Kebijakan pendistribusian pasukan militer Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin 2006-2014

(1)

DAN DARWIN 2006-2014

Skripsi

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Ardhiana Fitriyanie 1110083000004

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

1945, dan disaat yang bersamaan Jepang dilarang memiliki kekuatan militer skala besar sehingga, wilayah Jepang dijaga oleh AS dan tentara Sekutu lainnya selaku pemenang Perang Dunia II. Pada tahun 1960 dengan menandatangani perjanjian aliansi Treaty of Mutual Cooperation and Security, AS kemudian secara legal mendirikan pangkalan militernya di seluruh daratan Jepang sebagai komitmen AS menjaga teritori Jepang dari ancaman eksternal serta menjaga stabilitas Kawasan Timur Jauh. Tetapi pembangunan dan penempatan pasukan militer AS di Jepang khususnya di Okinawa mendapatkan reaksi penolakan dari penduduk lokal Okinawa dan meminta pemerintah Jepang untuk menutup pangkalan militer AS dari wilayah mereka.

Selama bertahun-tahun Pemerintah Jepang telah berupaya untuk membujuk AS mengenai pemindahan pangkalan militernya dari Okinawa hingga pada tahun 2006, respon AS cukup mengejutkan yaitu mengeluarkan kebijakan luar negeri berupa pendistribusian pasukan militer sebanyak 9000 personil dan memindahkannya ke tiga lokasi yakni Guam, Hawai, dan Darwin yang tertuang dalam U.S.-Japan Alliance: Transformation and Realignment for the Future.

Persetujuan AS untuk memindahkan pasukan militernya dari Okinawa sebanyak 9000 bukanlah tanpa alasan, dimana dalam penelitian ini ditemukan bahwa alasan terbesar AS mendistribusikan pasukan milliternya dari Okinawa adalah karena kekhawatiran AS akan peningkatan kekuatan militer Cina di Kawasan Asia Pasifik. Penelitian ini juga berhasil melihat dengan kekhawatiran AS tersebut, akhirnya mengarahkan AS untuk menggunakan strategi baru yaitu Hedging. Hedging bukan saja balancing

atau engagement melainkan memadukan kedua strategi tersebut secara bersamaan.

Selain itu penelitian ini juga menemukan alasan AS memilih Guam, Hawai dan Darwin yaitu AS dapat mendirikan banyak akses “lily pads” di

Kawasan Asia Pasifik untuk memperkuat “Hub and Spoke” dengan negara-negara aliansi AS maupun non-aliansi. Sehingga hegemoni AS di kawasan Asia Pasifik tidak tergeser oleh kehadiran Cina. Kepentingan AS di kawasan merupakan faktor utama AS yang pada akhirnya mau mendistribusikan pasukan militernya dari Okinawa tahun 2006.

Kata kunci: AS, Jepang, Distribusi Pasukan Militer, Pangkalan Militer AS, Kebijakan Luar Negeri, Hedge, Lily Pads, Keamanan Nasional, Aliansi.


(6)

v

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena hanya berkat

rahmat-Nyalah peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kebijakan

Pendistribusian Pasukan Militer Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin (2006-2014)”. Peneliti sangat menyadari hanya karena Dialah peneliti mampu menyusun dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Peneliti menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Orang tua tercinta Ayahanda Sukardi dan Ibunda Sri Suratmi yang telah memberikan dukungan baik moral maupun materil kepada peneliti serta tidak pernah lelah memberikan semangat dan doa agar peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini.

2. Kakak peneliti yaitu Ardhiana Sitarusmi yang selalu ada untuk peneliti sebagai patner bertukar pikiran dalam semua bidang baik akademik maupun non akademik.

3. Debby Affianty, M.Si selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional dan Agus Nilmada Azmi, M.Si selaku Sekertaris Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Teguh Santosa, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi peneliti yang tanpa henti memberikan saran, kritikan, arahan, kesabaran serta berbagi pengalaman baik ilmu maupun kehidupan.


(7)

vi

menjalankan perkuliahan di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Para dosen dan staff FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya

jajaran dosen jurusan Hubungan Internasional atas ilmu yang diberikan selama peneliti menjalankan kegiatan perkuliahan dan bantuan dalam urusan administrasi selama masa kuliah.

7. Narasumber yang telah menyediakan waktu untuk memberikan kesempatan peneliti untuk bertanya mengenai berbagai hal terkait isu yang peneliti ambil dalam materi skripsi yaitu Jonathan Berkshire Miller dari Pacific Forum Centre for Strategic and International Studies

(CSIS), John Hemmings dari London School of Economics (LSE), Iis Gindarsah dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, David Vine dari American University, dan Terence Roehrig, PhD dari US Naval War College.

8. Teman-teman terbaik peneliti yaitu Mentari Rika Noviandri, Putu Ayu Widyantini, Prasetyo Dharma, M.Khusni Mubarak yang telah memberikan semangat serta dorongan moril agar peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.

9. Teman-teman terbaik peneliti di HI A yaitu Ramadhani Eko. P, Nabila Fatma Giyanti, Nuning Sintya Defa, Meri Puji Astuti, Clara Safitri, Gina Nurbaiti, Anggi Febrianto, M. Yoga, Syafiq Muhammad, dan Siti Kholilah. Pengalaman selama empat tahun perkuliahan adalah pengalaman yang luar biasa.


(8)

vii

ketua kelas abadi bersama Ramadhani Eko. Empat tahun perkuliahan terasa singkat jika bersama kalian. Terima Kasih telah berjuang bersama dan menjadi kelas terbaik.

11.Teman-teman International Studies Club (ISC) yang telah banyak memberikan pengalaman berorganisasi yaitu Ka Andri, Ka Amar, Ka Adit, Andre, Bayu, Fahmi, Fikri, Desica, Aptiani, Acit, Dzikri, Tara, Annisa, Mahar, dan anggota ISC lainnya.

12.Semua pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terimakasih Semuanya.

