A Comparative Political Case Study: AKTUALISASI POLITIK ISLAM: PERBANDINGAN POLA KEBIJAKAN ‘ISLAMISASI’ DI INDONESIA DAN MALAYSIA

(1)

                       

A Comparative Political Case Study:  

AKTUALISASI POLITIK ISLAM:

PERBANDINGAN POLA ‘ISLAMISASI’ DI

INDONESIA DAN MALAYSIA

Comparative Study: Islamizations Policy in Indonesia and Malaysia, the

Implications for Democratic Governance

   

Disusun oleh:

Anggina Mutiara Hanum

1406517960

PASCA SARJANA DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK


(2)

Abstract

In the Malay World (South East Asia region), 90 percent of over 250 million of its population are Muslims. This makes Islam the most powerful religion in the region. Indonesia and Malaysia are the two largest majority Muslim nation-states in Southeast Asia, both known as homes to approximately one-fifth of the world’s Muslim population; Indonesia (total population 243 million, 86 percent Muslim) and Malaysia (total population 26 million, 60 percent Muslim). In terms of scale, Islam has the largest number of adherents compared to other religions in Indonesia and Malaysia.

Throughout the years, the rise of Political Islam in both countries has posed particular challenges to democratic principles of governance, human rights and women’s rights. The emerge of Islamic Revivalists in Democratic society; Islam was used as a source of law and public policy, in order to govern the public and private lives of citizens, then the question of who decides what is Islamic and what is not of paramount importance. What are the implications for democratic governance when only a small exclusive group of people has the right to interpret the Text and codify It. The comparative case studies in this research illuminate the differences between ‘Islamization’ process in Indonesia and Malaysia and the implications from Islamic Revivalism and how it delves into the democratization process.


(3)

“Islam offers a timeless precedent of peace, harmony, hope, justice and tolerance. Not for Muslims but also for mankind.” — Dale Eickelman [Islam and Ethical Pluralism]


(4)

LATAR BELAKANG

Hubungan antara Islam dan demokrasi masih menjadi tema perdebatan yang menarik bagi politik modern. Di Indonesia sendiri wacana yang berkembang lebih banyak menyangkut pro-kontra penerapan atau formulisasi syari’at Islam. Perdebatan ini tidak pernah membuahkan solusi yang dapat diterima semua kalangan.

Ada dua faktor yang menyebabkan perdebatan seputar formalisasi syari’at Islam tampak stagnan. Pertama, pandangan yang pro ataupun yang kontra terjebak pada argumentasi-argumentasi yang umum, misalnya argument bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan penerapan hukum syari’at merupakan tuntutan kesempurnaan itu. Faktor kedua, yaitu kecenderungan untuk mengusung tafsir syari’at Islam yang humanis supaya terlihat tidak bertentangan dengan konsep-konsep modern, seperti HAM, demokrasi dan civil society.1

Kemudian, wacana yang berkembang di tahun 1970-an, adanya permintaan tuntutan penegakan prinsip-prinsip tertentu Syariah sebagai hukum resmi negara, umumnya dikenal sebagai kebangkitan "Islam politik."2Ketegangan antara realitas sistem hukum nasional sekuler, di satu sisi, dan tuntutan populer untuk penegakan syariah oleh Negara Islam, di sisi lain, adalah latar belakang umum dan konteks perdebatan kontemporer mengenai hubungan Islam dengan negara, Hukum Islam dengan pemerintahan yang demokratis dan penegakkan hak-hak asasi manusia.

Perdebatan-perdebatan tersebut terus dilakukan sebagai upaya untuk menemukan satu basis ideologi Islam yang dapat diterima oleh semua kalangan di dunia Islam, para pemikir dari berbagai kalangan masyarakat muslim mulai merambah agenda-agenda alternative untuk dapat merekonsiliasi perbedan-perbedaan

      

1 

Bahtiar Effendy. 2002. Dilema Islam, Dilema Demokrasi; “Islam, Demokrasi, dan Kultur Politik.”Gugus Press. Hal. 3

2

Abdullahi An-Na'im, Human rights and the rise of political Islam. [article online].


(5)

yang dimiliki berbagai kelompok kebangkitan Islam dalam pembangunan Politik Modern.

Politik Islam di seluruh Negara-negara Muslim sejak era 1970-an hingga abad ke 21 mengalami banyak perubahan yang sangat penting. Tahun 1970-an gerakan kebangkitan Islam (revivalism) mulai memainkan peran politik yang cukup besar di negaranya masing-masing.3Sampai dewasa ini terus dilakukan pembaharuan Islam dan gerakan kebangkitan Islam, dimana melibatkan partisipasi politik yang besar untuk memperkuat praktik politik Islam dalam Nation-State.

Memasuki kawasan The Malay WorldIndonesia dan Malaysia sebagai wilayah kajian—secara ontologis, terdapat dua bentuk politik Islam yang berkembang, yaitu ‘embedded practice’ dan ‘political/global imagination’.4 Persoalan yang timbul kemudian datang dari Political Imagination, yang menyatakan bagaimana syariah laws should be the sole source of law as well as the norm for individual behavior, both for the sovereign and the simple believer. Problematika politik Islam dari sebuah orientasi pemikiran baru yang berusaha untuk melegitimasikan Islam sebagai 'sistem politik' dan ‘hukum negara’.

Kajian ilmiah ini akan membandingkan perkembangan isu-isu politik Islam di Indonesia dan Malaysia, dengan komparasi proses ‘Islamisasi’ sebagai Gerakan Islamic Revivalism yang juga merupakan bagian dari Politik Islam yang diterapkan di kedua Negara. Dan menganalisa apakah proyek demokratisasi akan banyak terpengaruh dari kedua proses tersebut; implikasi yang ada terhadap penegakan nilai-nilai HAM.

       3

Norani Othman. 2004. Islamisasi dan Demokratisasi di Malaysia dalam konteks

Regional dan Global. Hal.231. [dikutip dari: Ariel & Mandal Heryanto. 2004 Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia.]

4

Shamsul A.B, 2005. Islam Embedded: ‘Moderate’ Political Islam and Governance in the Malay World. [K.S Nathan dan Mohammad Hashim Kamali. 2005. Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategic Challenges for the 21st Century. ISEAS, Singapore. Hal. 107] 


(6)

I. ISLAM, DEMOKRASI DAN NEGARA: WACANA INTELEKTUAL

Sejak perang dingin berakhir dan dunia memasuki abad ke dua puluh, salah satu isu paling populer yang muncul ke permukaan secara masif dan berkesinambungan secara terus-menerus hingga ke masa ini adalah demokratisasi. Demokrasi muncul sebagai ikon yang bersifat hegemonik,5 dalam artian bahwa tidak ada satu Negara yang bisa mengelak dari tuntutan demokrasi.

Di tengah arus demokratisasi yang terjadi dimana-mana itu, pada mulanya dunia Islam tidak menjadi bagian karena dianggap bahwa dunia Islam tidak memilik prospek untuk menjadi demokratis serta tidak mempunyai pengalaman demokrasi yang cukup. Pada prakteknya terjadi resistensi yang cukup kuat terhadap arus demokratisasi di dunia Islam, karena pada hakikatnya demokrasi membawa spirit sekularisasi,6 yang dianggap mengingkari ajaran-ajaran Islam, sehingga tidak akan berjalan mulus. Pandangan tersebut dipertegas dengan tesis Samuel P. Huntington, melalui bukunya ‘The Third Wave’, dimana ia menyatakan keraguan akan ajaran Islam dapat sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi barat.

