Produksi Etanol oleh Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus. dari Sirup Dekstrin Pati Sagu (Metroxylon sp.) Menggunakan Metode Aerasi Penuh dan Aerasi Dihentikan.

(1)

1

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Permintaan etanol dunia beberapa tahun terakhir ini terus meningkat, dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan seiring dengan kembali digiatkannya pengunaan etanol sebagai bahan bakar nabati (BBN). Etanol merupakan salah satu jenis bahan bakar alternatif yang dapat mensubstitusi kebutuhan masyarakat Indonesia akan BBM. Selain dapat diperbaharui etanol juga bersifat ramah lingkungan. Pemerintah Indonesia menargetkan pada tahun 2025 subtitusi bahan bakar nabati terhadap bahan bakar minyak mencapai 5% (Instruksi presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang pemanfaatan bahan bakar nabati/biofuel sebagai bahan bakar alternatif). Selain digunakan sebagai bahan bakar, etanol juga banyak digunakan oleh industri kimia, kosmetika serta industri lainnya.

Bahan baku yang saat ini banyak digunakan untuk membuat etanol adalah molasses. Namun ketersediaan molasses di Indonesia sangat terbatas, sehingga Indonesia mengimpor molasses dari India. Data dari BPS menunjukkan bahwa impor molasses Indonesia pada tahun 2005 mencapai 52.861 ton dengan nilai 8.038 juta US$. Sebenarnya Indonesia memiliki sumber bahan baku yang lebih potensial untuk dijadikan bahan baku dalam pembuatan etanol, yaitu sagu.

Potensi sagu di Indonesia cukup berlimpah. Di dunia diperkirakan terdapat 2 juta ha hutan sagu dan kurang lebih setengah hutan sagu dunia ada di Indonesia. Sekitar 90% di antaranya terdapat di Papua (Marsudi dan Aprillia, 2006). Besarnya potensi sagu di Indonesia belum termanfaatkan secara optimal. Selama ini baru sekitar 10% dari total area sagu nasional yang telah dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan industri dan pangan. Jika dilihat dari potensi sagu yang tersedia, Indonesia setidaknya setiap tahun menyia-nyiakan sekitar enam juta ton produksi sagu kering yang berpotensi menghasilkan sekitar tiga juta ton bioetanol (Anonim, 2007). Pemanfaatan pati sagu untuk industri bioetanol diharapkan dapat membantu pemerintah dalam pembangunan wilayah


(2)

2 Indonesia bagian timur yang saat ini masih tertinggal dibandingkan dengan daerah lain.

Keunggulan utama tanaman sagu dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lain adalah produktivitasnya yang tinggi. Sagu mampu menghasilkan pati kering 10-25 ton/ha/tahun. Produktivitas pati kering padi hanya 6 ton/ha/tahun, sedangkan pati kering jagung hanya 5,5 ton/ha/tahun. Produktivitas sagu setara dengan tebu, namun lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang dengan produktivitas pati kering 10-15 ton/ha/tahun (Sumaryono, 2007).

Menurut Akyuni (2004), pati sagu dapat dihidrolisis menjadi hidrolisat pati sagu berupa sirup glukosa yang memiliki kandungan gula cukup tinggi, sehingga berpotensi dijadikan sebagai sumber karbon pada proses fermentasi untuk menghasilkan etanol. Suyandra (2007), melakukan pemanfaatan pati sagu untuk produksi etanol. Penelitian tersebut menggunakan sirup glukosa yang berasal dari pati sagu sebagai sumber karbon pada saat fermentasi.

Umumnya substrat yang digunakan sebagai sumber karbon pada fermentasi adalah sirup glukosa. Namun untuk memproduksi sirup glukosa dibutuhkan energi yang cukup besar serta waktu yang lama. Hal ini menyebabkan ongkos produksi bioetanol dari substrat yang berasal dari sirup glukosa menjadi mahal dan boros energi.

Salah satu usaha untuk mengurangi biaya produksi dan meningkatkan efisiensi waktu produksi etanol dari pati sagu, dapat dilakukan dengan mengganti substrat sirup glukosa dengan sirup dekstrin. Sirup dekstrin merupakan hasil liquifikasi pati sagu yang juga merupakan produk antara pada proses pembuatan sirup glukosa.

Pada penelitian ini dilakukan proses fermentasi pada sirup dekstrin menggunakan khamir Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus. Saat fermentasi dilakukan juga rekayasa bioproses berupa penghentian aerasi, dengan harapan akan terbentuk etanol dalam jumlah yang lebih banyak selama fermentasi berlangsung.


(3)

3

B. TUJUAN

Tujuan umum yang mendasari diadakannya penelitian ini adalah untuk melihat potensi pembuatan bioetanol dari sirup dekstrin yang berasal dari pati sagu sebagai bahan baku. Tujuan khusus dari penelitian ini meliputi pemilihan laju aerasi dan konsentrasi gula substrat berdasarkan jumlah biomassa tertinggi yang dihasilkan, serta pengaruhnya terhadap parameter fermentasi lainnya (sisa total gula dan pH). Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pengaruh rekayasa bioproses(aerasi penuh dan aerasi dihentikan) terhadap kadar etanol yang dihasilkan, jumlah biomassa, sisa total gula dan pH.


(4)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PATI SAGU

Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk persediaan bahan makanan. Pati sagu merupakan hasil ekstraksi dari empulur batang sagu dengan bantuan air secara mekanis maupun tradisional. Pati berbentuk butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa. Pada dasarnya pati merupakan polimer glukosa dengan ikatan 1,4 α-glukosa. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai karbonnya (Haryato dan Pangloli, 1992).

Karakteristik pati sagu (Metroxylon sp.) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Pati Sagu

Karakterisasi Komposisi (%)

Kadar Pati § Amilosa § Amilopektin Kadar Serat Kadar Air Kadar Abu Kadar Lemak Kadar Protein

82,13 27,75 72,25 0,01 5,76 0,12 0,36 0,38 Sumber : Hartoto et al. (2005)

Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang beraneka ragam, umumnya berbentuk bola atau elips. Pati sagu berbentuk elips (prolate ellipsoidal), mirip pati kentang dengan ukuran 5-80 μm dan relatif lebih besar daripada pati serealia. Pati sagu mengandung sekitar 27% amilosa dan sekitar 73% amilopektin. Rasio amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat-sifat pati itu sendiri. Apabila kadar amilosa tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cendrung meresap air lebih banyak atau higroskopis (Wirakartakusumah et al., 1986).


(5)

5 Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut dengan amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin memiliki cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 1997).

B. SIRUP DEKSTRIN

Likuifikasi yaitu proses hidrolisis pati secara parsial yang ditandai dengan menurunnya viskositas dengan menggunakan enzim α-amilase. Tahap likuifikasi dilakukan hingga cairan berwarna coklat kemerahan bila direaksikan dengan larutan iodium. Pada tahap likuifikasi terjadi pemecahan ikatan α-1,4 glikosidik oleh enzim α-amilase pada bagian dalam rantai polisakarida secara acak sehingga dihasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin, dan alfa limit dekstrin. Enzim α -amilase merupakan enzim yang menghidrolisis secara khas melalui bagian dalam dengan memproduksi oligosakarida dari konfigurasi alfa yang memutus ikatan α -1,4 glikosidik pada amilosa, amilopektin dan glikogen. Ikatan α-1,6 glikosidik tidak dapat di putus oleh α-amilase, tetapi dapat dibuat menjadi cabang-cabang yang lebih pendek (Nikolov dan Rielly di dalam Dordick, 1991). Enzim α-amilase umumnya diisolasi dari Bacillus amyloquefaciens, B. Licheniformis, Aspergillus oryzae, dan Aspergillus niger. Nilai pH optimum untuk aktivitas enzim ini sekitar 6 dengan suhu optimum 60oC. Jika suhu semakin ditingkatkan maka pH optimum pun semakin meningkat sampai sekitar tujuh (Tjokroadikoesomo, 1986).

Pada likuifikasi pati biasanya α-amilase yang digunakan adalah yang memiliki aktivitas tinggi, sehingga dosis enzim yang digunakan sekitar 0.5-0.6 kg/ton pati atau 1500 U/kg substrat kering (Chaplin dan Buckle, 1990). Enzim α -amilase komersial dibuat oleh Novo industri AS. Antara lain dengan nama Termamyl yang memiliki ketahanan terhadap suhu sekitar 95-110oC. Stabilitas Termamyl tergantung pada suhu, konsentrasi Ca2+, kandungan ion dan ekuivalen dekstrosa. Dosis α-amilase yang biasa digunakan 0.5-0.6 kg Termamyl 102 /ton pati kering. Satu kNU (kilo NOVO α-amilase Unit) adalah jumlah enzim yang


(6)

6 dapat menghidrolisis 5,26 pati (gram standar) per jam suhu 37oC, pH 5,6 pada kondisi standar (Kearsley dan Dzeidzic, 1995).

C. Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus

Saccharomyces cerevisiae merupakan salah satu spesies khamir yang memiliki daya konversi gula menjadi etanol sangat tinggi. Mikroba ini biasanya dikenal dengan baker’s yeast dan metabolismenya telah dipelajari dengan baik. Produk metabolik utama adalah etanol, CO2 dan air sedangkan beberapa produk

lain dihasilkan dalam jumlah sangat sedikit. Khamir ini bersifat fakultatif anaerobik. Saccharomyces cerevisiae memerlukan suhu 30oC dan pH 4,0-4,6 agar dapat tumbuh dengan baik. Selama proses fermentasi akan timbul panas, apabila tidak dilakukan pendinginan, suhu akan makin meningkat sehingga proses fermentasi terhambat (Oura di dalam Delwegg, 1983).

Saccharomyces cerevisiae tumbuh optimum pada suhu 25-30oC dan maksimum pada 35-47oC (Frazier dan Westhoff, 1978). pH pertumbuhan khamir yang baik antara 3-6. Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil samping fermentasi. Pada pH tinggi maka lag phase akan berkurang dan aktivitas fermentasi akan naik (Prescott dan Dunn, 1959). Pertumbuhan mikroba di dalam suatu kultur mempunyai kurva seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Mikroba (Stanburry dan Whitaker, 1984).

Dalam industri fermentasi diperlukan substrat yang murah, mudah tersedia dan efisien penggunaannya. Substrat yang digunakan harus dapat difermentasi.


(7)

7 Pemilihan substrat harus memperhitungkan jumlah karbon yang tersedia di dalamnya. Karbohidrat merupakan sumber energi tradisional dalam industri fermentasi. Glukosa dan sukrosa jarang digunakan sebagai satu-satunya sumber karbon karena mahal harganya. Beberapa proses fermentasi dalam skala besar menggunakan garam amonium, urea, atau gas amonia sebagai sumber nitrogen (Fardiaz, 1988).

Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus merupakan galur khamir yang biasa digunakan untuk pembuatan minuman keras (wine) dan mampu menghasilkan rendemen alkohol tinggi (Frazier dan Westhoff, 1978). Pada awal klasifikasi, khamir diklasifikasikan berdasarkan kemampuan fermentasi dan morfologi selnya. Nama Saccharomyces cerevisiae digunakan untuk khamir dari industri bir di Jerman dan Inggris, sedangkan nama Saccharomyces ellipsoideus

merupakan jenis khamir anggur yang mempunyai bentuk ellipsoidal. Pada klasifikasi ulang ditemukan bahwa perbedaan morfologi saja, tidak cukup untuk membedakan dua spesies khamir, sehingga nama khamir anggur menjadi

Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus (Campbell di dalam Priest dan Campbell, 1999). Perbedaan morfologi Saccharomyces cerevisiae dan

Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Morfologi Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus (A) dan

Saccharomyces cerevisiae (B) (Pelczar dan Chan, 1986)

D. FERMENTASI

Menurut Prescot dan Dunn (1981), etanol dapat diproduksi dari gula melalui fermentasi pada kondisi tertentu. Sedangkan pati dan karbohidrat lainnya dapat dihidrolisa menjadi gula kemudian difermentasi untuk membentuk etanol yang merupakan nama kimia untuk alkohol dengan rumus kimia C2H5OH.


(8)

8 Bioetanol adalah cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme.

Khamir memerlukan medium dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembang-biakannya. Unsur-unsur dasar yang dibutuhkan adalah karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, zat besi dan magnesium. Unsur karbon banyak diperoleh dari gula, sumber nitrogen didapatkan dari amonia, asam amino, peptida, pepton nitrat, atau urea tergantung pada jenis khamir. Fosfor merupakan unsur penting dalam kehidupan khamir terutama untuk pembentukan alkohol dari gula.

Pada permulaan proses fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya sehingga fermentasi berlangsung secara aerob. Setelah terbentuk CO2, reaksi akan berubah menjadi anaerob. Alkohol yang terbentuk akan menekan

fermentasi lebih lanjut setelah tercapai konsentrasi antara 13-15% volume. Terhalangnya proses fermentasi, juga dipengaruhi suhu proses dan jenis khamir yang digunakan (Prescot dan Dunn, 1981).

Khamir tumbuh baik pada kondisi aerobik, walaupun demikian beberapa khamir dapat tumbuh pada kondisi anaerobik. Proses respirasi pada kondisi aerobik selanjutnya digantikan proses fermentasi pada kondisi anaerobik karena tidak tersedia lagi oksigen. Khamir akan selalu berespirasi pada setiap keadaan yang memungkinkan karena energi yang dihasilkan pada resprasi jauh lebih besar dibandingkan pada proses fermentasi. (Barnett et al., 2000). Bila terdapat udara pada proses fermentasi maka etanol yang dihasilkan lebih sedikit karena terjadi respirasi yang mengakibatkan terjadinya konversi gula menjadi sel, karbondioksida, dan air.

Suhu optimum pertumbuhan khamir adalah pada suhu 25-30oC dan maksimum pada 35-47oC. Sedangkan pH optimum 4-5. Batas minimal aw untuk

khamir biasa adalah 1.88-1.92. Menurut Casida (1968) pH pertumbuhan khamir yang baik adalah pada rentang 3-6. Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil samping fermentasi. Nilai pH pertumbuhan behubungan positif dengan pembentukan asam piruvat. Pada pH tinggi maka fase lag akan lebih singkat dan aktivitas fermentasi akan meningkat. Pengaruh pH pada pertumbuhan khamir juga tergantung pada konsentrasi gula dan etanol. Nilai pH dapat


(9)

9 diturunkan menggunakan asam sitrat, sedangkan untuk menaikkan pH dapat digunakan natrium benzoat.

Paturau (1991) menyatakan bahwa fermentasi etanol memakan waktu 30-72 jam. Prescot dan Dunn (1981) menyatakan bahwa waktu fermentasi etanol adalah 3-7 hari. Amerine dan Cruess (1960) menyatakan bahwa proses pemecahan gula menjadi etanol dan CO2 dilakukan oleh sel khamir. Secara teoritis konversi

molekul gula menjadi 2 molekul etanol dan 2 molekul CO2 menurut persamaan Gay Lussac sebagai berikut

C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2

(gula) (etanol) (karbondioksida)

Berdasarkan persamaan Gay Lussac dapat dijelaskan bahwa 51.1% gula diubah menjadi etanol dan 49.9% diubah menjadi karbondioksida. Akan tetapi hasil ini kebanyakan tidak dapat dicapai karena adanya hasil sampingan. Pada kenyataanya hanya 90-95% dari nilai ini yang dapat dicapai. Konsentrasi alkohol yang dihasilkan dalam fermentasi tergantung pada jenis khamir yang dipakai dan kadar gula. Sedangkan konsentrasi produk samping dipengaruhi oleh suhu, aerasi, kadar gula dan keasaman (Underkofler dan Hickey, 1954). Produk samping yang dihasilkan antara lain asam piruvat dan asam laktat.

Pada kondisi anaerob, metabolisme glukosa menjadi etanol terjadi melalui jalur Embden Meyerhoff-Parnas (Gambar 3) yang merupakan reaksi-reaksi fosforilasi dan defosforilasi dengan ATP dan ADP sebagai donor aseptor fosfat, reaksi pemecahan C6 menjadi 2 molekul C3 yang terfosforilasi, reaksi

oksidasi-reduksi dan reaksi dekarboksilasi. Gukosa mengalami fosforilasi menjadi glukosa-6-P dan fruktosa-6-P dengan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-6-P kemudian dirubah menjadi fruktosa-1.6-di-P kemudian dipecah mencadi 2 molekul C3 yang terfosforilasi yaitu dihidroksiaseton fosfat dan

gliseraldehida-3-P. Dihidroksi aseton fosfat selanjutnya teroksidasi menjadi gliserol fosfat kemudian diubah menjadi gliserol yang merupakan metabolit sekunder. Gliseraldehid-3-P tereduksi membentuk asam 1.3-difosfogliserat kemudian mengalami difosforilasi menjadi 3-P-asam gliserat dengan melepaskan fosfat dan akseptor fosfat ADP membentuk ATP.


(10)

Gambar 3. Embden Selanjutnya, 3-P

terbentuk asam fosfoen gliseraldehid gliseraldehid

1,3-bifosfo g

3-fosfo gliserat 2-fosfo gliserat fosfo enol piruvat

piruvat

piruvat

dekarboksilase

Embden Meyerhoff-Parnas Pathway (Diwan, 2007 P-asam gliserat membentuk 2-P-asam gliserat fosfoenol piruvat dengan menghasilkan ATP. Melalui

Glukosa

glukosa-6-fosfat fruktosa-6-fosfat

fruktosa-1,6-bifosfat

liseraldehid-3-fosfat dihidroksi aseton fosfat liseraldehid-3-fosfat

bifosfo gliserat

gliserat gliserat fosfo enol piruvat

piruvat

asetaldehid etanol

heksokinase

fosfoglukosa isomerase

fosfofrukto kinase

aldolase

triose fosfat isomerase

gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase

fosfogliserat kinase

fosfogliserat mutase

enolase

piruvat kinase

piruvat dekarboksilase

alkohol dehidrogenase

10 Diwan, 2007)

liserat kemudian Melalui reaksi


(11)

11 dekarboksilasi, asam piruvat akan membentuk asetaldehid dan CO2 yang

kemudian akan mengalami reaksi oksidasi membentuk etanol.

Penambahan inokulum khamir dapat dilakukan dalam berbagai bentuk diantaranya dalam bentuk suspensi atau dalam bentuk kering. Banyaknya suspensi khamir yang ditambahkan dalam fermentasi skala besar sekitar 1-3% (Prescott dan Dunn, 1959), sedangkan Rinaldy (1987) menggunakan konsentrasi inokulum 10% (v/v).

Komposisi media untuk setiap mikroba berbeda satu sama lain. Zat makanan utama bagi pertumbuhan mikroba adalah sumber karbon, nitrogen, dan mineral terutama fosfat. Pertumbuhan mikrobial dipengaruhi oleh konsentrasi komponen penyusun media pertumbuhannya. Pasokan sumber karbon merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan optimal, tetapi pada kenyataanya konsentrasi sumber karbon mempunyai batas maksimum. Jika konsentrasi sumber karbon melampaui batas maka laju pertumbuhan akan terhambat (Casida, 1968).

Dalam fermentasi skala industri, sumber karbon yang biasa digunakan adalah karbohidrat yang diperoleh dari berbagai jenis pati seperti jagung, serealia, kentang, dan sagu. Sumber karbon lain juga bisa didapatkan dari hasil pertanian yang banyak mengandung selulosa antara lain jerami padi, tongkol jagung, bagas, limbah kayu, dan kertas. Sebelum digunakan, bahan-bahan tersebut harus dihidrolisis lebih dulu baik secara kimia maupun secara enzimatis (Hartoto, 1992). Sumber nitrogen yang dapat digunakan dalam proses fermentasi diantaranya corn step liqour, ekstrak gandum atau tauge, hidrolisat kasein, dan ekstrak khamir. Vogel (1983) membedakan sumber nitrogen menjadi sumber organik dan anorganik. Yang termasuk sumber nitrogen organik adalah corn step liqour, urea, protein, ekstak khamir dan tepung ikan. Sedangkan sumber nitrogen anorganik adalah amonia, amonium hidroksida dan amonium sulfat.

Menurut Hartoto (1992) sumber nitrogen yang biasa digunakan untuk fermentasi skala besar adalah garam amonium, urea atau amonia. Pemilihan amonium sebagai sumber nitrogen disebabkan oleh faktor ekonomis yaitu harga yang relatif murah dan mudah didapatkan seperti pupuk NPK dan ZA.


(12)

12

E. KINETIKA FERMENTASI

Pertumbuhan mikrobial ditandai dengan peningkatan jumlah dan massa sel, sedangkan kecepatan pertumbuhan tergantung pada lingkungan fisik dan kimianya (Reed dan Rehm, 1983). Kinetika fermentasi mempelajari perkembangbiakan mikroba yang ditunjukkan oleh kenaikan konsentrasi biomassa karena konsumsi substrat. Pada saat yang bersamaan dihasilkan produk, baik metabolit primer maupun sekunder (Mangunwidjaja dan Suryani, 1994).

Menurut Bailey dan Olis (1991) fermentasi media cair dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu fermentasi sistem tertutup (batch), fermentasi semi sinambung (fed batch), dan sistem sinambung (continous). Pada fermentasi curah pemanenan dilakukan setelah fermentasi berakhir dan tidak dilakukan lagi penambahan komponen substrat selama fermentasi berlangsung.

Fermentasi secara curah, pertumbuhan mikroba secara umum mengikuti pola seperti berikut. Fase lag merupakan masa penyesuaian mikroba sejak inokulum diinokulasi ke dalam media fermentasi. Pada fase lag terjadi pertumbuhan lambat dimana sel mempersiapkan diri mengalami pembelahan sehingga peningkatan jumlah sel berjalan lambat. Cepat atau lambatnya fase lag tergantung kepada kualitas, kuantitas, dan umur kultur yang dinokulasikan (Moat,1988).

Fase eksponensial terjadi pertumbuhan cepat dimana jumlah sel bertambah secara eksponensial terhadap waktu. Menurut Reed dan Rehm (1983) pada fase eksponensial kondisi lingkungan berubah karena substrat dan nutrien dikonsumsi sementara metabolik dihasilkan.

