Maluku Utara dan Konflik Sosial

80

BAB IV REPRESENTASI SINGKAT SEJARAH SOSIAL

KONFLIK KOMUNAL DI MALUKU UTARA 1999-2000

1. Maluku Utara dan Konflik Sosial

Semangat Reformasi 97 yang mulai bergulir sejak 1998 telah memberikan kesempatan kepada masyarakat dan daerah di Indonesia untuk dapat mengatur dan menunjang kehidupan mereka baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun kebudayaan. Bagi masyarakat Maluku Utara yang berada jauh dari jangkauan pusat Ibukota Ambon Provinsi Maluku, 98 reformasi merupakan kesempatan yang telah dinantikan untuk menjembatani kehidupan masyarakat yang mengalami ketertinggalan baik dari aspek sarana maupun prasarana. Kesempatan yang baik tersebut, dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat menjalankan kinerjanya secara maksimal dalam melayani dan memperbaiki kehidupan masyarakat melalui program yang langsung menyentuh pada kepentingan masyarakat. selain itu, kesempatan ini juga dilaksanakan agar pemerintah dan masyarakat dapat membentuk perdamainan dan sekaligus menghargai perbedaan sebagai tuntutan reformasi untuk mendorong perkembangan Daerah. 97 Yang dimaksudkan dengan Reformasi di sini ialah kekuasaan yang diberikan kepada daerah baru hasil pemekaran untuk mengatur dan memperbaiki kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. 98 Sebelum Maluku Utara dimekarkan menjadi provinsi definitif oleh pemerintah pusat pada tahun 1999, Maluku Utara sebelumnya masih berada dalam bingkai pemerintahan Maluku, dengan IbuKota provinsi di Ambon. 81 Ironisnya, suntikan reformasi juga telah membuka ruang bagi sebagian elite lokal yang memiliki modal ekonomi, dan simbolik sebagai kesempatan untuk merebut kekuasaan dan penguasaan atas berbagai sumber daya alam. Dengan orientasi kekuasaan dan penguasaan atas sumber daya alam sekelompok elite inilah, lahir konflik sosial berkepanjangan di dalam masyarakat, sebab kesempatan ini diletakkan pada kepentingan dan egoisme elite politik untuk merebut kekuasan dan mempertahankan kekuasaan mereka masing-masing, dan bukan untuk kepentingan membangun masyarakat yang lebih beradab. Konflik yang terjadi di Maluku Utara pada bulan Agustus 1999 telah menelan korban jiwa manusia dan harta yang cukup besar. Menurut data Violent Conflict in Indonesia Study korban jiwa akibat konflik di Maluku Utara dalam waktu sebelas bulan mulai dari awal Agustus 1999 sampai Juni 2000, tercatat 3.257 orang tewas dan 2.635 orang luka-luka. 99 Ironisnya atas nama dan sekaligus alasan agama dan mereka sesama manusia saling membantai hanya karena terprovokasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Maluku Utara adalah salah satu daerah di Indonesia yang memiliki sejarah konflik yang cukup panjang, khususnya dalam hubungan antar umat beragama. Di mana setiap orang baik dari komunitas Kristen maupun Islam dibuat kehilangan nilai kemanusiaan akibat dari memudarnya rasa solidaritas, modal sosial dan sekaligus mau dimanfaatkan oleh elite lokal, sehingga memicu rasa saling benci dan berujung 99 Patrick Barron et al. Seusai Perang Komunal, Memahami Kekerasan Pasca-Konflik di Indonesia Timur dan Upaya Pencegahannya.Yogyakarta:CSPS BOOKS, hlm 12. 82 pada saling membantai pada peristiwa 1999-2000 yang memakan korban jiwa, tanpa ada pertimbangan kemanusian dan moral sedikit pun. Hal inilah kemudian telah membentuk politik ingatan sosial untuk selalu di ingat sebagai sejarah yang abnormal dalam membangun peradaban kemanusiaan. Sembilan belas hari setelah status Provinsi Maluku Utara diresmikan tepatnya pada tanggal 5 oktober 1999, juga meletusnya konflik antara warga di dua kecamatan bertetangga, yaitu kecamatan Malifut dan kecamatan Kao. Masyarakat Malifut adalah transmigrasi Muslim dari pulau Makian ke Kao oleh pemerintah setempat karena alasan meletusnya Gunung Kie Besi pada tahun 1975, sementara masyarakat Kao adalah penduduk asli daerah yang beragama mayoritas Kristen Protestan dan minoritas Islam. Selain itu, masyarakat Kao merupakan konstituen Sultan Ternate. Namun lama-kelamaan kedua daerah tersebut berubah dan kehilangan rasa kemanusiaan ketika konflik secara fisik tidak dapat dihindari. Konflik di Halmahera tersebut berawal dari perebutan batas wilayah tambang emas di Gosowong, yang terdapat di perbatasan Kao-Malifut. 