Dalam konteks Indonesia dan Malaysia, pada tahun 2001 Freedom House

menerbitkan satu laporan yang mengkategorisasikan Indonesia dan Malaysia dalam Negara-negara Islam yang ‘partly free’, yaitu Negara-negara yang masih memiliki potensi keberhasilan untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam Negaranya. Sementara hampir semua Negara di timur tengah masuk ke dalam kategori “not free”

artinya tidak demokratis. Hal tersebut disimpulkan secara dramatis oleh Freedom House melalui studi mereka Freedom in the World 2001-2001, menyatakan bahwa ‘a non-Islamic country is more than three times likely to be democratic than an Islamic

       5

Demokrasi di prakarsai oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Dikutip dari tulisan Bahtiar Effendy. 2002. Dilema Islam, Dilema Demokrasi; “Pengalaman Baru Muslim Dalam Transisi Indonesia.” Gugus Press. Hal. XIII

6


(7)

state.’7Penilaian dalam konteks global sedemikian rupa tidak dibenarkan oleh banyak Intelektual dan aktivis Muslim, dimana mereka malah berpendapat sebaliknya.

Kendati sebagai ‘praktik’, prinsip demokrasi barat terbilang asing bagi sebagian kaum Muslim pada waktu itu maupun dewasa ini, namun pengertian atau konsep demokrasi yang sesungguhnya tidaklah asing bagi pemikiran Islam.8 Sejumlah aktivis gerakan HAM dan demokrasi di seluruh dunia Muslim, menyadari bahwa prinsip-prinsip demokrasi sudah ada di dalam inti cita-cita dan pemikiran Islam.

Bahkan menurut kelompok tersebut, diperlukan tindakan untuk mengembangkan beberapa prinsip ini dalam sistem politik yang moden. Demokrasi bukanlah warisan yang diberi oleh Islam, namun bagi kaum Muslim Modernis (Moderate), gagasan mengenai demokrasi harus didukung dan secara aktif dipromosikan melalui pembaharuaan pendidikan dan pendiriaan institusi-institusi sosial yang dapat mendorong kesadaran demokratis dan mendukung partisipasi masyarakat madani / civil society yang lebih besar dalam bidang politik dan agama.9

Seiring dengan berjalannya waktu proses demokratisasi di melibatkan banyak wacana intelektual baru yang mewarnai hubungan antara kelompok Islam dan pemerintahan demokratis, making berkembang Gerakan political Islam yang disebut dengan Islamic Revivalism, dimana gerakan tersebut mengusung agenda sosial-politik yaitu ‘islamisasi’, parktik kebijakan politik Islam yang diterapkan di kedua Negara kajian; Indonesia dan Malaysia. Kendati memiliki kesamaan dalam sumber konsepsi nilai-nilai kepercayaan, dalam proses islamisasi kedua Negara memiliki perbedaan yang mencolok.

       7

Demokrasi di prakarsai oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Dikutip dari tulisan Bahtiar Effendy. 2002. Dilema Islam, Dilema Demokrasi; “Pengalaman Baru Muslim Dalam Transisi Indonesia.” Gugus Press. Hal. XV

8

(Osman 1994, 1996; Kamali 1994, 1999a, 1999b), artikel Norani Othman. 2004. Islamisasi dan Demokratisasi di Malaysia dalam konteks Regional dan Global. Hal.231. [dikutip dari: Ariel & Mandal Heryanto. 2004 Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. Hal. 242

9 


(8)

A ‘POLITICAL ISLAM’ PERSPECTIVES

o Politik Islam mengandung pengertian sebagai aktivitas politik umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. o Politik Islam menekankan simbolisme keagamaan dalam berpolitik, dengan menggunakan prinsip-prinsip Islam dan istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar Negara, organisasi, nilai-nilai perjuangan serta wacana politik yang diusung.

o Politik Islam sebagai hasil percampuran Islam dengan kekuasaan kelompok dan Negara yang bertujuan untuk melahirkan sikap dan perilaku politik

(political behavior) serta budaya politik (political culture) yang orientasinya berlandaskan kepada nilai-nilai Islam secara menyeluruh.10

o Pndangan umum yang disebut political imagination.11Imajinasi politik ini dalam pengertian universalnya diartikan sebagai tumbuhnya suatu keyakinan akan ketidaterpisahan antara wilayah agama, hukum dan politik.

o Dua bentuk politik Islam yang berkembang di wilayah The Malay World, yaitu

‘embedded practice; scripturalist/old indigineous form dan ‘political/global imagination: proposes as its ultimate aim the creation of a ‘borderless space’ of global Islamic btotherhood, free of nation-state boundaries’.12

Selanjutnya, ketika aktivitas Politik Islam tersebut masuk kedalam ranah Pemerintahan Negara Demokratis, kerap kali menjadikan Politik Islam berada di posisi yang dilematis. Hal ini dikarenakan adanya keraguan secara Global mengenai kompabilitas Islam dan Demokrasi.

       10

M. Din Syamsyudin. 2002. Beberapa Catatan Problematika Politik Islam di Indonesia. Grasindo. Jakarta. 2002. 11 

Oliver Roy. Dikutip dari artikel; Bahtiar Effendy. 2002. Problematika Politik Islam: Refleksi 3 periode.  

12

Shamsul A.B, 2005. Islam Embedded: ‘Moderate’ Political Islam and Governance in the Malay World. [K.S Nathan dan Mohammad Hashim Kamali. 2005. Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategic Challenges for the 21st Century. ISEAS, Singapore. Hal. 107] 


(9)

Islamisasi

Islamisasi adalah proses dimana apa yang dipandang sebagai huku, nilai-nilai, dan adat kebiasaan islam didorong menjadi lebih bermakna ke dalam Negara, Masyarakat dan budaya. Islamisasi merupakan gejala kontemporer yang antara lain terkait dengan era pasca-kolonialisasi dan sebagian dipandang sebagai penegasan kembali identitas Islam dalam merespon modernisasi.13

Islamisasi merupakan pencarian ideal keislaman. Ini merupakan upaya mengembalikan Islam yang murni, yang dianggap telah hilang atau rusak sebagai akibat dominasi kolonialisme Barat. Untuk memahami berbagai gerakan Islamisasi kontemporer, orang perlu menempatkannya secara historis di dalam konteks sosio-politik.

Berdasarkan uraian singkat diatas secara singkat, makalah ini akan mencoba untuk menjawab dua pertanyaan penelitian yang akan dijadikan sebagai dasar analisa, rumusan masalah tersebut ialah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah relasi Islam dengan Negara dari pengalaman historical cultural di kedua negara?

2. Sejauh apa implikasi yang diakibatkan oleh proses ‘Islamisasi’ yang merupakan agenda dari politik Islam di masing-masing Negara, ke dalam tatanan

democratic governances dan HAM?

