Kimia Kulit Kayu, Potensi Dan Peluang Pemanfaatannya

(1)

KARYA TULIS

KIMIA KULIT KAYU, POTENSI DAN

PELUANG PEMANFAATANNYA

Oleh :

Ridwanti Batubara, S.Hut., M.P.

NIP. 132 296 841

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2008


(2)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis panjatkan Syukur Alhamdulillah ke Hadirat Alloh SWT. yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis ini.

Tulisan ini akan memaparkan tentang tinjauan tentang kulit kayu yang dalam tulisan ini mencakup mengenai stuktur kulit kayu, komponen kimia penyususnnya, potensi dan pemanfaatan kulit kayu.

Sangat disadari, bahwa dalam penyusunan tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran-saran dan masukan-masukan positif sangat diharapkan demi penyempurnaan tulisan ini di masa-masa yang akan datang.

Akhir kata penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya jika dalam penulisan ini masih banyak kekurangan. Dan semoga paparan singkat dalam tulisan ini memberikan manfaat bagi kita semua. Amin…

Medan, September 2008


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR …..………..……… i

DAFTAR ISI ……… ii

DAFTAR TABEL ………. iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN ………. 1

II. STRUKTUR KULIT KAYU ……… 2

III. KOMPONEN KIMIA PENYUSUN KULIT KAYU ... 4

IV. PEMANFAATAN KULIT KAYU ……...………. 7

V. PENUTUP ……… 13


(4)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kandungan Zat Ekstraktif Kulit Kayu Medang Hitam (C. porrectum) Berdasarkan Letak Ketinggian Kulit Kayu Pada Batang ………. 6 2 Hasil Serangkaian Ekstraksi Pelarut Berbagai Kulit Pinus ... 6


(5)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Struktur Kulit Kayu (Sanved, K. B, 1993) ... 3 2. Kulit Kayu Medang Hitam (Cinnamomum porrectum) ... 5


(6)

I. PENDAHULUAN

Salah satu karakteristik kayu yang paling penting adalah sifatnya yang dapat diperbarui. Bahkan mungkin kayu tidak akan habis asalkan digunakan dengan pandangan masa depan dan perencanaan jangka panjang. Kayu sebagai sumberdaya alam yang dapat diperbaharui menjadi komoditi yang sangat penting sampai saat ini. Untuk menggunakan kayu secara bijaksana kita harus memiliki pengetahuan dasar tentang komposisi dan struktur kayu.

Secara struktur kayu disusun oleh jaringan xylem dan phloem, kayu secara ilmiah adalah bagian xylem dan phloem lebih dikenal dengan bagian kulit kayu. Pemanfaatan kayu sudah tidak asing lagi bagi kita, namun pemanfatan kulit kayu merupakan hal yang belum banyak diketahui secara luas.

Kulit kayu merupakan jaringan batang pohon yang paling penting kedua. Kulit kayu merupakan sekitar 10-20% dari batang tergantung pada spesies dan kondisi pertumbuhan. Melihat pohon secara keseluruhan bagian kulit yang paling tinggi adalah pada cabang dengan nilai 20-35%; selanjutnya kulit bagian tunggal dan akar juga lebih tinggi dibandingkan kulit batang. Kulit menghasilkan sejumlah bahan kimia yang tinggi selama kayu diproses. Telah lama kulit dipandang sebagai limbah yang mengganggu dan biasanya hanya dibakar atau disimpan. Hanya kulit sejumlah kecil spesies kayu yang dimanfaatkan, misal kulit kayu oak dan chestnut untuk diektraksi zat penyamaknya.

Dalam tahun-tahun terakhir kulit kayu telah menjadi pusat perhatian. Sejumlah studi mengenai kulit kayu telah mulai dilakukan dan mendapat perhatian dari berbagai bidang khususnya kehutanan. Sejumlah studi mengenai struktur dan komposisinya maupun percobaan penggunaanya telah dilakukan.

Tulisan ini akan menguraikan mengenai struktur kulit kayu, komponen kimia penyusunnya dan pemanfaatan kulit yang sudah diketahui samapai saat ini dan beberapa penelitian terkait kulit kayu yang telah dilakukan.


(7)

II. STRUKTUR KULIT KAYU

Batas antara kayu dan kulit kayu adalah kambium. Lapisan sel hidup ini menghasilkan sel xylem kearah dalam batang dan sel floem kearah luar. Floem atau kulit dalam terdiri atas sel-sel pengangkut, sklerenkim dan parenkim mirip dengan xylem. Dalam floem pohon konifer unsur-unsur pengangkut adalah sel tapisan, sel yang relatif kecil dengan ujung-ujung runcing yang tersusun dalam deretan longitudinal. Dalam pohon yang berdaun lebar dibentuk pembuluh tapisan, yang terdiri atas unsur-unsur yang dihubungkan antara ujung dengan ujung. Dinding sel tapisan dan buluh tapisan keduanya berlubang-lubang dengan pori-pori kecil yang jumlahnya banyak dan tersusun dalam berbagai bidang tapisan.

Serat kulit kayu dan sel batu adalah sel-sel sklerenkim. Serat kulit kayu adalah sel panjang berdinding tebal, dengan ujung-ujungnya runcing saling tumpang tindih, biasanya tersusun dalam deret tagensial. Sel batu atau sklereid mempunyai bentuk poligonal yang berasal dari sel parenkim, yang dindingnya telah menebal dan mengandung lignin.

