CDEFGH
A
K
130
IJ
ABCDE
GH
G
B0
160
JKLM
DEFGH
HIJ
LM
190
O
ABCD
IJ
I
130
IJ
CDEFGH
GH
DEF
B10
160
MNO
CDEFGH
GH
L
190
O
ABC
F
G
130
IJ
CDEFGH
F
AB
40-60
B20
160
NO
FGH
F
JK
190
NO
CDEFGH
EF
CD
130
FG
EFGH
C
A
B30
160
KLM
BCDEFG
CD
F
190
NO
GH
CDE
BC
130
CD
ABCDEF
B
HI
B100
160
IJK
A
B
DE
190
LMN
A
B
EF
Keterangan: huruf sama ‘tidak berbeda nyata’
huruf beda ‘berbeda nyata’
Analisis keragaman menunjukkan bahwa ukuran partikel, nisbah kulit, dan
semua interaksinya berpengaruh nyata terhadap kadar abu tetapi tidak dengan suhu.
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar abu interaksi ukuran partikel 60
mesh, nisbah kulit 20%, dan suhu 130 oC berbeda dengan ukuran partikel 60 mesh,

13
nisbah kulit 30%, dan suhu 130 oC sehingga penggunaan nisbah kulit 20% lebih
efisien. Kadar abu biopelet dengan nisbah kulit 20% lebih rendah dari nisbah kulit
30%, sehingga pembuatan biopelet dengan kulit 20% lebih efisien.
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar abu biopelet yang dibuat dengan
partikel 40 mesh lebih rendah dari kadar abu biopelet yang dibuat dengan partikel
60 mesh. Miranda et al. (2012) Penurunan ukuran partikel kulit Pinus sylvestris dan
Picea abies menyebabkan peningkatkan kadar abunya. Uji lanjut Duncan
menunjukkan perbedaan antara kadar abu pelet yang dibuat dengan nisbah kulit
berbeda. Penambahan proporsi kulit kayu ke dalam biopelet akan meningkatkan
nilai kadar abunya (Tabel 4). Hal serupa juga diungkapkan oleh Filbakk et al.
(2011) bahwa kadar abu akan meningkat seiring dengan penambahan proporsi kulit
ke dalam biopelet kecuali pada penambahan kulit sebesar 5%. Komponen abu pada
kulit didominasi oleh unsur nitrogen, kalsium, dan potasium dengan kadar masingmasing 51.25, 44.10, dan 17.00 % (Miranda et al. 2012).
Ketahanan (Durability)
Ketahanan merupakan kemampuan biopelet untuk menahan goncangan atau
benturan dari luar selama proses transportasi. Ketahanan biopelet yang tinggi
mengindikasikan mutu biopelet yang baik. Nilai ketahanan biopelet hasil penelitian
ini berkisar antara 21.26-44.59% (Tabel 2). Nilai ketahanan biopelet ini jauh lebih
rendah dari nilai standar yang ditetapkan DIN EN 14961-2 yaitu lebih dari sama
dengan 96.5%. Nilai ketahanan yang rendah dari biopelet hasil penelitian ini
kemungkinan disebabkan oleh tekanan pembuatan biopelet yang rendah sehingga
tidak terjadi ikatan antar partikel yang baik.
Analisis keragaman menunjukkan bahwa ukuran partikel, nisbah kulit, suhu,
dan semua interaksinya berpengaruh nyata terhadap ketahanan biopelet. Interaksi
ukuran partikel 60 mesh, nisbah kulit 20%, dan suhu 130 oC menghasilkan nilai
ketahanan biopelet yang tidak berbeda nyata dengan ukuran partikel 60 mesh,
nisbah kulit 30%, dan suhu 130 oC. Biopelet dengan nisbah kulit 30% memiliki
nilai ketahanan tertinggi. Hal ini terjadi karena pada nisbah kulit 30%, komponen
lignin biopelet lebih tinggi sehingga ikatan antar partikel lebih kuat. Namun uji
lanjut Duncan menunjukkan hasil yang tidak berbeda antara penambahan kulit 30
dengan 20%, sehingga penambahan kulit 20% lebih efisien.
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa ukuran partikel 40 mesh berbeda nilai
ketahanan biopelet yang dihasilkan dengan partikel 60 mesh. Ukuran partikel yang
lebih kecil akan meningkatkan nilai ketahanan biopelet (Tabel 4). Partikel yang
lebih kecil menunjukkan bidang kontak antar partikel satu dengan lainnya lebih luas
sehingga diduga ikatan antar partikel semakin kuat. Lee et al. (2013)
mengungkapkan bahwa biopelet yang dihasilkan dari partikel yang lebih kecil
cenderung memiliki nilai ketahanan yang tinggi. Pembuatan biopelet pada suhu 130
o
C menghasilkan nilai ketahanan biopelet tertinggi kemungkinan akibat softening
lignin agathis terjadi pada suhu 130 oC yang menyebabkan ikatan antar partikel
yang lebih baik. Lisperguer et al. (2009) menyatakan bahwa nilai glass transition
(Tg) lignin kayu ekaliptus dan pinus terjadi pada suhu 120-140 oC. Nilai glass
transition lignin dapat digunakan untuk menentukan suhu optimum pembuatan
biopelet.

