Identifikasi Parasetamol Dalam Sediaan Obat Tradisional Bentuk Serbuk Secara Kromatografi Lapis Tipis Dan Spektrofotometri UV-Visible

(1)

IDENTIFIKASI PARASETAMOL DALAM SEDIAAN OBAT

TRADISIONAL BENTUK SERBUK SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS DAN SPEKTROFOTOMETRI UV-VISIBLE

TUGAS AKHIR OLEH :

ROSY ERSHENDY NIM : 082410022

PROGRAM DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

IDENTIFIKASI PARASETAMOL DALAM SEDIAAN OBAT TRADISIONAL BENTUK SERBUK SECARA KROMATOGRAFI LAPIS

TIPIS DAN SPEKTROFOTOMETRI UV

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Pada

Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

ROSY ERSHENDY NIM 082410022

Medan, Maret 2011 Disetujui Oleh: Dosen Pembimbing,

Dra. Fat Aminah, M.Sc.,Apt NIP 195011171980022001

Disahkan Oleh: Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra.,Apt NIP 195311281983031002


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Adapun judul dari tugas akhir ini adalah : “ IDENTIFIKASI PARASETAMOL DALAM SEDIAAN OBAT TRADISIONAL BENTUK

SERBUK SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS DAN

SPEKTROFOTOMETRI UV-VISIBLE ” yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan tugas akhir ini penulis telah banyak mendapat bimbingan, bantuan dan dukungan baik moril maupun spiritual dari berbagai pihak, terutama dari kedua orangtua penulis Syahril dan R. Lina yang telah banyak memberikan semangat, do’a serta motivasi. Dan tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra.,Apt. Selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fat Aminah, M.Sc.,Apt yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis dalam pembuatan tugas akhir ini.

3. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc.,Apt. Selaku koordinator Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi USU.


(4)

4. Ibu Zakiah Kurniati, S.Farm.,Apt. Selaku Koordinator Pembimbing PKL di Balai Besar POM Medan.

5. Ibu Sudarmi, M.Si., Apt Selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah banyak membantu penulis.

6. Bapak dan Ibu beserta seluruh staff di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan Praktek Kerja Lapangan.

7. Bapak dan Ibu dosen beserta seluruh staff program studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultasa Farmasi Universitas Sumatera Utara.

8. Sahabat-sahabat dari penulis Ayu Sari Anastasia, Muhammad Fardiansyah, Afriandi Bakrie, Andre Kurniawan, Predi Suttanto, Vina Budi, Zuanri Faradiba serta teman-teman Analis Farmasi dan Makanan 2008 yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan.

9. Keluarga besar dari penulis Syahreza Pahlevi, Syahru Ramadhan, Syahnadia Amanda, Hafizal Yusra, Novi Indra Putra, Abdul Rivai serta keluarga besar lainnya baik yang di Langsa, Lhoksumawe dan Medan yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis namun tidak mengurangi arti keberadaan mereka.


(5)

Penulis menyadarai bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritiknya yang bersifat membangun. Akhir kata semoga Allah SWT melimpahkan Rahmat dan Berkah-Nya kepada kita semua. Amin.

Medan, Maret 2011 Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

1.3. Manfaat ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Obat Tradisional ... 4

2.2. Serbuk ... 4

2.2.1. Pengolahan Serbuk ... 5

2.2.1.1. Ukuran Partikel ... 5

2.2.2. Serbuk Obat Tradisional ... 6

2.3. Penyakit Reumatik ... 8

2.3.1. Fisiologi Reumatk ... 8

2.3.2. Gejala Umum Reumatik ... 9

a. Nyeri Sendi ... 9

b. Kaku Pada Sendi ... 9


(7)

d. Gangguan Fungsi Sendi ... 10

e. Sendi Tidak Stabil ... 10

f. Sendi Berbunyi ... 10

g. Pengecilan Otot (Atrofi) ... 11

h. Timbul Tofi ... 11

i. Perubahan Fisik di Bagian Jari dan Kuku ... 11

j. Kelainan di Bagian Selaput Lendir ... 11

k. Gangguan Penglihatan ... 12

2.3.3. Pengobatan Reumatik ... 12

2.4. Parasetamol ... 12

2.4.1. Struktur Parasetamol ... 14

2.4.2. Mekanisme Kerja Parasetamol ... 14

2.4.3. Metabolisme ... 15

2.4.4. Efek Samping ... 16

2.5. Identifikasi Parasetamol dalam sediaan Obat Tradisonal bentuk Serbuk secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-Visible ... 16

2.5.1. Kromatografi Lapis tipis ... 16

a. Penotolan Sampel ... 18

b. Pengembangan/Elusi ... 18

c. Deteksi Bercak ... 18

d. Identifikasi dan Harga-harga Rf ... 19


(8)

BAB III METODOLOGI ... 21

3.1. Tempat Pengujian ... 21

3.2. Alat ... 21

3.3. Bahan ... 21

3.4. Prosedur... 21

3.3.1. Larutan Uji ... 21

3.3.2. Larutan Baku ... 22

3.3.3. Identifikasi ... 22

3.3.3.1. Secara Kromatografi Lapis Tipis ... 22

3.3.3.2. Secara Spektrofotometri... 22

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1. Hasil ... 23

4.2. Pembahasan ... 23

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 25

5.1. Kesimpulan ... 25

5.2. Saran ... 25

DAFTAR PUSTAKA ... 26


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan Harga Rf ... 28 Lampiran 2. Hasil Kromatogram Identifikasi Parasetamol pada Jamu ... 29 Lampiran 3. Hasil Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum Baku

Pembanding dan Sampel Secara Spektrofotometri


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bumi Indonesia kaya akan berbagai ragam tanaman, baik tanaman yang bernilai ekonomi tinggi atau tanaman yang tidak bernilai. Semuanya tumbuh subur di Indonesia.

