Kajian Toksikopatologi Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus) pada Pemberian Ekstrak Tanaman Obat Antiplasmodium Ailanthus altissima.

KAJIAN TOKSIKOPATOLOGI HATI DAN GINJAL MENCIT
(Mus musculus) PADA PEMBERIAN EKSTRAK
TANAMAN OBAT ANTIPLASMODIUM
Ailanthus altissima

CHAIRUNNISA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008

ABSTRACT
CHAIRUNNISA. Toxicopathology examination of mouse’s (Mus musculus) liver
and kidney on antiplasmodium medicinal plant Ailanthus altissima extracts.
Supervised by DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and PRAPTIWI.
The aim of this research was to find out the toxicity effect from various
level doses of the Ailanthus altissima extracts in liver and kidney of the mouse.
The research used five groups of five mice, which were adapted for two weeks
before using in this experiment. During adaptation period, all the mice received
antibiotic and antihelminthic to avoid any unspecific lesion due to other agent.
Four groups were received A. altissima extract at various level doses, of 1, 10,

100, and 1000 mg/kg body weight, and one group of mice acted as control which
received Carboxymethocellulose (CMC-Na). After receiving A. altissima for
seven days the mice then were euthanized with over dose of ether. The liver and
kidney were taken and fixed within Buffer Netral Formalin (BNF) 10% solution.
Histopathology slides were processed, stained with Hematoxylline Eosin and
observed with video photo microscope. The lesion of cell death and degeneration
of hepatocytes and epithelium of kidney proximal tubule were counted. The
glomerular lesion such atrophy and protein sedimentation were also counted. The
percentage of the lesions were analyzed statistically with the ANOVA test,
continued with Duncan test. The result of this research showed that the dose of 10,
100, and 1000 mg/kg BW A. altissima extract for seven days did not cause any
alteration on the liver, while increased the kidneys’s tubules epithelial cells
lesion. This study suggested, the consumption of A. altissima as antiplasmodium
should be cautions because the plant gave the toxic effect in kidney.
Keyword: antiplasmodium, Ailanthus altissima extracts, medicinal plant, liver and
kidney toxicopathology, mouse (Mus musculus)

ABSTRAK
CHAIRUNNISA. Kajian Toksikopatologi Hati dan Ginjal Mencit (Mus
musculus) Pada Pemberian Ekstrak Tanaman Obat Antiplasmodium Ailanthus

Altissima. Dibimbing oleh DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan
PRAPTIWI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat toksik dari dosis bertingkat
ekstrak Ailanthus altissima pada hati dan ginjal mencit. Penelitian menggunakan
lima kelompok mencit yang terdiri atas empat kelompok yang diberi ekstrak A.
altissima dengan dosis bertingkat, yaitu dosis 1, 10, 100, dan 1000 mg/kg BB,
serta satu kelompok mencit sebagai kontrol yang diberi Carboxymethocellulose
(CMC-Na). Masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas lima ekor mencit.
Pemberian ekstrak A. altissima dilakukan selama tujuh hari terhadap mencitmencit tersebut. Sebelumnya dilakukan adaptasi dengan pemberian pakan secara
teratur serta pemberian obat cacing dan antibiotik. Mencit kemudian dieuthanasi
dengan eter dan diambil organ hati dan ginjalnya. Sampel organ difiksasi dalam
Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, kemudian dilakukan proses pembuatan
sediaan histopatologi, yang diberi pewarnaan Hematoksilin Eosin dan dilakukan
pengamatan dengan video foto mikroskop. Pengamatan histopatologi dilakukan
dengan menghitung persentase degenerasi dan kematian sel pada sel tubuli
proksimal ginjal dan sel hati di sekitar vena porta dan vena sentralis, persentase
endapan protein pada tubuli proksimal ginjal, serta persentase atrofi dan endapan
protein pada glomerulus. Hasil yang didapat dianalisis secara statistik dengan
menggunakan uji ANOVA, dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak A. altissima pada dosis 10, 10, dan 1000

mg/kg BB selama 7 hari tidak menimbulkan perubahan pada hati, tetapi
meningkatkan perubahan patologi pada epitel tubuli ginjal. Oleh karena itu, jika
obat ini digunakan oleh penderita malaria, disarankan untuk berhati-hati karena
memberi efek toksik pada ginjal.
Kata kunci: antiplasmodium, ekstrak Ailanthus altissima, tanaman obat,
toksikopatologi hati dan ginjal, mencit (Mus musculus)

KAJIAN TOKSIKOPATOLOGI HATI DAN GINJAL MENCIT
(Mus musculus) PADA PEMBERIAN EKSTRAK
TANAMAN OBAT ANTIPLASMODIUM
Ailanthus altissima

CHAIRUNNISA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

: Kajian Toksikopatologi Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus)
pada Pemberian Ekstrak Tanaman Obat Antiplasmodium
Ailanthus altissima.
: Chairunnisa
: B 04104104

Judul

Nama
NRP

Disetujui

drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD
Pembimbing Penelitian I


Dr. Praptiwi, M.Agr
Pembimbing Penelitian II

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal lulus:

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 14 November 1985 di Tangerang, Banten.
Penulis adalah anak kelima dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak H.M.
Syafruddin, MSc. dan Ibu Hj. Ratu Shalhah.
Pendidikan formal dimulai dari pendidikan taman kanak-kanak yang
diselesaikan pada tahun 1992 di TK Pertiwi Tangerang. Kemudian pendidikan
dasar yang diselesaikan pada tahun 1998 di SDN 18 Tangerang. Selanjutnya
pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SMPN 1
Tangerang dan pendidikan lanjutan menengah atas yang diselesaikan pada tahun

2004 di SMU Islamic Village Tangerang.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Fakultas
Kedokteran Hewan melalui jalur USMI pada tahun 2004. Selama perkuliahan
penulis aktif dalam Himpunan Minat dan Profesi (HIMPRO) Ruminansia dan
menjadi sekretaris HIMPRO HKSA pada tahun ajaran 2006/2007.

KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah S.W.T atas segala rahmat dan hidayah-Nya
sehingga skripsi yang berjudul Kajian Toksikopatologi Hati dan Ginjal Mencit
(Mus musculus) pada Pemberian Ektrak Tanaman Obat Antiplasmodium
Ailanthus altissima telah selesai.
Dengan selesainya skripsi ini,penulis mengucapkan terima kasih sebesarbesarnya kepada :
1. Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD dan Dr. Praptiwi, M.Agr selaku
dosen pembimbing atas segala arahan, saran, bimbingan, kesabaran, dan
waktu yang diluangkan selama proses penulisan skripsi ini.
2. Dr.drh.Eva Harlina, MSi selaku dosen penilai dan Dr.drh.Hj.Umi
Cahyaningsih, MS selaku dosen penguji atas saran, kritik, dan
penilaiannya.
3. Seluruh staf dan teknisi di Bagian Patologi, Departemen Klinik,
Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang membantu

penulis selama penelitian.
4. Drh. Tutuk Astyawati, MS selaku dosen pembimbing akademik atas
segala bimbingan yang telah diberikan selama perkuliahan.
5. Kedua orang tua: Bapak H.M Syafruddin, MSc Dan Ibu Hj. Ratu Shalhah
serta seluruh keluarga yang telah memberikan kasih sayang, doa dan
dukungan, moril serta materiil.
6. Sahabat setia yang berjuang bersama dalam penyelesaian tugas akhir ini,
Dewi Ayu Agustiyanti.
7. Sahabat terbaik (Inge, Dhe, Ata, Iya, Na) atas kesetiaannya dalam suka
maupun duka, serta semangat yang selalu diberikan selama 4 tahun ini.
8. Asteroidea ”41” dan almamater tercinta.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Bogor, November 2008
Chairunnisa

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………… ix
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………...


x

DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................

xi

PENDAHULUAN ………………………………………………………
Latar Belakang ...............................................................................
Tujuan Penelitian ...........................................................................
Manfaat Penelitian .........................................................................
Hipotesa .........................................................................................

1
1
2
2
2

TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................

Ailanthus altissima ........................................................................
Habitat ...............................................................................
Morfologi ..........................................................................
Taksonomi .........................................................................
Khasiat dan kegunaan ........................................................
Sifat toksik tanaman ..........................................................
Tinjauan Tentang Penyakit Malaria ..............................................
Siklus Hidup Plasmodium ……………………………………….
Mekanisme Kerja Obat Antiplasmodium ………………………..
Mencit (Mus musculus) …………………………………………..
Biologi Mencit …………………………………………...
Anatomi dan Fisiologi Hati ………………………………………
Histologi Hati .................................................................................
Intoksikasi Hati ..............................................................................
Anatomi dan Fisiologi Ginjal ........................................................
Histologi Ginjal .............................................................................
Intoksikasi Ginjal ..........................................................................

3
3

3
4
5
5
6
7
7
8
9
10
11
12
15
18
19
20

MATERI DAN METODE …………………………………………….
Waktu dan tempat .........................................................................
Bahan dan alat ..............................................................................

Metode penelitian .........................................................................

23
23
23
23

HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
Pengaruh Pemberian Ekstrak Ailanthus altissima terhadap
Perubahan Histopatologi Hati Mencit ...........................................
Perbandingan Lesio Hepatosit di Sekitar Vena Porta dan
Vena Sentralis Akibat Pemberian Ekstrak A. altissima ……........
Pengaruh Pemberian Ekstrak A. altissima Terhadap
Perubahan Histopatologi Organ Ginjal Mencit …………….........

26
26
32
35

KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
Kesimpulan ...................................................................................
Saran ............................................................................................

43
43
43

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................

44

LAMPIRAN .............................................................................................

47

DAFTAR TABEL
Halaman
1

2

3

4

Persentase lesio hepatosit mencit yang diberi ekstrak
Ailanthus altissima ………………………………………………

27

Persentase lesio hepatosit pada vena porta dan vena sentralis
yang diberi ekstrak A. altissima ....................................................

33

Hasil pemeriksaan histopatologi glomerulus mencit yang diberi
ekstrak A. altissima ………………...............................................

37

Hasil pemeriksaan histopatologi tubuli ginjal mencit yang
diberi ekstrak A. altissima …………………………….................

37

KAJIAN TOKSIKOPATOLOGI HATI DAN GINJAL MENCIT
(Mus musculus) PADA PEMBERIAN EKSTRAK
TANAMAN OBAT ANTIPLASMODIUM
Ailanthus altissima

CHAIRUNNISA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008

ABSTRACT
CHAIRUNNISA. Toxicopathology examination of mouse’s (Mus musculus) liver
and kidney on antiplasmodium medicinal plant Ailanthus altissima extracts.
Supervised by DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and PRAPTIWI.
The aim of this research was to find out the toxicity effect from various
level doses of the Ailanthus altissima extracts in liver and kidney of the mouse.
The research used five groups of five mice, which were adapted for two weeks
before using in this experiment. During adaptation period, all the mice received
antibiotic and antihelminthic to avoid any unspecific lesion due to other agent.
Four groups were received A. altissima extract at various level doses, of 1, 10,
100, and 1000 mg/kg body weight, and one group of mice acted as control which
received Carboxymethocellulose (CMC-Na). After receiving A. altissima for
seven days the mice then were euthanized with over dose of ether. The liver and
kidney were taken and fixed within Buffer Netral Formalin (BNF) 10% solution.
Histopathology slides were processed, stained with Hematoxylline Eosin and
observed with video photo microscope. The lesion of cell death and degeneration
of hepatocytes and epithelium of kidney proximal tubule were counted. The
glomerular lesion such atrophy and protein sedimentation were also counted. The
percentage of the lesions were analyzed statistically with the ANOVA test,
continued with Duncan test. The result of this research showed that the dose of 10,
100, and 1000 mg/kg BW A. altissima extract for seven days did not cause any
alteration on the liver, while increased the kidneys’s tubules epithelial cells
lesion. This study suggested, the consumption of A. altissima as antiplasmodium
should be cautions because the plant gave the toxic effect in kidney.
Keyword: antiplasmodium, Ailanthus altissima extracts, medicinal plant, liver and
kidney toxicopathology, mouse (Mus musculus)