Saat substrat mendekati habis dan terjadi penumpukan produk-produk penghambat maka terjadi penurunan laju pertumbuhan. Pada fase stasioner konsentrasi biomassa mencapai maksimum. Setelah fase tersebut terjadi fase kematian yang ditandai dengan penurunan jumlah individu yang hidup (Bailey dan Olis, 1991).

Saat keadaan lingkungan tetentu pertumbuhan mikrobial dapat dinyatakan dengan persamaan berikut


(13)

13 dx = μx-αx

dt Keterangan :

x : konsentrasi sel t : waktu fermentasi

μ : laju pertumbuhan spesifik

α: laju lisis sel yang menghambat pertumbuhan

Pada kondisi yang sesuai maka penurunan massa sel sangat kecil sehingga

α dapat diabaikan sehingga persamaan diatas menjadi; dx= μx

dt

Integrasi dari persamaan 2 untuk menghasilkan nilai peningkatan massa sel pada suatu selang waktu tertentu adalah;

x1∫x2 dx = t1∫t2μ dt

x akan diperoleh persamaan;

ln ( x2 ) = μ ∆t atau ln x2 = ln x1 + μ ∆t

laju pertumbuhan spesifik (μ) bersifat tidak konstan tergantung pada kondisi lingkungan fisik kimianya. Nilai maksimum (μmaks) dicapai pada kondisi

pasokan substrat dan nutrien masih berlebih serta konsentrasi zat-zat metabolik yang menghambat pertumbuhan masih rendah.

Menurut Wang et al. (1979), koefisien hasil sel hidup terhadap sumber karbon dinyatakan sebagai Yx/s, Koefisien konversi nutrien dalam substrat menjadi produk pada periode tertentu dinyatakan sebagai Yp/s. Sedangkan koefisien produk terhadap jumlah sel hidup dinyatakan sebagai Yp/x. Perhitungan yang biasa digunakan untuk proses pembentukan produk yang berasosiasi dengan pertumbuhan sel adalah sebagai berikut

Yx/s = ∆X Yp/s = ∆P Yp/x = ∆P ∆S ∆S ∆X

Parameter-paremeter diatas perlu diketahui agar pada fermentasi skala yang lebih besar dapat ditentukan jumlah substrat yang diperlukan untuk menghasilkan jumlah produk dan biomassa yang tertentu. Informasi tersebut digunakan untuk meningkatkan efisensi fermentasi.


(14)

14

III. METODOLOGI

A. BAHAN DAN ALAT

1. Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain oven, inkubator, timbangan analitik, autoclave, pH-meter, jarum ose, desikator, tabung eppendorf, sentrifuge, gas chromatography, spektrofotometer,

sparger, selang silikon, dan peralatan gelas seperti erlenmeyer, labu ukur, pipet, gelas ukur, tabung reaksi, gelas piala, cawan conway dan botol kapasitas 500 ml (sebagai bioreaktor). Skema instalasi bioreaktor dapat dilihat pada Gambar 4.

Sumbat Karet

Bioreaktor (500 ml)

Sumbat Kapas (Udara Keluar)

Air Steril Pompa Udara

Udara Masuk

Sparger

Sampling Valve

Flowmeter

Gambar 4. Skema Instalasi Bioreaktor

2. Bahan

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu yang di peroleh di Pasar Bogor, serta Saccharomyces cerevisiae var.

ellipsoideus yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Fateta-IPB. Bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan hidrolisat pati di


(15)

15 antaranya α-amilase (Termamyl) yang didapatkan dari Novo industri. NaOH dan CaCO3.

Bahan kimia untuk fermentasi antara lain yeast ekstrak, maltosa, glokosa, pepton, (NH4)2SO4, trace element dan Ca(OH)2. Bahan kimia untuk

analisa antara lain H2SO4, pereaksi Luff, HCl, NaOH, Na2S2O3, indikator

kanji, etanol, larutan iod, CaCO3, K2Cr2O7, Na2CO3, glukosa standar dan

larutan fenol.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu persiapan bahan dan penelitian utama.

1. Persiapan Bahan

a. Karakterisasi Pati Sagu

Pada tahap ini dilakukan pengujian kadar pati dalam pati sagu menggunakan metode Luff Shcroll. Analisis kadar pati dapat dilihat pada Lampiran 1.

b. Pembuatan Sirup Dekstrin

Pati sagu harus dihidrolisis terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai substrat pada fermentasi etanol. Proses hidrolisis dilakukan secara enzimatis, menggunakan enzim α-amilase yang mengubah larutan pati menjadi sirup dekstrin. Proses hidrolisis pati sagu dapat dilihat pada Lampiran 2.

c. Pengujian Total Gula pada Sirup Dekstrin

Setelah proses hidrolisis, dilakukan pengujian total gula terhadap sirup dekstrin yang dihasilkan (Lampiran 3).

d. Penyiapan Inokulum

Media yang baik untuk menumbuhkan khamir adalah media YMGP yang terdiri dari 5 g ekstrak khamir, 5 g ekstrak malt, 5 g pepton dan 20 g glukosa dalam 1 l akuades. Mula-mula bahan ditimbang sesuai dengan jumlah yang ditentukan, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml dan dilarutkan dengan akuades. Media cair diatur pH-nya dengan menambahkan larutan H2SO4 0,1 N hingga mencapai pH 4,5.


(16)

16 Labu erlenmeyer ditutup dengan menggunakan kapas dan aluminium foil untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam otoklaf dan disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah sterilisasi selesai, erlenmeyer dikeluarkan dari otoklaf untuk didinginkan pada suhu kamar.

Inokulasi kultur dilakukan dengan cara memindahkan kultur murni khamir Saccharomyces cereviseae var. ellipsoideus dengan jarum ose secara aseptis ke dalam media yang telah disterilisasi, lalu erlenmeyer ditutup kembali. Inokulum diinkubasi pada suhu ruang (30oC) serta diberi aerasi dan agitasi menggunakan shaker pada kecepatan 125 rpm.

2. Pemilihan Laju Aerasi dan Konsentrasi Substrat

Pada penelitian pertama dilakukan penentuan nilai laju pertumbuhan maksimum (μmaks) Sacharomycess cereviseae var. ellipsoides pada beberapa laju aerasi dan konsentrasi total gula. Substrat fermentasi berupa hidrolisat pati sagu sebanyak 400 ml dimasukkan ke dalam botol dengan konsentrasi gula yang berbeda. Nilai pH cairan substrat diatur pada pH 5. Kemudian media disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit, setelah itu media didinginkan hingga 30oC. Ditambahkan amonium sulfat 1 g/l dan trace element 1%. Selanjutnya inokulum sebanyak 10% volume substrat ditambahkan pada media. Fermentasi berlangsung secara aerobik pada suhu ruang dengan lama fermentasi 24 jam. Pengamatan dilakukan tiap 6 jam, yang meliputi analisa biomassa, total gula sisa, dan pH. Analisa kadar etanol dan penghitungan kinetika fermentasi dilakukan di akhir fermentasi. Parameter kinetika fermentasi yang dihitung antara lain laju pertumbuhan maksimum (μmaks), Yx/s, Yp/s, Yp/x, dan efisiensi pemanfaatan substrat.

Perhitungan nilai yield (rendemen) sebagai berikut : Yx/s = ∆X Yp/s = ∆P Yp/x = ∆P

∆S ∆S ∆X

Perlakuan yang diterapkan pada penelitian pendahuluan ini adalah perlakuan konsentrasi gula yang berbeda, yaitu 18% (b/v), 24% (b/v),


(17)

17 30% (b/v), dan 36% (b/v). Serta perlakuan laju alir aerasi yang berbeda yaitu 1 vvm dan 2 vvm. Konsentrasi total gula pada substrat diuji dengan uji total gula (metode fenol), sedangkan laju aerasi diukur menggunakan

flow meter.

3. Rekayasa Bioproses

Setelah didapatkan laju alir aerasi dan konsentrasi yang terbaik untuk pertumbuhan Sacharomycess cereviseae var. ellipsoides dari penelitian pertama, kemudian pada penelitian lanjutan dilakukan rekayasa bioproses fermentasi berupa penghentian pemberian aerasi pada saat nilai

μmaks telah dicapai. Fermentasi dilakukan selama 24 jam dengan

pengamatan setiap 6 jam. Parameter yang diukur terhadap hasil fermentasi meliputi analisa biomassa, total gula sisa, analisa kadar etanol dan penghitungan kinetika fermentasi. Metode analisis pada tiap-tiap parameter dapat dilihat pada Lampiran 5.


(18)

18

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PERSIAPAN FERMENTASI

Bahan baku pati sagu yang digunakan pada penelitian ini mengandung kadar pati rata-rata sebesar 84,83%. Pati merupakan polimer senyawa glukosa yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu amilosa dan amilopektin. Pada saat dilarutkan dalam air, pati akan terpisah menjadi dua fraksi. Fraksi terlarut yaitu amilosa yang memiliki struktur lurus dan fraksi tak larut yaitu amilopektin yang memiliki struktur bercabang. (Winarno, 1997). Sekitar sepertiga bagian dari pati sagu merupakan amilosa dan sisanya amilopektin. Perbandingan antara amilosa dan amilopektin berpengaruh pada proses likuifikasi. Amilopektin yang tinggi menyebabkan pati tahan terhadap hidrolisis oleh enzim α-amylase (Zhang dan Oates, 1999). Sehingga hal ini akan berpengaruh pada jumlah enzim yang akan digunakan.

Pati sagu harus dihidrolisis terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai substrat dalam fermentasi. Hidrolisis pati sagu dilakukan dengan metode enzimatis karena hidrolisis menggunakan enzim menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dan mutu yang lebih baik dibandingkan hidrolisis menggunakan asam (Tjokroadikoesomo, 1986). Pada proses hidrolisis secara enzimatis ikatan pati dipotong sesuai dengan jenis enzim yang digunakan, sedangkan apabila menggunakan asam pemotongan dilakukan secara acak.

Hasil yang diperoleh dengan cara hidrolisis parsial (likuifikasi) yaitu dekstrin yang mengandung gula kompleks (oligosakarida), disakarida, dan sedikit gula sederhana (monosakarida). Sirup hasil hidrolisis parsial dari pati sagu ini yang digunakan sebagai substrat sumber karbon pada produksi etanol.

Setelah proses hidrolisis, dekstrin dan sirup glukosa dianalisa kandungan total gulanya. Hasil pengukuran total gula ini digunakan untuk membuat substrat sesuai konsentrasi total gula yang diinginkan. Substrat yang digunakan dalam proses fermentasi adalah sirup dekstrin dari pati sagu dengan 4 taraf konsentrasi total gula, yaitu 18 %, 24 %, 30 % dan 36 % (b/v).


(19)

19 Pada penelitian ini dilakukan fermentasi pada sirup dekstrin dari pati sagu menggunakan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus. Jenis khamir ini biasa digunakan dalam pembuatan alkohol atau minuman keras. Keuntungan menggunakan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus adalah mempunyai waktu fermentasi lebih cepat, yaitu 20-30 jam. Khamir ini mampu menghasilkan rendemen alkohol tinggi dan merupakan galur khamir utama untuk pembuatan

wine (Frazier dan Westhoff, 1978).