Obat tradisional adalah obat-obatan yang diolah secara tradisional, turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan setempa, baik bersifat magik maupun pengetahuan tradisional (Dirjen POM, 1994).

Jamu adalah obat tradisional karena berasal dari bahan-bahan alami yang berkhasiat khusus untuk penyakit tertentu tergantung dari bahan alami atau tumbuhan apa yang di gunakan. Ada juga menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti empedu kambing atau tangkur buaya (Mursito, 2002; Suyono, 1996).

Akan tetapi, yang paling penting dari semuanya itu kita harus mengetahui khasiat setiap bahan jamu. Selain itu, kita harus dapat meramu bahan-bahan jamu itu agar dapat berkhasiat untuk mengobati jenis penyakit tertentu. Misalnya saja, untuk mengobati radang persendian tulang seperti reumatik, asam urat, maupun pegal linu, bahan apa saja yang di perlukan dan bagaimana takarannya, kita harus tahu dan benar-benar memahaminya. Dengan begitu, kita tidak salah meramu jamu. Jika salah meramu, bisa jadi bukan kesembuhan yang di dapat, melainkan pasien justru bertambah sakit.


(11)

Namun kini diketahui ada beberapa produsen jamu yang ingin produknya memberikan efek terapeutik ataupun khasiat obat yang manjur dan dapat menarik perhatian konsumen, sehingga produsen menambahkan zat kimia sintetik atau bahan kimia obat, yang seharusnya zat kimia atau bahan obat tidak boleh ada di dalam jamu, karena jamu merupakan obat tradisional. Konsumen yang tidak menyadari adanya bahaya dari obat tradisional yang dikonsumsinya, apalagi memperhatikan adanya kontra indikasi penggunaan beberapa bahan kimia bagi penderita penyakit tertentu maupun interaksi bahan obat yang terjadi apabila pengguna obat tradisional sedang mengkonsumsi obat lain, tentunya sangat membahayakan.

Hal ini kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan produsen akan bahaya mengkonsumsi bahan kimia obat secara tidak terkontrol baik dosis maupun cara penggunaannya atau bahkan semata-mata demi meningkatkan penjualan karena konsumen menyukai produk obat tradisional yang bereaksi cepat pada tubuh.

Namun inilah faktanya bahwa warisan tersebut telah di cemari, seperti kasus yang sering terjadi pada jamu reumatik, asam urat, pegal linu. Karena jamu untuk penyakit obat yang tersebut ini sangat sering di butuhkan, ini di sebabkan karena penyakit ini adalah penyakit yang sering di derita oleh orang yang lanjut usia. Sehingga banyak dari produk obat yang berkhasiat mengobati penyakit-penyakit ini di tambahkan bahan kimia obat di dalamnya.

Menyadari hal tersebut, bahwa kandungan bahan kimia obat dalam jamu dapat membahayakan para konsumen, maka penulis ingin sekali melakukan


(12)

“Identifikasi Parasetamol dalam sediaan Obat Tradisonal bentuk Serbuk secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-Visible”. Adapun pengujian dilakukan oleh penulis di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya Parasetamol dalam salah satu sediaan jamu reumatik yang beredar di pasaran. 1.3 Manfaat

Adapun manfaat yang diperoleh dari identifikasi Parasetamol dalam sediaan Obat Tradisional bentuk serbuk secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-Visible adalah agar mengetahui bahwa pada salah satu jamu mengobati reumatik, yang beredar di pasaran mengandung bahan kimia obat parasetamol sehingga jamu tersebut tidak lagi dikonsumsi dan beredar di masyarakat.


(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat Tradisional

Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Depkes RI, 1994).

Bahan-bahan ramuan obat tradisional seperti bahan tumbuh-tumbuhan, bahan hewan, sediaan sarian atau galenik yang memiliki fungsi, pengaruh serta khasiat sebagai obat. Dalam pengertian umum kefarmasian bahan yang di gunakan sebagai obat di sebut simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang di pergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali di nyatakan lain berupa bahan yang telah di keringkan (Depkes RI, 1995). 2.2. Serbuk

Serbuk, berasal dari bahasa latin pulvis adalah sediaan farmasi merupakan campuran obat dan/atau bahan kimia yang halus, terbagi-bagi dalam bentuk kering. Beberapa serbuk di siapkan untuk pemakaiaan dalam (internal), lainnya untuk pemakaian luar (eksternal). Beberapa serbuk di berikan oleh ahli farmasi dalam jumlah besar dan ada juga yang di bagi dalam bagian-bagian terbungkus, pada dasarnya tergantung dosis atau potensi dari sebuk tersebut.

Penggunaan serbuk internal adalah penggunaan serbuk melalui mulut namum untuk di minum dengan cara mencampurkannya dengan air. Memang kurang begitu umum di bandingkan dengan penggunaan kapsul dan tablet, namun


(14)

di senangi oleh sebagian pasien yang tidak sanggup menelan obat dengan bentuk sediaan padat lainnya. Akan tetapi kebanyakan obat dengan bentuk serbuk di gunakan sebagai pemakaiaan eksternal (luar) biasanya pada kulit.