ABSTRAK
CHAIRUNNISA. Kajian Toksikopatologi Hati dan Ginjal Mencit (Mus
musculus) Pada Pemberian Ekstrak Tanaman Obat Antiplasmodium Ailanthus
Altissima. Dibimbing oleh DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan
PRAPTIWI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat toksik dari dosis bertingkat
ekstrak Ailanthus altissima pada hati dan ginjal mencit. Penelitian menggunakan
lima kelompok mencit yang terdiri atas empat kelompok yang diberi ekstrak A.
altissima dengan dosis bertingkat, yaitu dosis 1, 10, 100, dan 1000 mg/kg BB,
serta satu kelompok mencit sebagai kontrol yang diberi Carboxymethocellulose
(CMC-Na). Masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas lima ekor mencit.
Pemberian ekstrak A. altissima dilakukan selama tujuh hari terhadap mencitmencit tersebut. Sebelumnya dilakukan adaptasi dengan pemberian pakan secara
teratur serta pemberian obat cacing dan antibiotik. Mencit kemudian dieuthanasi
dengan eter dan diambil organ hati dan ginjalnya. Sampel organ difiksasi dalam
Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, kemudian dilakukan proses pembuatan
sediaan histopatologi, yang diberi pewarnaan Hematoksilin Eosin dan dilakukan
pengamatan dengan video foto mikroskop. Pengamatan histopatologi dilakukan
dengan menghitung persentase degenerasi dan kematian sel pada sel tubuli
proksimal ginjal dan sel hati di sekitar vena porta dan vena sentralis, persentase
endapan protein pada tubuli proksimal ginjal, serta persentase atrofi dan endapan
protein pada glomerulus. Hasil yang didapat dianalisis secara statistik dengan
menggunakan uji ANOVA, dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak A. altissima pada dosis 10, 10, dan 1000
mg/kg BB selama 7 hari tidak menimbulkan perubahan pada hati, tetapi
meningkatkan perubahan patologi pada epitel tubuli ginjal. Oleh karena itu, jika
obat ini digunakan oleh penderita malaria, disarankan untuk berhati-hati karena
memberi efek toksik pada ginjal.
Kata kunci: antiplasmodium, ekstrak Ailanthus altissima, tanaman obat,
toksikopatologi hati dan ginjal, mencit (Mus musculus)

KAJIAN TOKSIKOPATOLOGI HATI DAN GINJAL MENCIT
(Mus musculus) PADA PEMBERIAN EKSTRAK
TANAMAN OBAT ANTIPLASMODIUM
Ailanthus altissima

CHAIRUNNISA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

: Kajian Toksikopatologi Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus)
pada Pemberian Ekstrak Tanaman Obat Antiplasmodium
Ailanthus altissima.
: Chairunnisa
: B 04104104

Judul

Nama
NRP

Disetujui

drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD
Pembimbing Penelitian I

Dr. Praptiwi, M.Agr
Pembimbing Penelitian II

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal lulus:

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 14 November 1985 di Tangerang, Banten.
Penulis adalah anak kelima dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak H.M.
Syafruddin, MSc. dan Ibu Hj. Ratu Shalhah.
Pendidikan formal dimulai dari pendidikan taman kanak-kanak yang
diselesaikan pada tahun 1992 di TK Pertiwi Tangerang. Kemudian pendidikan
dasar yang diselesaikan pada tahun 1998 di SDN 18 Tangerang. Selanjutnya
pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SMPN 1
Tangerang dan pendidikan lanjutan menengah atas yang diselesaikan pada tahun
2004 di SMU Islamic Village Tangerang.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Fakultas
Kedokteran Hewan melalui jalur USMI pada tahun 2004. Selama perkuliahan
penulis aktif dalam Himpunan Minat dan Profesi (HIMPRO) Ruminansia dan
menjadi sekretaris HIMPRO HKSA pada tahun ajaran 2006/2007.

KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah S.W.T atas segala rahmat dan hidayah-Nya
sehingga skripsi yang berjudul Kajian Toksikopatologi Hati dan Ginjal Mencit
(Mus musculus) pada Pemberian Ektrak Tanaman Obat Antiplasmodium
Ailanthus altissima telah selesai.
Dengan selesainya skripsi ini,penulis mengucapkan terima kasih sebesarbesarnya kepada :
1. Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD dan Dr. Praptiwi, M.Agr selaku
dosen pembimbing atas segala arahan, saran, bimbingan, kesabaran, dan
waktu yang diluangkan selama proses penulisan skripsi ini.
2. Dr.drh.Eva Harlina, MSi selaku dosen penilai dan Dr.drh.Hj.Umi
Cahyaningsih, MS selaku dosen penguji atas saran, kritik, dan
penilaiannya.
3. Seluruh staf dan teknisi di Bagian Patologi, Departemen Klinik,
Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang membantu
penulis selama penelitian.
4. Drh. Tutuk Astyawati, MS selaku dosen pembimbing akademik atas
segala bimbingan yang telah diberikan selama perkuliahan.
5. Kedua orang tua: Bapak H.M Syafruddin, MSc Dan Ibu Hj. Ratu Shalhah
serta seluruh keluarga yang telah memberikan kasih sayang, doa dan
dukungan, moril serta materiil.
6. Sahabat setia yang berjuang bersama dalam penyelesaian tugas akhir ini,
Dewi Ayu Agustiyanti.
7. Sahabat terbaik (Inge, Dhe, Ata, Iya, Na) atas kesetiaannya dalam suka
maupun duka, serta semangat yang selalu diberikan selama 4 tahun ini.
8. Asteroidea ”41” dan almamater tercinta.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Bogor, November 2008
Chairunnisa

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………… ix
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………...

x

DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................

xi

PENDAHULUAN ………………………………………………………
Latar Belakang ...............................................................................
Tujuan Penelitian ...........................................................................
Manfaat Penelitian .........................................................................
Hipotesa .........................................................................................

1
1
2
2
2

TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
Ailanthus altissima ........................................................................
Habitat ...............................................................................
Morfologi ..........................................................................
Taksonomi .........................................................................
Khasiat dan kegunaan ........................................................
Sifat toksik tanaman ..........................................................
Tinjauan Tentang Penyakit Malaria ..............................................
Siklus Hidup Plasmodium ……………………………………….
Mekanisme Kerja Obat Antiplasmodium ………………………..
Mencit (Mus musculus) …………………………………………..
Biologi Mencit …………………………………………...
Anatomi dan Fisiologi Hati ………………………………………
Histologi Hati .................................................................................
Intoksikasi Hati ..............................................................................
Anatomi dan Fisiologi Ginjal ........................................................
Histologi Ginjal .............................................................................
Intoksikasi Ginjal ..........................................................................

3
3
3
4
5
5
6
7
7
8
9
10
11
12
15
18
19
20

MATERI DAN METODE …………………………………………….
Waktu dan tempat .........................................................................
Bahan dan alat ..............................................................................
Metode penelitian .........................................................................