B. PENENTUAN LAJU AERASI DAN KONSENTRASI TOTAL GULA SUBSTRAT TERBAIK

Penelitian utama, fermentasi dilakukan dengan mengkombinasikan perlakuan konsentrasi substrat dan laju aerasi yang diberikan. Pada cairan fermentasi dialirkan udara dengan laju 1vvm dan 2vvm secara terus menerus (aerasi penuh) pada keempat konsentrasi substrat yang berbeda yaitu 18%, 24%, 30%, dan 36%. Aerasi diberikan dengan cara mengalirkan udara secara langsung (air bubble). Menurut Johnson (2008), aerasi dengan cara air bubble cukup efektif untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam cairan fermentasi.

Saccharomycess sp. bersifat fakultatif aerobik, dimana pada kondisi aerobik, oksigen berperan sebagai akseptor elektron terakhir pada jalur reaksi bioenergetiknya. Menurut Meyer (1978), pada kondisi aerobik pemanfaatan gula menghasilkan penambahan biomassa sel dengan reaksi :

C6H12O6 CO2 + H2O + Biomassa sel

Dengan pemberian aerasi diharapkan terjadi perbanyakan sel

Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus secara maksimal. Pada kondisi aerob gula akan dikonversi menjadi energi melalui siklus Krebs, energi ini diperlukan sel untuk memperbanyak diri.

1. Biomassa

Biomassa yang dihitung adalah bobot biomassa kering yang terdapat dalam cairan fermentasi. Selama fermentasi khamir mengalami pertumbuhan


(20)

20 yang ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah biomassa dari waktu ke waktu. Khamir tumbuh dalam media sederhana yang mengandung karbohidrat yang dapat terfermentasi sebagai sumber energi dan biosintesis, nitrogen yang cukup untuk sintesis protein, dan garam mineral serta faktor pertumbuhan (Campbell, 1999 di dalam Priest dan Campbell, 1999). Hasil pengamatan pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Gambar 5. Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus

pada laju aerasi 1 vvm

Gambar 6. Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus

pada laju aerasi 2 vvm

-1 -0.5 0 0.5 1 1.5

0 6 12 18 24

ln [B iom as sa ] Waktu (Jam) 18% 24% 30% 36% -1 -0.5 0 0.5 1 1.5

0 6 12 18 24

ln [B iom as sa ] Waktu (Jam) 18% 24% 30% 36%


(21)

21 Dari data tersebut dapat diketahui bahwa sumber karbon berupa dekstrin ternyata dapat dimanfaatkan oleh Saccharomyces cerevisiae var.

ellipsoideus untuk memperbanyak diri dalam jumlah yang cukup, untuk kemudian menghasilkan etanol. Dekstrin terlebih dahulu akan dipecah menjadi glukosa agar dapat dimetabolisme di dalam sel. Pada konsentrasi substrat 18%-30% laju pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae var.

ellipsoideus meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi dekstrin yang digunakan. Namun pada konsentrasi yang lebih tinggi dari 30% laju pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus menurun. Menurut Wang et. al (1979) konsentrasi substrat yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya inhibisi substrat serta glucose effect yang dapat menghambat pertumbuhan. Menurut Reed dan Rehm (1983) Saccharomyces cerevisiae

var. ellipsoideus dapat memfermentasi glukosa, maltosa, sukrosa, dan rafinosa. Pertumbuhan khamir dalam disakarida, oligosakarida, dan polisakarida memerlukan sistem enzim untuk metabolisme berupa eksoenzim dan enzim lainnya. Enzim-enzim ini memerlukan waktu induksi selama pertumbuhan (Griffin, 1981).

Dengan pemberian aerasi pada laju 2 vvm ternyata justru menekan pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus. Hal ini disebabkan oleh berlebihnya suplai O2 yang diberikan melebihi kebutuhan yang

seharusnya, sehingga meningkatkan stress (tekanan) bagi Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus itu sendiri. Pemberian aerasi dengan laju yang tinggi mengakibatkan terbentuknya busa pada permukaan media. Adanya busa dapat menyebabkan khamir terbawa ke permukaan, sehingga mengalami lisis dan mati.

Berdasarkan data pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae var.

ellipsoideus pada Gambar 5 dan Gambar 6, maka dipilih perlakuan dengan laju aerasi 1vvm dan konsentrasi substrat 30% sebagai perlakuan terbaik. Perlakuan dengan laju aerasi 1vvm dan konsentrasi substrat 30% digunakan pada penelitian utama, karena menghasilkan biomassa paling banyak serta menghasilkan laju pertumbuhan yang terbaik.


(22)

22

2. pH

Nilai pH pada awal fermentasi diset 5. Menurut Harrison dan Graham (1970), pH optimum untuk fermentasi yaitu 4,5-5,0. pH diatur dengan penambahan larutan HCl 3% pada media. Hasil pengukuran pH selama proses fermentasi dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.

Gambar 7. Kurva perubahan pH pada fermentasidengan laju aerasi 1 vvm

Gambar 8. Kurva perubahan pH pada fermentasidengan laju aerasi 2 vvm Selama fermentasi terjadi penurunan pH. Pada 6 jam pertama fermentasi terjadi penurunan pH yang cukup drastis. Penurunan pH yang terjadi selama proses fermentasi dikarenakan adanya akumulasi H+ selama proses konsumsi substrat oleh Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus.

0 1 2 3 4 5 6

0 6 12 18 24

pH

Waktu (Jam)

18% 24% 30% 36%

0 1 2 3 4 5 6

0 6 12 18 24

pH

Waktu (Jam)

18% 24% 30% 36%


(23)

23 Sumber N pada media tersedia dalam bentuk NH4+, sedangkan khamir

mengkonsumsi sumber N dalam bentuk NH3. Sehingga selama metabolisme

berlangsung khamir meninggalkan H+ dalam media (Fardiaz, 1988). Penurunan nilai pH juga dapat disebabkan karena terjadinya akumulasi produk samping berupa asam piruvat, asam sitrat, dan asam oksaloasetat yang dihasilkan selama metabolisme melalui EMP pathway.

3. Konsumsi Substrat

Gambar 9 memperlihatkan data hasil pengukuran total gula pada berbagai konsentrasi substrat selama fermentasi berlangsung.

Gambar 9. Kurva konsumsi substrat pada fermentasi dengan laju aerasi 1 vvm

Pada semua konsentrasi yang diuji terjadi penurunan nilai total gula selama fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa substrat yang diberikan dalam hal ini dekstrin dapat dikonsumsi oleh Saccharomyces cerevisiae var.

ellipsoideus. Pada keempat konsentrasi tersebut Saccharomyces cerevisiae

var. ellipsoideus langsung dapat menyesuaikan dengan keadaan yang ada, sehingga langsung dapat mengkonsumsi gula dalam substrat. Hal ini ditandai dengan terjadinya penurunan konsentrasi gula secara drastis pada awal masa fermentasi. Menurut Young (1996) dalam Priest dan Campbell (1999), glukosa cepat dikonsumsi oleh khamir pada tahap awal fermentasi.

Semakin rendah konsentrasi total gula maka kemampuan

Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus mengkonsumsi substrat juga

0 50 100 150 200 250 300 350 400

-6 0 6 12 18 24

T ot al G ul a (g/ l) Waktu (Jam) 18% 24% 30% 36% B


(24)

24 semakin rendah. Hal ini disebabkan pada konsentrasi rendah jumlah gula sederhana yang tersedia sangat sedikit. Gula sederhana seperti glukosa dan frukosa sangat penting bagi Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus pada masa awal pertumbuhannya. Namun jika konsentrasi substrat yang diberikan terlalu tinggi, maka akan diperlukan waktu fermentasi yang lebih lama, serta semakin banyak sisa gula yang tidak termanfaatkan. Moat (1979) menyatakan bahwa pada konsentrasi substrat yang tinggi sel khamir akan mengalami plasmolisis (hancurnya lapisan pelindung terluar pada sel). Dengan terjadinya plasmolisis aktivitas fermentasi terhambat bahkan dapat menyebabkan kematian pada sel khamir.

Disakarida, sukrosa, dan maltosa dapat difermentasi oleh khamir selama khamir tersebut menghasilkan enzim sukrase (invertase) dan maltase yang mengkonversi gula agar mudah terfermentasi (Stark dalam Underkofler dan Hickey, 1954). Disakarida seperti sukrosa dan maltosa dapat difermentasi oleh khamir pembuat bir. Menurut Wang et al. (1979), jika mikroorganisme hidup pada lingkungan yang mengandung polimer seperti pati ditambah amonium dan garam mineral, maka pertama kali pati akan dirubah menjadi glukosa, kemudian glukosa digunakan sebagai penyedia energi dan produk antara. Mikroorganisme juga akan memproduksi enzim untuk mengurai substrat jika pada substrat yang digunakan terdapat beberapa jenis karbon.

Gambar 10. Histogram efisiensi pemanfaatan substrat pada fermentasidengan laju aerasi 1 vvm

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

18 24 30 36

E fi si ens i pe m anf aa ta n s ubs tr at ( % )


(25)

25 Efisiensi pemanfaatan substrat yang ditampilkan pada Gambar 10 nampak sejalan dengan pertumbuhan biomassa (Gambar 5) serta jumlah etanol yang dihasilkan (Gambar 11). Secara umum nilai efisiensi pemanfaatan substrat sirup dekstrin oleh Saccharomyces cerevisiae var.

ellipsoideus masih rendah. Hal ini disebabkan karena gula yang terkandung dalam dekstrin masih berupa oligosakarida dan disakarida yang sukar dimetabolisme oleh khamir secara langsung.

4. Kadar etanol

Fermentasi etanol merupakan sebuah proses biologis dimana gula seperti glukosa, fruktosa, dan sukrosa diubah menjadi energi seluler serta produk sisa metabolisme berupa etanol dan karbon dioksida. Hasil pengukuran kadar etanol yang dihasilkan pada penelitian pertama ditampilkan pada Gambar 11.

Gambar 11. Histogram kadar etanol penelitian pertama

Kadar etanol pada fermentasi dengan laju aerasi 1vvm menunjukkan kecenderungan naik seiring dengan naiknya konsentrasi dekstrin yang digunakan. Pada fermentasi dengan laju aerasi 2vvm peningkatan konsentrasi substrat tidak terlalu berpengaruh terhadap peningkatan jumlah etanol yang dihasilkan. Dari data diatas juga dapat diketahui bahwa pemberian aerasi

0 5 10 15 20 25

18% 24% 30% 36%

E

ta

nol

(

g/

l)

Total Gula (%b/v)

1 vvm 2 vvm


(26)

26 yang lebih besar dari 1vvm tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan jumlah etanol yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan pada fermentasi dengan laju aerasi 2vvm kandungan oksigen dalam cairan fermentasi sangat tinggi, sehingga mengurangi kemampuan khamir untuk mengkonversi substrat menjadi etanol. Khamir dapat melakukan fermentasi yang merubah gula menjadi etanol pada kondisi lingkungan yang aerob, namun belum maksimal. Namun begitu hal ini membuktikan bahwa dekstrin dapat digunakan sebagai alternatif sumber karbon pada pembuatan etanol.

