LATAR BELAKANG Produksi Etanol oleh Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus. dari Sirup Dekstrin Pati Sagu (Metroxylon sp.) Menggunakan Metode Aerasi Penuh dan Aerasi Dihentikan.

1 I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Permintaan etanol dunia beberapa tahun terakhir ini terus meningkat, dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan seiring dengan kembali digiatkannya pengunaan etanol sebagai bahan bakar nabati BBN. Etanol merupakan salah satu jenis bahan bakar alternatif yang dapat mensubstitusi kebutuhan masyarakat Indonesia akan BBM. Selain dapat diperbaharui etanol juga bersifat ramah lingkungan. Pemerintah Indonesia menargetkan pada tahun 2025 subtitusi bahan bakar nabati terhadap bahan bakar minyak mencapai 5 Instruksi presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang pemanfaatan bahan bakar nabatibiofuel sebagai bahan bakar alternatif. Selain digunakan sebagai bahan bakar, etanol juga banyak digunakan oleh industri kimia, kosmetika serta industri lainnya. Bahan baku yang saat ini banyak digunakan untuk membuat etanol adalah molasses. Namun ketersediaan molasses di Indonesia sangat terbatas, sehingga Indonesia mengimpor molasses dari India. Data dari BPS menunjukkan bahwa impor molasses Indonesia pada tahun 2005 mencapai 52.861 ton dengan nilai 8.038 juta US. Sebenarnya Indonesia memiliki sumber bahan baku yang lebih potensial untuk dijadikan bahan baku dalam pembuatan etanol, yaitu sagu. Potensi sagu di Indonesia cukup berlimpah. Di dunia diperkirakan terdapat 2 juta ha hutan sagu dan kurang lebih setengah hutan sagu dunia ada di Indonesia. Sekitar 90 di antaranya terdapat di Papua Marsudi dan Aprillia, 2006. Besarnya potensi sagu di Indonesia belum termanfaatkan secara optimal. Selama ini baru sekitar 10 dari total area sagu nasional yang telah dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan industri dan pangan. Jika dilihat dari potensi sagu yang tersedia, Indonesia setidaknya setiap tahun menyia-nyiakan sekitar enam juta ton produksi sagu kering yang berpotensi menghasilkan sekitar tiga juta ton bioetanol Anonim, 2007. Pemanfaatan pati sagu untuk industri bioetanol diharapkan dapat membantu pemerintah dalam pembangunan wilayah 2 Indonesia bagian timur yang saat ini masih tertinggal dibandingkan dengan daerah lain. Keunggulan utama tanaman sagu dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lain adalah produktivitasnya yang tinggi. Sagu mampu menghasilkan pati kering 10-25 tonhatahun. Produktivitas pati kering padi hanya 6 tonhatahun, sedangkan pati kering jagung hanya 5,5 tonhatahun. Produktivitas sagu setara dengan tebu, namun lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang dengan produktivitas pati kering 10-15 tonhatahun Sumaryono, 2007. Menurut Akyuni 2004, pati sagu dapat dihidrolisis menjadi hidrolisat pati sagu berupa sirup glukosa yang memiliki kandungan gula cukup tinggi, sehingga berpotensi dijadikan sebagai sumber karbon pada proses fermentasi untuk menghasilkan etanol. Suyandra 2007, melakukan pemanfaatan pati sagu untuk produksi etanol. Penelitian tersebut menggunakan sirup glukosa yang berasal dari pati sagu sebagai sumber karbon pada saat fermentasi. Umumnya substrat yang digunakan sebagai sumber karbon pada fermentasi adalah sirup glukosa. Namun untuk memproduksi sirup glukosa dibutuhkan energi yang cukup besar serta waktu yang lama. Hal ini menyebabkan ongkos produksi bioetanol dari substrat yang berasal dari sirup glukosa menjadi mahal dan boros energi. Salah satu usaha untuk mengurangi biaya produksi dan meningkatkan efisiensi waktu produksi etanol dari pati sagu, dapat dilakukan dengan mengganti substrat sirup glukosa dengan sirup dekstrin. Sirup dekstrin merupakan hasil liquifikasi pati sagu yang juga merupakan produk antara pada proses pembuatan sirup glukosa. Pada penelitian ini dilakukan proses fermentasi pada sirup dekstrin menggunakan khamir Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus. Saat fermentasi dilakukan juga rekayasa bioproses berupa penghentian aerasi, dengan harapan akan terbentuk etanol dalam jumlah yang lebih banyak selama fermentasi berlangsung. 3

B. TUJUAN