      

13 

(Osman 1994: 123-43), artikel Norani Othman. 2004. Islamisasi dan Demokratisasi di Malaysia dalam konteks Regional dan Global. Hal.231. [dikutip dari: Ariel & Mandal Heryanto. 2004 Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. Hal. 246


(10)

II. PENDEKATAN PLURALISME DEMOKRASI DAN NEGARA MODERNISME SEBAGAI KERANGKA TEORITIS

Pendekatan Pluralisme Kultural

Michael Walzer (1995) mengacu pada asas non-diskriminasi sebagai model untuk mengakomodasi pluralism kultural di dalam sebuah Negara. Ia juga mengusulkan hak-hak kelompok yang memerlukan berbagai langkah untuk melindungi dan mempromosikan identitas etnis-kultural. Beberapa langkah tersebut meliputi; kebebasan beragama, hak-hak bahasa, klaim atas tanah, otonomi daerah dan perwakilan yang dijamin.

Hampir setiap Negara di dunia dewasa ini bersifat pluralistic, Pluralistik dalam pengertian dan upaya memperjuangkan persamaan serta keadilan sosial dalam konteks suaru Negara yang ditandai dengan perbedaan dan pluralism menjadi semakin kompleks dan problematis. Pluralisme merupakan isu normative penting yang berkaitan dengan demokrasi serta problem dan prospek demokratisasi. 14

Prinsip-prinsip dasar tertentu dalam prosedur demokrasi diperlukan, agar Negara atau masyarakat mampu mengakomodasi perbedaan-perbedaan kultural dan historis yang ada. Negara demokratis modern dengan pemerintahan yang konstitusional juga didasarkan pada prinsip persamaan semua warganegaranya didepan hukum tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, Gender, bahasa, agama, pandangan politik atau lainnya.

Demokrasi dan pluralism memang relevan dengan politik, masyarakat dan budaya di Indonesia maupun Malaysia. Kedudukan sentral Islam di kedua Negara bisa dikatakan sebagai penegas adanya kompleksitas upaya dalam mengatasi

      

14 

Ariel & Mandal Heryanto. 2004 Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.

   


(11)

perselisihan yang berkaitan dengan demokrasi dan pluralism sebagai prosedur dan ideologi di kehidupan sehari-hari.

Untuk menawarkan solusi kepada berbagai gerakan Islam, dimana baik anggota kelompok tersebut dan non-moslem bisa menemukan potensi atau inisiatif yang berarti atas demokratisasi berbasis Islam yang mempromosikan toleransi dan penghormatan kepada pluralism di dalam komunitas Muslim itu sendiri serta komunitas-komunitas agama lain di Nation-State yang bersangkutan.

Pendekatan 3 paradigma relasi Agama-Negara

Dalam pemikiran politik Islam sekurang-kurangnya terdapat tiga paradigma dalam melihat relasi agama-negara, yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik.15

Bagi paradigma integralistik, agama (Islam) dan negara adalah sesuatu yang manunggal dan tidak bisa dipisahkan. Islam dimengerti sebagai sebuah totalitas: agama sekaligus negara (al-Islâm dîn wa dawlah).16 Negara dan kekuasaan politik menyatu dalam rukun Islam, karena itu menegakkan khilâfah atau imâmah adalah wajib syar’i. Bentuk negara/pemerintahan Islam adalah teokrasi, sebuah kekuasaan politik dengan mandat keagamaan. Pandangan ini dianut oleh kaum fundamentalis, baik dari jalur sunni maupun syi’i.

Paradigma simbiotik memandang agama dan negara secara simbiotik, yakni berhubungan secara timbal balik dan bersifat komplementer. Agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya negara

       15

M. Dien Syamsuddin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam Abu Zahra (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hal. 45.

16

Muhammad Musa Yusuf, Nizâm al-Hukm fi al-Islâm (Cairo: Dâr al-Kitâb, 1963), hal. 18; Cf. Sa’di Abu Jayb, Dirâsat fî Manhaj al-Islâm al-Siyâsi (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1985). 


(12)

memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat tumbuh dalam bimbingan etika dan moral.17

Paradigma ketiga, yaitu paradigma sekularistik, berada di titik ekstrem liberal. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik agama-negara. Bagi paradigma sekularistik, agama dan negara adalah dua wilayah yang terpisah. Agama merupakan sistem keyakinan yang bersumber dari wahyu sementara negara adalah sistem sosial yang bersumber dari akal dan pertimbangan rasional. Di barisan aliran ini, Ali Abdur Râziq berdiri di garis depan. Menurut Râziq, Islam tidak memberi petunjuk apapun tentang bentuk negara yang harus didirikan umat Islam, termasuk khilâfah. Baik Qur’an maupun Hadits tidak pernah menyebut khilâfah dalam pengertian sebagai sistem politik seperti ada dalam sejarah politik Islam. Manurut Râziq, khilâfah tidak mempunyai dasar, baik dalam Qur’an maupun al-Hadits.18

Berdasarkan ketiga paradigma di atas, elit-elit Melayu UMNO, seperti Mahathir, memahami hubungan antara agama dan negara dalam kerangka simbiotik. Pandangan simbiotik ini sangat berpengaruh dalam menentukan Islam dalam proses demokratisasi dan dinamika politik Islam di Malaysia, termasuk dalam keberhadapannya dengan PAS.

       17

M. Din Syamsuddin, “Usaha Pencarian Konsep”, op.cit., hal. 47

18


(13)

III. PRAKTIK POLITIK ISLAM: RELASI ISLAM DAN AGENDA ‘ISLAMISASI’ DI DUA NEGARA KAJIAN

1. RELASI ISLAM DAN NEGARA

INDONESIA: Perdebatan Islam Sebagai Dasar Negara

Indonesia merupakan Negara multi etnis yang sejak periode perjuangan kemerdekaan telah ada polarisasi dua arus kekuatan besar, Islam dan Nasionalisme. Semenjak Negara ini lahir, penduduk di dalamnya tidak pernah berhenti berdebat tentang seberapa besar tempat yang herus diberikan kepada Islam dalam konteks politik modern.

Relasi Islam dan negara di Indonesia dapat didekati melalui periodisasi sejarah politik Indonesia pra-kemerdekaan, paska-kemerdekaan pada masa Orde Lama dan Orde Baru, serta paska reformasi. Pada masa pra-kemerdekaan, perdebatan Islam sebagai dasar negara dan penerapan hukum Islam adalah dua isu penting yang muncul pada masa menjelang kemerdekaan Indonesia.19

Pada masa pra-kemerdekaan, para founding fathers negeri ini sempat terbelah dalam soal apakah Islam atau lainnya yang menjadi dasar Negara. Kelompok Islam beranggapan bahwa sudah selayaknya Islam diberi tempat lebih besar dalam struktur ketatanegaraan baru, karena Indonesia ditegakkan dan dihuni oleh mayoritas penduduk yang beragama Islam. Sementara kelompok nasionalis berdalih bahwa Negara yang penduduknya tidak seratus persen Muslim, hubungan legal-formal antara Islam dan Negara bukan sebuah keharusan, karena hal itu rentan melahirkan diskriminasi, khususnya bagi kalangan non-muslim. Menurut argumen ini, sejauh umat Islam berperan aktif dalam proses politik, maka tidak akan ada kebijakan yang tidak dipengaruhi nilai-nilai Islam.