5. Kinetika Fermentasi

Sistem fermentasi yang digunakan pada penelitian ini adalah sistem

batch (tertutup). Kinetika fermentasi pada sistem batch dapat menggambarkan pertumbuhan khamir dan pembentukan produk dari khamir. Parameter kinetika fermentasi yang dihitung diantaranya laju pertumbuhan biomassa, rendemen substrat menjadi biomassa (Yx/s), rendemen substrat menjadi produk (Yp/s), dan rendemen produk terhadap jumlah biomassa (Yp/x).

Tabel 2. Nilai laju pertumbuhan spesifik maksimum (μmaks) pada fermentasi

dengan laju aerasi 1vvm

Konsentrasi Total Gula 18% 24% 30% 36% μmaks (jam-1) 0,18 0,21 0,29 0,23

Dari data pada Tabel 2 diketahui bahwa nilai μmaks paling tinggi

dihasilkan pada perlakuan fermentasi dengan konsentrasi total gula 30% dan telah dicapai pada jam ke-6. Hal ini sesuai dengan data pertumbuhan biomassa, yang pada jam ke-6 telah berada pada akhir fase eksponensial. Laju pertumbuhan spesifik dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien serta kondisi lingkungan hidup mikroorganisme seperti suhu, pH, dan ketersediaan oksigen. Kecepatan pertumbuhan mempengaruhi ukuran sel dan jumlah asam nukleat (Fardiaz, 1988). Pada penelitian utama akan dilakukan penghentian aerasi yang dilakukan pada saat nilai μmaks telah tercapai atau saat


(27)

27 pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus berada pada fase logaritmik, yaitu pada jam ke-6.

Tabel 3. Rendemen (b/b) hasil fermentasi dengan laju aerasi 1vvm

18% 24% 30% 36%

Yp/s 0,49 0,49 0,33 0,38 Yx/s 0,11 0,08 0,07 0,06 Yp/x 4,29 6,00 4,64 6,55

Δ s/s 0,12 0,17 0,18 0,14

Dari data pada Tabel 3 diketahui bahwa nilai rendemen produk per substrat (Yp/s) pada fermentasi dengan konsentrasi gula rendah lebih tinggi dibandingkan nilai rendemen pada substrat dengan konsentrasi gula yang lebih tinggi, sedangkan untuk nilai rendemen biomassa per substrat (Yx/s) semakin menurun seiring meningkatnya konsentrasi total gula pada substrat.

C. REKAYASA BIOPROSES

Dari hasil penelitian pertama diketahui laju alir aerasi dan konsentrasi yang terbaik untuk pertumbuhan Sacharomycess cerevisiae var. ellipsoides yaitu 1vvm pada konsentrasi 30%. Laju aerasi dan konsentrasi substrat tersebut digunakan sebagai acuan pada penelitian lanjutan dengan perlakuan rekayasa bioproses fermentasi berupa penghentian pemberian aerasi pada jam ke-6 (saat nilai μmaks telah dicapai). Fermentasi dilakukan selama 24 jam dengan

pengamatan setiap 6 jam. Pada fermentasi ini dilakukan analisa biomassa, total gula sisa, dan pH. Analisa kadar etanol dilakukan di akhir fermentasi.

1. Biomassa

Menurut Wang et al. (2006), mikroba akan tumbuh dan mempunyai aktifitas fisiologis sebagai respon terhadap lingkungannya. Kinetika pertumbuhan dan pembentukan produk menggambarkan kemampuan sel dalam merespon lingkungan. Pertumbuhan terjadi bila kondisi optimum fisik dan kimiawi tercapai, misalnya suhu, pH serta ketersediaan nutrisi dan


(28)

28 oksigen yang sesuai dengan kebutuhan mikroba. Hasil pengamatan pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus

pada penelitian lanjutan

Berdasarkan data pada Gambar 12 dapat diketahui bahwa pada perlakuan dengan aerasi penuh kemampuan Saccharomyces cerevisiae var.

ellipsoideus untuk tumbuh lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan dengan penghentian aerasi pada jam ke-6. Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata jumlah biomassa yang dihasilkan antara perlakuan dengan aerasi penuh dan aerasi yang dihentikan. Dengan dihentikannya pemberian aerasi pada jam ke-6 mengakibatkan konsentrasi oksigen dalam cairan fermentasi berkurang, sehingga kondisi lingkungan untuk pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae

var. ellipsoideus berubah dari kondisi aerob menjadi anaerob. Pada kondisi ini Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus masih dapat tumbuh namun dengan laju yang lambat.

Menurut Neway (1989), Pada kondisi aerob khamir menghasilkan biomassa yang lebih tinggi dibanding produksi etanol. Pada kondisi aerob produk utama yang diinginkan (etanol) tidak terbentuk secara maksimal,

0 0.5 1 1.5

0 6 12 18 24

ln

[B

iom

as

sa

]

Waktu (Jam)

Aerasi penuh Aerasi dihentikan


(29)

29 karena sel lebih banyak menggunakan substrat untuk pertumbuhan dibandingkan pembentukan produk.

2. pH

Seperti pada penelitian pertama, nilai pH pada awal fermentasi diatur pada nilai 5. Menurut Harrison dan Graham (1970), pH optimum untuk fermentasi yaitu 4,5-5,5. pH diatur dengan penambahan HCl 3% pada media. Hasil pengukuran pH selama proses fermentasi berlangsung dapat dilihat pada gambar 13.

Gambar 13. Kurva perubahan pH pada penelitian lanjutan

pH rata-rata pada kedua perlakuan tidak jauh berbeda. Namun nilai pH pada perlakuan dengan aerasi penuh sedikit lebih rendah dibanding perlakuan dengan aerasi dihentikan. Hal ini disebabkan karena pada kondisi aerob Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus mengalami pertumbuhan yang lebih pesat sehingga mengkonsumsi NH4+ lebih banyak. pH akhir yang

rendah dapat pula disebabkan oleh akumulasi produk samping berupa asam-asam organik seperti asam-asam piruvat yang merupakan hasil metabolisme karbohidrat pada EMP phatway. Selama proses fermentasi dihasilkan juga gliserol, asam asetat, asam ester, senyawa karbonil dan jenis alkohol lainnya.

0 1 2 3 4 5 6

0 6 12 18 24

pH

Waktu (Jam)

Aerasi penuh Aerasi dihentikan


(30)

30

3. Total Gula Sisa

Hasil pengukuran total gula selama fermentasi pada penelitian lanjutan dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Kurva total gula pada penelitian lanjutan

Dari Gambar 14 diketahui bahwa penurunan konsentrasi gula selama fermentasi terjadi secara merata. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi dekstrin oleh Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus dilakukan secara perlahan atau sedikit demi sedikit. Konsumsi substrat pada perlakuan aerasi dihentikan lebih besar dibandingkan pada perlakuan aerasi penuh. Hal ini disebabkan pada perlakuan aerasi yang dihentikan kebutuhan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus akan gula untuk memproduksi etanol lebih besar.

Penurunan substrat ini sejalan dengan pertumbuhan biomassa (Gambar 12) dan produksi etanol yang dihasilkan (Gambar 16). Semakin rendah total gula sisa maka pada perlakuan aerasi yang dihentikan pada jam ke-6 semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan, sedangkan pada perlakuan aerasi penuh terjadi peningkatan jumlah biomassa yang dihasilkan.

0 50 100 150 200 250 300 350

-6 0 6 12 18 24

T

ot

al

G

ul

a

(g/

l)

Waktu (Jam)

Aerasi penuh Aerasi dihentikan


(31)

31 Gambar 15. Histogram efisiensi pemanfaatan substrat pada penelitian

lanjutan

Dari Gambar 15 dapat diketahui bahwa masih terdapat komponen gula yang belum dikonsumsi oleh khamir. Hal ini disebabkan karena kandungan substrat sirup dekstrin masih mengandung banyak komponen oligosakarida, sehingga khamir harus terlebih dahulu memproduksi sistem enzim untuk memecah komponen oligosakarida dan disakarida tersebut menjadi gula yang lebih sederhana. Semakin sederhana gula yang terdapat dalam substrat fermentasi, semakin mudah gula dikonsumsi oleh khamir.

4. Kadar etanol

Selama fermentasi khamir akan melakukan metabolisme dengan memanfaatkan substrat yang tersedia. Sumber karbon melalui jalur glikolisis akan diubah menjadi asam piruvat, selanjutnya asam piruvat akan dikonversi menjadi etanol dan karbondioksida. Data kadar etanol yang dihasilkan pada penelitian lanjutan ditampilkan pada Gambar 16.

Dari Gambar 16, dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan kadar etanol pada fermentasi dengan aerasi yang dihentikan pada jam ke-6. Dengan dihentikannya pemberian aerasi akan mengubah kondisi lingkungan fermentasi dari aerob menjadi anaerob. Pada kondisi anaerob Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus mengkonversi substrat menjadi etanol.

0 5 10 15 20 25 30

Aerasi penuh Aerasi dihentikan

E

fi

si

ens

i

pe

m

anf

aa

ta

n s

ubs

tr

at

(

%


(32)

32 Gambar 16. Histogram kadar etanol penelitian lanjutan

Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata jumlah etanol yang dihasilkan antara perlakuan dengan aerasi penuh dan aerasi yang dihentikan. Perlakuan dengan aerasi penuh menghasilkan kadar etanol 21,25±0,55 (g/l), sedangkan perlakuan dengan aerasi dihentikan menghasilkan kadar etanol 24,94±0,16 (g/l).

Persamaan Gay Lusac berikut merupakan ringkasan fermentasi etanol, dimana satu molekul heksosa diubah menjadi dua molekul etanol dan dua molekul karbon dioksida.

C6H12O6→ 2 C2H5OH + 2 CO2

Proses dimulai dengan pemecahan molekul glukosa menjadi piruvat melalui proses glikolisis.

C6H12O6→ 2 CH3COCOO− + 2H+

Reaksi ini diiringi dengan reduksi dua molekul NAD+ menjadi NADH dan netto dua molekul ADP diubah menjadi dua ATP ditambah dua molekul air. Piruvat kemudian diubah menjadi asetaldehid dan karbon dioksida. Sesudah itu asetaldehid direduksi menjadi etanol oleh NADH yang berasal dari proses glikolisis sebelumnya, yang kemudian dikembalikan lagi menjadi NAD+.

CH3COCOO− + H+→ CH3CHO + CO2

CH3CHO + NADH → C2H5OH + NAD+ 0

5 10 15 20 25 30

Aerasi penuh Aerasi dihentikan

K

ada

r e

ta

nol

(

g/


(33)

33 Khamir baru akan melakukan dua reaksi diatas jika pada lingkungannya tidak terdapat oksigen. Jika masih terdapat oksigen maka khamir akan mengoksidasi piruvat menjadi karbondioksida dan air dengan sepenuhnya. Pada kondisi anaerobik Saccharomyces cerevisiae var.

ellipsoideus menggunakan senyawa organik sebagai akseptor elektron terakhir pada jalur reaksi bioenergetik yaitu glukosa dari substrat. Hasil akhir dari perombakan tersebut berupa etanol, aldehid, asam organik, dan fussel oil. (Lehninger, 1982)

5. Kinetika Fermentasi

Pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroba merupakan proses biokonversi nutrisi menjadi massa sel dan metabolit (Whitaker, 1972).