23
23
23
23

HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
Pengaruh Pemberian Ekstrak Ailanthus altissima terhadap
Perubahan Histopatologi Hati Mencit ...........................................
Perbandingan Lesio Hepatosit di Sekitar Vena Porta dan
Vena Sentralis Akibat Pemberian Ekstrak A. altissima ……........
Pengaruh Pemberian Ekstrak A. altissima Terhadap
Perubahan Histopatologi Organ Ginjal Mencit …………….........

26
26
32
35

KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
Kesimpulan ...................................................................................
Saran ............................................................................................

43
43
43

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................

44

LAMPIRAN .............................................................................................

47

DAFTAR TABEL
Halaman
1

2

3

4

Persentase lesio hepatosit mencit yang diberi ekstrak
Ailanthus altissima ………………………………………………

27

Persentase lesio hepatosit pada vena porta dan vena sentralis
yang diberi ekstrak A. altissima ....................................................

33

Hasil pemeriksaan histopatologi glomerulus mencit yang diberi
ekstrak A. altissima ………………...............................................

37

Hasil pemeriksaan histopatologi tubuli ginjal mencit yang
diberi ekstrak A. altissima …………………………….................

37

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Pohon Ailanthus Altissima …………………………………......... 3

2(A)
(B)

Batang A. Altissima ………………………………….................... 4
Ranting Pohon A. Altissima ……………………………………... 4

3(A)
(B)

Daun A. Altissima …………………………………...................... 5
Bunga A. Altissima ……………………………………................ 5

4

Histologi Vena Sentralis Hati ………………………………........ 14

5

Histologi Vena Porta Hati ………………………………….........

14

6

Histologi Ginjal ………………………………….........................

20

7

Gambaran Histopatologi Jaringan Hati yang Diberi Ekstrak
A. altissima ....................................................................................

23

Gambaran Histopatologi Jaringan Hati yang Diberi Ekstrak
A. altissima …………………………………................................

24

8

9

Diagram Persentase Lesio Hepatosit Mencit …………………..... 29

10

Diagram Lesio Hepatosit pada Vena Sentralis
dan Vena Porta...............................................................................

34

Gambaran Histopatologi Jaringan Ginjal Mencit Akibat
Pemberian Ekstrak A. altissima dosis 1000 mg/kg BB ………….

36

Gambaran Histopatologi Jaringan Ginjal Mencit Akibat
Pemberian Ekstrak A. altissima dosis 100 mg/kg BB …………...

36

13

Diagram Persentase Lesio Glomerulus ………………………….

39

14

Diagram Persentase Lesio Tubuli Ginjal ……………………......

39

11

12

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Bagan Pembuatan Sediaan Histopatologi ……………………...... 47

2

Pewarnaan Hematoksilin Eosin …………………………………. 48

3

Analisis Data Lesio Organ Hati dan Ginjal (ANOVA) ................. 49

4

Analisis Data Lesio Organ Hati dan Ginjal (Uji Duncan) ………. 57

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Indonesia obat tradisional telah digunakan secara meluas dan turuntemurun. Pada umumnya obat tradisional digunakan untuk pencegahan,
pengobatan, dan menambah daya tahan tubuh. Di dalam sistem kesehatan
nasional, obat tradisional digunakan sebagai obat di samping obat modern dan
sarana kesehatan lainnya.
Obat dapat didefinisikan sebagai bahan yang menyebabkan perubahan
biologis melalui proses kimia. Dalam arti luas, obat ialah setiap zat kimia yang
dapat mempengaruhi proses hidup. Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui
berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan
pengikatan untuk sampai di reseptor dan menimbulkan efek. Selanjutnya, dengan
atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh (Ganiswarna 1995).
Tumbuhan masih merupakan sumber utama dalam pencarian obat baru
termasuk juga sebagai antimalaria. Penyakit malaria banyak ditemukan di wilayah
tropis seperti Indonesia. Penyakit ini sangat jarang berakibat kematian, tetapi
dapat menurunkan produktivitas bagi penderitanya. Penyakit menular ini
disebabkan oleh protozoa yang bernama Plasmodium, yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk jenis tertentu. Jenis nyamuk yang sering menularkannya adalah
nyamuk Anopheles. Beberapa jenis Plasmodium yang menyebabkan malaria pada
manusia yaitu Plasmodium vivax, P. malariae, dan P. falciparum Jenis malaria
terakhir ini paling serius, bahkan bisa berakhir dengan kematian (Najib et al.
1999). Selain pada manusia penyakit malaria juga sering terjadi pada hewan,
terutama unggas dan rodensia. Plasmodium yang dapat menyebabkan malaria
pada unggas yaitu P. gallinaceum, sedangkan Plasmodium pada rodensia yaitu P.
berghei (Cheng 1973). Di samping obat-obatan medis, beberapa tumbuhan juga
dikenal bisa membantu penderita malaria melawan penyakitnya, antara lain
tumbuhan dari suku Simaroubaceae (Burrows 2001). Tumbuhan dari suku
Simaroubaceae yang mengandung triterpen terdegradasi menunjukkan beberapa
aktivitas biologis sebagai antitumor, fitotoksik, antiviral, dan antihelmintik.

Aktivitas antimalaria pada beberapa quassinoid seperti brusatol, glaucarubinone,
dan quassin telah dibuktikan sebelumnya (Wright 2005).
Salah satu jenis tumbuhan dari suku Simaroubaceae yang digunakan
sebagai obat malaria adalah Ailanthus altissima. Tumbuhan ini sudah digunakan
sebagai tumbuhan obat tradisional di Cina. Para ahli kimia di Asia dan Eropa telah
menemukan beberapa unsur bahan-bahan kimia aktif yang terkandung di dalam
batang tumbuhan Ailanthus. Bahan-bahan kimia tersebut meliputi quassin,
saponin, dan ailanthone yang dikenal sebagai zat aktif antimalaria (Burrows
2001).
Dari sebuah studi ethnofarmakologi di Perancis menyebutkan bahwa
golongan quassinoid yang diisolasi dari batang dan akar pada P. sprucei lebih
aktif daripada quinine dan chloroquinine dengan aktivitas mencakup mikromolar.
Beberapa quassinoid juga telah dikenal sebagai komponen tumbuhan yang dapat
menghambat pertumbuhan P. falciparum dalam suatu kultur jaringan dengan
konsentrasi nanomolar (Kuo et al. 2004).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat toksik dari dosis bertingkat
ekstrak Ailanthus altissima pada hati dan ginjal mencit.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah dapat memberikan
informasi tentang sifat toksik dari ekstrak Ailanthus altissima pada hewan coba
mencit (Mus musculus).