Relasi hubungan yang pertama melibatkan adanya kontroversi seputar Piagam Jakarta, yang kemudian berimplikasi langsung atas politik Indonesia paska-kemerdekaan dan semasa pemerintahan (1945-1966). Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menyepakati dihapuskannya ‘tujuh kata’ pada Piagam Jakarta dari konstitusi. Keputusan penghapusan tujuh kata tersebut, menurut Hatta, disepakati oleh anggota PPKI dari kubu Islam, diantaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, Tengku M. Hasan dan Kasman Singodimejo.20

       19

Moh. Mahfud MD, ‘Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia’ dalam Syamsul Anwar, Antologi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia Antara Idealitas dan Realitas

20


(14)

Selanjutnya pada periode pemerintahan Orde Baru (1965-1998), sikap politik pemerintah Orde Baru melanjutkan usaha pemerintah Orde Lama yang mempertahankan Pancasila dan menolak Piagam Jakarta.21 Pada masa ini, dinamika hubungan Islam dan Negara dapat ditandai dengan tiga periode penting, yaitu konfrontatif, resiprokal kritis, dan akomodatif.22

Periode konfrontatif terjadi pada tiga tahun pertama masa Orde Baru (1965-1968). Pada masa ini, pemerintahan memperlihatkan sikap demokratis, ditandai dengan kehidupan pers yang relatif bebas, produk-produk Majlis Permusyawaratan Rakyat Sementara/MPRS yang berisi prinsip penegakkan demokrasi dan HAM. Kemudian, paska Pemilu 1971 yang mengantarkan kemenangan mutlak Golkar, pemerintah Orde Baru, secara gamblang memperlihatkan sikap antagonisnya terhadap Islam.23 Untuk meneguhkan otoritasnya, pemerintah Orde Baru menggunakan birokrasi, militer (ABRI), dan Golkar, untuk menekan Islam.24

Periode selanjutnya adalah fase resiprokal kritis (1969-1985). Pada periode ini, pemerintah selain menggunakan cara represi, untuk menalukkan umat Islam. Sama seperti pada periode sebelumnya, pemerintah secara resmi membatasi ekspresi politik umat Islam dan puncaknya adalah melalui Ketetapan MPR Tahun 1983 tentang Asas Tunggal kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya UU No. 08 tahun 1985 tentang Organisasi Sosial dan Politik. 25

Kedua aturan tersebut melarang secara resmi ormas Islam menggunakan ideologi selain Pancasila sebagai dasar organisasi, bahkan pemerintah mengancam pembubaran ormas yang menentang aturan tersebut. Namun demikian, kebijakan pemerintah Orde Baru pada masa ini memperoleh reaksi positif dari ormas Islam, utamanya ketika NU (pada tahun 1983) dan Muhammadiyah (pada tahun 1985) menerima prinsip asas tunggal Pancasila. Karena itu, wajar jika perjuangan umat Islam lebih mengedepankan perjuangan budaya melalui dakwah dan menghindari konfrontasi politik dengan pemerintah.

       21

Moh. Mahfud MD, “Konfigurasi Politik dan Hukum Pada Era Orde Baru dan Orde Lama” dalam Khamami Zada-Idy Muzayyad (eds.), Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia (Yogyakarta: Senat Mahasiswa Fakultas Syari`ah dan Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 24-25; Douglas E. Ramage, Politics in Indonesia Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance (London: Routledge, 1995), hlm. 20.

22

Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara..., hlm. 2

23

Ibid, hlm. 26 dan 242-243.

24

Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 17

25

17 Ahmad Syafi`i Ma`arif, Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam Sorotan (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985), hlm. 101-1


(15)

Periode terakhir akan dibahas di sub bahasan berikutnya karena akan menguraikan pola ‘Islamisasi’ yang diagendakan oleh pemerintah Indonesia maupun berkembangnya gerakan-gerakan Islam revivalist pasca orde baru.

MALAYSIA: Islam sebagai Agama Resmi dan Political Ideology

Di Malaysia, relasi Islam dan negara dapat disusun ke dalam tiga periode penting; periode pra-Mahatir, masa kepemimpinan Mahatir dan paska Mahatir. Pada masa pra-Mahatir atau masa Perdana Menteri Malaysia pertama, Tunku Abdul Rahman, pemerintah menempatkan Islam pada posisi sentral dan secara resmi mengakui Islam sebagai agama resmi negara melalui konstitusi. 26 Pemerintah secara aktif melaksanakan program-program Islami, seperti penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur`an, pembangunan masjid, pendirian Majlis Nasional Malaysia urusan Keislaman pada tahun 1968,27 Pusat Penelitian dan Lembaga Dakwah Islam, serta memperluas kegiatan aktifitas dakwah dengan mendirikan lembaga dakwah di negara-negara bagian.

Selain itu, pada tahun 1971, melalui Kongres Budaya Nasional, pemerintah secara resmi menyatakan bahwa Islam sebagai bagian penting dalam budaya nasional Malaysia. Kongres tersebut juga merekomendasikan untuk mengeksplisitkan nilai-nilai moral Islam melalui instrumen hukum nasional. Moral Islam menjadi agenda penting pemerintah, karena itu Tunku Abdul Rahman menginisiasi pendirian program-program siaran Agama Islam di radio dan televisi, memerintahkan lembaga-lembaga penyiaran untuk mengumandangkan azan salat lima waktu, melarang kegiatan konser musik rock serta pemutaran film hiburan di radio dan televisi serta mewajibkan siswa perempuan menggunakan busana muslim.28

Pada periode Mahathir, posisi Islam semakin sentral dalam politik Malaysia, bahasan details untuk periode ini masuk ke dalam sub-bahasan, ‘kebijakan islamisasi

sebagai praktik politik Islam oleh Malaysia’.

       26

Termasuk partai pemerintah UMNO, partai oposisi PAS, serta ormas-ormas Islam di Malaysia seperti Tablig, Arqam dan ABIM. 

27

Zainah Anwar. 2006. Law-Making in The Name of Islam: Implications for Democratic Governance. [book]. Hal. 122

28


(16)

2. KEBIJAKAN ‘ISLAMISASI’ SEBAGAI PRAKTIK POLITIK ISLAM INDONESIA: ‘Islamisasi’ Pengetahuan/Pendidikan Islam

Ada beberapa saluran proses Islamisasi di Indonesia, yaitu perdagangan, perkawinan, kesenian dan pendidikan, namun pada sub bahasan ini akan difokuskan pada pendidikan dalam proses Islamisasi di Indonesia.

Pendidikan Islam di Indonesia yang pada mulanya dilaksanakan secara informal, yang pelaksanaannya menitikberatkan kepada terjadinya hubungan dan kontak-kontak pribadi antara mubaligh,29 dengan masyarakat sekitar; pada waktu terjadinya hubungan antar “pemberi” dan “penerima” tersebut terjadilah proses pendidikan.

