Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

15 Tabel 6. Analisis usaha budidaya cacing sutra dengan sistem air mengalir. No Keterangan PKAF PKPF PKSF 1 Investasi Rp 15.915.000 15.915.000 15.915.000 2 Biaya tetap Rp 19.000.000 19.000.000 19.000.000 3 Biaya Variabel Rp 151.592.105 47.316.748 30.982.872 4 Biaya Total Rp 170.592.105 66.316.748 49.982.872 5 Pemasukan Rp 76.781.250 105.300.000 50.456.250 6 keuntungantahun Rp 93.810.855 38.983.252 473.378 7 keuntunganbulan Rp 7.817.571 3.248.604 39.448 8 HPP Rp 11.109 3.149 4.953 9 RC ratio 0,450 1,588 1,009 10 Payback period - 0,41 33,62 11 BEP unit 3.900,09 6.900,96 9.845,94 12 BEP harga Rp 19.500.429 34.504.791 49.229.711 Keterangan : Rincian biaya dapat dilihat pada Lampiran 10. Tanda kurung menunjukkan nilai negatif -.

3.2. Pembahasan

Berdasarkan data peningkatan biomassa dapat diketahui bahwa peningkatan biomassa pada masing-masing perlakuan memiliki peningkatan biomassa paling rendah dari hari ke-10 sampai hari ke-20. Peningkatan biomassa dari hari ke-10 sampai hari ke-20 pada perlakuan PKAF sebesar 173,71 gm 2 , PKPF sebesar 302,97 gm 2 dan PKSF sebesar 111,13 gm 2 . Peningkatan biomassa dari hari ke-10 sampai hari ke-20 lebih diakibatkan oleh peningkatan bobot cacing dewasa yang telah matang gonad dan telah menetasnya cacing-cacing muda yang teramati saat sampling. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kosiorek 1974 yang menyatakan bahwa perkembangan embrio dari telur sampai meninggalkan kokon lamanya antara 10-12 hari. Sedangkan untuk rendahnya laju peningkatan biomassa pada hari ke-20 dikarenakan turunnya biomassa tubuh cacing yang telah mengeluarkan kokon. Hal ini didasari pada pernyataan Kosiorek 1974 yang menyatakan bahwa ketika matang gonad cacing akan bertambah bobot tubuhnya sampai mengeluarkan kokon dan bobot tubuhnya akan menurun drastis. Peningkatan biomassa dan laju peningkatan biomassa tertinggi pada masing-masing perlakuan dari hari ke-20 sampai hari ke-30. Peningkatan biomassa dari hari ke-20 sampai hari ke-30 pada perlakuan PKAF sebesar 652,15 16 gm 2 , PKPF sebesar 897,8 gm 2 dan PKSF sebesar 491,31 gm2. Peningkatan biomassa dan laju peningkatan biomassa yang tinggi disebabkan oleh tumbuhnya cacing-cacing muda yang telah menetas pada hari-hari sebelumnya. Biomassa yang diperoleh pada setiap perlakuan berbeda-beda dengan biomassa rata-rata tertinggi pada saat panen sebesar 2.547,19 gm 2 pada perlakuan PKPF, disusul dengan perlakuan PKAF sebesar 1.895,04 gm 2 , sedangkan yang terendah sebesar pada perlakuan PKSF yaitu sebesar 1.301,38 gm 2 . Perbedaan ini disebabkan oleh kandungan bahan organik yang terkandung dalam pupuk yang diberikan pada setiap wadah. Pupuk dengan bahan organik tertinggi adalah PKPF, kemudian PKAF dan yang terendah adalah PKSF Lampiran 3. Bahan organik dalam media akan meningkatkan jumlah bakteri dan partikel organik hasil dekomposisi oleh bakteri sehingga dapat meningkatkan jumlah bahan makanan pada media yang dapat mempengaruhi populasi dan biomassa cacing Syarip, 1988. CN juga mempengaruhi pertumbuhan bakteri yang menjadi makanan bagi cacing. Hubungan rasio CN dengan mekanisme kerja bakteri yaitu bakteri memperoleh makanan melalui substrat karbon dan nitrogen dengan perbandingan tertentu sehingga jumlah bakteri dapat meningkat. Secara umum, rasio CN yang dikehendaki dari suatu sistem perairan adalah rasio CN lebih dari 15 Avnimelech et al., 1994. Berdasarkan hasil uji laboratorium