Hipotesis
Hipotesis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
H0

: Ekstrak Ailanthus altissima tidak menimbulkan perubahan patologi yang
signifikan terhadap organ hati dan ginjal mencit.

H1

: Ekstrak Ailanthus altissima dapat menimbulkan perubahan patologi yang
signifikan terhadap organ hati dan ginjal mencit.

TINJAUAN PUSTAKA
Ailanthus altissima
Habitat
Ailanthus altissima termasuk ke dalam suku Simaroubaceae. Tumbuhan
ini dikenal dengan istilah “tree of heaven”, “palem ghetto”, atau “chouchun”.
Ailanthus berasal dari negara Cina, Taiwan dan Korea Utara. Tumbuhan ini
tersebar di Asia Timur bagian selatan sampai Australia bagian utara (Anonimus
2008). Di Pennsylvania dan seluruh wilayah timur laut Amerika, tumbuhan
Ailanthus tumbuh secara alami di area perkotaan yang padat penduduk, dan juga
dapat tumbuh di mana saja, seperti di lahan kosong, jalan kecil, trotoar, tempat
parkir, sepanjang jalan kereta, dan jalan raya. Tumbuhan ini umumnya juga dapat
ditemukan di ladang, tepi jalan, dan di tepi hutan (Rhoads dan Timothy 2000). Di
Indonesia A. altissima ditemukan di Kalimantan Timur (Praptiwi 2008,
komunikasi pribadi).
A. altissima merupakan tumbuhan yang pertumbuhannya sangat cepat,
dapat tumbuh di daerah beriklim tropis maupun subtropis, dalam satu tahun dapat
menghasilkan bibit sebanyak 350.000 bibit. Tumbuhan ini juga memproduksi
toksin yang dapat mencegah pertumbuhan spesies tumbuhan lain (Anonimus
2008).

Gambar 1 Pohon Ailanthus altissima
(sumber: www.wikipedia.org/wiki/Ailanthus_altissima).

Morfologi Ailanthus altissima
Ailanthus berukuran kecil hingga sedang. Tinggi pohon mencapai 80-100
kaki atau sekitar 25-30 meter (Gambar 1). Diameter batang berukuran 1 meter
(Clair dan Bory 1990). Kulit kayu berwarna abu-abu pucat dan berstruktur halus
(Gambar 2A). Bagian ranting berwarna cokelat terang dan halus, struktur ini
terutama ditemukan di musim dingin. Pada ranting yang masih muda strukturnya
cukup kuat dan ditutupi oleh rambut-rambut halus. Kayunya lunak, rapuh, tidak
halus, dan berwarna putih krem hingga cokelat terang (Gambar 2B). Daunnya
berukuran besar, dengan panjang mencapai 30-60 cm dan tersusun atas 11-25
lembar daun. Setiap lembar daun mempunyai permukaan yang bergerigi dan
berkelenjar (Gambar 3A). Bentuk dan struktur daun tersebut merupakan ciri khas
yang digunakan untuk membedakan A. altissima dengan spesies lainnya (Rhoads
2000). Pucuk daun relatif kecil, bahkan bagian ujung pucuknya tidak ada. Daun
yang telah hancur akan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Bunganya memiliki
panjang 0.5 cm dan bentuknya besar, dengan bagian ujung panikel berwarna hijau
terang (Gambar 3B). Benang sari bunga berbau busuk. Setiap pohon
menghasilkan ratusan bunga dalam satu tahun. Pada umumnya tumbuhan ini
berbunga pada bulan Juni atau Juli. Buah dari pohon Ailanthus berukuran 3-8 cm.
Masing-masing buah terdiri atas satu biji. Biji Ailanthus matang pada akhir musim
panas atau awal musim hujan, strukturnya tebal, berwarna pink dan dapat bertahan
hingga musim dingin. Setiap kumpulan buahnya terdiri atas ratusan biji (Burrows
2001).

A
Gambar 2 Batang (A) dan ranting (B) A. altissima
(sumber: www.wikipedia.org/wiki/Ailanthus_altissima).

B

A

B

Gambar 3 Daun (A) dan Bunga (B) A. altissima
(sumber: www.wikipedia.org/wiki/Ailanthus_altissima).
Taksonomi Ailanthus altissima
Menurut Swingle (1916), secara umum taksonomi Ailanthus altissima adalah:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Sapindales

Suku

: Simaroubaceae

Genus

: Ailanthus

Spesies

: Ailanthus altissima

Khasiat dan Kegunaan Tanaman
Tumbuhan yang berasal dari suku Simaroubaceae dapat digunakan sebagai
agen terapeutik, misalnya sebagai antidysentri dan antihelmintik. Pada dasarnya
tumbuhan yang termasuk ke dalam suku Simaroubaceae dipercaya dapat
digunakan sebagai obat tradisional, terutama sebagai antimalaria. Beberapa
tumbuhan yang telah diketahui sebagai antimalaria yaitu Ailanthus altissima,
Irvingia malayana, Picrasma javanica, Quassia indica, dan Quassia amara. Dua
komponen penting tumbuhan suku Simaroubaceae yang menunjukkan aktivitas
sebagai antimalaria yaitu quassin dan glaucarubin (Nooteboom 1972).
Di Cina, Ailanthus mempunyai suatu sejarah yang panjang. Hal ini tercatat
dalam kamus Cina yang paling tua dan masih ada hingga sekarang. Selain itu ada
juga yang tidak tertulis dalam teks medis. Diketahui bahwa A. altissima
digunakan untuk mengatasi sakit kepala dan kerontokan rambut. Sejak zaman

dinasti Tang, A.

