Asumsi Pokok Realisme Strategi Kebijakan Ofensif dan Defensif Negara

2.2.1. Asumsi Pokok Realisme

Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf mengungkapkan bahwa sekurang-kurangnya terdapat sepuluh asumsi pokok realisme yang dapat digunakan untuk menjelaskan dasar perilaku pertahanan negara, yaitu: Kegley, 2003:36, dikutip dari Jemadu, 2008:21-22 1. Manusia pada dasarnya mementingkan dirinya sendiri tanpa memedulikan etika dan selalu terdorong untuk mengambil keuntungan dalam hubungan dengan orang lain. 2. Hasrat manusia untuk berkuasa dan mendominasi orang lain merupakan niat buruk yang paling menonjol dan berbahaya dalam hubungan dengan sesamanya. 3. Peluang untuk untuk menghilangkan hasrat untuk meraih kekuasaan hanyalah sebuah aspirasi yang utopis. 4. Esensi dari politik internasional adalah pertarungan untuk meraih kekuasaan dimana prinsip “war of all against all” berlaku. 5. Kewajiban utama negara yang melampaui semua tujuan nasional lainnya adalah memperjuangkan kepentingan nasional dan meraih kekuasaan untuk mewujudkannya. 6. Sistem internasional yang anarkis memaksa negara uuntuk meningkatkan kapabilitas militernya guna menangkal serangan dari musuh potensial dan menjalankan pengaruhnya atas negara lain. 7. Kekuatan militer lebih penting daripada ekonomi demi tercapainya keamanan nasional dan pertumbuhan ekonomi hanyalah sarana untuk mencapai dan memperluas kekuasaan dan prestise negara. 8. Sekutu dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan negara dalam mempertahankan diri tetapi kesetiaan dan keandalannya tidak bisa dipastikan sebelumnya. 9. Negara tidak boleh mengandalkan organisasi internasional, atau hukum internasional melalui mekanisme pemerintah global. 10. Karena semua negara berusaha untuk meningkatkan kekuatannya maka stabilitas hanya bisa dicapai melalui keseimbangan kekuatan yang diperlancar oleh pembentukan dan pembubaran aliansi-aliansi yang saling bertentangan.