Jakarta, 9 Desember 2014


(9)

viii

ANZUZ The Australia, New Zealand, United States Security

Treaty

AUSMIN United States and Australia held Ministerial

Consultations

ARF ASEAN Regional Forum

ASCM Anti-Ship Cruise Missile

ASDF Air Self Defense Force

AS Amerika Serikat

CFAY Commander Fleet Activities Yokosuka

CLCS Commission on the Limits of the Continental Shelf

COMLOG WESTPAC Commander, Logistic Group, Western Pacific

CSD Collective Security Defense

CSL Cooperative Security Location

DOC Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea

DPJ Democratic Party of Japan

DPRI Defense Policy Review Initiative

GSDF Ground Self Defense Force

ICBM Intercontinental Ballistic Missile

IRBM Intermediate Range Ballistic Missile

JSDF Japan Self Defense Force


(10)

ix

MSDF Maritime Self Defense Force

NATO North Atlantic Treaty Organization

OTH Over-The-Horizon

PCB Polychlorinated Biphenyl

PLA The People’s Liberation Army

PLAN People’s Liberation Army Navy

PPM Part Per Million

PVA People’s Volunteer Army

RVN Republic of Vietnam Navy

SACO Special Action Committee on Okinawa

SCC Security Consultative Committee

SDP Social Democratic Party

SFPT San Francisco Peace Treaty

SOFA Status of Forces Agreement

SSBN Ballistic Missile Submarines, Nuclear

UNC United Nations Command

UNCLOS United Nations Convention on the Law of the Sea

UNTAC United Nations Transitional Authority in Cambodia

USCAR United States Civil Administration in the Ryukyus

USPACOM United States Pacific Command


(11)

x

Tabel III.C.2 Penempatan Kapal Angkatan Udara PLA Cina………. 71

DAFTAR GRAFIK

Grafik II.C Persentase Lahan Pangkalan Militer AS... 41 Grafik III.A Jumlah Pasukan Militer AS di Kawasan Asia Pasifik Sampai

2012……….………...

52

Grafik III.C.1 Nilai Gross Domisetic Product Cina (1990-2010)………...…… 66

Grafik III.C.2 Anggaran Belanja Militer AS (2002-2010)………... 67


(12)

xi

Gambar II.C.1 Peta Penyebaran Fasilitas Pangkalan Militer AS di Prefektur

Okinawa……….………

37

Gambar II.C.2 Peta Lokasi Strategis Okinawa………..……… 39

Gambar III.A Penempatan Pasukan Militer AS di Asia Pasifik………... 51

Gambar III.B.1 Peta Jangkauan Balistik Misil Korea Utara……….………...…... 58

Gambar III.B.2.1 Peta Laut Cina Selatan... 61

Gambar III.B.2.2 Peta Sengketa Laut Cina Timur……….……… 64


(13)

xii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI………... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI……… iii

ABSTRAK……… iv

KATA PENGANTAR……….. v

DAFTAR SINGKATAN... viii

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK……... x

DAFTAR GAMBAR……….... xi

DAFTAR ISI………..……….………... xii

BAB I PENDAHULUAN………..………... 1

A. Pernyataan Masalah...…………... 1

B. Pertanyaan Penelitian………... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……...……….………. 6

D. Tinjauan Pustaka……….………... 7

E. Kerangka Pemikiran………..………... 12

F. Metode Penelitian………...………... 21

G. Sistematika Penulisan…………..………... 22

BAB II HUBUNGAN ALIANSI AMERIKA SERIKAT-JEPANG ………... 24

A. Sejarah Hubungan Aliansi Militer AS dan Jepang Paska Perang Dunia II 1945... 24

B. Penempatan Pasukan Militer Amerika Serikat di Jepang………... 30

C. Kepentingan Penempatan Pasukan Militer Amerika Serikat di Okinawa……….. 35

C.1Fasilitas Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa………. 41


(14)

xiii

A. Keterlibatan Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik………... 48

B. Konflik Regional Asia Pasifik…...………... 53

B.1 Konflik Semenanjung Korea………... 53

B.2 Sengketa Maritim………... 58

B.2.a Laut Cina Selatan………..………... 58

B.2.b Laut Cina Timur………... 64

C. Peningkatan Kekuatan Militer Cina………... 66

C.1 Angkatan Laut………... 69

C.2 Angkatan Darat………..………... 70

C.3 Angkatan Udara……….……….…... 70

C.4 Kemampuan Space,Counterspace, dan Cyberwarfare...……… 72

BAB IV ANALISA KEBIJAKAN PENDISTRIBUSIAN PASUKAN MILITER AMERIKA SERIKAT DARI OKINAWA (2006-2014)………..………… 74 A. Faktor Pemicu Pendistribusian Pasukan Militer Amerika Serikat dari Okinawa tahun 2006……….…………..………..…..………. 74 B. Relokasi Pasukan Militer Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin………...………... 81 BAB V KESIMPULAN……….…………... 102

DAFTAR PUSTAKA………... 105 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Skripsi ini akan membahas mengenai kebijakan pendistribusian pasukan militer Amerika Serikat dari Okinawa ke beberapa wilayah di Asia Pasifik seperti Guam, Hawai, dan Darwin dari tahun 2006 sampai 2014.

Pada tahun 2006 Amerika Serikat (AS) dan Jepang melakukan pertemuan untuk membahas penyusunan kembali (Realignment) aliansi militer terkait Pangkalan Militer AS yang berada di Okinawa sejak tahun 1952. Hasil dari

Realignment tersebut Pemerintah AS akan menarik pasukan militernya dari Okinawa sebanyak sekitar 9.000 personil dan memindahkannya ke beberapa tempat di Kawasan Asia Pasifik seperti Guam, Hawai dan Australia (The Wall Street Journal 2013).

Jumlah pasukan AS yang didistribusikan dari Okinawa adalah sebanyak 5.000 personil ke Guam, 2.000 personil ke Hawai, dan 2.500 personil ke Australia. Pemindahan ini membutuhkan waktu sekitar lima atau enam tahun dari tahun kesepakatan Realignment dan tergantung pada kondisi Pangkalan Militer AS di Jepang. Selain itu, biaya total keseluruhan relokasi akan ditanggung kedua negara, dan AS meminta Jepang untuk membiayai relokasi sebesar 6,09 milyar dolar AS (sekitar 32 trilyun rupiah) dari total biaya relokasi sebesar 10,27 milyar dolar AS (sekitar 82 trilyun rupiah) (The Wall Street Journal 2013).