Kebanyakan bahan-bahan obat yang di pakai sekarang terdapat dalam bentuk serbuk atau kristal dan di campur dengan unsure-unsur serbuk lainnya sebagai pengisi dan penghancur sebelum di buat menjadi sediaan padat. Obat serbuk kering juga di tambahkan ke dalam salep, pasta, supositoria, dan bentuk sediaan lain, pada waktu pengolahannya. Demikian pula granul yang merupakan gumpalan-gumpalan baha dari bentuk serbuk di olah menjadi partikel yang dapat mengalir dengan bebas pada dasarnya di gunakan dalam pembuatan tablet dan dalam sediaan yang kering yang di siapkan dalam bentuk cair sebelum di pakai, dengan penambahan bahan pembantu yang tepat sebagai bahan pengisi.

2.2.1 Pengolahan Serbuk 2.2.1.1 Ukuran Partikel

Partikel dari serbuk obat mungkin berbentuk sangat kasar dengan ukuran ± 10.000 mikron atau 10 milimikron atau mungkin juga sangat halus mencapai ukuran koloidal, 1 mikron atau lebih kecil. Agar ukuran partikel serbuk ini mempunyai standar maka USP menggunakan suatu batasan dengan istilah ”Very

Coarse, Coarse, Moderately Coarse, Fine, dan Very Fine” (sangat kasar, kasar,

cukup kasar, halus, dan sangat halus, yang di hubungkan denga bagian serbuk yang mampu melalui lubang-lubang ayakan yang telah di standarisasi yang berbeda-beda ukurannya, pada suatu periode waktu tertentu ketika di adakan pengadukan dan biasanya alat pengaduk yang di gunakan pengaduk ayakan secara


(15)

mekanis. Nomor Standar Ayakan dan masing-masing lubang ayakan di nyatakan dalam milimeter dan mikrometer. Contohnya: Ayakan nomor 2, lubang ayakannya berukuran 9,5 mm (Ansel, 1989).

2.2.2 Serbuk Obat Tradisional

Menurut SK Menkes, 1994 pengertian dari serbuk obat tradisonal adalah sediaan obat tradisonal berupa butiran homogen dengan derajat halus yang cocok; bahan baku nya berupa simplisia sediaan galenik, atau campurannya.

Sediaan serbuk ini penggunaan nya dengan cara diseduh dalam air mendidih. Air seduhan diminum sesuai kebutuhan. Karena serbuk berbahankan dari bahan obat tumbuh-tumbuhan yang di keringkan secara alamiah ataupun merupakan campuran dua atau lebih unsur kimia murni yang di buat menjadi serbuk dalam perbandingan tertentu, maka serbuk harus memiliki persyaratan agar layak edar. Adapun persyaratan serbuk yang akan diedarkan meliputi :

Kadar air : tidak lebih dari 10 %

Angka lempeng total : tidak lebih dari 106. Angka kapang dan khamir : tidak lebih dari 104. Mikroba patogen : negatif

Aflatoksin : tidak lebih dari 30 bpj.

Bahan tambahan : Pengawet, serbuk dengan bahan baku simplisia dilarang ditambahkan bahan pengawet. Serbuk dengan bahan baku sediaan galenik dengan penyari air atau campuran etanol – air bila diperlukan dapat ditambahkan bahan pengawet.


(16)

Pemanis : Gula tebu (gula pasir), gula aren, gula kelapa, gula bit dan pemanis alam lainnya yang belum menjadi zat kimia murni.

Pengisi : Sesuai dengan pengisi yang diperlukan pada sediaan galenik.

Wadah dan Penyimpanan : Da|am wadah tertutup baik; disimpan pada suhu kamar, ditempat kering dan terlindung dari sinar matahari (Depkes RI, 1994)

Serbuk obat-obatan dari bahan tumbuh-tumbuhan atau hewan ditetapkan dengan nomor sebagai berikut :

Very Coarse powder (serbuk sangat kasar atau nomor 8) – semua partikel serbuk

dapat melewati lubang ayakan nomor 8 dan tidak lebih dari 20 % melewati lubang ayakan nomor 60.

Coarse powder (serbuk kasar atau nomor 20) – semua partikel serbuk dapat

melewati lubang ayakan nomor 20 dan tidak lebih dari 40 % yang melewati lubang ayakan nomor 60.

Moderately Coarse powder (serbuk cukup kasar atau nomor 40) – semua partikel

serbuk dapat melewati lubang ayakan nomor 40 dan tidak lebih dari 40 % yang melewati lubang ayakan nomor 80.

Fine powder (serbuk halus atau nomor 60) – semua partikel serbuk dapat

melewati lubang ayakan nomor 60 dan tidak lebih dari 40 % yang melewati lubang ayakan nomor 100.

Very Fine powder (serbuk sangat halus atau nomor 80) – semua partikel serbuk

dapat melewati lubang ayakan nomor 80 dan tidak ada limitasi bagi yang lebih halus (Ansel, 1989).


(17)

2.3 Penyakit Reumatik 2.3.1 Fisiologi Reumatik

Reumatik di definisikan sebagai setiap kondisi yang di sertai rasa nyeri dan kaku pada sistem tulang otot (muskuloskeletal) dan penyakit yang terjadi pada jaringan ikat (connective tissue). Atau lebih sederhananya penyakit ini dapat di artikan sebagai suatu penyakit yang menyerang sendi, otot, dan jaringan tubuh. Ini merupakan istilah dalam ilmu kedokteran, serta dalam ilmu kedokteran penyakit ini di masukkan dalam kelompok penyakit sendi atau reumatologi karena peristiwa mengalirnya mukus ke sendi terjadi pada persendian . Namun jika di kaji dari penyebab terjadinya reumatik, penyakit ini berupa suatu penyakit yang di sebabkan oleh kerusakan rawan sendi. Rawan sendi berfungsi sebagai bantalan untuk meredam benturan maupun beban berat akibat gerakan sendi dan meneruskan beban tadi ke tulang bawah sendi. Rawan sendi terbentuk dari sel rawan sendi yang di sebut kondrosit dan matriks rawan yang sebagian besar terdiri dari air, proteoglikan, dan kolagen. Rawan sendi yang normal selalu mengalami proses kerusakan dan perbaikan secara terus-menerus. Tapi, terkadang kedua proses yang terjadi ini tidak berjalan lancar seperti biasanya, karena di akibatkan oleh rawan sendi yang rusak atau terjadi peradangan. Akibat kerusakan yang terjadi timbul rasa nyeri dan sakit yang bukan kepalang rasanya. Keadaan ini terjadi akibat adanya cairan jahat yang di sebut mukus. Cairan ini mengalir dari otak ke sendi dan struktur lain dalam tubuh. Kondisi ini dalam bahasa Yunani di sebut rheumatismos. Pada umumnya, masyarakat umum menyebutnya