Yield atau rendemen biomassa (Yx/s), rendemen produk per substrat (Yp/s) dan rendemen produk per biomassa (Yp/x), merupakan parameter penting yang menggambarkan efisiensi konversi substrat menjadi biomassa atau produk dan biomassa menghasilkan produk. Parameter tersebut didefinisikan sebagai bobot biomassa produk yang terbentuk per bobot substrat yang dikonsumsi dalam selang waktu tertentu (Collins dan Walter di dalam

Bowkamp, 1985)

Yx/s = Xt-Xo Yp/s = Pt-Po Yp/x = Pt-Po

So-St So-St Xt-Xo

Xt= massa sel saat t Xo=massa sel awal St= massa substrat saat t So= massa substrat awal Pt= massa produk saat t Po= massa produk awal

Tabel 4. Rendemen hasil fermentasi penelitian lanjutan Aerasi penuh Aerasi dihentikan

Yp/s 0.443±0.009 0.429±0.003 Yx/s 0.046±0.004 0.027±0.001 Yp/x 9.704±0.681 15.678±0.308


(34)

34 Pada Tabel 4 diketahui nilai Yx/s pada aerasi penuh lebih tinggi dibandingkan aerasi yang dihentikan pada jam ke-6. Penurunan Yx/s pada aerasi yang dihentikan menunjukkan semakin berkurangnya konversi substrat menjadi sel. Namun tingginya konversi substrat pada aerasi penuh tidak memastikan etanol yang dihasilkan juga semakin tinggi. Nilai Yp/x pada perlakuan aerasi yang dihentikan pada jam ke-6 jauh lebih tinggi dibandingkan nilai Yp/x pada aerasi penuh. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi aerasi yang dihentikan, konsumsi gula oleh sel lebih banyak dikonversi menjadi produk dibanding untuk pertumbuhannya. Sedang pada perlakuan aerasi penuh sebagian besar gula digunakan untuk pertumbuhan sel. Menurut penelitian Reed dan Nagodawithana (1991), dalam kondisi anaerobik, yield dari biomassa khamir (berdasarkan berat gula yang difermentasi) memiliki nilai yang rendah. Pada kondisi anaerob koefisien yield (Yx/s) hanya mencapai nilai maksimum sebesar 0,027, sedangkan pada kondisi aerobik koefisien yield (Yx/s) mencapai nilai maksimum sebesar 0,046.

Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa tidak terdapat beda nyata rendemen produk per substrat (Yp/s) yang dihasilkan antara perlakuan dengan aerasi penuh dan aerasi yang dihentikan pada jam ke-6, sedangkan pada rendemen biomassa per substrat (Yx/s) dan rendemen produk per substrat (Yp/x) terdapat beda nyata yang dihasilkan antara perlakuan dengan aerasi penuh dan aerasi yang dihentikan pada jam ke-6. Perhitungan analisis sidik ragam kinetika fermentasi ditampilkan pada Lampiran 10.


(35)

35

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Sirup dekstrin yang berasal dari pati sagu, potensial untuk dijadikan sebagai substrat dalam produksi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae var.

ellipsoideus. Dalam penelitian pertama diketahui, perlakuan dengan pemberian laju aerasi 1 vvm dan konsentrasi total gula pada substrat sebesar 30% (b/v) menghasilkan pertumbuhan biomassa yang paling tinggi diantara perlakuan lainnya. Pada perlakuan ini didapatkan nilai laju pertumbuhan spesifik maksimum (μmaks) sebesar 0,29 yang dicapai saat jam ke-6. Nilai pH pada semua

perlakuan mengalami penurunan hingga akhir fermentasi pada kisaran 3,7 s.d. 3,8. Efisiensi pemanfaatan substart optimal pada substart dengan konsentrasi total gula 30% (b/v).

Hasil analisis sidik ragam pada penelitian lanjutan menunjukkan terdapat pengaruh yang nyata terhadap jumlah biomassa dan etanol yang dihasilkan pada perlakuan dengan rekayasa bioproses berupa penghentian aerasi pada jam ke-6 dan perlakuan dengan aerasi penuh. Dengan pemberian aerasi penuh dihasilkan biomassa sebanyak 2,19±0,10 g/l serta kadar etanol sebesar 21,25±0,55 g/l. Pada perlakuan dengan aerasi yang dihentikan saat jam ke-6, dihasilkan biomassa sebanyak 1,60±0,02 g/l dengan kadar etanol sebesar 24,94±0,16 g/l. Nilai pH akhir fermentasi cenderung sama untuk kedua perlakuan. Efisiensi pemanfaatan substart perlakuan dengan aerasi yang dihentikan lebih tinggi dari aerasi penuh.

B. SARAN

Saran yang diberikan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diantaranya, melakukan penelitian tentang pengaruh lama fermentasi terhadap kadar etanol yang dihasilkan, serta menggunakan jenis khamir yang secara spesifik dapat memfermentasi gula kompleks (pati dan oligosakarida) seperti


(36)

PRODUKSI ETANOL OLEH Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus DARI SIRUP DEKSTRIN PATI SAGU(Metroxylon sp.) MENGGUNAKAN

METODE AERASI PENUH DAN AERASI DIHENTIKAN

Oleh :

DICKA AR RAHIM. F34104121

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(37)

36

DAFTAR PUSTAKA

Akyuni, D. 2004. Pemanfaatan Pati Sagu (Metroxylon sp.) Untuk pembuatan Sirup glukosa Mengunakan α-amilase dan Amiloglukosidase. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Amerine, M. A. dan W. V. Cruess. 1960. The Technology of Wine Making. The Avi Publ, co. Inc., West Port, Connecticut.

Anonim. 2007. Indonesia Sia-siakan Tiga Juta Ton Bioetanol per Tahun. http://agribisnis.deptan.go.id. [14 Desember 2007].

Anonim. 2009. Ethanol Fermentation.

http://en.wikipedia.org/wiki/Ethanol_Fermentation [12 Februari 2009].

AOAC. 1995. Official Method of Analysis of Association of Official Analitycal Chemistry, Washington DC.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2006. Statistik Produksi Tanaman Pangan Sekunder di Indonesia. http://bps.go.id [22 April 2008].

Bailey, J.E. dan D.F.Ollis. 1991. Dasar-dasar Biokimia. Terjemahan PAU IPB, Bogor.

Barnett, J.A., R.W. Payne dan D. Yarrow. 2000. Yeast Characteristic and Identification. Cambridge University Press, New York.

Campbell, I. 1999. Systematic of Yeast. Di dalam Priest, F. G. dan Campbell, L. (eds). 1999. Brewing Microbiology Second Edition. Aspen Publishers. Gaithersburg.

Casida, J.R. 1968. Industrial Microbiology. John Wiley and Sons Inc., New York. Chaplin, M.F. dan Buckle. 1990. Enzym Technology. Cambridge University Press,

New York.

Collins, W. W. dan W. M. Walter. 1985. Fresh Roots for Human Consumption. di dalam J. C. Bouwkamp (ed). Sweet Potato Products: A. Natural Resource for The Tropics. CRC Press Inc, Boca Raton.

Diwan, J. 2007. Glycolysis and Fermentation.

http://rpi.edu/dept/bcbp/molbiochem/MBWeb/mb1/part2/glycolysis.htm [12 Februari 2009].

Dubois, M. K., K. A. Gilles, J. K. Hamilton, P. A. Rebers, F. Smith. 1956. Colorimetric Method for Determination of Sugar and Related Substances. Analitycal Chemist 28: 350-356.


(38)

37 Fardiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Dikti. Pusat Studi Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Frazier, W.C dan D.c Westhoff. 1978. Food Microiology 4th ed. McGraw-Hill Book. Publishing Co.Ltd, New York.

Griffin D.H. 1981. Fungal Physiology. John Wiley & Sons. New York.

Harrison, J. S. dan J. C. J. Graham. 1970. Yeast in Distilery Practice. Academic Press, London.

Hartoto, L., A. Suryani dan E. Hambali. 2005. Rekayasa Proses Produksi Asam Polilaktat (PLA) dari Pati Sagu sebagai Bahan Baku Utama Plastik

Biodegradable. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, IPB, Bogor.

Hartoto, L.1992. Petunjuk Laboratorium Teknologi Fermentasi, Depdikbud. PAU IPB, Bogor.

Haryanto, B dan Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta.

Johnson, F. L. dan Cheddington B. 2008. Effectiveness of Various Methods of Wort Aeration. http://cdn2.libsyn.com/basicbrewing/AerationMethods.pdf [24 November 2008].

Kearsley, M.W dan S.Z. Dzeidzic, 1995. Handbook of Starch Hydrolysis Product and Their Derivates. Blackie Academicsnd Profesional, London.

Lehninger, A. L. 1982. Principles of Biochemistry. Worth Publishers, Inc., New York.

Mangunwidjaja, D dan A. Suryani. 1994. Teknologi Bioproses, Penebar Swadaya, Jakarta.

Marsudi, B. dan I. Aprillia. 2006. Ragu Menanam Sagu. http://.kontan-online.com/2006/11/6. [ 14 Desember 2007].

Mc Nair, H. M. dan E. J. Bonelli. 1988. Dasar Kromatografi Gas. Terjemahan. Penerbit ITB, Bandung.

Meyer, H. L. 1978. Food Chemistry. Reinhold Publishing Corporation, New York. Moat, A.G. dan J. W. Foster. 1988. Microbial Physicology Second Edition. John

Willey & Sons Inc, New York.

Neway, D. R. 1989. Fermentation Process Development of Industrial Organism. Mercel Dekker, New York.


(39)

38 Nikolov, Z.L. dan P.J. Reilly.1991. Enzimatic Depolimerization of starch. Di dalam

Dordick, J.S. (ed) Biocatalsts for Industry. Plenum Press, New York.

Oura, E. 1983. Reaction Products of Yeast Fermentation. Di dalam H. Dellweg (ed.) Biotechnology Volume III. Academic Press, New York.

Paturau, J.M. 1991.By Product of Cane Sugar Industry: An Introduction to their Utilization. Elsevier Publ, Co, Amsterdam.

Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi I. Terjemahan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Prescot, S.C. dan C.G. Dunn. 1981. Industrial Microbiology. McGraw-Hill Book Co. Ltd, New York.

Reed, G. dan H. J. Rehm.1983. Biotechnology Vol III. Industrial Microbiology. AVI Publishing Company Inc. Wstport, Connecticut.

Reed, G. dan Nagodawithana, T. 1991. Yeast Technology. 2nd edition, Copyright by Van Nostrand Reinhold Library of Congress Catalog. Canada.

Rinaldy, W. 1987. Pemanfaatan Onggok singkong (Manihot esculanta Crantz) Sebagai Bahan Pembuat etanol. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.

Stanburry, P. F. dan A. Whittaker. 1984. Principles of Fermentation Technology. Pergamon Press, London.