Kulit dalam (floem sekunder) adalah produk inisial kambium yang sama yang membelah untuk membentuk xylem (kayu). Karena indukya sama maka beberapa tipe sel floem sangat serupa dengan tipe-tipe sel dalam kayu. Tipe-tipe sel yang lain yang terbentuk dari pembelahan inisial-inisial ini adalah unik untuk floem. Konsekuensinya struktur anatomi kulit kayu lebih komplek dari kayu.

Kulit dalam spesis kayu keras sangat serupa dengan kulit dalam spesis kulit kayu lunak. Parenkim longitudinal, parenkim jari-jari dan serabut-serabut floem terdapat dalam kulit kayu keras, seperti halnya sel-sel yang dikenal sebagai unsur-unsur pembulu tapisan, yang serupa dengan sel-sel tapisan kayu lunak, meskipun unsur-unsur kayu keras memiliki struktur yang lebih tegas.


(8)

Gambar 1. Struktur Kulit Kayu (Sanved, K. B, 1993)

Satu hal yang aneh mengenai kulit dalam kayu keras adalah unsur-unsur parenkimmatis longitudinal yang dikenal sebagai sel pengiring. Sel-sel tipe ini selalu berpasangan dengan unsur-unsur pembulu tapisan dan rupanya dibentuk pada saat yang sama oleh inisial kambium yang sama.

Kulit dalam kayu lunak dan kayu keras sangat tipis, berkisar dari kira-kira 0.5-15 mm tebalnya. Lapisan ini berfungsi sebagai jalan bergeraknya cairan batang kebawah dari daun. Lapisan kulit kayu yang dihasilkan oleh suatu pohon memiliki tebal berkisar 0.2-0.3 mm.


(9)

III. KOMPONEN KIMIA KULIT KAYU

Kulit kayu pada umumnya lebih kaya akan muncul daripada kayu yang sesuai. Frekuensi unsur juga berbeda dengan kayu. Kulit lebih bersifat asam, daripada kayu. Ini dikarenakan kaandungan senyawa yang bersifat asan lebih tinggi. Harga dari pH 9, Southern pine dengan kisaran dari sekitar 3,1 hingga 3,5 dengan sangaat sedikit perbedaan antara kebanyakan spesies. Mereka mengukur ekstrak air panas yang mengandung 4 gram kulit yang digiling dengan saringaan atau gilingan berukuran 40 mesh, dalam 25 gram air bersifat. Dalam ekstrak air diingin yang mengandung serbuk kulit berukuran 40 mesh dari tujuh pohon daun lebar. Harga pH antara 4,9 dan 6. Harga pH 5,5 diukur dalam ekstrak gula, putih amerika dan Walnut hitam. Harga pH 5,9 dalam kulit

Kulit luar suatu batang mudah terbungkus dalam suatu lapisan floem primer dan sekunder, yang pada gilirannya diliputi oleh suatu epidermis tipis. Karena epidermis tidak meristematis dan karenanya ukurannya tidak dapat tumbuh besar sewaktu pohon berkembang, lapisan ini pecah-pecah dan mengelupas dari pohon, biasanya dalam tahun pertama. Namun sebelum hal ini terjadi, suatu meristem baru terbentuk dalam kulit dan segera mulai menghasilkan suatu lapisan sel-sel pelindung batang yang baru.

Kandungan lignin kulit kayu jauh lebih tinggi daripada kandungan lignin kayu, dan kandungan polisakarida atau gulanya lebih rendah. Porsi selulosa kulit kayu yang bebas ektraktif hanya 20-35%, dibandingkan dengan 40-45% untuk kayu. Kandungan ekstraktif kulit kayu adalah tinggi dibandingkan dengan kayu, umumnya sebanyak 15-26% berat kulit kayu yang belum diekstraksi dibandingkan dengan 2-9% untuk kayu. Kandungan air kulit kayu sebanding dengan kandungan air kayu dan sering melebihi 100% berat kering tanur.

Karena mineral-mineral yang penting untuk fungsi fisiologis pohon cenderung terkonsentrasi dalam jaringan kulit. Kadar abu kulit kayu biasanya lebih tinggi dari kayu. Tanah yang terbawah angin atau partikel-partikel pasir yang mungkin terperangkap pada kulit luar yang kasar ikut mengakibatkan tingginya kadar abu kayu biasanya kurang dari 0.5%, sedangkan kadar abu kulit


(10)

kayu lunak dan kulit kayu keras masing-masing berkisar 2% dan 5%. Ada kalanya kadar abu kulit kayu cukup tinggi, sampai setinggi 20% berat kering.

Ekstraktif larut air kebanyakan kulit kayu berkisar dari sedang sampai keasaman tinggi, dengan nilai pH berkisar dari 3.5-6. Ekstrak kulit kayu biasanya jauh lebih asam daripada ekstrak kayu spesis yang sama. Volume kulit kayu merupakan perkiraan jumlah serabut floem yang mungkin ada dalam sejumlah volume kayu. Volume relative kulit kayu tergantung pada spesies dan diameter batang kayu.