Kemudian setelah masyarakat muslim terbentuk pendidikan Islam semakin intensif dilaksanakan dimasjid-masjid atau langgar dalam bentuk pendidikan nonformal. Seterusnya semakin intensif lagi pelaksanaannya setelah terbentuk lembaga-lembaga pendidikan formal, seperti pesantren, dayah, maktab dan setelah abad ke-20 muncullah madrasahdan perguruan tinggi Islam. Keseluruhan lembaga-lembaga pendidikan itu memberi sumbangan besar bagi proses Islamisasi di Indonesia.30

Sumbangan lembaga-lembaga pendidikan Islam itu bagi proses Islamisasi dapat dilihat dari produk (output) lembaga-lembaga tersebut menghasilkan manusia-manusia terdidik menjadi ulama-ulama atau kiai-kiai muda yang dengan kiprah mereka ditengah-tengah masyarakat melaksanakan Islamisasi, baik lewat jalur pendidikan maupun dakwah Islamiyah, sehingga Islam dengan cepat tersebar diseluruh Nusantara sebagai hasil dari usaha yang mereka lakukan.3126

Peranan Kerajaan Islam juga memiliki peran yang sangat signifikan bagi proses islamisasi di Indonesia ini dapat dilihat dari bagaimana perhatian yang cukup tinggi dari Sultan Agung pada masa pemerintahannya dalam bidang pendidikan pada zaman itu tingkatan-tingkatan Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dibagi ke 4 tingkatan.

       29

Syahrul Budiman. PERANAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PROSES ISLAMISASI DI INDONESIA. Article Online.

https://www.academia.edu/5562405/PERANAN_PENDIDIKAN_ISLAM_DALAM_PROSES_ISLAMISASI_PE NDIDIKAN . Diakses pada tanggal 14 Desember 2014

30

Daulay, Sejarah,h. 17

31


(17)

MALAYSIA: ‘Islamisasi’ Pemerintahan dan Hukum

Islamisasi telah dikembangkan baik oleh koalisi yang telah lama memerintah, yakni barisan Nasional yang dipimpin oleh UMNO (United Malays National Organization) maupun partai Islamis oposisi, yaitu PAS (Parti Islam Se-Malaysia). PAS adalah satu-satunya partai oposisi mulsim di Malaysia dan memiliki dominasi politis di dua Negara bagian pantai timur semenanjung Malaysia, Kelantan dan Terengganu.32

Pada periode Mahathir, posisi Islam semakin sentral dalam politik Malaysia, Pada tahun pertama menjabat sebagai Perdana Menteri, Mahatir menyelenggarakan seminar ‘the Concept of Development in Islam’ pada tahun 1981.33 Seminar ini kemudian merekomendasikan pembentukan komite-komite dalam bidang sosial, ekonomi, hukum, pendidikan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian, pada tahun 1984, Mahathir mengumumkan program “pemerintahan secara Islami” atau melakukan Islamisasi pada struktur pemerintahan dan pemberlakuan hukum Islam bagi umat Islam di Malaysia. Selain itu, pemerintah juga menginisiasi pendirian Bank Islam, Yayasan Ekonomi Islam serta lembaga pendidikan Islam dan menyelenggarakan Konferensi Ulama pada tahun 1983. Sementara itu, pada bidang media, Mahatir melarang siaran agama selain Islam, meski lembaga penyiaran tersebut merupakan lembaga penyiaran non-Islam, serta mewajibkan pembaca berita pada stasiun televisi Malaysia yang laki-laki wajib memakai songkok (tutup kepala bagi laki-laki muslim) pada setiap hari Jum`at dan, setiap mengawali pembacaan berita, harus mengucapkan “Assalamu`alaikum”.34

Pada bidang hukum, Mahatir, pada tahun 1988, menyatakan bahwa hukum Islam harus dijaga dari serangan mendadak oleh hukum-hukum sekuler. Pengadilan Islam harus sama dengan pengadilan sipil.35 Hukum dan aturan harus diterapkan terhadap mereka yang melakukan kegiatan makan dan minum di depan umum selama satu bulan pada bulan Ramadan.

Kebijakan luar negeri Mahathir dengan Dunia Islam juga memperlihatkan kebijakan yang pro-Islam. Melalui konferensi tokoh-tokoh Muslim dunia dan yang terakhir adalah konferensi Organisation of Islamic Conference/OIC pada tahun 2003

       32

Peter G. Riddell. 2005. Islamization, Civil Society and Religious Minorities in Malaysia. ISEAS. Singapore. Hal 163

33

ibid

34

Peter G. Riddell. 2005. Islamization, Civil Society and Religious Minorities in Malaysia. ISEAS. Singapore. Hal 163

35

Norani Othman. 2004. Islamisasi dan Demokratisasi di Malaysia dalam konteks Regional dan Global. Hal.231. [dikutip dari: Ariel & Mandal Heryanto. 2004 Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. Hal. 246


(18)

di Kuala Lumpur, Mahatir menyatakan dukungannya terhadap Palestina dan, bahkan dalam sidang umum PBB pada tahun 2003, dengan lantang mengkritik Barat karena tidak mampu menyelesaikan krisis di Palestina.

Periode paska-Mahatir atau masa kepemimpinan Abdullah Badawi (2003-) adalah masa kebangkitan kelompok Islam konservatif Malaysia. Fase ini ditandai dengan empat hal, yaitu semakin menguatnya kelompok-kelompok Islam radikal, kebangkitan PAS di pentas politik nasional, aktifitas Islam Hadari dan munculnya kelompok Islam progresif.

Salah satu kelompok Islam radikal yang gencar melakukan perlawanan terhadap pemerintah adalah Kelompok Mujahidin Malaysia (KKM). Kelompok ditengarai sebagai jaringan al-Qaedah di Malaysia. Bahkan, KMM dipercaya menjadi tulang punggung aksi-aksi radikal dan terorisme di Malaysia.36 Sementara itu, pada pentas politik nasional, PAS menjadi penyeimbang kekuatan partai politik pemerintah, UMNO.

Orientasi Islam PAS juga terlihat lebih jelas ketimbang UMNO, utamanya sikap partai yang secara terang-terangan menyatakan anti-Amerika dan dukungan terhadap pemerintahan Taliban di Afganistan. Sementara itu, kelompok Islam Hadari semakin muncul kepermukaan untuk menandingi suara anti-pemerintah. Kelompok Islam Hadari yang dibentuk pada masa pemerintahan Mahatir merepresentasikan kekuatan Islam kultural dan berfungsi sebagai alat legitimasi Islami program-program pemerintah Malaysia.

Pada saat yang sama, masa paska-Mahatir juga ditandai dengan semakin kuatnya kelompok Islam progresif, seperti Sister in Islam dan JUST World. Kelompok ini mengusung gagasan progresif tentang demokrasi, HAM, keadilan jender, dan kebebasan berpikir. Prinsip kebijakan Islamisasi yang diperkenalkan UMNO sejak 1980-an adalah perluasan hukum perdata maupun hukum pidana shari’ah serta amandemen hukum keluarga muslim di tiga belas Negara bagian dan tiga wilayah federasi Malaysia (Kuala Lumpur, Putra Jaya dan Labuan). Mencakup UU 1995 yang memperbolehkan fatwa Islam yang relevan. 37

Berbagai organisasi atau gerakan Islam lainnya seperti ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia), Darul Arqam dan Jemaah Islah Malaysia (JIM) yang hendak

       36

Peter G. Riddell. 2005. Islamization, Civil Society and Religious Minorities in Malaysia. ISEAS. Singapore. Hal 167

37 

Norani Othman. 2004. Islamisasi dan Demokratisasi di Malaysia dalam konteks Regional dan Global. Hal.265. [dikutip dari: Ariel & Mandal Heryanto. 2004 Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.  


