Identitas Intelektual di Tengah konflik Maluku Utara

129 Kelihatan bahwa posisi intelektual baik dari islam maupun kristen pada saat konflik juga memiliki posisi objektif ketika merespon konflik yang terjadi di Maluku Utara 1999-2000. Objektifitas ini ditunjukkan melalui tulisan mereka, yang secara sadar tidak menghakimi salah satu agama yang bertikai sebagai aktor yang memicu konflik. Melainkan tekanan kritik mereka melalui tulisan lebih pada membangun kesadaran masyarakat, bahwa ini merupakan permainan provokator yang memainkan propaganda dan agitasinya agar membuat masyarakat terjebak pada situasi tersebut dan pada akhirnya berunjung pada penghancuran identitas kemanusiaan dengan kekerasaan.

3. Identitas Intelektual di Tengah konflik Maluku Utara

Konflik 1999-2000 merupakan konflik yang amat sulit bagi kalangan intelektual untuk menempatkan identitas intelektualnya dalam lingkungan masyarakat ditengah konflik yang terjadi, jika mereka tidak memiliki kesadaran akan tanggung jawab akademik dan sosial. Namun kaum intelektual di Maluku Utara juga sadar akan tangung jawab mereka sebagai kelompok yang mereproduksi wacana yang berpihak pada mereka yang terdominasi. Oleh karena itu, mengambil peran secara akademik serta memanfaatkan modal budaya dengan cara menulis untuk merespon konflik yang terjadi merupakan bentuk kekesalan terhadap penguasa yang tidak melakukan penaganan konflik secara cepat. Akhirnya masyarakat yang tidak berdosa 130 dan tidak tahu-menahu secara implisit tentang konflik saat itu, ikut menjadi korban dari konflik tersebut. Pembentukan identitas kaum intelektual pada saat konflik adalah dengan cara melakukan kritik melalui tulisan terhadap elite yang telah mengorbankan masyarakat sekaligus melakukan rekonsiliasi untuk menjalankan kedua tanggung jawab mereka, yakni tanggung jawab akademik dan sosial. Kritik melalui tulisan ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab kaum intelektual yang hidup di dunia akademik dalam memproduksi dan melegitimasi wacana yang benar-benar berpihak pada kepentingan mereka yang terdominasi. Oleh karena itu, posisi dan peran sebagai intelektual dapat menjadikan mereka sebagai lokomotif perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat. sebagaimana dalam petikan wawancara di bawah ini: Hal ini saya tuangkan dalam bentuk tulisan saya Keragaman Budaya dan Konflik di Halmahera pada saat konflik pecah antara kao dan malifut. Dalam tulisan itu saya tidak menghakimi salah satu kelompok. Melainkan menyampaikan bahwa konflik ini adalah pertarungan elite di tingkat atas yang memanfaatkan kita masyarakat. Tambahnya, pada konflik itu saya tidak memiliki keterlibatan untuk mencampuri, melainkan saya hanya melakukan rekonsiliasi bagi masyarakat yang bertikai sebagai wujud dari tanggung jawab sosial. 149 Tangung jawab seperti ini telah menunjukan identitas mereka sebagai kaum intelektual di dalam arena sosial. Dengan keberpihakan mereka pada masyarakat yang terdominasi oleh penguasa, setidaknya telah membuka ruang bagi termanifestasinya identitas intelektual mereka ke publik. Representasi sebagai agensi dalam melakukan 149 Wawancara dengan Bapak Agus Salim Bujang, pada tanggal 10 Januari 2013. 