(18)

2.3.2 Gejala Umum Reumatik

Gejala umum dari reumatik adalah nyeri sendi, kaku pada sendi, bengkak pada sendi, gangguan fungsi sendi, sendi tidak stabil, sendi berbunyi, pengecilan otot (Atrofi), timbul tofi, perubahan fisik di bagian jari dan kuku, kelainan di bagian selaput lendir, gangguan penglihatan, gejala lain, seperti: berat badan menurun, rasa lelah dan lesu, susah tidur, aktivitas seksual suami istri terganggu, dan selain itu muncul depresi.

a. Nyeri Sendi

Nyeri sendi merupakan keluhan utama setiap penderita rematik. Jika rematik sampai menyerang bagian syaraf, nyeri sendi dapat menjalar jauh hingga keseliruh tubuh. Nyeri sendi ada dua macam, yaitu nyeri mekanis dan nyeri inflamasi (nyeri radang). Nyeri mekanis biasanya muncul setelah manusia melakukan aktivitasnya yang umum dan nyeri ini akan hilang setelah beristirahat. Sedangkan nyeri inflamasdi biasanya akan timbul di pagi hari ketika seseorang bangun tidur. Nyeri inflamasi ini akan di sertai rasa kaku pada sendi dan rasa nyeri yang hebat bagi penderita ketika awal gerak dari masa istirahatnya (tidur). Biasanya rasa nyeri baru akan hilang setelah beberapa saat melakukan aktivitas dengan bertahap.

b. Kaku pada Sendi

Kaku sendi adalah kaku yang di akibatkan karena terjadinya desakan suatu cairan di sekitar jaringan tubuh yang sedang mengalami peradangan, seperti kapsul sendi, sinovia, atau bursa. Gejala ini di tandai dengan sukarnya persendsian


(19)

untuk di gerakkan. Kaku sendi terjadi pada pagi hari dan akan berkurang setelah beristirahat dari aktivitasnya.

c. Bengkak pada Sendi

Bengkak sendi terjadi karena adanya cairan yang menumpuk di sekitar kapsul sendi, sehingga sendi terasa kaku. Cairan yang menumpuk membuat peradangan pada sendi tengah dalam jaringan lunak dan tulang. Biasanya di tandai dengan memerahnya warna kulit dan terasa panas jika di raba.

d. Gangguan Fungsi Sendi

Gangguan fungsi sendi di sebabkan oleh terjadinya tekukan pada posisi persendian. Tekukan ini sebenarnya adalah kesengajaan oleh si penderita karena ingin menghilangkan rasa nyeri yang di derita.

e. Sendi Tidak Stabil

Ketidak stabila suatu sendi di akibatkan seseorang mengalami trauma atau radang di bagian ligamen dan kasul sendinya. Dan juga bisa di akibatkan oleh kerusakan rawan sendi atau robeknya ligamen. Sendi tidak stabil umum terjadi pada penderita osteoartritis di bagian lutut.

f. Sendi Berbunyi

Sendi akan berbunyi atau terjadi krepitasi ketika sendi sedang di gerakkan. Bunyi yang di timbulkan di bagi menjadi dua, yaitu: bunyi yang kasar dan bunyi yang halus. Bunyi yang kasar, berarti menandakan adanya kerusakan di bagian rawan sendi atau tulang, bunyi bisa di dengar dan di raba sepanjang tulang. Bunyi yang halus menandakan adanya kerusakan atau peradangan di bagian sarung


(20)

tendon, bursa, atau sinovia. Bunyi yang halus ini dapat di dengar dengan bantuan stetoskop.

g. Pengecilan Otot (Atrofi)

Pengecilan otot sekitar sendi yang rusak terjadi jika rematik telah berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama (lebih dari 10 tahun). Akibat adanya atrofi, fungsi sendi akan terganggu.

h. Timbul Tofi

Tofi atau nodul atau benjolan kecil biasanya terjadi dalam jaringan di bawah kulit. Biasanya gejala ini nterjadi pada penderita rematik gout atau

reumatoid artritis. Tofi biasanya muncul di permukaan ekstensor, yaitu di

punggung tangan, siku, tumit belakang, dan sacrum. i. Perubahan Fisik di Bagian Jari dan Kuku

Kelaina hanya terjadi pada beberapa jenis reumatik yang bersifat sistemik. Biasanya, kuku menjadi berlubang atau jari tangan membesar. Keadaan ini terjadi karena adanya tofi yang semakin membesar, menimbulkan koreng, dan akhirnya mengeluarkan suatu cairan kental seperti kapur.

j. Kelainan di Bagian Selaput Lendir

Kelainan ini terjadi karena adanya ulkus di bagian rongga mulut, kelamin, dan selaput lendir hidung. Akibat yang di timbulkan oleh adanya kelainan ini adalah berupa gannguan saat menelan makanan, gannguan aktivitas seksual, dan bernafas.