altissima telah dikenal sebagai tanaman herbal yang dapat

mengobati abses dan perdarahan. Saat ini akar, batang dan daunnya masih
digunakan di dunia kedokteran maupun obat tradisional Cina sebagai suatu
astringen, juga untuk pengobatan penyakit disentri, hemorhagi intestinal,
menorhagia, dan spermatorhea (Burrows 2001).
Di Amerika, kayu Ailanthus kadang-kadang digunakan untuk arang dan
kayu bakar karena berkualitas rendah (Duke 1983). Batang tumbuhan ini juga
digunakan untuk membuat lemari, selulosa, perabot rumah tangga, dan peralatan
kerja. Disamping itu, tumbuhan ini dapat digunakan sebagai pengendali erosi dan
sebagai pohon pelindung. Daunnya digunakan sebagai campuran sena dan
belladonna yang berfungsi sebagai obat pelangsing tubuh (Clair dan Bory 1990).
Racun yang dihasilkan oleh batang dan daun A. altissima sedang diteliti sebagai
obat pembasmi hama tanaman yang alami (Duke 1983). Bagian tumbuhan yang
direndam dalam air dapat digunakan sebagai cairan insektisida (Clair dan Bory
1990). Dalam 100 gram biji Ailanthus mengandung 27,5 – 27,6 gram protein dan
55,5 – 59,1 gram lemak. Batangnya mengandung oleoresin, resin, beberapa
mucilage, ceryl alkohol, ailanthin, quassin, kristal kalsium oksalat, dan
isoquercetin (quercetin 3-glycosida), tannin, phlobaphene, ceryl palmitat, saponin
dan neoquassin (Duke 1983). Bagian kulit batang A. atissima mengandung lemak
dan asam lemak tinggi, sterol dan quassinoid golongan triterpenoid, gula
pereduksi, glikosida steroid, flavonoid, saponin (Praptiwi 2008, komunikasi
pribadi). Pada bagian tersebut komponen ekstrak A. Altissima yang efektif bekerja
sebagai antimalaria adalah quassinoid golongan triterpenoid (Robinson 1995).
Ailanthus juga diketahui mengandung ailanthone, yaitu zat kimia
allopathic yang dapat digunakan sebagai antimalaria (Burrows 2001). Selain itu,
Ailanthus juga mempunyai aktivitas sebagai anti virus dan sel kanker (Heisey
1996).

Sifat Toksik Tanaman
Suatu observasi yang telah dilakukan membuktikan bahwa Ailanthus
mengandung zat quinone yang bersifat iritan dan dapat menimbulkan sakit kepala,
nausea, rhinitis, dan konjungtivitis, sedangkan serbuk sarinya dapat menyebabkan

demam (Clair dan Bory 1990). Dua macam quassinoid yaitu ailanthone dan 6
alpha-tigloxychaparrinone yang diisolasi dari ekstrak aktif A. altissima
menunjukkan aktivitasnya melawan P. falciparum yang resisten dan sensitif
terhadap klorokuin secara in vitro (Lewis et al. 2003). Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan oleh Praptiwi (komunikasi pribadi) didapatkan dosis ED50
dari ekstrak A. altissima yang mematikan 50% P. berghei secara in vitro sebesar
112,42 mg/kg BB.

Tinjauan Tentang Penyakit Malaria
Di antara semua penyakit pada hewan dan manusia, malaria merupakan
salah satu penyakit yang telah tersebar luas, dan kadang-kadang dapat
menimbulkan kematian..Penyakit malaria disebabkan oleh parasit protozoa genus
Plasmodium. Penyakit ini sering ditularkan melalui gigitan nyamuk jenis tertentu.
Jenis nyamuk yang sering menularkannya adalah nyamuk Anopheles. Beberapa
jenis Plasmodium yang menyebabkan malaria pada manusia yaitu Plasmodium
vivax, P. malariae, P. falciparum, P. ovale (Noble dan Noble 1989). Selain pada
manusia penyakit malaria juga sering terjadi pada hewan, terutama unggas dan
rodensia. Plasmodium yang dapat menyebabkan malaria pada unggas yaitu P.
gallinaceum, sedangkan yang menyebabkan malaria pada rodensia adalah P.
berghei (Cheng 1973).

Siklus Hidup Plasmodium
Daur hidup Plasmodium dimulai dari zigot di dalam lambung nyamuk
betina. Zigot tersebut aktif dan bergerak di dalam dinding lambung dan usus
halus. Parasit pada stadium ini dinamakan ookinet. Di bawah epitel usus, ookinet
membulat, membentuk kista disebut ookista, yang di dalamnya terbentuk
sporozoit. Fase sporozoit memerlukan waktu 7 sampai 10 hari, dan pada saat itu
infektifitas sporozoit naik lebih dari 10.000 kali. Sporozoit memasuki seluruh
tubuh nyamuk, dan beberapa diantaranya masuk ke dalam kelenjar ludah. Posisi
ini berada pada posisi yang baik untuk menginfeksi hospes berikutnya, jika
nyamuk menghisap darah hospes tersebut (Noble dan Noble 1989).

Apabila sporozoit-sporozoit dimasukkan oleh nyamuk ke dalam darah
manusia, maka dimulailah serangkaian daur hidup yang melibatkan bermacammacam sel dan jaringan. Sporozoit-sporozoit ini menandai berakhirnya fase
seksual. Selanjutnya sporozoit segera masuk ke dalam berbagai sel jaringan,
misalnya parenkim hati dan makrofag tertentu. Fase ini dikenal sebagai fase
eksoeritrositik karena organisme tersebut belum memasuki eritrosit. Pada fase ini
sporozoit disebut tropozoit, yang mengalami skizogoni, pecah, dan membebaskan
merozoit jaringan. Merozoit ini dapat memasuki sel-sel jaringan yang lain dan
mengulangi daur hidupnya. Merozoit yang masuk ke dalam darah akan memasuki
eritrosit dan mulai dengan fase eritrositik. Peristiwa ini dinamakan merogoni,
yang kemudian diulangi kembali (Noble dan Noble 1989).
Plasmodium yang telah menjadi merozoit akan keluar dengan merusak
eritrosit, lalu masuk ke dalam eritrosit lain dan mengulangi proses
perkembangbiakan. Beberapa merozoit di dalam eritrosit berkembang menjadi
bentuk-bentuk seksual yang tumbuh menjadi makrogametosit jantan atau
makrogametosit betina. Apabila nyamuk menggigit manusia atau hewan pada
stadium ini, gametosit-gametosit akan tertelan ke dalam lambung nyamuk dan
akan mengalami pematangan menjadi mikrogamet. Mikrogamet-mikrogamet yang
terbentuk

seperti

flagellata

muncul

dari

mikrogametosit.

Terbentuknya

mikrogamet ini disebut eksflagelasi. Gametosit keluar dari eritrosit dan
eksflagelasi biasanya terjadi apabila darah tersentuh oleh udara. Lingkungan di
dalam usus nyamuk tidak diperlukan dalam terjadinya eksflagelasi. Penurunan
tekanan CO2 dalam darah dan peningkatan pH merupakan hal yang sangat
penting. Mikrogamet yang terlepas akan bergerak seperti sel sperma. Pada kondisi
ini terjadi fertilisasi, dan zigot yang terbentuk mengakhiri daur hidup Plasmodium
(Noble dan Noble 1989).