(16)

Keinginan untuk mendistribusikan Pasukan Militer AS dari Okinawa merupakan salah satu agenda utama Jepang untuk memenuhi tuntutan rakyat Okinawa yang menginginkan semua pangkalan militer AS dipindahkan dari wilayah Prefektur Okinawa sehingga untuk memenuhi tuntutan ini, Jepang berupaya bernegosiasi dengan AS terkait isu ini diberbagai pertemuan bilateral kedua negara (Brooks 2010:41).

Salah satu upaya perundingan bilateral yang dilakukan kedua negara sejak tahun 1997 adalah Security Consultative Committee (SCC) atau yang lebih dikenal dengan “aliansi 2+2”. SCC adalah sebuah forum bilateral yang membahas tentang hubungan keamanan bilateral kedua negara, dan pada tahun 2002 di dalam pertemuan SCC, AS-Jepang membahas mengenai transformasi aliansi kedua negara untuk menghadapi tantangan keamanan bersama atau yang dikenal dengan

Defense Policy Review Initiative (DPRI) (Brooks 2010:42).

Pembahasan DPRI antara lain yaitu menyangkut ambisi AS untuk melawan terorisme dan mentransformasi aliansi AS-Jepang dengan pembahasan merujuk pada kesepakatan AS akan memindahkan pasukan militernya dari Okinawa pada tahun 2006 dan memindahkannya ke Guam. Selain itu, kedua negara juga menyetujui untuk melakukan penggabungan dan pengintegrasian Pangkalan Militer AS di Okinawa dengan Pangkalan Militer AS di daratan Jepang lainnya serta melakukan renovasi fasilitas Pangkalan Udara Iwakuni di Prefektur Yamaguchi dan Barak Zama di Prefektur Kanagawa (Brooks 2010:44).

Tindakan Jepang meminta AS untuk memindahkan pasukannya dari Okinawa disebabkan oleh beberapa faktor domestik seperti penolakan warga Okinawa atas kehadiran Pangkalan Militer AS yang diawali oleh kasus kriminal


(17)

pemerkosaan terhadap gadis berumur 12 tahun pada tahun 1995 oleh personil militer AS dan tekanan dari partai politik di Pemerintahan Jepang (Japan Communist Party 2000).

Partai yang ikut serta menolak kehadiran Pangkalan Militer AS di Okinawa salah satunya adalah Democratic Party of Japan (DPJ) dan Social Democratic Party (SDP) yang menekan pemerintah Jepang untuk segera memindahkan pangkalan militer AS dari Okinawa dan merevisi ulang Status of Forces Agreement (SOFA) mengenai ekstra teritori yang dimiliki oleh pasukan militer AS (Brooks 2010:12).

Selain itu, keinginan untuk memindahkan pasukan militer AS dari Okinawa bukan hanya dilihat dari alasan kejahatan saja, melainkan pemerintah Jepang terlalu banyak menghabiskan dana APBN untuk membiayai operasional militer AS di Jepang. Pemerintah Jepang harus membayar tagihan listrik dan uang saku serta uang 100.000 dolar AS (sekitar satu milyar rupiah) bagi setiap personil AS per tahun sehingga, hampir 65% biaya pangkalan militer AS ditanggung oleh pemerintah Jepang (Smith 2001:2).

Melihat tekanan yang datang sebenarnya pemerintah Jepang berada pada posisi dilema di mana disatu sisi pemerintah harus mendengarkan tuntutan rakyat dan disisi lain perjanjian militer dengan AS juga tidak bisa diubah secara sepihak mengingat hubungan aliansi AS-Jepang sudah terjalin sejak tahun 1951. Berdasarkan perjanjian keamanan dengan AS tahun 1960 yaitu Treaty of Mutual Cooperation and Security, kehadiran militer AS tetap dipertahankan di wilayah Jepang untuk menjaga dari ancaman eksternal. Komitmen AS dalam menjaga keamanan wilayah Jepang disebabkan sejak kekalahan Jepang pada Perang Dunia


(18)

II tahun 1945, Jepang dilarang untuk memiliki kekuatan skala besar sehingga pertahanan teritori Jepang bergantung kepada tentara pertahanan Jepang yang dikenal dengan Japan Security Defense Force (JSDF) dan Pasukan Militer AS di Jepang (O.Hague 2007:61)

Menghadapi situasi ini upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Jepang adalah terus bernegosiasi dengan AS terkait pemindahan pasukan militer AS dari Okinawa dan kemudian upaya ini membuahkan hasil yaitu akhirnya AS merubah keputusannya dengan menyetujui pemindahan pasukan militernya dari Okinawa sebanyak 9.000 personil dan merelokasinya ke tiga tempat yaitu Guam, Hawai, dan Darwin (Vaughn 2007:2).

Alasan lain dari pemindahan pasukan militer AS dari Okinawa selain sebagai respon pemerintah Jepang, ini juga merupakan bentuk strategi AS dalam menghadapi tantangan dan ancaman negara lain yang dapat mengancam kepentingan AS di kawasan Asia-Pasifik seperti konflik Laut Cina Selatan dan klaim kepemilikan Kepulauan Spratly serta klaim atas kepemilikian Pulau Paracel oleh Cina dan beberapa negara di Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam dan Malaysia (Vaughn 2007:2).

Selain itu, strategi lain untuk menghadapi ancaman di Kawasan Asia Pasifik yaitu dengan memperkuat kerjasama militer dengan negara aliansi maupun negara non-aliansi (Fravel 2012:33). Ancaman di Kawasan Asia Pasifik tidak hanya berhenti pada isu konflik martim saja melainkan ancaman juga datang dari adanya potensi konflik di Semananjung Korea terkait masalah pengembangan Program Nuklir Korea Utara di mana Korea Utara kembali mengancam akan meluncurkan


(19)

senjata misil balistik kepada AS dan Korea Selatan di tahun 2006 dan 2009 (Fravel 2012:40).

Fokus Pemerintah AS terhadap penguatan kerjasama lebih ditekankan pada kerjasama di bidang pertahanan hal ini seperti yang disampaikan oleh Mantan Ketua The House Subcomittee Asia dan Pasifik, Jim Leach bahwa AS akan menghadapi tantangan geopolitik terbesarnya di Asia pada tahun-tahun mendatang (Vaughn 2007:4). Jim Leach juga mengatakan bahwa mempertahankan kehadiran kekuatan militer AS di luar negeri menjadi elemen kunci dalam mengeluarkan kebijakan keamanan nasional AS di Asia Pasifik selain itu, kehadiran militer AS ini akan mempromosikan stabilitas regional bersama dengan negara aliansi dan mitra lainnya serta menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di kawasan Asia Pasifik (Vaughn 2007:5).