Stark, W.H. 1954. Alcoholic Fermentation of Grain. Di dalam Underkofler, L. A. dan R. J. Hickey. 1954. Industrial Fermentation. Chemical Publishing Co. Inc, New York.

Sumaryono, 2007. Tanaman Sagu sebagai Sumber Energi Alternatif. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 29, no. 4: 3-4.

Suyandra, I. D. 2007. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp.) sebagai Sumber Karbon pada Fermentasi Etanol oleh Saccharomyces cerevisiae. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Tjokroadikoesomo, P.S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Gramedia, Jakarta.

Underkofler, L.A. dan R.J. Hickey. 1954. Industrial Fermentation. Chemical Publishing Co, New York.

Vogel, H.C.1983. Fermentation and Biochemical Engineering Handbook. Noyes Publication. Mill RoadPark Ride, New Jersey.


(40)

39 Wang, D., X. Wu, S. Bean, J. P. Wilson. 2006. Ethanol Production from Pearl Millet

Using Saccharomyces cerevisiae. Cereal Chem. 83(2): 127-131.

Wang, D.I.C., C.L. Conney, A.L. Demain, P. Dunhil. A.E.Humprey dan M.D. Lily. 1979. Fermentation and Enzyme Technology. John Wiley and Sons Inc, New York.

Whitaker, J. R. 1972. Principles of Enzymology for T he Food Science. Marcel Dekker Inc, New York.

Winarno , F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wirakartakusumah, M.A., A. Apriantono, M.S. Maarif, Suliantri, D. Muchtadi dan

K. Otaka.1986. Isolation and Charasterization of Sago Starch and its Utilization for Production of Liquid Sugar. Di dalam FAO (eds) The Development of The Sago Palm and Its Product. Report of The FAO/BPPT Consultation, Jakarta, Januari 16-21.

Wulandari, A. 2007. Studi Awal Fermentasi Air Perasan Jerami Padi Menjadi Bioetanol dengan Ragi Komersial. Skripsi. Fakultas Teknologi Industri, ITB, Bandung.

Young, T. W. 1996. The Biochemistry and Physiology of Yeast Growth. di dalam F. G. Priest dan I. Campbell (eds). 1999. Brewing Microbiology Second Edition. Aspen Publishers. Gaithersburg.

Zhang, T. dan C. G. Oates. 1999. Relationship Between α-amylase Degradation and Physico-chemical Properties of Sweet Potato Starches. Food Chemistry 65: 157-163.


(41)

PRODUKSI ETANOL OLEH Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus DARI SIRUP DEKSTRIN PATI SAGU(Metroxylon sp.) MENGGUNAKAN

METODE AERASI PENUH DAN AERASI DIHENTIKAN

Oleh :

DICKA AR RAHIM. F34104121

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(42)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Produksi Etanol oleh

Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus dari Sirup Dekstrin Pati Sagu (Metroxylon sp.) Menggunakan Metode Aerasi Penuh dan Aerasi Dihentikan, adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2009

Dicka Ar Rahim NRP. F34104121


(43)

Dicka Ar Rahim F34104121. Produksi Etanol oleh Saccharomyces cerevisiae var.

ellipsoideus. dari Sirup Dekstrin Pati Sagu (Metroxylon sp.) Menggunakan Metode Aerasi Penuh dan Aerasi Dihentikan. Di bawah bimbingan Khaswar Syamsu. 2009

RINGKASAN

Indonesia adalah pemilik lahan sagu terbesar di dunia. Potensi sagu di Indonesia cukup berlimpah. Di dunia diperkirakan terdapat 2 juta ha hutan sagu dan kurang lebih setengah hutan sagu dunia ada di Indonesia. Sekitar 90% di antaranya terdapat di Papua (Marsudi dan Aprillia, 2006). Besarnya potensi sagu di Indonesia belum termanfaatkan secara optimal. Selama ini baru sekitar 10% dari total area sagu nasional yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan serta industri. Jika dibudidayakan, produktivitas pati sagu kering mencapai 25 ton/ha/tahun, lebih banyak apabila dibandingkan dengan ubi kayu 1.5 ton/ha/tahun, kentang 2.5 ton/ha/tahun, maupun jagung 5.5 ton/ha/tahun. (Sumaryono, 2007)

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemungkinan penggunaan dekstrin dari pati sagu sebagai substart dalam pembuatan etanol, melihat potensi

Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus sebagai mikroorganisme penghasil etanol, serta pemilihan laju aerasi dan konsentrasi gula pada substrat berdasarkan kadar etanol dan jumlah biomassa tertinggi yang dihasilkan. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pengaruh rekayasa bioproses (aerasi penuh dan aerasi dihentikan) terhadap biomassa dan kadar etanol yang dihasilkan.

Pada penelitian pertama dilakukan fermentasi sirup dekstrin dengan perlakuan konsentrasi yang berbeda yaitu 18%, 24%, 30%, dan 36% serta perlakuan pemberian aerasi sebesar 1vvm dan 2 vvm. Dari beberapa perlakuan tersebut terpilih konsentrasi 30% dan laju alir 1 vvm sebagai perlakuan terbaik untuk pertumbuhan khamir. Selama 24 jam dihasilkan jumlah biomassa tertinggi yaitu 2,98 g/l dengan nilai μmaks 0,29 jam-1. Pada jam ke-6 khamir tersebut masih

mengalami fase log, hingga pada jam ke-12 pertumbuhan khamir sudah mulai masuk ke fase stasioner. Sisa total gula dalam substrat dan nilai pH mengalami penurunan selama proses fermentasi. Penurunan kandungan total gula dalam substart menunjukkan aktifitas sel dalam mengkonsumsi substrat sirup dekstrin. Sedangkan perubahan pH terjadi karena adanya pelepasan H+ selama konsumsi NH4+, penggunaan asam amino sebagai sumber nitrogen dan akumulasi produk

samping berupa asam-asam organik hasil metabolisme karbohidrat.

Rekayasa bioproses dilakukan pada perlakuan terpilih dengan penghentian aerasi pada jam ke-6. Selama 24 jam fermentasi dihasilkan etanol sebanyak 24,94±0,16 g/l. Hasil ini jauh lebih tinggi dibandingkan perlakuan dengan aerasi penuh yang hanya menghasilkan etanol sebanyak 21,25±0,55 g/l. Pada jam ke-24, rata-rata pH pada aerasi penuh mencapai 3,05, sedangkan rata-rata pH pada aerasi yang dihentikan di jam ke-6 mencapai 3,15. pH yang terlalu rendah dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Aerasi yang dihentikan pada jam ke-6 mengubah kondisi lingkungan fermentasi dari kondisi aerob menjadi anaerob, sehingga proses fermentasi untuk pembentukan etanol berjalan secara maksimal.


(44)

Dicka Ar. Rahim F34104121. Ethanol Production by Saccharomyces cerevisiae

var. ellipsoideus. from Liquified Sago Starch (Metroxylon sp.) Using Full and Stopped Aeration Method. Supervised by Khaswar Syamsu. 2009

SUMMARY

Indonesia is known as the largest owner land of sago, with the area around 1 million ha, or 50% of 2 million ha of world sago area (Marsudi and Aprilia, 2006). The great potential of sago in Indonesia has not been used optimally. Thus far, only about 10% of the total national sago area that has been used to meet food and industry requirements. When sago is cultivated properly, it’s dried starch productivity would reach 25 ton/ha/year, much higher as compared to cassava 1,5 tons/ha/year, potatoes 2,5 tons/ha/year, and corn 5,5 tons/ha/year. (Sumaryono, 2007)

This research is aimed to find the possibility of using dextrin as substrate for ethanol production, to see potentiality of Saccharomyces cerevisiae var.

ellipsoideus as the ethanol producer, also the selection of aeration rate and total sugar concentration for fermentation. More over, this research also aims to determine the influence of bioprocess engineering (full and stopped aeration) to biomass and ethanol production.

In the first study conducted, fermentation was treated at different substrate concentrations (18%, 24%, 30%, 36% w/v) and two regimes of aeration (1 vvm and 2 vvm). It is found that the best treatment was obtained from fermentation at 30% substrate concentration and 1 vvm aeration rate, which produced the highest amount of biomass (2,98 g/l) with the value of μmaks was 0,29 hour-1. For the first

six hour cultivation, biomass growth was still in log phase. The residual sugar content in substrate and the pH value decreased during the fermentation process. The decline of residual sugar contents in substrate showed the activity of cells that consumed dextrin as substrate. While changes in pH was due to the release of H+ during the consumption of NH4+, also the use of amino acids as nitrogen source

and the accumulation of by products such as organic acids from carbohydrate metabolism.

Bioprocess engineering was done on the treatment selected, with the stop of aeration after its first 6 hours cultivation. In 24 hours of fermentation, ethanol produced was 24,94±0,16 g/l. This results was much higher than the treatment with full aeration which only produced ethanol as much as 21,25±0,55 g/l. The pH at the end of fermentation in full aeration reached 3,05, while in stop aeration was 3,15. The extreme low pH can prevent the growth of microorganisms. The stop of aeration after the first 6 hour aeration change the environment of the fermentation conditions from aerob to be anaerob, so that the fermentation process for the formation of ethanol can be maximized.


(45)

PRODUKSI ETANOL OLEH Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus DARI SIRUP DEKSTRIN PATI SAGU(Metroxylon sp.) MENGGUNAKAN

METODE AERASI PENUH DAN AERASI DIHENTIKAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

DICKA AR RAHIM F34104121

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(46)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PRODUKSI ETANOL OLEH Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus DARI SIRUP DEKSTRIN PATI SAGU(Metroxylon sp.) MENGGUNAKAN

METODE AERASI PENUH DAN AERASI DIHENTIKAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

DICKA AR RAHIM F34104121

Dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1986 Di Jakarta

Tanggal lulus : 23 Februari 2009

Menyetujui, Bogor, Maret 2009

Dr. Ir Khaswar Syamsu, M. Sc.


(47)

Penulis melakukan

Teknik dan Manajemen Produksi Palimanan Cirebon, Jawa Pertanian, penulis menyel

Saccharomyces cerevisiae

(Metroxylon sp.) Menggunakan bawah bimbingan Dr. Ir. Khaswar

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada ta Mei 1986 sebagai anak pertama dari empat bersa dari pasangan Bpk. Syafrul Bustamam dan Ib Gusti. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMA 78 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus

masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih

Studi Teknologi Industri Pertanian, Departeme Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Tekn Pertanian.

melakukan Praktek Lapang (PL) dengan topik “Mempelajari Produksi Bioetanol” di PT. PG. Rajawali Unit

awa Barat. Untuk memperoleh gelar Sarjana Teknolo yelesaikan skripsi dengan judul Produksi Etan

ae var. ellipsoideus dari Sirup Dekstrin Pati ggunakan Metode Aerasi Penuh dan Aerasi Dihen

Khaswar Syamsu, M. Sc.

tanggal 5 bersaudara Ibu Irmiza A Negeri lulus seleksi Penerimaan ih Program Departemen Teknologi empelajari Unit II, PSA Teknologi Etanol oleh Pati Sagu hentikan di


(48)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Produksi Etanol dari Sirup Dekstrin Pati Sagu (Metroxylon sp.) oleh Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus Menggunakan Metode Aerasi Penuh dan Aerasi Dihentikan. Skripsi ini disusun sabagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bimbingan dan dukungan yang penuh ketulusan baik secara moril maupun materil dari semua pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis haturkan kepada :

1. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M. Sc. selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan, nasehat dan arahan yang telah diberikan kepada penulis. 2. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M. Sc. dan Drs. Purwoko, M. Si. atas masukan

dan saran yang telah diberikan serta berkenan menjadi penguji ujian skripsi ini.