Mekanisme Kerja Obat Antiplasmodium
Berdasarkan

kerjanya

pada

tahapan

perkembangan

Plasmodium,

antimalaria dibedakan atas skizontosid jaringan dan darah; gametosid dan
sporontosid. Dengan klasifikasi ini antimalaria dipilih sesuai dengan tujuan

pengobatan,

yaitu

mengendalikan

serangan

klinis,

pengobatan

supresi,

pencegahan kausal, pengobatan radikal, dan gametositosid (Ganiswarna 1996).
Untuk mengendalikan serangan klinis digunakan skizontosid darah yang
bekerja terhadap merozoit di eritrosit (fase eritrosit). Dengan demikian tidak
terbentuk skizon baru dan tidak terjadi penghancuran eritrosit yang menimbulkan
gejala klinis seperti demam. Pengobatan supresi ditujukan untuk menyingkirkan
semua parasit dari tubuh hospes dengan memberikan skizontosid darah dalam
waktu lama, lebih lama dari masa hidup parasit. Pencegahan kausal dapat
mencegah terjadinya serangan klinis dengan mematikan sporozoit atau
menghentikan fase eritrosit, sehingga tahap infeksi dapat dicegah dan transmisi
selanjutnya dihambat. Pada pencegahan ini digunakan skizontosid jaringan yang
bekerja pada skizon yang baru memasuki jaringan hati (Ganiswarna 1996).
Pengobatan radikal dimaksudkan untuk memusnahkan parasit dalam fase
eritrosit dan eksoeritrosit, untuk itu digunakan kombinasi skizontosid darah dan
jaringan. Gametositosid membunuh gametosit yang berada dalam eritrosit
sehingga transmisi ke nyamuk dihambat. Sporontosid menghambat perkembangan
gametosid, yang selanjutnya di tubuh nyamuk yang menghisap darah penderita,
sehingga rantai penularan terputus (Ganiswarna 1996).

Mencit (Mus musculus)
Mencit (Mus musculus) adalah hewan pengerat yang cepat berkembang
biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, memiliki variasi genetik yang
cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya yang terkarakteristik dengan
baik. Selain itu, hewan rodensia ini lebih ekonomis dan efisien dalam hal tempat
dan biaya pemeliharaannya. Oleh karena itu mencit sering digunakan sebagai
hewan coba atau hewan laboratorium. Untuk penelitian kesehatan umumnya dan
gizi khususnya, mencit putih merupakan model hewan coba yang baik karena
mudah ditangani, dapat diperoleh dalam jumlah banyak dan memberi hasil
ulangan yang cukup dipercaya (Malole dan Pramono 1989).
Menurut Ballenger (1999) taksonomi mencit adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Subfilum

: Vertebrata

Kelas

: Mamalia

Subkelas

: Theria

Ordo

: Rodensia

Suborder

: Sciurognathi

Family

: Muridae

Subfamily

: Murinae

Genus

: Mus

Spesies

: Mus musculus
Menurut Malole dan Pramono (1989) data biologis mencit adalah sebagai

berikut:


Berat badan dewasa

: 20-40 gr (jantan), 20-40 gr (betina)



Berat lahir

: 0,5-1,0 gr



Suhu tubuh

: 36,5-38 0C



Pernapasan

: 94-163/menit



Denyut jantung

: 325-780/menit



Volume darah

: 76-80 ml/kg



Tekanan darah

: 113-147/81-105 mgHg



Konsumsi makanan

: 15 gr/100 gr BB/hari



Konsumsi minum

: 15 ml/100 gr BB/hari



Jumlah anak/kelahiran

: 10-12 ekor

Anatomi dan Fisiologi Hati
Hati merupakan kelenjar tubuh yang paling besar (Dellmann dan Brown
1992). Hati yang normal terdiri atas jaringan yang berwarna merah kecoklatan dan
memiliki permukaan yang berbutir halus (MacLachlan dan Cullen 1995). Hati
terdiri atas beberapa lobus, tergantung pada spesiesnya. Pada mencit, hati terdiri
atas empat lobus utama yang satu sama lain saling behubungan dan tergabung di
bagian dorsal. Keempat lobus tersebut ialah lobus median, lobus lateral kiri, lobus
lateral kanan, dan lobus kaudal. Lobus median terbagi menjadi dua bagian, lobus
median kiri dan lobus median kanan, yang dibatasi oleh bifurcatio yang dalam.
Lobus lateral kiri tidak bercabang, sedangkan lobus lateral kanan secara horizontal

terbagi menjadi dua bagian, yaitu lobus lateral kanan anterior dan lobus lateral
kanan posterior. Lobus kaudal terdiri atas dua bentuk lembaran lobus dorsal dan
ventral yang letaknya dekat dengan esofagus (Harada et al. 1999).
Vena porta dan vena hepatika adalah pembuluh darah yang berasal dari
usus yang membawa nutrisi dan zat-zat lain yang telah diserap oleh usus. Setelah
sampai di aliran darah portal, nutrisi tersebut akan diolah dan diserap kembali,
kemudian dikeluarkan melalui aliran darah dalam bentuk bahan baru (Hartono
1992). Hati tersusun oleh tiga jaringan, yaitu buluh empedu, pembuluh-pembuluh
darah, dan sel hepatosit. Saluran empedu, arteri dan vena porta bergabung dalam
satu area trias porta yang dikenal dengan nama segitiga Kiernand. Empedu
disalurkan dari hati ke duodenum melalui saluran empedu intrahepatik dan
ekstrahepatik (Guyton dan Hall 1997).
Hati memiliki berbagai macam fungsi yang sangat kompleks. Hati
berfungsi sebagai kelenjar eksokrin dan endokrin. Sebagai kelenjar eksokrin, hati
berfungsi dalam sintesa dan sekresi empedu dan kolesterol. Sebagai kelenjar
endokrin, hati mensintesa dan mensekresi glukosa dan protein ke dalam darah.
Hati melakukan fungsinya yang penting, yaitu melakukan metabolisme protein,
karbohidrat, lemak, vitamin, mineral terutama besi, tembaga, dan zinc,
hemoglobin, obat, steroid, serta deiodinasi triiodothyronine dan thyroxine. Selain
itu, hati berfungsi dalam detoksikasi racun dan fagositosis benda asing. Hepatosit
berhubungan dengan banyak asam amino, lipid, karbohidrat, vitamin, mineral dan
xenobiotik yang diabsorbsi melalui saluran pencernaan. Beberapa nutrisi
dimetabolisme dan didistribusi ke dalam darah dan empedu (Harada et al.1999).
Hati mempunyai fungsi dalam mengatur kadar glukosa dalam darah. Glukosa
akan diteruskan ke hati melalui vena porta. Sebagian dari glikogen yang disimpan
akan dipecah dalam hati menjadi glukosa darah. Apabila terjadi gangguan pada
hati akan menyebabkan terjadinya hiperglikemia atau hipoglikemia (Ganiswarna
1995). Glukosa dan aseto asetat adalah sumber energi utama yang disekresi oleh
hati. Hati juga mensintesa lemak untuk disimpan di dalam tubuh. Hati berperan
penting dalam metabolisme dan penyimpanan vitamin dan mineral, terutama besi,
tembaga, dan zinc. Hati melakukan metabolisme asam empedu, mengubah

kolesterol menjadi asam empedu, sekresi asam empedu, dan memindahkan asam
empedu dari vena porta dan arteri hepatika (Harada et al.1999).