14
Nilai Kalor
Nilai kalor merupakan salah satu parameter utama untuk menilai kelayakan
suatu bahan sebagai bahan bakar. Dalam penelitian ini, pengukuran nilai kalor
dilakukan pada biopelet yang dibuat dengan suhu kempa 190 oC dan ukuran partikel
60 mesh. Pada kondisi ini biopelet yang dihasilkan memiliki kadar air yang
terendah. Nilai kalor biopelet yang dihasilkan berkisar antara 4524-4628 kkal/kg
(Tabel 5) dan berada pada interval yang disyaratkan oleh DIN EN 14961-2 yaitu
3821-4538 kkal/kg. Nilai kalor biopelet dengan nisbah kulit 10, 20, 30, dan 100%
jauh lebih tinggi dari persyaratan. Artinya bahwa pada penambahan proporsi kulit
tersebut sudah cukup layak untuk dijadikan bahan bakar. Biopelet yang terbuat dari
100% kulit memiliki nilai kalor tertinggi karena lignin klason dan ekstraktifnya
lebih tinggi dibanding kadar lignin dan ekstraktif dalam biopelet yang lain.
Tabel 5 Rataan, standar deviasi, dan uji lanjut Duncan nilai kalor biopelet
No Nisbah Kulit
Nilai Kalor (kkal/kg) *
Uji lanjut Duncan
1 B0
4524±54
C
2 B10
4566±17
BC
3 B20
4578±07
AB
4 B30
4616±19
AB
5 B100
4628±07
A
Keterangan : (*) rataan dengan tiga kali ulangan
Analisis keragaman menunjukkan bahwa nisbah kulit berpengaruh nyata
terhadap nilai kalor biopelet. Uji lanjut Duncan menunjukkan, nilai kalor biopelet
dengan nisbah kulit 0, 10, dan 100 % saling berbeda, sedangkan nisbah kulit 20 dan
30% tidak berbeda. Nilai kalor biopelet dengan nisbah kulit 30% lebih tinggi dari
nilai kalor biopelet dengan nisbah kulit lainnya. Namun penggunaan nisbah kulit
20% lebih efisien dari 30%. Pada Tabel 5 terlihat bahwa peningkatan kadar kulit
akan meningkatkan nilai kalor biopelet. Hal ini disebabkan oleh kandungan lignin
dan ekstraktif pada setiap penambahan nisbah kulit biopelet yang semakin
meningkat. Telmo dan Lousada (2011) menyatakan bahwa lignin klason dan
ekstraktif memiliki korelasi yang positif terhadap nilai kalor biopelet. Penelitian
Filbakk et al. (2011) juga menunjukkan hasil yang sama dimana penambahan
nisbah kulit kayu pinus ke dalam biopelet akan meningkatkan nilai kalornya.
Analisis Termal
Analisis termal dilakukan pada tiga sampel yaitu bahan baku kayu (B0),
biopelet dengan komposisi B30, dan bahan baku kulit (B100) yang ditunjukkan
oleh Gambar 2, 3 dan 4. Wang et al. (2009); Gil et al. (2010); dan Pasangulapati et
al. (2012) menyatakan bahwa terdapat tiga reaksi yang terjadi pada analisis termal
biopelet. Tahap pertama merupakan tahap dimana air dalam biopelet mengalami
penguapan (moisture loss). Komponen kimia seperti selulosa, hemiselulosa, dan
lignin mengalami dekomposisi pada tahap dua. Wang et al. (2009) menyatakan
bahwa terdapat dua reaksi dekomposisi yaitu dekomposisi I (volatilization)
kemudian diikuti dekomposisi II (burning). Reaksi tahap akhir merupakan reaksi
biopelet mengalami pembakaran sisa (burnout residue) dimana kehilangan massa
biopelet berlangsung konstan.