Gambar 2. Kulit Kayu Medang Hitam (Cinnamomum porrectum)

Susunan kimia kulit kayu menentukan sifat-sifat yang penting dari segi penggunaanya. Kulit mempunyai sifat pembengkakan yang berbeda, kurang anisotropik, memiliki koefisien perambatan panas yang sedikit lebih rendah dan jauh lebih lunak dalam semua sifat mekanika kayu. Perbandingan dari harga pH pada kulit kayu yang diekstrak dengan air panas dan air diingin mempunyai nilai yang berbeda. Dimana pada umumnya nilai pH yang diekstrak dengan air panas akan memliki harga yang lebih rendah dibandingkan dengan air dingin.


(11)

Penelitian kelarutan (kandungan) ekstraktif kulit kayu Medang hitam (Cinnamomum porrectum) telah dilakukan Batubara (2005) hasilnya tertera pada Tabel 1. Sedangkan untuk kulit kayu beberapa jenis pinus datanya tertera pada Tabel 2. Penelitian kulit kayu ini penting sebagai dasar atau informasi awal potensi (kandungannya).

Tabel 1. Kandungan Zat Ekstraktif Kulit Kayu Medang Hitam (C. porrectum) Berdasarkan Letak Ketinggian Kulit Kayu Pada Batang.

Kelarutan dalam ( % ) Bagian kulit

pada batang Air dingin

Air panas

NaOH 1% Alkohol-Benzen ( 1:2)

Pangkal 10,92 19,97 26,57 9,17

Tengah 9,91 19,30 29,96 8,33

Ujung 7,17 18,05 33,73 7,00 Rataan dalam batang 9,33 19,11 30,09 8,17 Sumber: Batubara (2006)

Tabel 2. Hasil Serangkaian Ekstraksi Pelarut Berbagai Kulit Pinus

Pelarut Pinus echinata (%) Pinus elliotti (%) Pinus taeda (%) Pinus virginiana (%) Pinus silvertris (%) Pinus brutia (%) Heksana 2,6 2,1 1,7 1,5 -- -- Benzene 1,2 2,0 1,3 1,0 -- 5,0

Etil eter 1,1 1,2 1,3 1,0 4,6 --

Ethanol 95% 4,4 7,3 2,0 3,5 1,2 25,7

Air panas 2,9 3,3 1,9 1,9 4,8 17,8

NaOH 1% 17,2 19,9 19,3 19,3 39,1 19,7

Total 29,4 35,8 27,5 28,2 49,7 68,3 Sumber: Labosky (1979); Wiesmann, Ayla (1980) dalam Fengel dan Wegener (1995). Keterangan:

-- : Tidak ada data

Penelitian lain tentang penggunaan kulit kayu sebagai bahan pestisida alami (pengendalian rayap dan jamur) juga telah dilakukan. Beberapa diantaranya: ekstraktif kulit kayu jati bersifat racun pada rayap (Syafii, 2000) dan jamur (Rosamah, 1990), ekstraktif damar laut juga bersifat racun pada rayap (Kartika dan Syafii, 2001), ekstraktif kulit kayu medang bersifat racun pada jamur (Batubara, 2005).


(12)

IV. PEMANFAATAN KULIT KAYU

Pada masa sekarang ini telah banyak hasil-hasil produk yang berasal dari bahan baku kulit kayu, antara lain:

1. Pemanfaatan Kulit Kayu untuk Pembuatan Produk Minyak Gosok

(Kulit Kayu Kesambi).

Kayu kesambi mempunyai struktur padat, rapat, kusut sangat keras dan lebih berat dari kayu besi. Karena itu apabila dapat mencapai umur yang lebih matang, kayunya berubah warna dari warna merah muda menjadi warna kelabu dan tidak berurat. Oleh karena itu dahulu lebih banyak digunakan sebagai bahan pembuatan jangkar untuk perahu kecil. Bahkan di Kabupaten Bulukumba, kayu kesambi merupakan bahan dasar untuk membuat perahu. Kesambi sebagai sumber kayu bakar potensial.

Selain itu, kayu kesambi sangat kuat dan keras. Namun demikian salah satu kelamahan dari kayu kesambi adalah tergolong kurang awet , tetapi sangat unggul sebagai kayu bakar dan pembuatan arang. Arang dari kayu kesambi sangat cocok untuk pembakaran dan bahkan lebih baik dari pada arang kayu jati dan kayu asam. Oleh karena itu, penanaman kesambi untuk produksi kayu bakar perlu dikembangkan terutama pada daerah pengembangan industri pembakaran dan wilayah yang sulit bahan bakar untuk rumah tangga.

Kulit kayu kesambi dapat digunakan sebagai penyamak kulit. Menurut hasil penelitian, dalam analisis kimia kulit kesambi ditemukan 6, 1-14, 3 % zat penyamak. Bahkan dahulu orang Bali dan Madura menggunakan kulit kesambi sebagai obat kulit yang sangat manjur, terutama terhadap penyakit kudis dan penyakit kulit lainnya.

Sebagai inang kutu lak, kesambi berguna untuk tempat hidup dan menghisap makanan yang diambil pada bagian bawah kulit kayu. Diantara beberapa jenis tanaman yang dapat menjadi inang kutu lak, maka kulit kayu kesambi paling disenangi.

Daun kesambi yang masih muda baik untuk dimakan sebagai sayur asam. Bahkan dapat dimakan mentah sebagai lalapan, walaupun rasanya agak


(13)

sepat. Selanjutnya, dalam beberapa hal di Sulawesi Selatan, daun kering dari pohon kesambi dapat dibakar dan asapnya digunakan untuk pengobatan (pengasapan) penyakit kudis dan gatal-gatal.

