PENDEKATAN PLURALISME DEMOKRASI DAN NEGARA MODERNISME SEBAGAI KERANGKA TEORITIS

10

II. PENDEKATAN PLURALISME DEMOKRASI DAN NEGARA MODERNISME SEBAGAI KERANGKA TEORITIS

Pendekatan Pluralisme Kultural Michael Walzer 1995 mengacu pada asas non-diskriminasi sebagai model untuk mengakomodasi pluralism kultural di dalam sebuah Negara. Ia juga mengusulkan hak-hak kelompok yang memerlukan berbagai langkah untuk melindungi dan mempromosikan identitas etnis-kultural. Beberapa langkah tersebut meliputi; kebebasan beragama, hak-hak bahasa, klaim atas tanah, otonomi daerah dan perwakilan yang dijamin. Hampir setiap Negara di dunia dewasa ini bersifat pluralistic, Pluralistik dalam pengertian dan upaya memperjuangkan persamaan serta keadilan sosial dalam konteks suaru Negara yang ditandai dengan perbedaan dan pluralism menjadi semakin kompleks dan problematis. Pluralisme merupakan isu normative penting yang berkaitan dengan demokrasi serta problem dan prospek demokratisasi. 14 Prinsip-prinsip dasar tertentu dalam prosedur demokrasi diperlukan, agar Negara atau masyarakat mampu mengakomodasi perbedaan-perbedaan kultural dan historis yang ada. Negara demokratis modern dengan pemerintahan yang konstitusional juga didasarkan pada prinsip persamaan semua warganegaranya didepan hukum tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, Gender, bahasa, agama, pandangan politik atau lainnya. Demokrasi dan pluralism memang relevan dengan politik, masyarakat dan budaya di Indonesia maupun Malaysia. Kedudukan sentral Islam di kedua Negara bisa dikatakan sebagai penegas adanya kompleksitas upaya dalam mengatasi 14 Ariel Mandal Heryanto. 2004 Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. 11 perselisihan yang berkaitan dengan demokrasi dan pluralism sebagai prosedur dan ideologi di kehidupan sehari-hari. Untuk menawarkan solusi kepada berbagai gerakan Islam, dimana baik anggota kelompok tersebut dan non-moslem bisa menemukan potensi atau inisiatif yang berarti atas demokratisasi berbasis Islam yang mempromosikan toleransi dan penghormatan kepada pluralism di dalam komunitas Muslim itu sendiri serta komunitas-komunitas agama lain di Nation-State yang bersangkutan. Pendekatan 3 paradigma relasi Agama-Negara Dalam pemikiran politik Islam sekurang-kurangnya terdapat tiga paradigma dalam melihat relasi agama-negara, yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik. 15 Bagi paradigma integralistik, agama Islam dan negara adalah sesuatu yang manunggal dan tidak bisa dipisahkan. Islam dimengerti sebagai sebuah totalitas: agama sekaligus negara al-Islâm dîn wa dawlah. 16 Negara dan kekuasaan politik menyatu dalam rukun Islam, karena itu menegakkan khilâfah atau imâmah adalah wajib syar’i. Bentuk negarapemerintahan Islam adalah teokrasi, sebuah kekuasaan politik dengan mandat keagamaan. Pandangan ini dianut oleh kaum fundamentalis, baik dari jalur sunni maupun syi’i. Paradigma simbiotik memandang agama dan negara secara simbiotik, yakni berhubungan secara timbal balik dan bersifat komplementer. Agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya negara 15 M. Dien Syamsuddin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam Abu Zahra ed., Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, hal. 45. 16 Muhammad Musa Yusuf, Nizâm al-Hukm fi al-Islâm Cairo: Dâr al-Kitâb, 1963, hal. 18; Cf. Sa’di Abu Jayb, Dirâsat fî Manhaj al-Islâm al-Siyâsi Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1985. 12 memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat tumbuh dalam bimbingan etika dan moral. 17 Paradigma ketiga, yaitu paradigma sekularistik, berada di titik ekstrem liberal. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik agama- negara. Bagi paradigma sekularistik, agama dan negara adalah dua wilayah yang terpisah. Agama merupakan sistem keyakinan yang bersumber dari wahyu sementara negara adalah sistem sosial yang bersumber dari akal dan pertimbangan rasional. Di barisan aliran ini, Ali Abdur Râziq berdiri di garis depan. Menurut Râziq, Islam tidak memberi petunjuk apapun tentang bentuk negara yang harus didirikan umat Islam, termasuk khilâfah. Baik Qur’an maupun Hadits tidak pernah menyebut khilâfah dalam pengertian sebagai sistem politik seperti ada dalam sejarah politik Islam. Manurut Râziq, khilâfah tidak mempunyai dasar, baik dalam al-Qur’an maupun al- Hadits. 18 Berdasarkan ketiga paradigma di atas, elit-elit Melayu UMNO, seperti Mahathir, memahami hubungan antara agama dan negara dalam kerangka simbiotik. Pandangan simbiotik ini sangat berpengaruh dalam menentukan Islam dalam proses demokratisasi dan dinamika politik Islam di Malaysia, termasuk dalam keberhadapannya dengan PAS. 17 M. Din Syamsuddin, “Usaha Pencarian Konsep”, op.cit., hal. 47 18 ibid. 13

III. PRAKTIK POLITIK ISLAM: RELASI ISLAM DAN AGENDA ‘ISLAMISASI’ DI DUA NEGARA KAJIAN