(19)

mempertegas kembali karakter dan identitas Islam dalam kehidupan sosial dan politik kaum Muslim Malaysia. 38 Kesamaan berbagai gerakan Islamisasi itu adalah semaksimal mungkin mengangkat status, nilai-nilai, tindakan dan hukum muslim di seluruh aspek kehidupan. Gerakan-gerakan itu memiliki alasan yang sama bahwa Islam merupakan satu-satunya solusi yang dapat mengatasi semua persoalan yang dihadapi umat muslim. Dalam ABIM, kaum muda muslim Malaysia dengan pendidikan tinggi menjadi agen Islamisasi yang dinilai layak.

      

38 


(20)

V. ANALISA: IMPLIKASI ‘ISLAMISASI’ TERHADAP DEMOCRATIC GOVERNANCE

 

Masalah demokratisasi seringkali dikonseptualisasikan sebagai masalah nasional. Dalam mengkaji implikasi ‘Islamisasi’ terhadap proses demokratisasi di Negara Demokrasi Baru seperti Malaysia dan Indoneisa, kompleksitas dan masalah politik serta budaya politik di masing-masing masyarakat secara keseluruhan harus diperhitungkan.

Malaysia dan Indonesia adalah Negara yang menempatkan Islam dalam kedudukan penting. Itu dikarenakan Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat kedua Negara tersebut. Muslim di Indonesia dan Malaysia menganut Mazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab moderat dan paling banyak dianut di Asia Tenggara. Di Malaysia, gerakan-gerakan Islam relatif homogen dalam menyuarakan tuntutan Islamisasi nilai-nilai dan hukum Islam di semua wilayah kehidupan. Sebaliknya, di Indonesia ada keragaman gerakan Islam, yang meliputi perspektif yang beragam tentang cara mengaktualisasikan Islam dan prinsip-prinsipnya dalam kehidupan publik.

Sama seperti Indonesia, Islam menjadi bagian penting dalam politik Malaysia. Islam tidak saja menjadi alat legitimasi kekuasaan rejim, tapi juga menjadi alat perlawanan terhadap negara. Namun, berbeda dengan Indonesia, pemerintah Malaysia secara resmi mengadopsi Islam sebagai ‘agama resmi’ negara, karena itu interpretasi Islam menjadi ‘doktrin’ merupakan kekuatan yang diperebutkan oleh kelompok dan partai politik di Malaysia.

Gerakan-gerakan kebangkitan Islam yang muncul di kedua Negara memang memiliki kesamaan dalam sumber konseptual dan ideologi Islam, yang membedakannya ialah pendekatan dan agenda yang dibawa ke ranah nasional dan bagaimana praktik-sosial politik yang direalisasikan. Seperti misalnya tahun 1990-an, ketika pemerintah Malaysa melakukan Islamisasi dalam konteks konstitusi Negara, yaitu dengan perluasaan hukum pidana dan perdata Islam bagi kaum muslim. Sedangkan yang terjadi di Indonesia adalah proses ‘Islamisasi’ dengan melakukan penyebaran ide Islam sekularisme. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas bahwa agama Islam memiliki posisi sebagai pedoman etis dan kultural dalam Masyarakat. Dan memiliki batasan peran ke dalam sistem Islam Politik.

Perbandingan relasi Islam dan negara di Indonesia dan Malaysia. Meski kedua negara bertetangga tersebut berakar pada rumpun yang sama, Melayu, namun relasi


(21)

Islam dan negara di Indonesia dan Malaysia merepresentasikan dua bentuk relasi yang saling bertolak belakang. Dimana Islam masuk dalam konstitusi Malaysia sebagai agama resmi negara, sehingga praktis tidak ada perlawanan dari kelompok-kelompok nasionalis sekular seperti di Indonesia. Mengingat peristiwa pembatalan 7 kata (berisi syari’at) di dalam Piagam Jakarta yang sampai sekarang masih terus menyisakan ketidakpuasan di sebagian kelompok masyarakat Islam. Merupakan kesadaran bersama bagi seluruh rakyat Indonesia mengenai pencantuman syariat Islam dalam UUD 1945 dianggap akan menggoyahkan persatuan nasional yang hendak digalang di antara seluruh komponen bangsa, karena itu dihapuskan.

Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa Malaysia merupakan salah satu negara yang mempunyai posisi cukup penting di dunia Islam karena kiprah keislamannya. Berbagai proses Islamisasi di negeri jiran ini tentu tidak terjadi begitu saja, melainkan didahului oleh pencarian dan pergulatan yang panjang, meskipun penduduknya tidak sebanyak penduduk di Indonesia, bahkan hampir separuh dari keseluruhan warganya adalah non muslim yang didominasi oleh etnik Cina dan India. Namun demikian Malaysia telah tampil di pentas dunia internasional dengan nuansa serta simbol Islam yang begitu melekat, termasuk dalam kebijakan perundang-undangan banyak diwarnai oleh prinsip-prinsip keislaman.

Kajian perbandingan tentang pengalaman gerakan islamisasi ini ketika dihubungkan dengan proses demokratisasi dalam Negara, menunjukkan signifikansi dalam dalam prioritas agenda-agenda Islamic Revivalism yang diimplementasikan ke lintasan yang berbeda. Formulasi kebijakan Islamisasi yang meliputi ranah struktur pemerintahan dan Hukum di Malaysia terlihat mempengaruhi prospek demokrasi di Negaranya, dengan adanya 7 implikasi utamanya:39

o Diskriminasi: Pengakuan Islam sebagai agama resmi negara berimplikasi langsung pada sikap pemerintah yang mengedepankan kepentingan politik umat Islam.

o Shroud of Silence: Both at drafting and legislative levels, first is the absence

of any kind of consultation and public debate in the law making process; second is the lack of any substantive debate in the legislative bodies when Islamic laws are tabled; third when there is no debate in the legislative assemblies, there is no press coverage.

       39

Zainar Anwar. 2005. Law-Making in the name of Islam: Implications for Democratic Governance. ISEAS. Singapore. Hal.124


(22)

o Fear and Ignorance: the bifurcations of the modern education system meam

that those trained in secular schools have little knowledge of religion and those trained in religion have little understanding of the world outside.

o The authority to speak on Islam: Tradtionally, most muslims believe that only ulama have the right to speak on Islam.

o The Tendency to codfy the most conservative Opinion: Be it in the area of

fundamental liberties or women’s rights, the tendency displayed by the religious authorities is often to codify the most conservative opinion into law.

o The Misogynistic Bent: While civil laws are being repealed or amended to recognize equality between men and women, Islamic laws remain discriminatory against women.

o A Holier-than-thou Competition: PAS and UMNO are engaged in a

one-upmanship game to prove each other’s religious.