2. Pemanfaatan Kulit Kayu untuk Pembuatan Tanin (Kulit Kayu

Akasia).

Selama ini penggunaan limbah kayu tersebut sebagai bahan bakar keperluan rumah tangga, dan hanya sebahagian kecil yang masih dapat dipergunakan untuk industri, yaitu sebagai bahan bakar untuk boiler, sedangkan yang lainnya, terutama kulit dan serbuk kayunya belum dimanfaatkan. Berdasarkan hasil ekstraksi dan uji bilangan Stiasny dari limbah kayu, ternyata kadar tanin yang terkandung dalam kulit kayu bisa mencapai 40% dengan reaktivitas tinggi terhadap formaldehid.

Tanin merupakan komponen zat organik derivat polimer glikosida yang terdapat dalam bermacam-macam tumbuhan, terutama tumbuhan berkeping dua (dikotil). Monomer tannin adalah digallic acid dan D-glukosa.

Ekstrak tanin terdiri dari campuran senyawa polifenol yang sangat kompleks dan biasanya tergabung dengan karbohidrat rendah. Oleh karena adanya gugus fenol, maka tannin akan dapat berkondensasi dengan formaldehida. Tanin terkondensasi sangat reaktif terhadap formaldehida dan mampu membentuk produk kondensasi, berguna untuk bahan perekat termosetting yang tahan air dan panas. Tanin diharapkan mampu mensubsitusi gugus fenol dari resin fenol formaldehid guna mengurangi pemakaian fenol sebagai sumberdaya alam tak terbarukan.

3. Pemanfaatan Kulit Kayu untuk Bahan Penyamak Kulit (Kulit Kayu Akasia dan Bakau).

8 Industri penyamakan kulit merupakan jenis industri yang menghasilkan limbah dan potensial menimbulkan masalah pencemaran. Limbah yang dihasilkan oleh industri penyamakan kulit dapat berupa limbah padat, cair,


(14)

protein terlarut dalam limbah, sisa fleshing, potongan - potongan kulit, shaving, debu buffing, sludge dan babakan kayu (khusus untuk proses penyamakan dengan bahan penyamak nabati dari babakan kayu, biasanya kulit kayu akasia). Jumlah limbah padat yang dihasilkan untuk fleshing, shaving dan babakan kayu untuk setiap ton kulit awet garaman berturut -turut adalah +150 kg, dan + 250 kg dan +300 kg.

Untuk buangan yang menghasilkan krom seperti sisa buffing dan shaving dapat mengandung 2-5 % Cr2O3. Sebagian krom yang ada dalam fragmen

leather (sisa buffing dan shaving) terikat secara kimia dalam protein kulit dan tidak mudah dipisahkan. Sisa shaving berupa serbuk atau serutan kulit, sedangkan sisa buffing berupa debu halus yang mudah tersebar oleh angin. Kandungan krom total adalah 4.431,25 mg/kg.

Penyamakan kulit ada dua macam, yaitu menggunakan krom dan serbuk pohon akasia. Penggunaan krom biasanya untuk kulit dengan kualitas yang baik dan disebut penyamakan sintetis. Sedangkan serbuk pohon akasia memberikan hasil yang kurang bagus dibandingkan dengan krom, tetapi lebih ramah lingkungan dan disebut penyamakan nabati. Dalam proses penyamakan kulit terutama yang menggunakan bahan penyamak krom akan diperoleh hasil samping berupa limbah padat yang dapat menimbulkan bau tidak enak yang dapat dikategorikan limbah B3.

4. Pemanfaatan Kukit Kayu untuk Bahan Bumbu Masakan (Kulit Kayu Manis).

Kulit kayu manis adalah jenis rempah-rempah yang banyak digunakan sebagai bahan pemberi aroma dan citarasa dalam makanan dan minuman, dan bahan aditif pada pembuatan parfum serta obat-obatan.Kulit kayu manis mengandung minyak atsiri dan oleoresin. Penelitian ini mempelajari proses pengambilan minyak atsiri dan oleoresin dari kulit kayu manis dengan proses distilasi uap dan ekstraksi. Kulit kayu manis yang digunakan adalah kulit kayu manis jenis Cinnamomum burmannii asal Sumatera Barat.Sebelum didistilasi kulit kayu manis terlebih dahulu di haluskan. Kulit kayu manis yang telah dihaluskan kemudian diletakkan


(15)

diatas pelat berlubang dalam ketel distilasi. Proses distilasi dimulai dengan mengalirkan uap ke dalam ketel distilasi. Proses ini berlangsung pada tekanan atmosfir. Minyak yang diperoleh dipisahkan secara dekantasi dan sentrifugasi. Residu hasil distilasi yaitu padatan kulit kayu manis selanjutnya diekstraksi dengan pelarut untuk diambil oleoresinnya. Pemisahan pelarut dan oleoresin dilakukan cara penguapan secara vakum.Pengaruh perolehan dan mutu minyak atsiri dipelajari dengan menvariasikan ukuran kulit kayu manis (1 cm, 8-10 mesh, 14-18 mesh, 18-20 mesh) dan waktu penyulingan (1-4 jam), sedangkan pengaruh perolehan oleoresin dipelajari dengan menvariasikan ukuran kulit kayu manis (14-18 mesh dan 50-60 mesh), waktu pengontakan (1 dan 4 jam), temperatur (40 dan 70 °C), dan jenis pelarut (n-heksan, etanol dan isopropanol).Hasil penelitian menunjukkan perolehan minyak tertinggi dicapai pada ukuran kulit kayu manis 14-18 mesh dan waktu yang efektif untuk proses distilasi adalah 3 jam. Mutu minyak atsiri yang dihasilkan dengan proses distilasi dapat memenuhi standar SNI. Perolehan oleoresin dipengaruhi oleh jenis pelarut dan temperatur.Perolehan oleoresin meningkat dengan meningkatnya temperatur dan perolehan oleoresin tertinggi dicapai dengan pelarut etanol.