3. Orang tua penulis (Bapak Syafrul Bustamam dan Ibu Irmiza Gusti), dan seluruh keluarga besar penulis atas doa, pengorbanan, dukungan dan semangat yang telah diberikan kepada penulis.

4. Rekan-rekanku di laboratorium bioindustri (Yuyun, Edy, Azhar, Hanik, Rita, dan Yayan) atas kerjasama dan bantuannya selama ini.

5. Dan semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan diberbagai sisi baik penyajian isi maupun penulisan dan penyusunan skripsi ini. Oleh sebab itu saran dan kritik akan menjadi masukan yang terbaik untuk lebih membangun, memperbaiki, dan menyempurnakannya untuk saat ini maupun masa mendatang. Semoga segala sesuatu yang tertuang dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya. Amiin.

Bogor, Februari 2009 Penulis


(1)

50 Lampiran 8. Data pH

1. Penelitian Pertama

Nilai pH pada fermentasi dengan laju alir 1vvm

Jam ke- 18% 24% 30% 36%

0 5,01 5,06 5,09 5,08

6 3,96 3,96 3,98 3,94

12 3,80 3,68 3,72 3,65

18 3,84 3,71 3,69 3,66

24 3,82 3,78 3,70 3,68

Nilai pH pada fermentasi dengan laju alir 2vvm

Jam ke- 18% 24% 30% 36%

0 5,10 5,08 5,09 5,14

6 4,23 4,23 4,14 4,12

12 3,80 3,79 3,81 3,77

18 3,72 3,70 3,69 3,73

24 3,66 3,74 3,70 3,69

2. Penelitian Lanjutan

Jam ke- Aerasi penuh Aerasi dihentikan

0 5,00 4,80

6 3,35 3,40

12 3,15 3,25

18 3,10 3,20


(2)

51 Lampiran 9. Data Total Gula

1. Penelitian Pertama

Total gula pada laju aerasi 1vvm (g/l)

Jam ke- 18% 24% 30% 36%

B 190,70 228,26 296,78 360,46 0 157,86 188,56 268,49 325,78 6 147,16 173,51 237,76 308,34 12 143,99 171,01 229,51 298,40 18 141,75 158,81 227,02 287,27 24 139,53 155,97 220,02 281,19

2. Penelitian Lanjutan

Total gula pada penelitian lanjutan (g/l) Jam ke- Aerasi penuh Aerasi dihentikan

B 305,97 302,76

0 278,51 275,53

6 250,91 244,66

12 243,00 235,29

18 233,92 227,79


(3)

52 Lampiran 10. Analisis Sidik Ragam Kinetika Fermentasi

1. Analisa sidik ragam Yp/s, pada penelitian utama

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

(DB)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (KT)

f-Hitung f-Tabel

Aerasi 1 1,82.10-4 1,82.10-4 4,31 0,17

Error 2 0,85.10-4 0,42.10-4

Total 3 2,67.10-4

Aerasi Ulangan Rata-rata Standar Deviasi

Penuh 2 0,44 0,01

Dihentikan 2 0,43 0

Keterangan :

Nilai f-Tabel > nilai α (0,05), menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95% tidak terdapat pengaruh nyata nilai rendemen produk per substrat yang didapatkan antara perlakuan dengan aerasi penuh dan aerasi yang dihentikan.

2. Analisa sidik ragam Yx/s, pada penelitian utama

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

(DB)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (KT)

f-Hitung f-Tabel

Aerasi 1 3,42.10-4 3,42.10-4 37 0,03

Error 2 0,19.10-4 0,09.10-4

Total 3 3,61.10-4

Aerasi Ulangan Rata-rata Standar Deviasi

Penuh 2 0,05 0,01


(4)

53 Keterangan :

Nilai f-Tabel ≤ nilai α (0,05), menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95% terdapat pengaruh nyata nilai rendemen biomassa per substrat yang didapatkan antara perlakuan dengan aerasi penuh dan aerasi yang dihentikan.

3. Analisa sidik ragam Yp/x, pada penelitian utama

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

(DB)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (KT)

f-Hitung f-Tabel

Aerasi 1 35,68 35,68 127,81 0,01

Error 2 0,56 0,28

Total 3 36,24

Aerasi Ulangan Rata-rata Standar Deviasi

Penuh 2 9,7 0,68

Dihentikan 2 15,68 0,31

Keterangan :

Nilai f-Tabel ≤ nilai α (0,05), menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95% terdapat pengaruh nyata nilai rendemen produk per biomassa yang didapatkan antara perlakuan dengan aerasi penuh dan aerasi yang dihentikan.


(5)

Dicka Ar Rahim F34104121. Produksi Etanol oleh Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus. dari Sirup Dekstrin Pati Sagu (Metroxylon sp.) Menggunakan Metode Aerasi Penuh dan Aerasi Dihentikan. Di bawah bimbingan Khaswar Syamsu. 2009

RINGKASAN

Indonesia adalah pemilik lahan sagu terbesar di dunia. Potensi sagu di Indonesia cukup berlimpah. Di dunia diperkirakan terdapat 2 juta ha hutan sagu dan kurang lebih setengah hutan sagu dunia ada di Indonesia. Sekitar 90% di antaranya terdapat di Papua (Marsudi dan Aprillia, 2006). Besarnya potensi sagu di Indonesia belum termanfaatkan secara optimal. Selama ini baru sekitar 10% dari total area sagu nasional yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan serta industri. Jika dibudidayakan, produktivitas pati sagu kering mencapai 25 ton/ha/tahun, lebih banyak apabila dibandingkan dengan ubi kayu 1.5 ton/ha/tahun, kentang 2.5 ton/ha/tahun, maupun jagung 5.5 ton/ha/tahun. (Sumaryono, 2007)

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemungkinan penggunaan dekstrin dari pati sagu sebagai substart dalam pembuatan etanol, melihat potensi Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus sebagai mikroorganisme penghasil etanol, serta pemilihan laju aerasi dan konsentrasi gula pada substrat berdasarkan kadar etanol dan jumlah biomassa tertinggi yang dihasilkan. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pengaruh rekayasa bioproses (aerasi penuh dan aerasi dihentikan) terhadap biomassa dan kadar etanol yang dihasilkan.

Pada penelitian pertama dilakukan fermentasi sirup dekstrin dengan perlakuan konsentrasi yang berbeda yaitu 18%, 24%, 30%, dan 36% serta perlakuan pemberian aerasi sebesar 1vvm dan 2 vvm. Dari beberapa perlakuan tersebut terpilih konsentrasi 30% dan laju alir 1 vvm sebagai perlakuan terbaik untuk pertumbuhan khamir. Selama 24 jam dihasilkan jumlah biomassa tertinggi yaitu 2,98 g/l dengan nilai μmaks 0,29 jam-1. Pada jam ke-6 khamir tersebut masih mengalami fase log, hingga pada jam ke-12 pertumbuhan khamir sudah mulai masuk ke fase stasioner. Sisa total gula dalam substrat dan nilai pH mengalami penurunan selama proses fermentasi. Penurunan kandungan total gula dalam substart menunjukkan aktifitas sel dalam mengkonsumsi substrat sirup dekstrin. Sedangkan perubahan pH terjadi karena adanya pelepasan H+ selama konsumsi NH4+, penggunaan asam amino sebagai sumber nitrogen dan akumulasi produk samping berupa asam-asam organik hasil metabolisme karbohidrat.

Rekayasa bioproses dilakukan pada perlakuan terpilih dengan penghentian aerasi pada jam ke-6. Selama 24 jam fermentasi dihasilkan etanol sebanyak 24,94±0,16 g/l. Hasil ini jauh lebih tinggi dibandingkan perlakuan dengan aerasi penuh yang hanya menghasilkan etanol sebanyak 21,25±0,55 g/l. Pada jam ke-24, rata-rata pH pada aerasi penuh mencapai 3,05, sedangkan rata-rata pH pada aerasi yang dihentikan di jam ke-6 mencapai 3,15. pH yang terlalu rendah dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Aerasi yang dihentikan pada jam ke-6 mengubah kondisi lingkungan fermentasi dari kondisi aerob menjadi anaerob, sehingga proses fermentasi untuk pembentukan etanol berjalan secara maksimal.


(6)

Dicka Ar. Rahim F34104121. Ethanol Production by Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus. from Liquified Sago Starch (Metroxylon sp.) Using Full and Stopped Aeration Method. Supervised by Khaswar Syamsu. 2009

SUMMARY

Indonesia is known as the largest owner land of sago, with the area around 1 million ha, or 50% of 2 million ha of world sago area (Marsudi and Aprilia, 2006). The great potential of sago in Indonesia has not been used optimally. Thus far, only about 10% of the total national sago area that has been used to meet food and industry requirements. When sago is cultivated properly, it’s dried starch productivity would reach 25 ton/ha/year, much higher as compared to cassava 1,5 tons/ha/year, potatoes 2,5 tons/ha/year, and corn 5,5 tons/ha/year. (Sumaryono, 2007)

This research is aimed to find the possibility of using dextrin as substrate for ethanol production, to see potentiality of Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus as the ethanol producer, also the selection of aeration rate and total sugar concentration for fermentation. More over, this research also aims to determine the influence of bioprocess engineering (full and stopped aeration) to biomass and ethanol production.

In the first study conducted, fermentation was treated at different substrate concentrations (18%, 24%, 30%, 36% w/v) and two regimes of aeration (1 vvm and 2 vvm). It is found that the best treatment was obtained from fermentation at 30% substrate concentration and 1 vvm aeration rate, which produced the highest amount of biomass (2,98 g/l) with the value of μmaks was 0,29 hour-1. For the first six hour cultivation, biomass growth was still in log phase. The residual sugar content in substrate and the pH value decreased during the fermentation process. The decline of residual sugar contents in substrate showed the activity of cells that consumed dextrin as substrate. While changes in pH was due to the release of H+ during the consumption of NH4+, also the use of amino acids as nitrogen source and the accumulation of by products such as organic acids from carbohydrate metabolism.

Bioprocess engineering was done on the treatment selected, with the stop of aeration after its first 6 hours cultivation. In 24 hours of fermentation, ethanol produced was 24,94±0,16 g/l. This results was much higher than the treatment with full aeration which only produced ethanol as much as 21,25±0,55 g/l. The pH at the end of fermentation in full aeration reached 3,05, while in stop aeration was 3,15. The extreme low pH can prevent the growth of microorganisms. The stop of aeration after the first 6 hour aeration change the environment of the fermentation conditions from aerob to be anaerob, so that the fermentation process for the formation of ethanol can be maximized.