Dari beberapa penjelasan ini, peneliti merasa perlu untuk membahas lebih lanjut tentang pendistribusian pasukan militer AS dari Okinawa di tahun 2006 dan melihat berapa pentingnya kawasan Asia Pasifik bagi AS sampai tahun 2014.

B. Pertanyaan Penelitian

Penempatan pasukan militer AS di Okinawa terbilang cukup lama yaitu sejak tahun 1945 sampai 2006, sekitar 50 tahun, dan penempatan pasukan militer ini menuai banyak kritik. Namun, kritik yang diajukan kepada pemerintah AS selama 50-tahun terakhir ini tidak membuat pemerintah AS memindahkan pasukannya dari Okinawa. Setelah melalui proses negosiasi yang panjang, akhirnya tahun 2006, AS menyatakan persetujuannya untuk memindahkan pasukan militernya dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin sebanyak 9.000 personil. Selain itu, pemindahan pasukan militer ini juga didasarkan oleh


(20)

keinginan AS untuk melindungi kepentingannya di kawasan Asia Pasifik dari ancaman yang mungkin datang.

Melihat gambaran isu di atas, peneliti merasa tertarik untuk membahas kebijakan luar negeri AS di bidang militer lebih lanjut, sehingga penulis mengangkat pertanyaan penelitiannya adalah:

Mengapa Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan luar negeri berupa pendistribusian Pasukan Militer AS dari Okinawa tahun 2006?” C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian berjudul Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer AS dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin 2006-2014 adalah untuk menjawab pertanyaan yang menjadi permasalahan yang telah diajukan oleh peneliti. Oleh sebab itu, tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisa alasan dan faktor yang mempengaruhi Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan luar negeri berupa pendistribusian pasukan militernya dari Okinawa, Jepang.

2. Memberikan gambaran umum mengenai orientasi dari kebijakan Amerika Serikat terhadap negara-negara di Asia Pasifik dan hubungannya dengan penarikan pasukan militer AS dari Okinawa, Jepang.

3. Mengetahui teori dan konsep dalam studi Hubungan Internasional yang relevan dan dapat digunakan sebagai alat analisa terhadap isu militer ini. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat diantaranya adalah:


(21)

1. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu hubungan internasional baik di lingkup universitas maupun lingkup nasional dan internasional.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian berikutnya untuk membahas tentang pendistribusian pasukan militer AS tidak hanya di Okinawa, Jepang namun juga bisa penarikan pasukan militer AS di Irak, Afghanistan, dan negara lainnya.

3. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan bagi penelitian berikutnya untuk membahas hubungan aliansi AS-Jepang pasca keputusan penarikan pasukan militer AS dari Okinawa yang dilakukan oleh Pemerintah AS.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer AS dari Okinawa ke Guam, Hawai dan Darwin tahun 2006-2014 ini bertujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai alasan AS menarik pasukannya dari Okinawa. Oleh karena itu, ada baiknya jika menelaah penelitian-penelitian lain mengenai penarikan pasukan militer AS ataupun yang berkaitan dengan pasukan militer AS yang telah ada sebelumnya sebagai pembanding dan pelengkap penelitian. Pada bagian ini peneliti akan meninjau beberapa penelitian yang berkaitan dengan pasukan militer AS.

Penelitian pertama terkait dengan judul peneliti adalah penelitian yang dilakukan oleh Syarifuddin dari Universitas Indonesia tahun 1983 yang berjudul

Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Amerika Serikat Terhadap Korea Selatan Antara Tahun 1976-1979 : Penarikan Pasukan Militer Amerika Serikat Dari Korea Selatan.


(22)

Di dalam penelitiannya, Syarifudin membahas tentang alasan dan faktor yang mempengaruhi AS memilih menarik pasukan militernya dari Korea Selatan di tahun 1976-1979. Faktor yang mempengaruhi penarikan ini antara lain yaitu faktor konflik antara Sino-Uni Soviet, hubungan RRC-AS, dan ketiga peranan optimal Beijing serta Jepang dalam menangkal perluasan pengaruh AS di Asia. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, Syarifuddin melihat bahwa penarikan pasukan militer AS dipengaruhi oleh pola hubungan antara negara-negara besar dan juga negara-negara kecil sehingga, hubungan antar negara tersebut dapat memicu adanya persaingan yang cukup besar antar negara.

Persaingan antara negara-negara besar seperti Cina-Uni Soviet juga telah mengurangi kebutuhan AS untuk menempatkan pasukan militernya secara besar-besaran. Hal ini disebabkan jika AS terlalu agresif justru akan membuat posisi AS menjadi sulit. Sehingga pada masa Presiden Carter, ia mengeluarkan kebijakan luar negeri berupa penarikan 33 ribu tentara AS secara bertahap dari Korea Selatan tahun 1976-1979.

Penelitian yang dilakukan oleh Syarifuddin menggunakan teori pentautan atau linkage theory dimana teori pentautan memiliki makna bahwa dalam sistem hubungan antar negara, negara kecil memiliki ikatan dengan negara-negara besar, sedangkan untuk metode penelitiannya Syarifuddin menggunakan metode deskriptif dengan sumber data sekunder berupa data perpustakaan, wawancara, dan sumber lainnya.

Kesamaan penelitian Syarifuddin dengan penelitian penulis adalah dari segi pemilihan topik yaitu terarah pada Penarikan Pangkalan Militer AS, kemudian peneliti juga membahas mengenai pola hubungan AS dengan negara-negara di


(23)

sekitar Kawasan Asia Pasifik, serta metode penulisan yang digunakan oleh peneliti juga menggunakan kualitatif yang bersifat deskriptif dengan sumber data sekunder. Perbedaan penelitian Syarifuddin dengan peneliti adalah objek penelitian dimana dalam penelitian Syariduddin objek penarikan pasukan miiter AS adalah Korea Selatan, sedangkan peneliti menggunakan objek Okinawa, Jepang, selain itu pembahasan peneliti juga mencangkup penjelasan pemilihan lokasi Guam, Hawai dan Darwin sebagai lokasi pemindahan pasukan militer AS dari Okinawa.

Penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan judul penelitian peneliti yaitu Faris Bimantara dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Pengaruh Pangkalan Militer AS di Okinawa (Jepang) Terhadap Kerjasama Bilateral AS-Jepang Dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan Periode 2001-2006.

Pokok permasalahan dari penelitian Bimantara adalah latar belakang apa yang mempengaruhi penempatan Pangkalan Militer AS di Okinawa, Jepang dan bagaimana pengaruh penempatan Pangkalan Militer AS di Okinawa terhadap kerjasama pertahanan dan keamanan AS-Jepang periode 2001-2006. Di dalam penelitiannya, Faris Bimantara menjelaskan bahwa alasan AS memilih Okinawa sebagai pangkalan militernya karena lokasi Okinawa memiliki nilai yang strategis dari sisi lokasi di mana letak Okinawa dekat dengan negara-negara penting AS di kawasan Asia Timur.

Selain itu, keberadaan pangkalan militer AS di sana juga membuat pergerakan militer AS lebih fleksibel dan efisien dalam mengawasi pergerakan militer negara lain di beberapa negara kawasan tersebut yang dianggap sebagai


(24)

ancaman, serta kepentingan AS di kawasan pun menjadi lebih mudah terutama dalam menghadapi serangan musuh AS memiliki Jepang sebagai aliansi utamanya di Kawasan Asia Timur.

Berdasarkan isu yang diangkat oleh Faris Bimantara, maka teori yang digunakan Faris adalah Grand Theory yaitu Neorealisme serta beberapa konsep pendukung lainnya seperti kepentingan nasional, power, dan konsep aliansi, sedangkan untuk metode penelitian, ia menggunakan metode kualitatif.

Kesamaan penelitian Faris Bimantara dengan penelitian yang peneliti ambil adalah dari segi objek penelitian yaitu Amerika Serikat dan Okinawa, Jepang, kemudian metode yang digunakan juga sama yaitu kualitatif. Namun perbedaan penelitian Faris dan penelitian peneliti adalah dari segi tahun penelitian, Faris memfokuskan penelitian tahun 2001-2006, sedangkan peneliti 2006-2014. Selain itu peneliti lebih berfokus kepada alasan AS mengeluarkan kebijakan pendistribusian pasukan militer AS dari Okinawa, dan merelokasinya ke Guam, Hawai, serta Darwin. Perbedaan berikutnya adalah peneliti mencoba menggunakan konsep baru yaitu hedging dimana dalam konsep ini terdapat dua bentuk aksi kebijakan yaitu balancing dan engagement sehingga peneliti mencoba melihat sisi lain dari aksi AS mengeluarkan kebijakan ini.

Penelitian ketiga yang terkait dengan penelitian peneliti adalah artikel jurnal dari Sudbury Democratic Town Committee, ditulis oleh John Riordan tahun 2009 berjudul The Case for Rapid and Complete withdrawal of U. S. forces from Iraq. Dalam artikel jurnal internasional ini yang dibahas adalah mengenai alur kejadian dari penarikan pasukan militer AS dari Irak serta menjelaskan proses perjanjian penarikan dari masa Presiden AS, George W. Bush hingga Barack Obama.


(25)

Penjelasan artikel ini adalah AS telah mengagendakan penarikan pasukan militer AS dari Irak sejak masa pemerintahan George W. Bush, tetapi hal tersebut dapat dilakukan jika Irak telah dianggap kuat dalam berdemokrasi dan stabil dalam pemerintahan serta mampu untuk memberantas terorisme. Namun, komitmen tersebut tidak pernah diwujudkan oleh Presiden George W. Bush karena dibalik tertundanya kesepakatan itu AS memliki rencana lain yaitu ingin menata dunia Islam sesuai dengan kepentingan nasional AS, dan tujuan invasi Irak adalah menduduki Irak secara permanen dan membangun pangkalan militer abadi untuk proyeksi kekuatan regional AS.

Meskipun selama masa Presiden George W Bush, komitmen tersebut tidak pernah terlaksana, tetapi ketika masa Presiden Barack Obama, AS mau menarik pasukan militernya dari Irak pada tahun 2009, dan direncanakan penarikan pasukan akan selesai dalam kurun waktu 16 bulan. Kesimpulan dari artikel tersebut ialah penarikan pasukan yang dilakukan oleh AS akan membawa keuntungan bagi kedua belah pihak, selain itu menurut John Riordan semakin cepat AS menarik pasukannya dari Irak akan semakin baik karena Irak akan semakin mandiri, serta rekonstruksi Irak juga akan mulai kembali pulih.

Kesamaan artikel jurnal internasional yang ditulis oleh John Riordan dan penelitian peneliti adalah sama-sama membahas mengenai upaya AS untuk menarik pasukan militernya dari suatu negara. Selain itu, pada masa Presiden Barack Obama, upaya AS dalam melaksanakan kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya lebih terlihat konkrit daripada masa George W Bush. Sedangkan perbedaanya adalah objek lokasi John Riordan fokus kepada Irak, sedangkan peneliti adalah Okinawa, Jepang.


(26)

Dapat dilihat dari hasil ketiga tinjauan pustaka diatas, maka penelitian peneliti yang berjudul Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin 2006-2014 memberikan gambaran berbeda dari kebijakan luar negeri AS di bidang militer terhadap negara lain. Selain itu, perbedaan peneliti dengan penelitian-penelitian serupa salah satunya adalah konsep yang digunakan peneliti sebagai alat analisa topik ini yaitu menggunakan konsep hedging dimana peneliti melihat bahwa penggunaan konsep

hedging lebih tepat dalam menganalisa alasan AS yang pada akhirnya mau mendistribusikan pasukan militernya dari Okinawa setelah bertahun-tahun AS tidak ingin memindahkannya. Hal ini disebabkan bahwa konsep hedging

menggunakan dua pendekatan aksi yakni balancing dan engagement sehingga, suatu negara ketika berhadapan dengan negara lain yang dianggap sebagai ancaman akan menggunakan kedua aksi ini untuk tetap mempertahankan kepentingan nasionalnya.

E. Kerangka Pemikiran

Dalam upaya menganalisa Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin tahun 2006-2014, maka peneliti akan menggunakan beberapa konsep pendukung penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah diajukan sebelumnya yaitu konsep

hedging, konsep kebijakan luar negeri, dan aliansi.