5. Pemanfaatan Kulit Kayu untuk Bahan Anti Nyamuk (Kulit Kayu

Gemor).

Hasil hutan andalan lainnya yang marak diusahakan adalah kulit kayu gemor dengan tujuan ekspor Taiwan, Singapura dan Jepang serta untuk kebutuhan industri dalam negeri. Kulit kayu gemor merupakan bahan Baku utama pembuatan obat anti nyamuk, hio untuk upacara ritual dan bahan Baku lem/perekat. Harga kulit gemor basah yang dijual ke penampung antara Rp2.700 - Rp3. 000/kg.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Kalteng, produksi kulit kayu gemor pada 2002 sekitar 39,12 ton dan tiap tahun cenderung meningkat. Kita patut berbangga, beberapa waktu lalu PT Kalimantan Protek Utama (KPU) mendirikan pabrik obat antinyamuk dengan memilih Kalsel


(16)

menyerap tenaga kerja lokal dan memberdayakan potensi hasil hutan bukan kayu serta mengatasi permasalahan limbah yang berasal dari industri rumah tangga (home industry).

Bahan baku yang dipergunakan adalah kulit kayu gemor dan limbah rumah tangga berupa tempurung kelapa hasil pengolahan kopra masyarakat dari Kalteng dan Kalsel. Pohon kelapa (Cocos nucifera L) merupakan tanaman monokotil yang dikenal masyarakat sebagai tanaman serbaguna (multi purpose trees). Buahnya sebagai penghasil utama sedangkan batang, akar, daun, bunga, sabut dan tempurung kelapa dikembangkan menjadi berbagai produk yang dapat digunakan untuk kebutuhan manusia serta bernilai ekonomis.

Ada kesamaan sifat antara tempurung kelapa biasa dengan kelapa sawit yang dihasilkan sebagai limbah industri CPO (Crude Palm Oil), yang pengembangannya sekarang sangat marak di Kalsel. Limbah pabrik CPO itu, per ton bahan sawit menghasilkan tandan kosong (23 %), cangkang (6,5 %) dan sabut (13 %) yang biasanya digunakan perusahaan hanya untuk pupuk/mulching tanaman dan bahan bakar boiler. Sebenarnya banyak manfaat yang dapat dihasilkan dari limbah ini yaitu untuk pulp dan kertas, papan partikel, arang, karbon aktif, filler dan tidak menutup kemungkinan dibuat partikel untuk bahan baku pengolahan obat antinyamuk.

Kulit kayu gemor berasal dari pohon gemor (Alseodaphne sp), termasuk dalam famili Lauraceae dan banyak tumbuh di hutan Kalteng dan Kalsel. Banyak warga di sekitar hutan yang memungut kulit kayu gemor ini, karena pemasarannya tidak terlalu sulit dan cara pemungutan menggunakan teknik dan peralatan cukup sederhana. Sistem pemasaran kulit kayu gemor melalui beberapa tahap yaitu dari pemungut ke penampung kemudian ke perantara, selanjutnya ke eksporter atau pedagang antarpulau.

Tanaman ini biasanya tumbuh di daerah hutan hujan dataran rendah (lowlands) dan hidupnya berkelompok. Tinggi pohonnya bisa mencapai 25 meter dengan diameter batang mencapai 40 cm. Bentuk pohonnya


(17)

silendris, tajuk berbentuk bulat telur dan berat jenis 0,66 dengan kelas awet II dan kelas kuat berkisar antara II - III. Kulit kayu gemor dapat dipungut hasilnya pada umur sekitar 15 tahun. Umumnya kulit dipungut dari pohon yang berdiameter 15 - 30 cm, karena pada diameter ini kualitas getahnya lebih baik.

Informasi yang diperoleh menunjukkan, pohon yang berdiameter 30 cm dapat menghasilkan kulit kayu sebanyak 250 - 300 kg/pohon dan diameter 40 cm dapat menghasilkan kulit sebanyak 500 - 600 kg/pohon dalam keadaan basah. Saat ini sangat sulit memperoleh pohon berdiameter besar, kalaupun ada lokasinya sangat jauh masuk hutan sehingga memerlukan waktu berhari-hari.

6. Pemanfaatan Kukit Kayu untuk Bahan Baku Kertas Daluang (Kulit Kayu Saeh).

Kertas Daluang atau deluang adalah sejenis kertas yang dibuat dari bahan kulit kayu. Di Tatar Sunda, kulit kayu yang digunakan untuk bahan membuat deluang atau daluang adalah kulit kayu dari pohon saeh (Broussonetia papyfera vent). Itulah sebabnya, di kalangan orang Sunda, daluang lebih populer disebut kertas saeh. Pohon ini merupakan tumbuhan tingkat rendah. Ia masih termasuk ke dalam keluarga Moraceae. Pembuatan deluang dari kulit kayu telah berlangsung lama dalam masyarakat nusantara, termasuk dalam masyarakat Sunda, paling tidak jauh ke belakang dari masa pra-Islam. Prinsip cara pembuatannya adalah kulit kayu dikelupas dari batangnya, kemudian dipukul berulang-ulang dengan alat pemukul khusus (pameupeuh) yang terbuat dari perunggu, dicuci, dan akhirnya dijemur.