Histologi Hati
Secara histologi, struktur dan komponen selular hati mencit pada dasarnya
sama seperti struktur mamalia lainnya. Hati terdiri atas beberapa komponen
selular, seperti sel hepatosit (sel parenkim), sel-sel sinusoidal (sel endotel, sel
Kupffer, fat-storing, dan sel pit), sel hematopoietik, sel saraf, pembuluh darah dan
limfe. Lobus hati dibungkus oleh kapsula. Lobus hati terdiri atas kapsula fibrosa
dan kapsula serosa. Kapsula dibungkus oleh peritoneum, namun ada beberapa
area kapsula yang dapat berhubungan langsung dengan diafragma dan organ
visera pada dinding abdomen posterior. Asinus hepatik dibagi menjadi tiga zona,
yaitu zona periportal, midzonal, dan sentrolobular. Hepatosit pada zona periportal
berdekatan dengan pembuluh afferent, sehingga menerima darah yang kaya
oksigen dan nutrisi, sedangkan sel di sekitar zona sentrolobular berada di distal
mikrosirkulasi penerima darah yang mengandung gas dan metabolit. Hal ini
menyebabkan zona sentrolobular memiliki tingkat sensitifitas yang lebih tinggi.
Midzonal merupakan zona transisi dari kedua zona tersebut (Harada et al. 1999).
Hepatosit berbentuk polihedral, intinya bulat terletak di tengah, terdapat satu atau
lebih nukleolus dengan kromatin yang menyebar. Sering pula terlihat adanya dua
inti sebagai hasil pembelahan yang tidak sempurna dari sitoplasma (Dellmann dan
Brown 1992). Sitoplasma hepatosit agak berbutir, tetapi bentuk ini dapat
tergantung pada fungsi selular, status nutrisi dan metode fiksasi. Hepatosit
tersusun atas lempeng-lempeng sel hati yang mengelilingi vena sentralis (Harada
et al. 1999). Hepatosit memiliki enam atau lebih permukaan dan terdapat tiga
bentuk yang berbeda; 1) permukaan yang berhadapan dengan ruang perisinusoid,
dimana pada permukaan bebasnya tumbuh mikrovili; 2) permukaan yang
berbatasan dengan kanalikuli empedu; dan 3) permukaan yang saling berhadapan
antar hepatosit yang bersebelahan dan memiliki gap-junction dan desmosom
(Dellmann dan Brown 1999). Hepatosit pada mencit dewasa biasanya terdiri atas
runtuhan lemak yang lebih banyak terdapat di sentrolobular daripada di area
periportal (Harada et al. 1999).

Vaskularisasi hati berkaitan langsung dengan multifungsinya. Dalam
memasuki hati, vena porta yang berasal dari usus dan arteria hepatika yang berasal
dari aorta, langsung bercabang-cabang menuju lobus yang disebut arteria atau
vena interlobaris, seterusnya bercabang-cabang lagi membentuk arteria dan vena
interlobularis yang terdapat di daerah portal atau segitiga Kiernand. Sebagian
besar darah dari arteria interlobularis membentuk pleksus kapiler di daerah portal
dan diserap oleh cabang-cabang vena porta. Hanya sebagian kecil darah mencapai
sinusoid secara langsung melalui arteriol yang merupakan cabang dari arteria
interlobularis. Sinusoid merupakan pembuluh darah kapiler yang mengisi lobulus
yang membawa darah dari arteria dan vena interlobularis, kemudian menuju vena
sentralis. Dinding sinusoid memiliki banyak celah karena dindingnya terdiri atas
endotel dan sel-sel makrofag besar dan aktif yang disebut sel Kupffer yang berasal
dari monosit. Darah meninggalkan lobulus melalui vena sentralis atau venula
hepatika terminalis yang dilapisi oleh endotel dengan lamina basalis dan
adventisia tipis, kemudian langsung berhubungan dengan sinusoid. Vena sentralis
berhubungan dengan vena sublobularis atau vena interkalatus di tepi lobulus.
Kedua vena tersebut terdapat di sepanjang basis lobulus, di mana sebagian
bergabung membentuk vena penampung (collecting vein) yang nantinya
bergabung menjadi vena hepatika (Dellmann dan Brown 1992).

Gambar 4 Histologi vena sentralis hati
(sumber: www.deltagen.com)

Gambar 5 Histologi vena porta hati
(sumber: www.deltagen.com)

Intoksikasi Hati
Hati memiliki cadangan fungsi dan kapasitas pertumbuhan yang berlebih.
Pada hewan yang sehat, lebih dari dua pertiga parenkim hati dapat berpindah
tanpa merusak fungsi hati secara signifikan, dan pada beberapa hari kemudian
massa hati yang normal ini dapat tumbuh kembali. Kerusakan hati yang terjadi
pada semua spesies tanpa memperhatikan penyebabnya, cenderung menghasilkan
tanda klinis yang sama. Akan tetapi kerusakan-kerusakan ini hanya terjadi saat
cadangan hati dan kapasitas pertumbuhannya sangat besar atau saat empedu
mengalami obstruksi. Istilah gangguan hepatik dinyatakan sebagai hilangnya
fungsi normal hati yang mengakibatkan kerusakan hati akut atau kronis.
Bagaimanapun juga seluruh fungsi hati biasanya tidak hilang dalam waktu yang
sama (MacLachlan dan Cullen 1995).
Kerusakan yang terjadi pada hati biasanya disebabkan oleh racun. Hal ini
dikarenakan hati merupakan tempat detoksikasi racun. Ada dua hal yang
menyebabkan hati terkena rac