100 Lalu kemudian konflik tersebut dengan lihai diperas dan dikembangkan isunya menjadi konflik antar agama. Pada mulanya konflik antara Islam dan Kristen ini terjadi di Ibukota Provinsi Maluku Ambon, pada 19 januari 1999 yang dikenal dengan peristiwa Idul Fitri Berdarah. Sejak saat itu pertikaian terus berlangsung, dan tidak hanya berpusat di Ambon tetapi meluas hingga ke daerah-daerah lain di luar Ambon, termasuk ke 100 Smit Alhadar. Peristiwa Menjelang Kerusuhan Maluku Utara dalam Imran Hasan editor Memikirkan Kembali Maluku dan Maluku Utara. Makasar:LEPHAS. hlm 105. 83 Maluku Utara Ternate dan Halmahera. Kehadiran pengungsi dari Ambon di ke dua daerah tersebut diterima baik oleh masyarakat setempat dan pada awalnya tidak mempengaruhi situasi keamanan di Ternate maupun Halmahera. Namun suasana di kawasanan Maluku Utara perlahan-lahan mulai berubah, hal ini makin jelas ketika muncul selebaran gelap yang isinya memprovokasi umat beragama, yakni “peta penyerangan Gereja Protestan Maluku GPM di Ternate kepada sinode Gereja Masehi Injil Halmahera GMIH”. 101 Selain itu, muncul selebaran lain tentang serangan balik Sosol Berdarah oleh Sinode GPM ke GMIH di Tobelo Halmahera Utara, akan tetapi selebaran tersebut secara jelas tidak memiliki legitimasi kebenaran untuk dijadikan alasan berperang. Sebab selebaran tersebut palsu yang sengaja di buat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang seolah-oleh selebaran tersebut di buat oleh ketua Sinode GPM, Pendeta S.P. Titaley. Dari hasil penyelidikan teks tersebut terdapat beberapa keselahan dan atau kebohongan surat tersebut yakni: Pertama, surat edaran tidak dilengkapi dengan kop dan cap dari instansi Sinode GPM, kedua, penulisan nama yang menandatangani surat edaran sangat berbeda dari biasanya, sebagai surat resmi penulisan nama Ketua Sinode GPM, selalu dilengkapi dengan gelar pendeta Pdt., ketiga, tanda tangan surat edaran sengat berbeda dengan tanda tangan ketua Sinode, keempat, tidak dicantumkan tanggal penulisannya, kelima bagian akhirpenutup surat edaran di tulis dengan “Salam Oikumene”. Istilah ini tidak digunakan dalam suatu surat resmi, dan keenam , dalam surat edaran tersebut dicantumkan bawa Universitas 101 Jan Nanere. Halmahera Berdarah, op.cit hlm 53. 84 Theologia berada di Ternate, padahal tidak ada universitas melainkan Sekolah Tinggi Theologia dan bukan berada di Ternate Melainkan di Tobelo. 102 Ketika beredarnya selebaran gelap dan palsu berjudu l “Sosol Berdarah” yang menyerukan umat Kristen melakukan perang suci terhadap golongan Islam, 103 rasa curiga dari masing-masing pihak baik Islam dan Kristen semakin menguat hingga memicu terjadi pembantaian umat Kristen di Tidore, Ternate dan umat Islam dan Kristen di Halamhera Utara hingga merembe keseluruh penjuru Maluku Utara. Dari gambaran peristiwa konflik tersebut ada beberapa analisis yang memandang bahwa konflik tersebut merupakan permainan elite lokal dan juga perebutan sumber daya alam antara kedua komunitas Makian dan Kao. Kerusuhan di Maluku Utara juga terjadi bersamaan dengan konflik kepentingan elite lokal sesama Islam dalam memperebutkan jabatan Gubernur Maluku Utara. Konflik ini terutama melibatkan Sultan Mudafar Sjah yang dengan dukungan kelompok Kristenselain sebagian kelompok islam, berambisi menjadi Gubernur definitif Provinsi Maluku Utara. 104 Sejalan dengan ini menurut Saiful Bahri Ruray motif lokal dalam konflik Maluku Utara juga dapat dibagi menjadi empat motif yakni, pertama bias kerusuhan antar agama di Ambon. Kedua konflik antar batas 11 desa di Kao dan Jailolo berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 421999 tentang Malifut. Ketiga konflik Status 102 Jan Nanere Ibid hlm 66-67. 