Pada masa pra-Islam daluang dari kulit kayu itu digunakan untuk bahan pakaian, terutama pakaian khas para pemimpin agama (pendeta, wiku). Pada masa Hindu daluang digunakan untuk acara sakral, seperti dijadikan selendang dan ikat kepala perempuan, dan kertas suci pada upacara Ngaben. Daluang juga digunakan untuk kajang atau kain untuk jenazah di


(18)

V. PENUTUP

Setelah kayu, kulit kayu merupakan jaringan batang pohon yang paling penting kedua. Kulit kayu mengandung sejumlah senyawa kimia yang potensial untuk dimanfaatkan, terutama zat ekstraktifnya. Pemanfaatan kulit kayu antara lain sebagai bahan obat gosok, sumber tanin, bahan penyamak, bumbu masakan, bahan anti nyamuk dan bahan baku kertas. Pemanfaatan lain tapi masih skala riset adalah sebagai pestisida alami.

DAFTAR PUSTAKA

Batubara, R. 2005. Identifikasi Sifat Ekstrak Kulit Kayu Medang hitam (Cinnamomum porrectum Roxb.) Sebagai Bahan Pengawet Kayu. Tesis Pascasarjana Universitas Mulawarman. Samarinda.

Fengel, D and G. Wegener. 1989. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Walter de Gruyter. Berlin.

Muladi, S. 2004. Kimia Kayu, Teknologi Pulp dan Kertas. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda.

Rosamah, E. 1990. Peranan Zat Ekstraktif Terhadap Keawetan Kayu Jati (Tectona

grandis L. F). Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

Sanved, K.B. 1993. Bark: The Formation, Characteristics, and Uses of Bark

Around the World. Timber Press. Portland, Oregon.

Sari, R. K dan W. Syafii. 2001. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Jati (Tectona grandis, L.f.). Jurnal Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB XIV (1) : 1-9.

Syafii, W. 2000. Zat Ekstraktif Kayu Damar Laut (Hopea. Spp) dan Pengaruhnya Terhadap Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Light. Jurnal Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB XIII (2) : 1-8


(1)

sepat. Selanjutnya, dalam beberapa hal di Sulawesi Selatan, daun kering dari pohon kesambi dapat dibakar dan asapnya digunakan untuk pengobatan (pengasapan) penyakit kudis dan gatal-gatal.

2. Pemanfaatan Kulit Kayu untuk Pembuatan Tanin (Kulit Kayu

Akasia).

Selama ini penggunaan limbah kayu tersebut sebagai bahan bakar keperluan rumah tangga, dan hanya sebahagian kecil yang masih dapat dipergunakan untuk industri, yaitu sebagai bahan bakar untuk boiler, sedangkan yang lainnya, terutama kulit dan serbuk kayunya belum dimanfaatkan. Berdasarkan hasil ekstraksi dan uji bilangan Stiasny dari limbah kayu, ternyata kadar tanin yang terkandung dalam kulit kayu bisa mencapai 40% dengan reaktivitas tinggi terhadap formaldehid.

Tanin merupakan komponen zat organik derivat polimer glikosida yang terdapat dalam bermacam-macam tumbuhan, terutama tumbuhan berkeping dua (dikotil). Monomer tannin adalah digallic acid dan D-glukosa.

Ekstrak tanin terdiri dari campuran senyawa polifenol yang sangat kompleks dan biasanya tergabung dengan karbohidrat rendah. Oleh karena adanya gugus fenol, maka tannin akan dapat berkondensasi dengan formaldehida. Tanin terkondensasi sangat reaktif terhadap formaldehida dan mampu membentuk produk kondensasi, berguna untuk bahan perekat termosetting yang tahan air dan panas. Tanin diharapkan mampu mensubsitusi gugus fenol dari resin fenol formaldehid guna mengurangi pemakaian fenol sebagai sumberdaya alam tak terbarukan.

3. Pemanfaatan Kulit Kayu untuk Bahan Penyamak Kulit (Kulit Kayu Akasia dan Bakau).

8 Industri penyamakan kulit merupakan jenis industri yang menghasilkan limbah dan potensial menimbulkan masalah pencemaran. Limbah yang dihasilkan oleh industri penyamakan kulit dapat berupa limbah padat, cair, dan gas. Jenis limbah padat diantaranya adalah sisa daging dan bulu,


(2)

protein terlarut dalam limbah, sisa fleshing, potongan - potongan kulit, shaving, debu buffing, sludge dan babakan kayu (khusus untuk proses penyamakan dengan bahan penyamak nabati dari babakan kayu, biasanya kulit kayu akasia). Jumlah limbah padat yang dihasilkan untuk fleshing, shaving dan babakan kayu untuk setiap ton kulit awet garaman berturut -turut adalah +150 kg, dan + 250 kg dan +300 kg.