15
Tabel 6 Analisis termal biopelet
Keterangan
o

B0
36-100
60

Sampel
B30
36-100
64

B100
37-100
69

Suhu kehilangan air ( C)
Puncak suhu (oC)
Kehilangan massa (%)
Dekomposisi I
50.01
50.58
45.90
Dekomposisi II
27.33
29.93
34.40
Suhu kehilangan massa (oC)
Dekomposisi I
100-350
100-352
100-359
Dekomposisi II
350-476
352-468
359-474
o
Puncak suhu ( C)
Dekomposisi I
328
329
330
Dekomposisi II
467
465
448
o
Suhu konstan kehilangan massa ( C)
>476
>468
>474
o
Reaksi kehilangan air ketiga sampel terjadi pada suhu 36-100 C. Gaur dan
Reed (1995); Wang et al. (2009); Gil et al. (2010); Jeguirim et al. (2010); dan
Pasangulapati et al. (2012 menyatakan bahwa proses hilangnya air pada material
biomassa berada pada suhu di bawah 125 oC. Suhu kehilangan air sampel B100
lebih tinggi dari B0 dan B30, karena kadar air kulit (B100) lebih tinggi dari pada
sampel B0 dan B30. Reaksi dekomposisi biopelet terjadi pada kisaran suhu 100476 oC dengan kehilangan massa total 77.34-80.51%. Tabel 6 menunjukkan bahwa
kehilangan masa pada tahap pertama lebih besar yaitu 45.90-50.58% dibanding
tahap kedua yaitu 27.33-34.40%. Hal serupa juga diungkapkan oleh Gil et al. (2010)
bahwa kehilangan massa tahap pertama pada kayu pinus, eukaliptus, chestnut, dan
residu selulosa lebih besar yaitu 60-70% dibanding tahap kedua yaitu 25-30%.
Kehilangan massa switchgrass, wheat straw, dan redchedar terjadi pada suhu 200400 oC sebesar 65-70% (Pasangulapati et al. 2012). Kehilangan massa bergatung
pada jenis bahan dan komponen kimia penyusunnya. Suhu reaksi kehilangan air
dan dekomposisi I dapat dijadikan acuan untuk menentukan suhu pembuatan
biopelet yaitu pada suhu kurang dari 200 oC.
Gaur dan Reed (1995) dan Jeguirim et al. (2010) menyatakan bahwa
hemiselulosa mengalami reaksi dekomposisi pada tahap awal kemudian diikuti
dengan selulosa dan lignin. Reaksi dekomposisi hemiselulosa terjadi pada suhu ≤
275oC, lignin 200-340 oC, dan selulosa 250-360 oC (Pasangulapati et al. 2012).
Tabel 7 menunjukkan dekomposisi I terjadi pada suhu 100-359oC kemudian diikuti
dekomposisi II pada suhu 359-476 oC. Kehilangan massa pada tahap dekomposisi
II meningkat seiring meningkatnya nisbah kulit (Tabel 6). Hal ini diduga karena
kandungan lignin klason yang semakin meningkat. Reaksi dekomposisi material
seperti biomassa umumnya terjadi hanya sampai suhu 500 oC (Gaur dan Reed 1995).
Reaksi kehilangan massa yang berlangsung secara konstan ketiga sampel terjadi
pada suhu di atas 480 oC. Reaksi tahap akhir tersebut merupakan reaksi dimana
material mengalami sisa pembakaran.
.

16

Gambar 2 Analisis termal bahan baku kayu (B0)

Gambar 3 Analisis termal biopelet komposisi B30

17

Gambar 4 Analisis termal bahan baku kulit (B100)