103 Imron Hasan edit. Op.cit. hlm 117. 104 Lihat Rizal Sihbudi et al. Bara dalam Sekam, Indentifikasi akar masalah dan solusi atas konflik- konflik lokal di Aceh, Maluku, Papua dan Riau. Bandung:Mizan. hlm 103. 85 Provinsi. Keempat kepentingan suksesi lokal. 105 Dengan demikian pertikaian yang terjadi merupakan upaya untuk saling merebut kekuasaan baik sumber daya alam maupun jabatan politis. Motif lokal ini yang kemudian membentuk kekerasaan di tingkat masyarakat yang berbeda agama. Beragamnya konflik sosial di Maluku Utara, telah memicu elite lokal untuk melahirkan konflik sebagai ruang bagi perebutan kekuasaan. Menurut Gufran H Kordi, konflik Maluku Utara sudah sangat kompleks dan telah berkepanjangan. Ini karena disebabkan pengingkaran hak-hak masyarakat lokal di kecamatan Kao setelah ditemukannya tambang emas. Ketika terjadi transmigrasi penduduk Pulau Makian ke Malifut tidak ada dialog dengan masyarakat setempat. Seperti telah umum dilakukan penguasa Orde Baru, penduduk Pulau Makian yang ditempatkan di Malifut tanpa ba- bi-bu, langsung ditempatkan begitu saja. Bahkan pemerintah Maluku Utara memilih kecamatan Kao sebagai daerah penempatan penduduk transmigrasi pulau Makian adalah suatu pilihan yang sangat politis yaitu untuk membendung kristenisasi, yang merupakan isu panas waktu itu. 106 Konflik yang berdampak ke Maluku Utara Ternate dan Halmahera disebabkan karena surat edaran sosol berdarah yang dilakukan oleh orang-orang terdidik dan disebarkan menjadi wacana publik, dan dengan demikian masyarakat dibuat tunduk pada wacana tersebut. Selain itu juga, dampak konflik karena perebutan kekuasaan elite lokal antara elite Tidore-Makian dan Ternate, seperti yang 105 Lihat Kasman Hi Ahmad Herman Oesman . Damai Yang Terkoyak, Catatan Kelam Dari Bumi Halamahera. Maluku Utara: Podium bekerja sama dengan Madani Press. hlm 8. 106 Imron Hasan edit. Op.cit 124. 86 disampaikan oleh seorang wartawan senior Maluku Utara ketika diwawancarai oleh penulis: Surat edaran ini disetting oleh beberapa orang penting yang saat ini memiliki posisi strategis di pemerintahan Maluku Utara. Mereka sebenarnya tidak menginginkan kehadiran Sultan Mudafar sjah untuk memimpin Maluku Utara Gubernur, yang pada waktu itu sangat berpeluang menjabat sebagai Gubernur sebab beliau memenggang posisi sebagai ketua DPD Golkar. Sehingga settingannya adalah untuk meruntuhkan powernya di masyarakat dan sekaligus dapat dibenci oleh masyarakat Islam adalah dengan cara mereka membuat surat edaran untuk di lepas di beberapa titik, di bagian selatan selebaran tersebut ditaruh di depan Gereja kalumata, di bagian tengah di taruh di depan Gereja kelurahan Tanah Tinggi dan di bagian Utara di jalan menuju Bandara Udara. Sehingga ketika konflik pecah dengan sendirinya mayoritas Muslim akan meminta Sultan Ternate untuk tidak melindungi masyarakat Kristen. Sebab Sultan dianggap memiliki konstituen yang banyak beragama Kristen di Halmahera Utara yakni masyarakat Kao. 107 Konflik di Maluku Utara secara eksplisit tidak bisa dilepas-pisahkan dari perebutan kekuasaan Gubernur oleh elite lokal dari etnis Makian-Tidore dengan Ternate ketika Maluku Utara diresmikan menjadi Provinsi Definitif. Oleh karena itu, konflik di Maluku Utara pada saat itu merupakan strategi politis yang dilaksanakan oleh elite untuk mempertahankan kekuasaan atau bahkan merebut kekuasaan. Sejalan dengan ini Menurut Mahmud Raimadoya, konflik berdarah di Maluku Utara merupakan murni urusan elite politik lokal, elite politik yang disebut kubu selatan Tidore-Makian dan Utara Ternate. 108 Dari Ambisi politik kedua kubu ini yang 107 Wawancara dilakukan penulis dengan Il sekarang wartawan Fajar Malut pada tanggal 23 Februari 2013. 108 Imron Hasan. Op.cit hlm 111. 87 tidak dikelolah secara baik, akabitanya melahirkan konflik sosial yang menjadikan masyarakat sebagai kekuatan politiknya.

2. Karakteristik Konflik di Maluku Utara