1.1 Konsep Hedging

Paska Perang Dingin, kekuatan dunia bukan lagi bipolar melainkan telah berubah menjadi unipolar, para scholar studi keamanan mengatakan bahwa keadaan unipolar tidak akan bertahan lama karena sistem internasional selalu


(27)

berubah sehingga suatu hari akan muncul negara-negara raising power sebagai pengganti sistem yang unipolar (McDougall 1997:6).

Pada studi keamanan, negara merupakan aktor utama dalam sistem internasional sehingga negara akan bertindak sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Didalam teori hubungan internasional terdapat beberapa konsep yang dapat menjelaskan cara-cara sebuah negara menghadapi ancaman suatu negara yaitu: Pertama “balancer”, negara dengan konsep ini percaya bahwa negara yang memiliki kekuatan besar di dalam sistem internasional tidak akan selamanya dapat berkuasa karena akan muncul negara penyeimbang yang sama-sama memiliki kekuatan besar. Sehingga keadaan akan menjadi seimbang selain itu, menurut Kenneth Waltz balancing memiliki dua bentuk yaitu balancing

internal dan eksternal (Waltz 1979:118).

Balancing internal berarti sebuah negara akan berusaha untuk meningkatkan kekuatan militer, kemampuan ekonomi, dan meningkatk;an kecerdasan strategi demi mengurangi kesenjangan kekuatan dengan negara yang dianggap sebagai ancaman. Sedangkan balancing eksternal adalah suatu negara akan bergabung atau membangun suatu aliansi tertentu untuk menambah kekuatan sehingga kekuatan negara lawan dapat di minimalisir (Waltz 1979:118).

Kedua “banwagoners’, negara yang menggunakan konsep ini percaya bahwa negara-negera kecil yang tahu bahwa kekuatan mereka tidak seimbang dengan kekuatan negara besar maka mereka akan berusaha mendekati kekuatan negara besar tersebut untuk berlindung dan melakukan kerjasama sehingga kepentingan negara mereka akan aman dan negara kekuatan besar tidak menganggap mereka sebagai ancaman (Walt 1987:173).


(28)

Ketiga adalah hedging, hedging merupakan strategi alternatif dari

balancing atau banwagoning yang dapat digunakan oleh suatu negara dalam menghadapi ancaman dari negara lain. Sebelum konsep hedging diaplikasikan kedalam ilmu hubungan internasional, konsep ini sudah lebih dulu dikenal dalam ilmu ekonomi keuangan yaitu hedging berarti menunjukkan posisi sebuah investasi satu dan lainnya dengan tujuan untuk mengimbangi potensi kerugian atau keuntungan yang mungkin ditimbulkan oleh investasi dari rekan yang lain (Sieberg 2011:24).

Menurut kamus ekonomi, “hedge” didefinisikan sebagai “hedge involves deliberately taking on new risk that offset an existing one” atau dapat dikatakan

hedging digunakan untuk mengurangi resiko dari kemungkinan pergeseran harga investasi aset yang tidak pasti dengan mengambil keputusan yang lain (Sieberg 2011:25). Hedging pada ilmu ekonomi keuangan dan hubungan internasional memiliki kesamaan yaitu keduanya sama-sama berada pada situasi yang tidak pasti sehingga implikasi dari probabilitas adalah keputusan yang diambil harus diperhitungkan dan dipertimbangkan berapa besar kerugian yang akan didapatkan jika mengambil keputusan yang lain (Sieberg 2011:26).

Di dalam hubungan internasional, sistem internasional selalu mengalami perubahan sehingga setiap negara akan khawatir atas perubahan sistem internasional tersebut. Akibatnya setiap negara akan merasa tidak aman dengan munculnya negara raising power. Ancaman yang ditimbulkan akibat adanya perubahan sistem internasional tidaklah pasti, karena negara raising power yang dianggap sebagai ancaman potensial masih terus berkembang sehingga “ketidak pastian” ini membuat suatu negara akan memperhitungkan langkah yang tepat


(29)

untuk diambil ketika berhubungan dengan negara raising power meskipun kebijakan tersebut memiliki resiko (Tessman 2012:195).

Menurut John Hemmings, hedging di dalam hubungan internasional berarti suatu negara akan mengambil resiko dengan menggunakan dua kebijakan yang saling berlawanan terhadap negara lain yaitu balancing dan engagement

(Hemmings 2013). Sedangkan menurut Tessman, hedging merupakan sebuah perilaku yang kurang konfrontatif dari balancing, kurang kooperatif daripada

bandwagoning (Tessman 2012:193).

Menurut Tessman dan Wolfe dalam tulisannya yaitu Great Powers and Strategic Hedging: The Case of Chinese Energy Security Strategy tahun 2011, ada empat cara sebuah negara melakukan strategi hedging yaitu pertama, perilaku negara yang meningkatkan kemampuan militernya untuk menghadapi potensial konflik di masa depan dengan negara yang menjadi potensi ancaman, cara

hedging seperti ini dikenal dengan tipe hedging A, dan/atau meningkatkan strategi cadangan sumber daya untuk melepaskan bantuan yang diberikan oleh pemimpin sistem (hedging tipe B).

Strategi kedua, suatu negara akan menghindari provokasi atau konfrontasi langsung dari negara yang dianggap potensial sebagai ancaman dengan cara bergabung dengan aliansi militer untuk melawan negara potensial ancaman tersebut (external balancing) atau meningkatkan kekuatan militernya (internal balancing).

Strategi ketiga adalah penggunaan strategi hedging harus dikoordinasikan secara terpusat, artinya masalah yang sedang dihadapi sebuah negara dalam berhubungan negara raising power harus menjadi perhatian utama kepentingan


(30)

negara sehingga pembahasan kebijakan yang tepat dikoordinasikan dengan seluruh organ pemerintah yang bertanggung jawab. Strategi keempat adalah negara harus siap menanggung biaya yang dikeluarkan domestik maupun biaya internasional dalam penggunaan strategi hedging jangka pendek.