diketahui bahwa CN yang tertinggi adalah PKSF sebesar 14,42, walaupun demikian berdasarkan pengamatan diketahui bahwa PKSF terdiri dari bahan berserat. Menurut Chamberlain et al. 2001 pemakaian bahan berserat untuk pertumbuhan bakteri harus dihindari sebab bahan berserat relatif tidak dapat terdekomposisi dengan baik, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Berdasarkan penelusuran pustaka, pemakaian PKSF dan PKAF sebagai pupuk yang digunakan untuk penelitian budidaya cacing sutra telah dilakukan, namun belum ada penelitian yang menggunakan PKPF sebagai pupuk yang digunakan. Findi 2011 juga menggunakan kotoran sapi segar sebagai pupuk dengan hasil biomassa tertinggi sebesar 1.346,36 gm 2 . Substrat yang digunakan adalah campuran pasir dan kotoran sapi segar dengan perbandingan 1:3. Padat tebar yang digunakan adalah 150 gm 2 . Pupuk diberikan setiap hari dengan jumlah 17 kebutuhan pupuk yang diperoleh sebesar 30.200 gm 2 dan KP terbaik sebesar 25,45. Pemakaian pupuk kotoran ayam telah digunakan oleh Febriyanti 2004 dengan hasil biomassa tertinggi sebesar 291,76 gm 2 . Sedangkan pemakaian pupuk kotoran ayam yang telah difermentasi digunakan oleh Fadillah 2004 dengan hasil biomassa yang diperoleh sekitar 1.719,59 gm 2 .Keduanya menggunakan substrat yang dari campuran pupuk kotoran ayam fermentasi dan lumpur dengan perbandingan 1:1. Pupuk yang diberikan keduanya sebesar 1 kgm 2 hari dengan lama pemeliharaan selama 60 hari. Kualitas air merupakan parameter untuk menunjukkan kandungan air yang dapat mempengaruhi organisme di dalamnya, selain itu juga kualitas air juga dipengaruhi oleh aktifitas organisme di dalamnya. Berdasarkan data kualitas air diketahui bahwa pH selama pemeliharaan berkisar antara 6,68-6,99 Lampiran 9. Kisaran pH tersebut masih dapat ditolerir oleh cacing karena menurut Davis 1982 cacing sutra mampu beradaptasi terhadap pH air antara 6-8, namun pH bukanlah pH optimal untuk cacing sebab pH optimal untuk peningkatan cacing berada dalam kisaran 6-9 Witley, 1967. Konsentrasi oksigen terlarut DO yang diperoleh tidak akan mempengaruhi tingkat kematian cacing sutra sebab menurut Gnaiger et al 1987 cacing sutra memiliki kemampuan untuk bertahan lama dalam keadaan anoxia kekurangan oksigen. Pada data DO yang diperoleh menunjukkan bahwa total DO selama pemeliharaan menurun seiring dengan meningkatnya biomassa cacing dalam wadah budidaya. Kondisi DO pada saat penebaran sampai hari ke-30 menunjukkan bahwa kandungan DO masih berada di atas 2,5 ppm sehingga tidak mengganggu peningkatan biomassa dari cacing sutra. Embrio cacing sutra akan berkembang normal pada kisaran konsentrasi DO 2,5 ppm – 7 ppm Poddubnaya, 1980. Pada hari ke-40 DO pada kotoran puyuh mengalami penurunan dibawah 2,5 ppm dengan DO terendah sebesar 2,29, hal ini dapat mengganggu perkembangan embrio namun tidak akan mengganggu nafsu makan cacing sutra sebab menurut McCall dan Fisher 1980 dalam Marian dan Pandian 1984 nafsu makan cacing sutra akan berkurang pada konsentrasi DO kurang dari 2 ppm. 18 Nascimento dan Alves 2009 menyatakan bahwa suhu optimal untuk cacing sutra Limnodrillus hoffmeisteri berada pada pada suhu 25 o C. Suhu yang diperoleh selama percobaan berada dalam kisaran antara 25,6-26,8 o C. Kisaran suhu ini diatas suhu optimal, namun cacing sutra masih mampu bertahan hidup sebab cacing sutra mampu bertahan hidup dalam kisaran suhu 2,5-33 o C dengan suhu minimum untuk bereproduksi sebesar 11 o C