(21)

k. Gangguan Penglihatan

Gejala hanya terjadi pada penderita atritis reumatoid. Gejalanya berupa peradangan di permukaan bola mata yang berwarna putih atau episkleritis (Utami, 2003).

2.3.3 Pengobatan Reumatik

Pengobatan reumatik biasanya lebih dipercaya dengan ramuan tradisional di bandingkan berobat dengan bantuan dokter. Contohnya adalah ramuan dari beberapa simplisia seperti; belimbing wuluh yang di tumbuk halus, di campur dengan daun cempaka, cengkeh (biji), lada hitam serta tambahan perasan air jeruk dan sedikit minyak kayu putih. Setelah semua bahan di campur gosokkan pada bagian yang terasa nyeri sambil di urut-urut dengan perlahan, selama 2-3 kali sehari.

Ada juga alternatif lain yang juga sangat efektif, yaitu ramuan dari tumbuhan pegagan (Centella asiatica). Dengan cara merebus semua bagian tanaman, kemudian air rebusannya di minum 2-3 kali sehari. Pegagan ini bersifat antiinflamasi sehingga dapat menyembuhkan peradangan (Lasmadiwati, 2003). 2.4 Parasetamol

Parasetamol (Acetamenopen) adalah turunan dari senyawa sintetis dari p-aminofenol yang merupakan metabolit aktif dari fenasetin, namun tidak memiliki sifat karsinogenik (menyebabkan kanker) seperti halnya fenasetin. Khasiatnya analgetis dan antipiretis, tetapi tidak anti radang. Dewasa ini pada umumnya di anggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri).Tetapi jika senyawa ini bila dikombinasikan dengan obat


(22)

anti inflamasi non steroid (NSAID) atau obat pereda nyeri opioid, dapat digunakan untuk mengobati nyeri yang lebih parah. (Tan dan Kirana, 2002; Hardman, 2001)

Namun senyawa obat parasetamol ini tidak seperti obat pereda nyeri lainnya (aspirin dan ibuprofen), tidak digolongkan ke dalam obat anti inflamasi non steroid (NSAID) karena memiliki khasiat anti inflamasi yang relatif kecil karena itu dianggap aman. Tapi pada dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati. Risiko kerusakan hati ini diperparah apabila pasien juga meminum alkohol. Penelitian pada tahun 2008 membuktikan bahwa pemberian parasetamol pada usia dasarnya parasetamol memang senyawa obat yang aman di gunakan untuk antipiretis maupun antiinflamasi (anti nyeri/radang). Bahkan ibu yang sedang hamil pun bisa dengan aman mengkonsumsi parasetamol dengan aturan pakai yang telah di tentukan (Hardman, 2001; Foye, 1995)

Parasetamol memiliki sebuah cincin benzena, tersubstitusi oleh satu gugus hidroksil dan atom nitrogen dari gugus amida pada posisi para. Senyawa ini dapat disintesis dari senyawa asal fenol yang dinitrasikan menggunakan asam sulfat dan natrium nitrat. Parasetamol dapat pula terbentuk apabila senyawa 4-aminofenol direaksikan dengan senyawa asetat anhidrat (Hardman, 2001).


(23)

2.4.1 Struktur Parasetamol

Nama Kimia : N-acetyl-p-aminophenol atau p-asetamedofenol atau 4’- hidroksiasetanilida

Rumus Empiris : C8H9NO2 Berat Molekul : 151,16

Pemerian : Kristal putih tidak berbau atau serbuk kristalin dengan rasa pahit, jarak lebur atau titik lebur pada 169o-172o Kelarutan : 1 g dapat larut dalam kira-kira 70 ml air pada suhu 25oc,

1 g larut dalam 20 ml air mendidih, dalam 7 ml alkohol, dalam 13 ml aseton, dalam 50 ml kloroform, dalam 40 ml gliserin, dalam 9 ml propilenglikol, dan larut dalam arutan alkali hidroksida. Tidak larut dalam benzen dan eter. Larutan jenuh mempunyai pH kira-kira 6. pKa= 9,51 (Connors, 1992; Ditjen POM, 1995).

2.4.2 Mekanisme Kerja Parasetamol

Mekanisme kerja yang sebenarnya dari parasetamol masih menjadi bahan perdebatan. Parasetamol menghambat produksi prostaglandin (senyawa penyebab inflamasi), namun parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi. Telah dibuktikan bahwa parasetamol mampu mengurangi bentuk teroksidasi


(24)

enzim siklooksigenase (COX), sehingga menghambatnya untuk membentuk senyawa penyebab inflamasi. Sebagaimana diketahui bahwa enzim siklooksigenase ini berperan pada metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin H2, suatu molekul yang tidak stabil, yang dapat berubah menjadi berbagai senyawa pro-inflamasi. Kemungkinan lain mekanisme kerja parasetamol ialah bahwa parasetamol menghambat enzim siklooksigenase seperti halnya aspirin, namun hal tersebut terjadi pada kondisi inflamasi, dimana terdapat konsentrasi peroksida yang tinggi. Pada kondisi ini oksidasi parasetamol juga tinggi, sehingga menghambat aksi anti inflamasi. Hal ini menyebabkan parasetamol tidak memiliki khasiat langsung pada tempat inflamasi, namun malah bekerja di sistem syaraf pusat untuk menurunkan temperatur tubuh, dimana kondisinya tidak oksidatif (Hardman, 2001; Munaf, 1994; Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007)