Jadi dapat disimpulkan bahwa strategi hedging membuat suatu negara menghindari kemungkinan terburuk dalam berhubungan dengan negara raising power dengan cara menggabungkan strategi balancing dan engagement dalam satu waktu sehingga konflik secara langsung dapat diminimalisir. Hasil kebijakan yang dikeluarkan dari perilaku hedging hanya dapat bertahan dalam jangka pendek sehingga sebuah negara harus terus memperhitungkan pilihan-pilihan lain dalam membuat sebuah kebijakan lainnya.

1.2 Kebijakan Luar Negeri

Setelah melihat konsep Hedging diatas maka selanjutnya peneliti ingin menjelaskan mengenai beberapa konsep lain yang mendukung penggunaan konsep hedging salah satunya adalah kebijakan luar negeri.

Kebijakan Luar Negeri menurut James N. Rosenau memiliki tiga konsep yang berbeda yaitu sekumpulan orientasi (a cluster of orientations), seperangkat komitmen dan rencana untuk bertindak (a set of commitments to and plans for action) dan bentuk perilaku atau aksi (a form of behaviour) (Rosenau 1972:16):

Kebijakan luar negeri sebagai sekumpulan orientasi yaitu merupakan pedoman bagi para pembuat keputusan ketika menghadapi kondisi eksternal, dimana orientasi tersebut meliputi perilaku, persepsi, dan nilai yang dianut oleh sebuah negara karena disebabkan oleh pengalaman sejarah dan keadaan strategis sehingga akhirnya menempatkan negara tersebut di dalam sistem internasional.


(31)

Biasanya konsep kebijakan luar negeri berdasarkan sekumpulan orientasi berakar dari tradisi dan aspirasi lingkungan sosial negara itu sendiri, sehingga negara akan mengacu pada orientasi dalam negerinya saat membuat suatu kebijakan luar negeri (Rosenau 1972:16).

Kedua, kebijakan luar negeri sebagai seperangkat komitmen dan rencana diartikan sebagai tindakan negara berupa sebuah strategi, kebijakan, atau keputusan ketika mereka berhubungan dengan lingkungan eksternal dalam sistem internasional dimana negara diharuskan membuat kebijakan sesuai dengan dasar orientasi negaranya serta mengacu pada tujuan dan cara mendapatkan kepentingan tersebut. Negara akan mengeluaran kebijakan berdasarkan konsep komitmen dan rencana ketika isu yang dihadapi negara lebih nyata dan konkrit dan harus diputuskan segera seperti kebijakan antar negara, kawasan, atau kebijakan mengenai suatu isu yang spesifik. Rencana dalam pembuatan kebijakan luar negeri biasanya dapat dilihat melalui komunikasi diplomatik, penyataan resmi negara, ataupun konferensi pers (Rosenau 1972:17).

Ketiga, kebijakan luar negeri sebagai bentuk perilaku atau tindakan dilihat pada tingkatan yang lebih empiris yaitu berupa langkah-langkah nyata yang diambil oleh para pembuat keputusan ketika negara berhubungan dengan aktor internasional lainnya dan menimbulkan pola interaksi dalam sistem internasional. Sehingga negara harus melakukan tindakan nyata seperti mengeluarkan kuputusan atau kebijakan untuk menghadapi perubahan lingkungan eksternal (Rosenau 1972:17).


(32)

Jadi, dari ketiga bentuk kebijakan luar negeri tersebut akan digunakan oleh negara sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapi oleh negara tersebut, dimana negara dapat menentukan kebijakan luar negerinya dengan melihat prioritas kepentingan nasionalnya serta para pembuat kebijakan akan dapat menentukan kebijakan luar negeri berdasarkan konsep sekumpulan orientasi, komitmen dan rencana, atau tindakan dan bentuk perilaku.

Menurut Charles W.Kegley, Jr dan Eugene R. Wittkopf dalam bukunya yang berjudul World Politics Trend and Transformation, mengatakan bahwa beberapa varibel yang dapat mempengaruhi pilihan kebijakan luar negeri suatu negara diantaranya adalah Geostrategic, kapabiitas militer, kemampuan ekonomi, dan sistem pemerintahan. Kegley dan Wittkopf juga mengatakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara perlu untuk memisahkan dua faktor utama yaitu faktor internasional dan faktor domestik (Wittkopf 1997:40).

Faktor internasional berarti pengaruh yang diberikan kepada suatu negara yang berasal dari luar batas negara tersebut atau dapat dikatakan pengaruh yang datang bukan dari dalam tubuh negara tersebut melainkan datang dari struktur internasional yang mampu mempengaruhi negara dalam sistem internasional, contohnya adalah hukum internasional, perdagangan internasional, jumlah aliansi militer dengan negara lain atau perubahan sistem internasional lainnya. Sedangkan faktor internal atau domestik ialah faktor yang datang dari dalam batas negara itu sendiri atau dapat dikatakan kebijakan luar negeri yang datang akibat pemikiran dan pilihan dari negara itu sendiri bukan dari sistem internasional,


(33)

contohnya ialah geopolitik, kapabilitas militer, pembangunan ekonomi, dan tipe pemerintahan (Wittkopf 1997:42).

Melihat pengertian faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan luar negeri adalah suatu proses yang dilakukan oleh negara dimana sebelum menentukan kebijakan yang akan dikeluarkan, negara harus melihat faktor apa saja yang mempengaruhinya, seberapa penting kebijakan ini dan bagaimana dampak atau efek yang timbul setelah kebijakan luar negeri diputuskan.

1.3 Konsep Aliansi

Menurut Alex Mintz dalam bukunya Understanding Foreign Policy Decision Making, mengatakan aliansi merupakan bentuk umum dalam sebuah interaksi antar negara terutama dalam hal kapabilitas militer. Negara yang tergabung dalam aliansi berarti telah menandatangani perjanjian militer dimana dalam aliansi milliter jika salah satu negara diserang oleh pihak luar maka negara lain akan membantu menghadapi musuh tersebut (DeRouen 2010:126)

Terbentuknya aliansi juga menjadi salah satu upaya dalam menghadapi dilema keamanan (security dilemma) yang terjadi pada suatu negara. Dengan adanya aliansi militer terdapat beberapa keuntungan misalnya adanya stabilitas keamanan sebuah negara dan kawasan karena ada kekuatan lain yang menopang. Aliansi juga dianggap sebagai suatu cara untuk mengurangi kesalahpahaman, dan ketidakpastian yang dapat memicu perang (DeRouen 2010:126).