Dalam konteks relasi hubungan Islam dan Negara, walaupun Islam merupakan kelompok mayoritas di Indonesia dan kebanyakan tokoh kemerdekaan kita juga menganut agama Islam, tetapi ketika memasuki konteks Negara dan Ideologi Politik, berperan penting dalam perjuangan meraih Kemerdekaan, tetapi kesepakatan yang tercapai dalam pembentukan dasar-dasar Negara tetap Pancasila, dengan menjunjung tinggi kaedah-kaedah yang ada di dalam Islam.

Konstalasi pola hubungan Islam dengan Negara dalam konteks Indonesia, bisa dilihat dari catatan sebelumnya mengalami pergolakan di beberapa periode, pada periode orde baru, Islam terus mengalami represi dari pemerintah, dan posisi Islam dalam kancah politik nasional yang semakin terpinggirkan dan dalam beberapa kasus memicu kemarahan umat Islam kepada pemerintah waktu itu.

Terkait aspek kekuatan simbolik, di Malaysia, Islam tampil sebagai kekuatan simbolik dominan yang tak tertandingi oleh sistem simbolik lain. Islam adalah faktor penting dalam keseluruhan isi dan proses politik di Malaysia. Arti penting Islam dimungkinkan sekurang-kurangnya karena dua hal; Pertama, Islam adalah agama resmi Malaysia sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi Federal Pasal 3 (1): “Islam is the religion of the Federation; but other religions may be practised in peace and harmony in any part of the Federation”.40Kedua, Islam di Malaysia menjadi satu-satunya sistem simbolik yang paling dominan dan belum ada sistem simbolik lain yang memiliki tingkat legitimasi politis setaraf dengan sistem simbolik Islam.

       40


(23)

“Islamic Revived (the moderate) and democratization have been going hand in hand through the last decades of the twentieth century in Southeast asia and these trends are converging to promote and strengthen Islamic civil society in public life..”

   

   

               


(24)

DAFTAR PUSTAKA [Book]

Norani Othman. Islamisasi dan Demokratisasi di Malaysia dalam konteks Regional dan Global. 2004.

Ariel & Mandal Heryanto. Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. 2004

Shamsul A.B, 2005. Islam Embedded: ‘Moderate’ Political Islam and Governance in the Malay World.

K.S Nathan dan Mohammad Hashim Kamali. 2005. Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategic Challenges for the 21st Century. ISEAS, Singapore.

Bahtiar Effendy. 2002. Dilema Islam, Dilema Demokrasi; “Islam, Demokrasi, dan Kultur Politik.”Gugus Press. Hal. 3

Riddell, Peter G. 2005. Islamization, Civil Society and Religious Minorities in Malaysia. ISEAS. Singapore

Ramage, Douglas E. Politics in Indonesia Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance. London: Routledge, 1995.

Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 17

Ahmad Syafi`i Ma`arif, Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam Sorotan (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985),

Anwar, Zainah 2006. Law-Making in The Name of Islam: Implications for Democratic Governance. [book]. Hal. 122

Syamsyudin, M. Din Beberapa Catatan Problematika Politik Islam di Indonesia. Grasindo. Jakarta. 2002.

[Website]

Abdullahi An-Na'im, Human rights and the rise of political Islam. [article online].

http://www.abc.net.au/religion/articles/2010/11/05/3058143.htm . [diakses pada 12 Desember 2014] Syahrul Budiman. PERANAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PROSES ISLAMISASI DI INDONESIA. Article Online.

https://www.academia.edu/5562405/PERANAN_PENDIDIKAN_ISLAM_DALAM_PROSES_ISLA MISASI_PENDIDIKAN . Diakses pada tanggal 14 Desember 2014

[citation]

[Legal Research Board, Federal Constitution (Selangor: International Law Book Services, 2003)

Daulay, Sejarah

Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara

Moh. Mahfud MD, ‘Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia’ dalam Syamsul Anwar, Antologi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia Antara Idealitas dan Realitas


(1)

mempertegas kembali karakter dan identitas Islam dalam kehidupan sosial dan politik kaum Muslim Malaysia. 38 Kesamaan berbagai gerakan Islamisasi itu adalah semaksimal mungkin mengangkat status, nilai-nilai, tindakan dan hukum muslim di seluruh aspek kehidupan. Gerakan-gerakan itu memiliki alasan yang sama bahwa Islam merupakan satu-satunya solusi yang dapat mengatasi semua persoalan yang dihadapi umat muslim. Dalam ABIM, kaum muda muslim Malaysia dengan pendidikan tinggi menjadi agen Islamisasi yang dinilai layak.

       38 


(2)

V. ANALISA: IMPLIKASI ‘ISLAMISASI’ TERHADAP DEMOCRATIC GOVERNANCE

 

Masalah demokratisasi seringkali dikonseptualisasikan sebagai masalah nasional. Dalam mengkaji implikasi ‘Islamisasi’ terhadap proses demokratisasi di Negara Demokrasi Baru seperti Malaysia dan Indoneisa, kompleksitas dan masalah politik serta budaya politik di masing-masing masyarakat secara keseluruhan harus diperhitungkan.

Malaysia dan Indonesia adalah Negara yang menempatkan Islam dalam kedudukan penting. Itu dikarenakan Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat kedua Negara tersebut. Muslim di Indonesia dan Malaysia menganut Mazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab moderat dan paling banyak dianut di Asia Tenggara. Di Malaysia, gerakan-gerakan Islam relatif homogen dalam menyuarakan tuntutan Islamisasi nilai-nilai dan hukum Islam di semua wilayah kehidupan. Sebaliknya, di Indonesia ada keragaman gerakan Islam, yang meliputi perspektif yang beragam tentang cara mengaktualisasikan Islam dan prinsip-prinsipnya dalam kehidupan publik.

Sama seperti Indonesia, Islam menjadi bagian penting dalam politik Malaysia. Islam tidak saja menjadi alat legitimasi kekuasaan rejim, tapi juga menjadi alat perlawanan terhadap negara. Namun, berbeda dengan Indonesia, pemerintah Malaysia secara resmi mengadopsi Islam sebagai ‘agama resmi’ negara, karena itu interpretasi Islam menjadi ‘doktrin’ merupakan kekuatan yang diperebutkan oleh kelompok dan partai politik di Malaysia.

Gerakan-gerakan kebangkitan Islam yang muncul di kedua Negara memang memiliki kesamaan dalam sumber konseptual dan ideologi Islam, yang membedakannya ialah pendekatan dan agenda yang dibawa ke ranah nasional dan bagaimana praktik-sosial politik yang direalisasikan. Seperti misalnya tahun 1990-an, ketika pemerintah Malaysa melakukan Islamisasi dalam konteks konstitusi Negara, yaitu dengan perluasaan hukum pidana dan perdata Islam bagi kaum muslim. Sedangkan yang terjadi di Indonesia adalah proses ‘Islamisasi’ dengan melakukan penyebaran ide Islam sekularisme. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas bahwa agama Islam memiliki posisi sebagai pedoman etis dan kultural dalam Masyarakat. Dan memiliki batasan peran ke dalam sistem Islam Politik.