2.4.3 Metabolisme

Metabolisme parasetamol terjadi di hati. Metabolit utamanya meliputi senyawa sulfat yang tidak aktif dan konjugat glukoronida yang dikeluarkan lewat ginjal. Hanya sedikit jumlah parasetamol yang bertanggungjawab terhadap efek toksik (racun) yang diakibatkan oleh metabolit NAPQI (N-asetil-p-benzo-kuinon imina). Bila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI ini segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik dan segera dikeluarkan melalui ginjal. Namun apabila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi, konsentrasi metabolit beracun ini menjadi jenuh sehingga menyebabkan kerusakan hati (Hardman, 2001)


(25)

2.4.4 Efek Samping

Efek samping adalah hal yang bukan tidak jarang terjadi pada penggunaan/konsumsi senyawa obat, begitu pula dengan parasetamol. Parasetamol menimbulkan efek sampin seperti; reaksi hipersensitivitas dan kelainan pada darah (anemia hemolitik). Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, reaksi alergi: jarang terjadi, berupa eritem, urtikaria, atau bila lebih berat dapat timbul demam dan lesi mukosa (Tan dan Kirana, 2002). 2.5 Identifikasi Parasetamol dalam sediaan Obat Tradisonal bentuk

Kapsul secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-Visible

2.5.1 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi merupakan teknik yang paling sering di gunakan dalam bidang kimia analisis karena teknik ini dapat di lakukan untuk keperluan analisis, baik kualitatif maupun kuantitatif, atau preparatif bagi bidang farmasi, ataupun industri. Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang menggunakan dua fase, yaitu: fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase).

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis di kembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. Kromatografi ini merupakan bentuk kromatografi planar. Berbeda dengan kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau di kemas di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang di dukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat pelastik. Meskipun demikian kromatografi planar ini dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom.


(26)

Penggunaan fase gerak atau sebagai pelarut dimana pelarut ini akan bergerak sepanjang fase diam di karenakan oleh dua pengaruh, yaitu 1). Pengaruh kapiler ini terjadi pada metode pengembangan secara menaik (ascending), 2). Pengaruh gravitasi ini terjadi pada pengelusian secara menurun (descending).

Fase diam pada Kromatografi Lapis Tipis adalah merupakan suatu penyerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efesiensinya dan resolusinya. Biasanya yang paling sering di gunakan adalah silika dan serbuk selulosa. Penyerap biasanya di gunakan untuk melapisi pada permukaan kaca, gelas, atau aluminium dengan ketebalan 250 µ m, atau biasa di sebut plat/lempeng KLT.

Fase gerak pada KLT biasanya dapat di pilih dari pustaka, tetapi lebih sering di pilih dengan cara mencoba-coba karena waktu yang di perlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana adalah sistem 2 pelarut organik karena daya elusi camuran dari dua pelarut ini dapat mudah di atur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah kriteria yang harus di penuhi oleh fase gerak ialah: Fase gerak harus memiliki kemurnian yang sanagat tinggi, karena KLT sangat sensitif, Daya elusi fase gerak harus di atur agar harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk pemisahan yang maksimal, untuk pemisahan senyawa yang polar yang biasanya fase diamnya berupa silika gel, maka polaritas dari fase gerak sangat menentukan kecepatan elusi/pengembangan yang berarti juga akan menentukan nilai Rf (Rohman, 2009)


(27)

a. Penotolan Sampel

Kromatografi yang di lakukan dengan hasil yang optimal juga di pengaruhi oleh faktor penotolan. Penotolan yang baik adalah menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin sehingga akan di dapati hasil yang optimal. Sebagaimana dalam prosedur jika sampel yang di gunakan terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi. Umumnya volume penotolan adalah 15 µ l. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak menyebar dan puncak ganda. Penotolan secara otomatis lebih sering di pilih, terutama jika volume sampel lebih dari 15 µ l.

b. Pengembangan/Elusi

Pengembangan adalah tahap di mana di lakukan setelah melakukan penotolan sampel dan baku, jika menggunakan baku. Pengembangan/elusi

biasanya di lakukan dalam sebuah bejana kromatografi yang sebelumnya telah di jenuhi oleh uap pelarut/fase gerak. Biasanya plat sebelum di totol di beri jarak untuk titik penotolan ialah berjarak 1-2 cm. Jadi ketika plat di masukkan ke dalam bejana, tinggi fase gerak berada di bawah titik penotolan. Bejana kromatografi harus di tutup rapat.

c. Deteksi Bercak

Bercak pemisahan pada KLT umunya merupakan bercak yang tidak berwarna. Sehingga untuk penentuannya dapat di lakukan dengan cara kimia, fisika, maupun biologi. Cara kimia adalah cara yang lebih sering di gunakan yaitu dengan cara mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi tertentu melalui


(28)

penyemprotan sehingga bercak tampak dengan jelas. Cara fisika adalah mendeteksi bercak dengan menggunakan flurosensi sinar ultraviolet.

d. Identifikasi dan Harga-harga Rf

Identifikasi dari senyawa-senyawa yang telah di pisahkan pada lapisan tipis lebih baik di kerjakan dengan pereaksi kimia dan reaksi-reaksi warna. Namun Lazimnya untuk identifikasi menggunakan harga Rf, Walaupun harga Rf dari KLT kurang tepat di bandingkan dengan harga RF yang di peroleh dari kromatografi kertas.

Definisi harga RF adalah jarak yang di gerakkan oleh senyawa dari titik asal di bagi dengan jarak yang di gerakkan oleh pelarut dari titik asal. Harga Rf untuk senyawa murni dapat di bandingkan dengan harga senyawa standard. Senyawa standard biasanya memiliki sifat-sifat kimia yang mirip dengan senyawa yang di pisahkan pada kromatogram.