131 rekonsiliasi pada masyarakat yang bertikai adalah untuk menunjukan keberpihakan mereka pada kepentingan publik, serta meregulasi identitas mereka sebagai identitas sosial. Konflik yang selama ini telah dibenturkan oleh sejumlah provokator dan elite disebabkan karena masyarakat tidak memahami dan memiliki informasi mengenai pertarungan elite, jauh sebelum konflik yang mengatasnamakan agama terjadi. Identitas mereka sebagai intelektual ini, menandakan bahwa peran dan posisi mereka di masyarakat yang bertikai dapat terlihat secara tidak langsung melalui advokasi- advokasi dan sekaligus melakukan resolusi terhadap korban kekerasan yang difasilitasi oleh lembaga-lembaga LSM internasional dan lokal. Oleh karena itu, keterlibatan mereka didasarkan pada netralitas untuk memberikan jalan keluar secara terbaik bagi kedua masyarakat yang bertikai. Pada saat itu saya dengan teman-teman melakukan resolusi dengan memfasilitasi kedua korban konflik yang diwadahi oleh lembaga-lembaga LSM. Saya sadar keterlibatan ini agar dapat menunjukan bahwa kami tidak memihak diantara pihak-pihak yang bertikai. Pada saat konflik saya menulis untuk merespon konflik pada saat itu, dan tulisan itu lebih pada tekanan sisi kemanusiaan, kebersamaan, serta memberikan pencerahan kepada masyarakat ketika mereka kehilangan modal sosial. 150 Dengan demikian keterlibatan dalam melakukan rekonsiliasi dan pencerahan pada masyarakat yang bertikai pada saat itu oleh intelektual Maluku Utara telah merepresentasikan secara implisit identitas publik mereka di dalam masyarakat atau 150 Wawancara dengan Bpk Herman Oesman Akademisi UMMU Maluku Utara pada tanggal 11 Januari 2013. 132 arena sosial sebagai tempat mereka mengembangkan modal budaya. Keputusan untuk mengambil pilihan sekaligus memainkan peran mereka sebagai mediator dalam mengkonstruksi kembali citra kemanusian masyarakat yang bertikai, merupakan legitimasi kesadaran mereka akan tanggung jawab sebagai intelektual. Membangun kesadaran masyarakat yang bertikai membutuhkan keseriusan dari intelektual yang memiliki modal budaya dan simbolik sebagai kekuatan dan kekuasaan dalam mengendalikan emosi masyarakat yang bertikai. Selain itu, dengan modal budaya dan simbolik intelektual berupaya membongkar kejahatan dari elite yang bersembunyi dibalik kepentingan konflik berdarah. Reproduksi pengetahuan dari kaum intelektual dimaksudkan untuk menjelaskan konflik yang terjadi di masyarakat agar identitasnya sebagai kaum intelektual dapat termanifestasi dalam dunia akademik maupun dalam ruang sosial. Selain itu reproduksi pengetahuan ini dapat membantu masyarakat untuk memahami kepentingan-kepentingan dari para elite yang tersebunyi di balik konflik atas nama agama. Sebagaimana yang dilakukan oleh Jan Nanere sebagai berikut: Pola kejahatan atas kemanusiaan yang terjadi di Maluku Utara dalam bentuk saling menganiaya, pembantaian tragis, genocide, bumi hangus, dan sebagainya yang dilakukan oleh masyarakat hanya merupakan perpanjangan tangan para dalang elite politik pusat dan daerah yang bersembunyi dibalik pernyataan-pernyataan tentang konflik horisontal dan kriminal murni. 151 151 Pernyataan sekaligus kritik dari Jan Nanere JN et al. dalam Halmahera Berdarah 2000. yang diolah penulis sebagai data untuk memperkuat analisis penulis. 133 Pernyataan dan kritik yang disampaikan kaum intelektual ini merupakan salah satu cara untuk membongkar mekanisme kekerasan yang begitu halus dilakukan oleh elite politik. Masyarakat hanya dijadikan tumbal kekerasaan untuk memenuhi libido kekuasaan elite di Maluku Utara. Kritik ini merupakan upaya dari intelektual Maluku Utara untuk memenuhi tanggung jawab akademiknya sehingga dapat melahirkan identitas mereka di tengah kehidupan masyarakat yang berkonflik. Gerakan intelektual sebagai kelompok tercerahkan yang memproduksi wacana untuk kepentingan publik di Maluku Utara telah mereproduksi serta membedakan identitas mereka dengan elite politik dan masyarakat setempat yang bertikai. Gerekan ini disebabkan karena pengaruh kesadaran intelektual internal dalam memandang konflik eksternal yang telah terjadi di dalam masyarakat sebagai penghancuran nilai kemanusiaan yang dengan susah payah dikonstruksi oleh nenek moyang pada saat itu.

4. Negosiasi Modal Budaya dan Modal Simbolik Kaum