Untuk buangan yang menghasilkan krom seperti sisa buffing dan shaving dapat mengandung 2-5 % Cr2O3. Sebagian krom yang ada dalam fragmen leather (sisa buffing dan shaving) terikat secara kimia dalam protein kulit dan tidak mudah dipisahkan. Sisa shaving berupa serbuk atau serutan kulit, sedangkan sisa buffing berupa debu halus yang mudah tersebar oleh angin. Kandungan krom total adalah 4.431,25 mg/kg.

Penyamakan kulit ada dua macam, yaitu menggunakan krom dan serbuk pohon akasia. Penggunaan krom biasanya untuk kulit dengan kualitas yang baik dan disebut penyamakan sintetis. Sedangkan serbuk pohon akasia memberikan hasil yang kurang bagus dibandingkan dengan krom, tetapi lebih ramah lingkungan dan disebut penyamakan nabati. Dalam proses penyamakan kulit terutama yang menggunakan bahan penyamak krom akan diperoleh hasil samping berupa limbah padat yang dapat menimbulkan bau tidak enak yang dapat dikategorikan limbah B3.

4. Pemanfaatan Kukit Kayu untuk Bahan Bumbu Masakan (Kulit Kayu

Manis).

Kulit kayu manis adalah jenis rempah-rempah yang banyak digunakan sebagai bahan pemberi aroma dan citarasa dalam makanan dan minuman, dan bahan aditif pada pembuatan parfum serta obat-obatan.Kulit kayu manis mengandung minyak atsiri dan oleoresin. Penelitian ini mempelajari proses pengambilan minyak atsiri dan oleoresin dari kulit kayu manis dengan proses distilasi uap dan ekstraksi. Kulit kayu manis yang digunakan adalah kulit kayu manis jenis Cinnamomum burmannii asal Sumatera Barat.Sebelum didistilasi kulit kayu manis terlebih dahulu di haluskan. Kulit kayu manis yang telah dihaluskan kemudian diletakkan


(3)

diatas pelat berlubang dalam ketel distilasi. Proses distilasi dimulai dengan mengalirkan uap ke dalam ketel distilasi. Proses ini berlangsung pada tekanan atmosfir. Minyak yang diperoleh dipisahkan secara dekantasi dan sentrifugasi. Residu hasil distilasi yaitu padatan kulit kayu manis selanjutnya diekstraksi dengan pelarut untuk diambil oleoresinnya. Pemisahan pelarut dan oleoresin dilakukan cara penguapan secara vakum.Pengaruh perolehan dan mutu minyak atsiri dipelajari dengan menvariasikan ukuran kulit kayu manis (1 cm, 8-10 mesh, 14-18 mesh, 18-20 mesh) dan waktu penyulingan (1-4 jam), sedangkan pengaruh perolehan oleoresin dipelajari dengan menvariasikan ukuran kulit kayu manis (14-18 mesh dan 50-60 mesh), waktu pengontakan (1 dan 4 jam), temperatur (40 dan 70 °C), dan jenis pelarut (n-heksan, etanol dan isopropanol).Hasil penelitian menunjukkan perolehan minyak tertinggi dicapai pada ukuran kulit kayu manis 14-18 mesh dan waktu yang efektif untuk proses distilasi adalah 3 jam. Mutu minyak atsiri yang dihasilkan dengan proses distilasi dapat memenuhi standar SNI. Perolehan oleoresin dipengaruhi oleh jenis pelarut dan temperatur.Perolehan oleoresin meningkat dengan meningkatnya temperatur dan perolehan oleoresin tertinggi dicapai dengan pelarut etanol.

5. Pemanfaatan Kulit Kayu untuk Bahan Anti Nyamuk (Kulit Kayu

Gemor).

Hasil hutan andalan lainnya yang marak diusahakan adalah kulit kayu gemor dengan tujuan ekspor Taiwan, Singapura dan Jepang serta untuk kebutuhan industri dalam negeri. Kulit kayu gemor merupakan bahan Baku utama pembuatan obat anti nyamuk, hio untuk upacara ritual dan bahan Baku lem/perekat. Harga kulit gemor basah yang dijual ke penampung antara Rp2.700 - Rp3. 000/kg.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Kalteng, produksi kulit kayu gemor pada 2002 sekitar 39,12 ton dan tiap tahun cenderung meningkat. Kita patut berbangga, beberapa waktu lalu PT Kalimantan Protek Utama (KPU) mendirikan pabrik obat antinyamuk dengan memilih Kalsel sebagai lokasi industri. Dengan beroperasinya pabrik ini, diharapkan dapat


(4)

menyerap tenaga kerja lokal dan memberdayakan potensi hasil hutan bukan kayu serta mengatasi permasalahan limbah yang berasal dari industri rumah tangga (home industry).

Bahan baku yang dipergunakan adalah kulit kayu gemor dan limbah rumah tangga berupa tempurung kelapa hasil pengolahan kopra masyarakat dari Kalteng dan Kalsel. Pohon kelapa (Cocos nucifera L) merupakan tanaman monokotil yang dikenal masyarakat sebagai tanaman serbaguna (multi purpose trees). Buahnya sebagai penghasil utama sedangkan batang, akar, daun, bunga, sabut dan tempurung kelapa dikembangkan menjadi berbagai produk yang dapat digunakan untuk kebutuhan manusia serta bernilai ekonomis.