Harga Rf sangat di tentukan oleh kelancaran pergerakan noda dalam KLT, adapun faktor yang mempengaruhi pergerakan noda ialah: 1). Struktur kimia dari senyawa yang di pisahkan, 2). Sifat dari penyerap dan derajat aktifitasnya, 3). Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap, 4). Pelarut dan derajat kemurniannya, 5). Derajat kejenuhan dari uap pelarut dalam bejana elusi, 6). Teknik percobaan, 7). Jumlah sampel yang di gunakan, 8). Suhu, 9). Kesetimbangan (Sastromidjojo, 1985)

2.5.2 Spektrofotometri UV-Visible

Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang di absorbsi oleh sampel.


(29)

Spektrofotometer UV-Vis biasanya di gunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks didalam larutan. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm, sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm.Sebagai sumber cahaya biasanya di gunakan lampu hydrogen atau deuterium untuk pengukuran UV dan lampu tungsten untuk pengukuran pada cahaya tampak.

Panjang gelombang adalah jarak antara satu lembah dan satu puncak. Panjang gelombang dari sumber cahaya akan di bagi oleh pemisah panjang gelombang, seperti monokromator. Pada spektrofotometer ada juga istilah frekwensi yang memang akrab dengan panjang gelombang, frekwensi adalah kecepatan cahaya di bagi dengan panjang gelombang (Dachriyanus, 2004)


(30)

BAB III

METODOLOGI

3.1 Tempat Pengujian

Identifikasi Parasetamol dalam sediaan Obat Tradisonal bentuk Serbuk secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-Visible pengujiannya dilakukan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan yang bertempat di jalan Willem Iskandar Pasar V Barat I No.2 Medan.

3.2 Alat

Alat yang digunakan adalah Erlenmeyer, Gelas Ukur, Vial, Pipet Tetes, Corong Pisah, Corong, Chamber, Kertas Saring, Hair Drier, Batang Pengaduk, (alat spektro)

3.3 Bahan

Bahan yang digunakan adalah NaOH 2N, HCl 0,2N, Kloroorm, Aseton, Etanol, Akuadest, Sampel Jamu, Baku Pembanding Parasetamol 0,1%

3.4 Prosedur 3.4.1 Larutan Uji

Sampel jamu dikeluarkan dikeluarkan dari bungkusnya, lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Ditambahkan 50 ml akuades, diaduk sampai larut. Lalu ditambahkan NaOH 2 N sampai pH 9-10. Test pH larutan dengan kertas indikator. Dikocok larutan selama 30 menit dengan alat shaker lalu disaring dengan corong pisah. Ditambahkan HCl 0,2 N sampai pH 3-4. Cek pH dengan kertas indikator. Ditambahkan 20 ml Kloroform, dikocok di dalam corong pisah. Setelah memisah


(31)

kali. Hasil ekstraksi dikumpulkan dalam beaker gelas. Hasil ekstraksi dikeringkan menggunakan hair dryer. Dilarutkan ekstrak kering dengan menggunakan etanol 5 ml. (A)

3.4.2 Larutan Baku

Dibuat larutan parasetamol 0,1% b/v dalam etanol. Ditimbang 10 mg parasetamol lalu dilarutkan dalam 10 ml etanol. (B)

3.4.3 Identifikasi

3.4.3.1 Secara Kromatografi Lapis Tipis

Larutan Uji dan Larutan Baku masing-masing ditotolkan secara terpisah dan dilakukan kromatografi lapis tipis sebagai berikut :

Lempeng : Silika gel 60 F 254 Eluen : Kloroform : Aseton (4:1) Penjenuhan : Dengan kertas saring Volume penotolan : 50 µl

Jarak rambat : 15 cm

Penampak bercak : Cahaya ultraviolet 254 nm 3.4.3.2 Secara Spektrofotometri

Bercak baku dan bercak senyawa pada plat KLT yang memiliki harga Rf sama dikerok. Hasil kerokan dimasukkan kedalam erlenmeyer terpisah. Larutkan masing-masing dalam 5 ml etanol. Kemudian filtrat nya disaring. Filtrat diperiksa secara spektrofotometri pada panjang gelombang 200-300. Dengan cara yang sama dilakukan spektrofotometri menggunakan larutan etanol sebagai pelarut.


(32)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Pada pengujian identifikasi bahan kimia obat pada salah satu sediaan jamu reumatik yang beredar dipasaran dengan metode Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-Visible, didapatkan hasil bahwa sediaan jamu yang diperiksa positif mengandung bahan kimia obat (BKO) parasetamol. Hal tersebut dilihat dari kromatogram dan harga Rf yang didapat. Dimana harga Rf untuk baku parasetamol ialah 0,28, sedangkan harga Rf untuk sampel jamu yang diperiksa ialah 0,253.

Bentuk kromatogram (hasil kromatografi) perhitungan harga Rf serta spektrum dari Spektrofotometri UV-Visible dapat dilihat pada lampiran.

4.2. Pembahasan

Dari hasil identifikasi yang telah dilakukan terhadap salah satu sediaan jamu reumatik yang beredar di pasaran, diketahui bahwa pada jamu tersebut positif mengandung bahan kimia obat yaitu parasetamol.

Bahan kimia obat seperti parasetamol sering ditambahkan oleh produsen-produsen jamu karena sediaan nya sendiri memang murah dan mudah di dapat. Parasetamol sering ditambahkan pada klaim jamu antiinflamasi seperti pegal linu, reumatik, asam urat maupun encok.