Perbandingan relasi Islam dan negara di Indonesia dan Malaysia. Meski kedua negara bertetangga tersebut berakar pada rumpun yang sama, Melayu, namun relasi


(3)

Islam dan negara di Indonesia dan Malaysia merepresentasikan dua bentuk relasi yang saling bertolak belakang. Dimana Islam masuk dalam konstitusi Malaysia sebagai agama resmi negara, sehingga praktis tidak ada perlawanan dari kelompok-kelompok nasionalis sekular seperti di Indonesia. Mengingat peristiwa pembatalan 7 kata (berisi syari’at) di dalam Piagam Jakarta yang sampai sekarang masih terus menyisakan ketidakpuasan di sebagian kelompok masyarakat Islam. Merupakan kesadaran bersama bagi seluruh rakyat Indonesia mengenai pencantuman syariat Islam dalam UUD 1945 dianggap akan menggoyahkan persatuan nasional yang hendak digalang di antara seluruh komponen bangsa, karena itu dihapuskan.

Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa Malaysia merupakan salah satu negara yang mempunyai posisi cukup penting di dunia Islam karena kiprah keislamannya. Berbagai proses Islamisasi di negeri jiran ini tentu tidak terjadi begitu saja, melainkan didahului oleh pencarian dan pergulatan yang panjang, meskipun penduduknya tidak sebanyak penduduk di Indonesia, bahkan hampir separuh dari keseluruhan warganya adalah non muslim yang didominasi oleh etnik Cina dan India. Namun demikian Malaysia telah tampil di pentas dunia internasional dengan nuansa serta simbol Islam yang begitu melekat, termasuk dalam kebijakan perundang-undangan banyak diwarnai oleh prinsip-prinsip keislaman.

Kajian perbandingan tentang pengalaman gerakan islamisasi ini ketika dihubungkan dengan proses demokratisasi dalam Negara, menunjukkan signifikansi dalam dalam prioritas agenda-agenda Islamic Revivalism yang diimplementasikan ke lintasan yang berbeda. Formulasi kebijakan Islamisasi yang meliputi ranah struktur pemerintahan dan Hukum di Malaysia terlihat mempengaruhi prospek demokrasi di Negaranya, dengan adanya 7 implikasi utamanya:39

o Diskriminasi: Pengakuan Islam sebagai agama resmi negara berimplikasi langsung pada sikap pemerintah yang mengedepankan kepentingan politik umat Islam.

o Shroud of Silence: Both at drafting and legislative levels, first is the absence

of any kind of consultation and public debate in the law making process; second is the lack of any substantive debate in the legislative bodies when Islamic laws are tabled; third when there is no debate in the legislative assemblies, there is no press coverage.

      

39

Zainar Anwar. 2005. Law-Making in the name of Islam: Implications for Democratic Governance. ISEAS. Singapore. Hal.124


(4)

o Fear and Ignorance: the bifurcations of the modern education system meam

that those trained in secular schools have little knowledge of religion and those trained in religion have little understanding of the world outside.

o The authority to speak on Islam: Tradtionally, most muslims believe that only ulama have the right to speak on Islam.

o The Tendency to codfy the most conservative Opinion: Be it in the area of

fundamental liberties or women’s rights, the tendency displayed by the religious authorities is often to codify the most conservative opinion into law.

o The Misogynistic Bent: While civil laws are being repealed or amended to recognize equality between men and women, Islamic laws remain discriminatory against women.

o A Holier-than-thou Competition: PAS and UMNO are engaged in a

one-upmanship game to prove each other’s religious.

Dalam konteks relasi hubungan Islam dan Negara, walaupun Islam merupakan kelompok mayoritas di Indonesia dan kebanyakan tokoh kemerdekaan kita juga menganut agama Islam, tetapi ketika memasuki konteks Negara dan Ideologi Politik, berperan penting dalam perjuangan meraih Kemerdekaan, tetapi kesepakatan yang tercapai dalam pembentukan dasar-dasar Negara tetap Pancasila, dengan menjunjung tinggi kaedah-kaedah yang ada di dalam Islam.

Konstalasi pola hubungan Islam dengan Negara dalam konteks Indonesia, bisa dilihat dari catatan sebelumnya mengalami pergolakan di beberapa periode, pada periode orde baru, Islam terus mengalami represi dari pemerintah, dan posisi Islam dalam kancah politik nasional yang semakin terpinggirkan dan dalam beberapa kasus memicu kemarahan umat Islam kepada pemerintah waktu itu.

Terkait aspek kekuatan simbolik, di Malaysia, Islam tampil sebagai kekuatan simbolik dominan yang tak tertandingi oleh sistem simbolik lain. Islam adalah faktor penting dalam keseluruhan isi dan proses politik di Malaysia. Arti penting Islam dimungkinkan sekurang-kurangnya karena dua hal; Pertama, Islam adalah agama resmi Malaysia sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi Federal Pasal 3 (1): “Islam is the religion of the Federation; but other religions may be practised in peace and harmony in any part of the Federation”.40Kedua, Islam di Malaysia menjadi satu-satunya sistem simbolik yang paling dominan dan belum ada sistem simbolik lain yang memiliki tingkat legitimasi politis setaraf dengan sistem simbolik Islam.

      

40


(5)

“Islamic Revived (the moderate) and democratization have been going hand in hand through the last decades of the twentieth century in Southeast asia and these trends are converging to promote and strengthen Islamic civil society in public life..”

   

   

 

 

 

 

 

 

 


(6)

DAFTAR PUSTAKA [Book]

Norani Othman. Islamisasi dan Demokratisasi di Malaysia dalam konteks Regional dan Global. 2004. Ariel & Mandal Heryanto. Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. 2004

Shamsul A.B, 2005. Islam Embedded: ‘Moderate’ Political Islam and Governance in the Malay World.

K.S Nathan dan Mohammad Hashim Kamali. 2005. Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategic Challenges for the 21st Century. ISEAS, Singapore.

Bahtiar Effendy. 2002. Dilema Islam, Dilema Demokrasi; “Islam, Demokrasi, dan Kultur Politik.”Gugus Press. Hal. 3

Riddell, Peter G. 2005. Islamization, Civil Society and Religious Minorities in Malaysia. ISEAS. Singapore

Ramage, Douglas E. Politics in Indonesia Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance. London: Routledge, 1995.

Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 17

Ahmad Syafi`i Ma`arif, Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam Sorotan (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985),

Anwar, Zainah 2006. Law-Making in The Name of Islam: Implications for Democratic Governance. [book]. Hal. 122

Syamsyudin, M. Din Beberapa Catatan Problematika Politik Islam di Indonesia. Grasindo. Jakarta. 2002.

[Website]

Abdullahi An-Na'im, Human rights and the rise of political Islam. [article online].

http://www.abc.net.au/religion/articles/2010/11/05/3058143.htm . [diakses pada 12 Desember 2014]

Syahrul Budiman. PERANAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PROSES ISLAMISASI DI INDONESIA. Article Online.

https://www.academia.edu/5562405/PERANAN_PENDIDIKAN_ISLAM_DALAM_PROSES_ISLA

MISASI_PENDIDIKAN . Diakses pada tanggal 14 Desember 2014

[citation]

[Legal Research Board, Federal Constitution (Selangor: International Law Book Services, 2003) Daulay, Sejarah

Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara

Moh. Mahfud MD, ‘Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia’ dalam Syamsul Anwar, Antologi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia Antara Idealitas dan Realitas