Korotun 1959 dalam Kaster 1980. Analisis usaha diketahui bahwa bahwa modal investasi dan biaya tetap yang diperlukan untuk budidaya cacing sutra pada sistem air mengalir dengan pemakaian pupuk kotoran puyuh fermentasi PKPF, pupuk kotoran ayam fermentasi PKAF, maupun pupuk kotoran sapi fermentasi PKSF sama yaitu sebesar Rp. 15.915.000,- untuk biaya investasi dan Rp. 19.000.000,- untuk biaya tetap. Keuntungan tertinggi diperoleh pada perlakuan PKPF yaitu sebesar Rp. Rp. 38.983.252 tahun kemudian perlakuan PKSF dengan keuntungan sebesar Rp. 473.378tahun, sedangkan pada perlakuan PKAF justru memperoleh kerugian sebesar Rp. 473.378tahun. Perlakuan PKAF memperoleh kerugian karena memiliki HPP yang melebihi harga jual yang sebesar Rp. 5000,- bila dibandingkan dengan PKSF dan PKPF yang memiliki HPP dibawah harga jual. HPP untuk PKAF adalah sebesar RP. 11.109,-, sedangkan HPP PKSF sebesar Rp. 4. 953 dan HPP PKPF sebesar Rp. 3.149,-.Tingginya HPP perlakuan PKAF disebabkan oleh tingginya harga pupuk kotoran ayam yaitu sebesar Rp. 20.000karung, sedangkan pupuk kotoran puyuh memiliki harga sebesar Rp. 5.000 karung dan pupuk kotoran sapi sebesar Rp. 3.000 karung dengan asumsi bobot pupuk dalam 1 karung sebanyak 20 kg. Analisis RC digunakan untuk melihat pendapatan relatif suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Hal ini berarti setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan sejumlah pendapatan. Menurut Mahyuddin 2007, Suatu usaha dapat dikatakan layak apabila nilai RC lebih dari satu. Berdasarkan analisis RC rasio maka perlakuan PKPF dengan RC rasio 1,588 dan PKSF dengan RC rasio 1,009 dapat dikatakan layak sebab memiliki RC rasio di atas 1, sedangkan perlakuan PKAF tidak layak karena memiliki RC rasio di bawah satu yaitu sebesar 0,449. 19 BEP Break Even Point merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengetahui batas nilai produksi atau volume produksi suatu usaha mencapai titik impas, yaitu tidak untung dan tidak rugi Rahardi et al., 1998. Nilai BEPp pada PKAF yaitu - Rp 19.500.429 dan BEPu sebanyak -3.900,09 takar. BEP pada PKAF bernilai negatif sebab biaya variabel yang dikeluarkan lebih besar daripada pemasukan yang diperoleh, dengan demikian perlakuan PKAF tidak akan pernah mencapai titik impas. Nilai BEPp pada perlakuan PKPF yaitu Rp 34.504.791 dan BEPu sebanyak 6.900,96 takar, artinya titik impas dicapai pada saat penerimaan Rp 34.504.791 dengan nilai produksi 6.900,96 takar, sedangkan pada perlakuan PKSF, titik impas dicapai pada saat penerimaan sebesar Rp 49.229.711 dan produksi sebanyak 9.845,94 takar. 20

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Kotoran Puyuh Fermentasi merupakan perlakuan yang terbaik untuk meningkatkan biomassa dengan hasil panen cacing sutra sebesar 2547,19 gm 2 dari padat tebar awal sebanyak 150 gm 2 atau meningkat sebanyak 16,98 kali dari padat penebaran awal selama 40 hari masa pemeliharaan. Pupuk Kotoran Puyuh fermentasi juga merupakan perlakuan yang terbaik dari aspek ekonomis dengan nilai keuntungan sebesar Rp 38.983.252,- ; RC ratio sebesar 1,588; nilai BEPp yaitu Rp 34.504.791,- ; BEPu yaitu 6.900,96 takar dan tingkat pengembalian modal PP selama 0,41 tahun pada luas lahan efektif sebesar 390 m 2 .

4.2. Saran

Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk mengkaji komposisi pupuk kotoran puyuh yang difermentasi sehingga diketahui kandungan yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan cacing sutra.