Memang, pada umumnya parasetamol dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, juga untuk pengobatan mandiri. Tetapi fakta nya, parasetamol


(33)

sendiri tidak ditujukkan sebagai anti radang karena sangat kecil khasiatnya sebagai anti radang. Namun, jika senyawa ini bila dikombinasikan dengan obat anti inflamasi non steroid (NSAID) atau obat pereda nyeri opioid, dapat digunakan untuk mengobati nyeri yang lebih parah (Tan dan Kirana, 2002; Hardman, 2001; Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007).


(34)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil pengujian identifikasi bahan kimia obat pada sediaan Obat Tradisonal bentuk serbuk secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-Visible, dimana jamu yang diperiksa ialah jamu reumatik, diketahui bahwa pada sediaan jamu tersebut positif mengandung bahan kimia obat yaitu Parasetamol.

Sampel jamu reumatik tidak memenuhi persyaratan karena mengandung parasetamol.

5.2 Saran

Diharapkan agar dilakukan pengujian kembali terhadap sediaan jamu-jamu reumatik lainnya. Hal tersebut dilakukan agar kita dapat mengetahui bahan kimia obat apalagi yang mungkin ada ditambahkan pada klaim jamu reumatik selain parasetamol.

Sampel-sampel yang diperiksa juga hendaknya di ambil dari berbagai daerah. Dan bila ditemukan hasil yang positif pada sediaan-sediaan jamu tersebut, diharapkan pemerintah atau badan-badan yang berwenang mememberikan peringatan serta penarikan sediaan dari pasaran jika perlu. Hal tersebut untuk mencegah semakin maraknya sediaan jamu yang mengandung bahan kimia obat yang berbahaya bagi konsumen.


(35)

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI Press. Hal. 201-203

Connors, K.A. (1992). Stabilitas Kimiawi Sediaan Farmasi. Semarang : IKIP Semarang Press. Hal. 197

Dachriyanus. (2004). Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi

Edisi I. Padang : Penerbit Andalas University Press. Hal. 13

Departemen Farmakologi dan Terapeutik. (2007). Farmakologi dan Terapi Edisi

5. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI. Hal. 235-239.

Depkes RI. (1994). Persyaratan Obat Tradisional. Jakarta : Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia Jilid IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dirjen POM RI. (1994). Petunjuk Pelaksanaan Pembuatan Obat Tradisional

Yang Baik (CPOTB). Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : DEPKES RI. Hal. 649.

Foye, William O. (1995). Principle Medical Chemistry Fourth Edition. New York : Williams and Wilkins Publisher. Page. 544-545


(36)

Hardman, J.G. (2001). The Pharmacological Basis of Therapeutics 10th Edition. New York : McGraw Hill Publisher. Page. 687-731.

Lasmadiwati, Endah. (2003). Pegagan. Jakarta : Penebar Swadaya. Hal. 13. Munaf, Sjamsuir. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi Bagian II. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 183-184.

Mursito, B. (2002). Ramuan Tradisional Cetakan I. Jakarta : Penerbit Swadaya. Hal. 24

Rohman, Abdul. (2009). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 252, 261-262.

Sastrohamidjojo, Hardjono. (1985). Kromatografi. Yogyakarta : Penerbit Liberty. Hal. 1-2, 34-36.

Suyono, H. (1996). Obat Tradisional Jamu di Indonesia. Surabaya : Penerbit Airlangga. Hal. 25, 53.

Tan, T. H. dan Kirana. (2002). Obat-obat Penting Khasiat Penggunaan dan

Efek-efek Sampingnya Edisi V. Jakarta : PT.Elex Media Komputindo. Hal.

295-297.

Utami, Prapti. (2003). Tanaman Obat Untuk Mengatasi Rematik dan Asam Urat. Tangerang : PT Agromedia Pustaka. Hal.


(37)

Lampiran 1. Perhitungan Harga Rf

Harga Rf : jarak titik pusat bercak / jarak rambat eluen

Baku Parasetamol : 0,28 15

2 , 4

= Sampel Jamu : 0,253

15 8 , 3


(38)

Lampiran 2. Hasil Kromatogram Identifikasi Parasetamol pada Jamu

Ket :

A = Baku Pembanding Parasetamol


(39)

Lampiran 3. Hasil Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum Baku Pembanding dan Sampel Secara Spektrofotometri UV-Visible


(40)

(41)

(1)

Hardman, J.G. (2001). The Pharmacological Basis of Therapeutics 10th Edition. New York : McGraw Hill Publisher. Page. 687-731.

Lasmadiwati, Endah. (2003). Pegagan. Jakarta : Penebar Swadaya. Hal. 13.

Munaf, Sjamsuir. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi Bagian II. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 183-184.

Mursito, B. (2002). Ramuan Tradisional Cetakan I. Jakarta : Penerbit Swadaya. Hal. 24

Rohman, Abdul. (2009). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 252, 261-262.

Sastrohamidjojo, Hardjono. (1985). Kromatografi. Yogyakarta : Penerbit Liberty. Hal. 1-2, 34-36.

Suyono, H. (1996). Obat Tradisional Jamu di Indonesia. Surabaya : Penerbit Airlangga. Hal. 25, 53.

Tan, T. H. dan Kirana. (2002). Obat-obat Penting Khasiat Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya Edisi V. Jakarta : PT.Elex Media Komputindo. Hal. 295-297.


(2)

Lampiran 1. Perhitungan Harga Rf

Harga Rf : jarak titik pusat bercak / jarak rambat eluen

Baku Parasetamol : 0,28 15

2 , 4

= Sampel Jamu : 0,253

15 8 , 3


(3)

Lampiran 2. Hasil Kromatogram Identifikasi Parasetamol pada Jamu


(4)

Lampiran 3. Hasil Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum Baku Pembanding dan Sampel Secara Spektrofotometri UV-Visible


(5)

(6)