2.2.2. Strategi Kebijakan Ofensif dan Defensif Negara

Teori-teori realisme dalam hubungan internasional berpusat pada struktur sistem internasional dan pengaruhnya terhadap sifat anarki negara. Beberapa kaum realis, yang disebut sebagai kaum realis ofensif, menyatakan bahwa cara terbaik bagi sebuah kekuasaan yang kuat untuk memperoleh keamanan dalam kondisi anarki adalah dengan mengejar hegemoni regional yaitu memperoleh kendali atas salah satu lingkungan terdekatnya. Meskipun kaum realis ofensif mengakui bahwa kebijakan luar negeri yang agresif dapat bersifat kontra- produktif, dalam keadaan tertentu pendekatan keamanan merupakan cara terbaik untuk melakukan pengendalian Lind, 2003:18. Serupa dengan kaum realis ofensif, kaum realis defensif juga memiliki asumsi yang sama bahwa negara harus selalu waspada dan memastikan keamanan mereka dalam kondisi dunia yang anarki. Namun dalam persamaan tersebut, kaum realis defensif lebih menekankan pada sifat kontra-produktif dari kebijakan ekspansionisme dan penggunaan kekuatan untuk memimpin negara-negara lain untuk membentuk aliansi bagi pengadaan pertahanan merupakan cara yang lebih mudah daripada sikap ofensif. Kaum realis ofensif dan defensif berbagi asumsi yang sama bahwa faktor utama yang mengarahkan kebijakan luar negeri negara adalah konsentrasi mereka terhadap pencapaian keamanan. Keduanya juga mengakui bahwa kondisi-kondisi anarki dapat membawa negara pada sikap agresif atau juga strategi-strategi pengendalian Lind, 2003:19. Para pemikir realis telah mengidentifikasikan beberapa bentuk strategi kebijakan luar negeri ofensif dan defensif yang mungkin digunakan oleh negara untuk menanggapi bahaya dari anarki. Mengenai strategi ofensif, John J. Mearsheimer menjelaskan hal tersebut dapat berbentuk, seperti: Mearsheimer, 1998:162, dikutip dari Lind, 2003:20 1. Penaklukan; berupa ekspansi militer untuk mendapatkan hegemoni regional. 2. Mengikuti pihak yang kuat untuk mendapatkan keuntungan; seperti beraliansi dengan negara yang kuat dan agresif untuk memperoleh keuntungan perang dari negara tersebut. Sedangkan bentuk strategi kebijakan luar negeri defensif dikatakan Kenneth N. Waltz dapat berbentuk: Waltz, 1979:90, dikutip dari Lind, 2003:19 1. Penyeimbangan; membangun kekuatan militer, mencari sekutu, dan berkonfrontasi dengan negara-negara agresif. 2. Mengelak atau menghindarkan tanggung jawab; konsisten tidak campur tangan dan berharap bahwa musuh terjebak dalam konflik dengan negara lain. 3. Pembonceng gratis free-riding; negara pembonceng gratis bergabung dalam sebuah koalisi penyeimbang tapi lebih banyak melimpahkan biaya penyeimbangan kepada sekutu mereka. Diantara strategi-strategi tersebut kaum realis telah memposisikan bahwa strategi menghindarkan tanggung jawab dan pembonceng gratis merupakan strategi yang cukup menarik dalam beberapa situasi. Melakukan strategi penyeimbangan akan memakan banyak biaya dan kemungkinan akan memberikan penurunan terhadap keamanan jangka panjang sehubungan dengan ikut menurunnya sumberdaya manusia dan kesejahteraan. Keuntungan utama dari strategi menghindarkan tanggung jawab atau pembonceng gratis adalah bahwa strategi-strategi tersebut mengandalkan transfer sejumlah biaya kepada negara lainnya. Dalam hal ini kaum realis berpendapat strategi transfer biaya akan secara khusus menarik dalam lingkup keadaan tertentu. Sebagai contoh, negara akan lebih memilih menghindarkan tanggung jawab atau membonceng gratis ketika kondisi geografis atau teknologi militer masih memberikan keuntungan perlindungan bagi kemungkinan invasi mendadak Mearsheimer, 1998:273, dikutip dari Lind, 2003:20. Strategi pembonceng grattis digunakan ketika negara secara relatif aman, dan memiliki sekutu kuat yang akan selalu dapat melindungi dari ancaman. 2.3. Kerjasama Internasional Dalam Hubungan Internasional dikenal dengan apa yang dinamakan kerjasama internasional. Dalam kerjasama internasional ini bertemu berbagai macam kepentingan nasional dari berbagai bangsa dan negara yang tidak dapat dipenuhi di dalam negerinya sendiri. Kerjasama Internasional adalah sisi lain dari konflik internasional yang juga merupakan salah satu aspek dalam Hubungan Internasional. Isu utama dari kerjasama internasional yaitu berdasarkan pada sejauhmana keuntungan bersama yang diperoleh melalui kerjasama dapat mendukung konsepsi dari kepentingan tindakan yang unilateral dan kompetitif. Dengan kata lain kerjasama dapat terbentuk karena kehidupan internasional yang meliputi berbagai bidang seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, lingkungan hidup, kebudayaan, pertahanan, dan keamanan. Hal tersebut memunculkan kepentingan yang beraneka ragam sehingga mengakibatkan berbagai masalah sosial. Untuk mencari solusi atas berbagai masalah tersebut maka beberapa negara membentuk suatu kerjasama internasional. Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Mas’oed mengenai Kerjasama Internasional dapat didefinisikan sebagai berikut: 1. Merupakan suatu proses dimana antar negara-negara yang berhubungan secara bersama-sama melakukan pendekatan satu sama lainnya. 2. Mengadakan pembahasan dan perundingan mengenai masalah-masalah tersebut. 3. Mencari kenyataan-kenyatan teknis yang mendukung jalan keluar tertentu. 4. Mengadakan perundingan atau perjanjian di antara kedua belah pihak Mas’oed, 1977:33. Berdasarkan pernyataan dari Mas’oed diatas, dapat diketahui bahwasannya pelaksanaan politik luar negeri tidak mungkin dicapai jika hanya mengandalkan kekuatan sendiri. Maka dari itu suatu kerjasama akan diusahakan untuk memperoleh manfaat yang diperkirakan akan memberikan manfaat besar dari pada konsekuensi-konsekuensi yang ditanggungnya. Suatu kerjasama diawali dengan adanya suatu kesepakatan dan yang paling mudah apabila tidak mengandung banyak resiko. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Frankle bahwa masalah kerjasama terletak pada pencapaian tujuan. Kerjasama Internasional itu sendiri terbagi atas beberapa bagian yaitu: 1. Kerjasama Global, dasar utama dari kerjasama ini adalah adanya hasrat yang kuat dari berbagai bangsa di dunia untuk bersatu dalam suatu wadah yang mampu mempersatukan cita-cita bersama. Contoh bentuk representasi dari kerjasama global ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB, yang memungkinkan terbentuknya konvensi-konvensi internasional badan-badan khusus tersebut diantaranya WHO, ILO, dan lain-lain. 2. Kerjasama Regional, indikator yang dapat menentukan kerjasama ini terwujud adalah secara geografis letaknya berdekatan, adanya kesamaan pandangan dibidang politik dan kebudayaan maupun perbedaan struktur produktivitas ekonomi contoh ASEAN. 3. Kerjasama Fungsional, kerjasama ini adalah suatu fokus yang terkonsentrasi, misal kerjasama dalam bidang ekonomi, politik, dan lain- lain. kerjasama ini berangkat dari pemikiran yang mensyaratkan adanya kemampuan tertentu pada masing-masing partner kerjasama. Dalam artian kerjasama ini tidak akan terselenggara apabila diantara mitra kerjasama ada yang tidak mampu mendukung suatu fungsi yang spesifik diharapkan darinya oleh yang lain. 4. Kerjasama Ideologi, menurut Vilfredo Pareto adalah suatu kelompok kepentingan untuk membenarkan tujuan dan perjuangan kekuasaan. Misal: organisasi Konfrensi Partai Komunis Sedunia Darmayadi, 2004:1-2.

2.4. Konsep Pengaruh