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kadar α-selulosa dan holoselulosa bagian kulit agathis lebih rendah dari
bagian kayunya; dan sebaliknya dengan kadar lignin klason, ekstraktif, dan abu.
Kadar air, kerapatan, kadar abu, ketahanan, dan nilai kalor biopelet kayu agathis
dengan penguat kulitnya masing-masing berkisar antara 0.42-4.52%, 0.61-0.71
g/cm3, 0.79-2.73%, 21.26-44.59%, dan 4524-4628 kkal/kg. Kecuali nilai kerapatan
dan ketahanan, biopelet hasil penelitian ini memenuhi persyaratan standar DIN EN
14961-2 dan 51731. Biopelet dengan mutu baik dihasilkan dari kombinasi ukuran
partikel 40-60 mesh, suhu 130 oC, dan nisbah kulit 20%. Penguat kulit lepas kayu
agathis dapat meningkatkan mutu biopelet kayu agathis. Analisis termal
menunjukkan bahwa reaksi kehilangan air pada biopelet terjadi pada suhu 36-100
o
C, reaksi dekomposisi 100-476 oC dengan kehilangan massa 77.34-80.51%, dan
kehilangan massa secara signifikan berhenti pada suhu di atas 480 oC. Pembuatan
biopelet kayu agathis dengan bahan penguat kulitnya sebaiknya dilakukan pada
suhu di bawah 140 oC.
Saran
Perlu dilakukan pemberian tekanan yang lebih besar pada proses pembuatan
biopelet untuk meningkatkan sifat fisik dan mekanisnya terutama ketahanan. Selain
itu, perlu dilakukan pengujian analisis dasar (C, H, O, N, S, dan Cl) dan analisis
termal pada semua produk biopelet yang dihasilkan.

18

DAFTAR PUSTAKA
[ASTM] American Society for Testing Material. 2013. ASTM D-1102. Test Method
for Ash in Wood. USA.
[ASTM] American Society for Testing Material. 2013. ASTM E-871. Test Method
for Moisture in the Analysis of Particulate Wood Fuels. USA.
Cahyono TD, Coto Z, Febrianto F. 2008. Analisis nilai kalor dan kelayakan
ekonomis kayu sebagai bahan bakar substitusi batu bara di pabrik semen.
Forum pascasarjana 31(2): 105-116.
Demirbas A. 2001. Biomass resources facilities and biomass convertion processing
for fuels and chemicals. Energ. Convers. Manage. 42:1375-1378.
Demirbas A. 2004. Combustion characteristics of different biomass fuels. Prog.
Energy Combust. Sci. 30:219-230.
Demirbas A. 2005. Potential applications of renewable energy sources, biomass
combustion problems in boiler power systems and combustion related
environmental issues. Prog. Energy Combust. Sci. 31:171-192.
[DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2012. Data dan Informasi Kehutanan Perum
Perhutani. Jakarta (ID): Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan Badan
Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan.
[DIN] Deutsches Institut fϋr Normung. 2010. DIN EN 14961-2. Certification
Scheme Industry Pellets. Berlin (DE): DIN CERTCO.
[ESDM] Energi dan Sumber Daya Mineral. 2012. Handbook of Energy and
Economic Statistics of Indonesia. Jakarta (ID): Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral.
Fengel D, Wegener G. 1984. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Berlin
(DE): Walter de Gruyter.
Filbakk T, Jirjis R, Nurmi J, Hoibo O. 2011. The effect of bark content on quality
parameters of Scots pine (Pinus sylvestris L.) pellets. Biomass Bioenergy
35:3342-3349.
Gaur S, Reed TB. 1995. An Atlas of Thermal Data for Biomass and Other Fuels.
Colorado (US): National Renewable Energy Laboratory, Departement of
Energy.
Gil MV, Oulego P, Casal MD, Pevida C, Pis JJ, Rubiera F. 2010. Mechanical
durability and combustion characteristic of pellets from biomass blends.
Bioresour. Technol. 101:8859-8867.
Haygreen JG, Bowyer JL, Schmulsky R. 2003. Forest Products and Wood Sciences
an Introduction. Ames (US): IOWA State University Press.
Hendra D. 2012. Rekayasa pembuatan mesin pellet kayu dan pengujian hasilnya. J.
Penelitian Hasil Hutan 30(2):144-154.
Hoong YB, Paridah MT, Luqman CA, Koh MP, Loh YF. 2009. Fortification of
sulfited tannin from the bark of Acacia mangium with phenol-formaldehyde
for use as plywood adhesive. Ind. Crops Prod. 30:416-421.
Jeguirim M, Dorge S, Trouve G. 2010. Thermogravimetric analysis and emission
characteristics of two energy crops in air atmosphere: Arundo donax and
Miscanthus giganthus. Bioresour. Technol. 101:788-793.
Jiricek I, Rudasova P, Zemlova T. 2012. A thermogravimetric study of the behavior
of biomass blends during combustion. Acta Polytech. 3(52):39-42.

19
Kaliyan N, Morey V. 2009. Factor affecting strength and durability of densified
biomass products. Biomass Bioenerg