Ada kesamaan sifat antara tempurung kelapa biasa dengan kelapa sawit yang dihasilkan sebagai limbah industri CPO (Crude Palm Oil), yang pengembangannya sekarang sangat marak di Kalsel. Limbah pabrik CPO itu, per ton bahan sawit menghasilkan tandan kosong (23 %), cangkang (6,5 %) dan sabut (13 %) yang biasanya digunakan perusahaan hanya untuk pupuk/mulching tanaman dan bahan bakar boiler. Sebenarnya banyak manfaat yang dapat dihasilkan dari limbah ini yaitu untuk pulp dan kertas, papan partikel, arang, karbon aktif, filler dan tidak menutup kemungkinan dibuat partikel untuk bahan baku pengolahan obat antinyamuk.

Kulit kayu gemor berasal dari pohon gemor (Alseodaphne sp), termasuk dalam famili Lauraceae dan banyak tumbuh di hutan Kalteng dan Kalsel. Banyak warga di sekitar hutan yang memungut kulit kayu gemor ini, karena pemasarannya tidak terlalu sulit dan cara pemungutan menggunakan teknik dan peralatan cukup sederhana. Sistem pemasaran kulit kayu gemor melalui beberapa tahap yaitu dari pemungut ke penampung kemudian ke perantara, selanjutnya ke eksporter atau pedagang antarpulau.

Tanaman ini biasanya tumbuh di daerah hutan hujan dataran rendah (lowlands) dan hidupnya berkelompok. Tinggi pohonnya bisa mencapai 25 meter dengan diameter batang mencapai 40 cm. Bentuk pohonnya


(5)

silendris, tajuk berbentuk bulat telur dan berat jenis 0,66 dengan kelas awet II dan kelas kuat berkisar antara II - III. Kulit kayu gemor dapat dipungut hasilnya pada umur sekitar 15 tahun. Umumnya kulit dipungut dari pohon yang berdiameter 15 - 30 cm, karena pada diameter ini kualitas getahnya lebih baik.

Informasi yang diperoleh menunjukkan, pohon yang berdiameter 30 cm dapat menghasilkan kulit kayu sebanyak 250 - 300 kg/pohon dan diameter 40 cm dapat menghasilkan kulit sebanyak 500 - 600 kg/pohon dalam keadaan basah. Saat ini sangat sulit memperoleh pohon berdiameter besar, kalaupun ada lokasinya sangat jauh masuk hutan sehingga memerlukan waktu berhari-hari.

6. Pemanfaatan Kukit Kayu untuk Bahan Baku Kertas Daluang (Kulit Kayu Saeh).

Kertas Daluang atau deluang adalah sejenis kertas yang dibuat dari bahan kulit kayu. Di Tatar Sunda, kulit kayu yang digunakan untuk bahan membuat deluang atau daluang adalah kulit kayu dari pohon saeh (Broussonetia papyfera vent). Itulah sebabnya, di kalangan orang Sunda, daluang lebih populer disebut kertas saeh. Pohon ini merupakan tumbuhan tingkat rendah. Ia masih termasuk ke dalam keluarga Moraceae. Pembuatan deluang dari kulit kayu telah berlangsung lama dalam masyarakat nusantara, termasuk dalam masyarakat Sunda, paling tidak jauh ke belakang dari masa pra-Islam. Prinsip cara pembuatannya adalah kulit kayu dikelupas dari batangnya, kemudian dipukul berulang-ulang dengan alat pemukul khusus (pameupeuh) yang terbuat dari perunggu, dicuci, dan akhirnya dijemur.

Pada masa pra-Islam daluang dari kulit kayu itu digunakan untuk bahan pakaian, terutama pakaian khas para pemimpin agama (pendeta, wiku). Pada masa Hindu daluang digunakan untuk acara sakral, seperti dijadikan selendang dan ikat kepala perempuan, dan kertas suci pada upacara Ngaben. Daluang juga digunakan untuk kajang atau kain untuk jenazah di Bali. Hingga kini daluang masih digunakan di Bali.


(6)

V. PENUTUP

Setelah kayu, kulit kayu merupakan jaringan batang pohon yang paling penting kedua. Kulit kayu mengandung sejumlah senyawa kimia yang potensial untuk dimanfaatkan, terutama zat ekstraktifnya. Pemanfaatan kulit kayu antara lain sebagai bahan obat gosok, sumber tanin, bahan penyamak, bumbu masakan, bahan anti nyamuk dan bahan baku kertas. Pemanfaatan lain tapi masih skala riset adalah sebagai pestisida alami.

DAFTAR PUSTAKA

Batubara, R. 2005. Identifikasi Sifat Ekstrak Kulit Kayu Medang hitam (Cinnamomum porrectum Roxb.) Sebagai Bahan Pengawet Kayu. Tesis Pascasarjana Universitas Mulawarman. Samarinda.

Fengel, D and G. Wegener. 1989. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Walter de Gruyter. Berlin.

Muladi, S. 2004. Kimia Kayu, Teknologi Pulp dan Kertas. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda.

Rosamah, E. 1990. Peranan Zat Ekstraktif Terhadap Keawetan Kayu Jati (Tectona

grandis L. F). Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

Sanved, K.B. 1993. Bark: The Formation, Characteristics, and Uses of Bark

Around the World. Timber Press. Portland, Oregon.

Sari, R. K dan W. Syafii. 2001. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Jati (Tectona grandis, L.f.). Jurnal Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB XIV (1) : 1-9.

Syafii, W. 2000. Zat Ekstraktif Kayu Damar Laut (Hopea. Spp) dan Pengaruhnya Terhadap Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Light. Jurnal Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB XIII (2) : 1-8