Namun, Alex Mintz juga menjelaskan kekurangan dalam aliansi militer adalah ketergantungan yang cukup tinggi bagi negara dengan kapabilitas yang rendah kepada negara yang kapabilitasnya tinggi. Selain itu, dengan adanya


(34)

aliansi militer justru memicu negara lain yang tidak tergabung dalam aliansi tersebut untuk membuat tandingan aliansi baru dengan kekuatan yang jauh lebih besar sehingga keadaaan ini dapat menimbulkan peperangan (DeRouen 2010:127).

Masih dalam buku Understanding Foreign Policy Decision Making Bruce Bueno de Mesquita mengatakan bahwa terdapat tiga jenis aliansi yaitu netralitas atau pakta non-agresi adalah perjanjian penandatangan dimana masing-masing negara tidak akan menyerang wilayah lain. Bentuk berikutnya, ententes, melibatkan lebih dari sebuah komitmen dimana setiap negara yang melakukan perjanjian antara satu sama lain memiliki komitmen yang harus dipatuhi oleh semua anggota (DeRouen 2010:127)

Ketiga adalah pakta pertahanan, dimana pakta pertahanan mengandung arti yaitu menentukan bagaimana masing-masing negara dapat membantu setiap negara anggota lain saat mereka dalam keadaan diserang oleh musuh. Pembentukan aliansi merupakan bentuk perpanjangan dari kebijakan luar negeri, sehingga hal itu mempengaruhi suatu negara dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan urusan luar negeri. (DeRouen 2010:127)

Melihat beberapa konsep terkait penarikan pasukan militer AS yang dipaparkan diatas, maka peneliti merasa bahwa konsep hedging, kebijakan luar negeri, dan aliansi akan relevan dalam menjelaskan alasan pemerintah AS mendistribusikan pasukan militernya dari Okinawa dan memindahkannya ke Guam, Hawai, dan Darwin tahun 2006-2014.


(35)

F. Metode Penelitian

Penelitian yang berjudul Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin tahun 2006-2014 akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Neuman dalam melakukan penelitian yang bersifat kualitatif, teknik pengumpulan data didasarkan kepada analisis, interpretasi, persentasi dari informasi naratif (Neuman 1997:139). Bentuk jawaban penelitian yang menggunakan metode kualitatif adalah penjelasan narasi. Teknik data analisis kualitatif adalah analisis data naratif yang menggunakan cara induktif dan teknik yang berulang termasuk didalamnya ada strategi kategori dan mengkontekstualisasikan strategi (Neuman 1997:139). Sehingga dalam menjelakan penelitian ini, peneliti akan mengambil berbagai sumber data dan mengolahnya menjadi narasi analitis sesuai dengan fakta data yang didapatkan selama penelitian.

Sehubungan dengan penjelasan diatas maka peneliti akan menggunakan teknik pengumpulan data dengan metode kualitatif adalah salah satunya dengan menggunakan data primer, data sekunder dan studi pustaka. Penulis mendapatkan data primer melalui wawancara melalui surel dengan peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Pacific Forum yaitu Jonathan Berkshire Miller dan Doktor John Hemmings dari London School of Economics

(LSE), serta wawancara langsung dengan Iis Gindarsah dari CSIS Indonesia. Sedangkan peneliti mengambil data sekunder melalui studi pustaka seperti membaca sumber buku-buku dari perpustakaan yang dikunjungi oleh peneliti misalnya Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu


(36)

Politik UIN Jakarta, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan CSIS Indonesia, dan sumber lain seperti jurnal, artikel, website dan lain-lain.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini terbagi menjadi lima bab. Kelima bab tersebut akan diuraikan melalui sistematika berikut ini:

BAB I Pendahuluan

Pada bagian ini peneliti menjelaskan pentingnya masalah yang menjadi tema penelitian. Selain itu, peneliti juga menjelaskan permasalahan, tujuan dan manfaat, metode, konsep teori yang digunakan sebagai alat analisa penelitian ini, serta menjabarkan sejumlah hasil penelitian sejenis yang menjadi rujukan bagi penelitian ini.

BAB II Hubungan Aliansi Militer Amerika Serikat Dengan Jepang

Pada bagian ini memaparkan penjelasan mengenai awal hubungan aliansi militer AS dengan Jepang setelah berakhirnya Perang Dunia II, kepentingan AS menempatkan pasukan militernya di Jepang, penempatan pasukan AS di seluruh wilayah Jepang, dan gambaran umum mengenai fasilitas serta kondisi pangkalan militer AS di Okinawa, Jepang.

BAB III Pertimbangan Keamanan Strategis Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik

Bagian ini memaparkan penjelasan mengenai keterlibatan AS di Kawasan Asia Pasifik, dan melihat kondisi regional Asia Pasifik. Kondisi regional Asia dilihat dari beberapa isu penting yang terjadi


(37)

di kawasan ini seperti peningkatan kekuatan militer Cina, konflik Semenanjung Korea, serta konflik sengketa maritim yaitu Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur.

BAB IV Analisa Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer Amerika Serikat dari Okinawa tahun 2006-2014

Bab ini akan menganalisa alasan AS mendistribusikan pasukan militernya dari Okinawa pada tahun 2006 dan melihat perubahannya hingga tahun 2014. Analisa pertama yaitu dilihat dari faktor pemicu yang membuat AS mengeluarkan kebijakan pendistribusian pasukan militernya dari Okinawa, kemudian setelah kebijakan pendistribusian dikeluarkan bab ini melanjutkan pada analisa alasan AS memilih Guam, Hawai, dan Darwin sebagai lokasi pemindahan pasukan militernya dari Okinawa.

BAB V Kesimpulan

Bab ini merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian yang diajukan dalam sub bab permasalahan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian yang memiliki objek analisis yang sama.


(38)

BAB II

HUBUNGAN ALIANSI MILITER AMERIKA SERIKAT- JEPANG A. Sejarah Hubungan Aliansi Militer AS dan Jepang Paska Perang Dunia

II 1945

Perang Dunia II berakhir ditandainya dengan Jepang menyerah pada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945 ketika dua kota di Jepang yaitu Kota Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh tentara Sekutu. Pengakuan kekalahan Jepang secara formal diwakili oleh Mamoru Shigemitsu dan Gen Yoshijiro Umezu yang dilakukan di atas kapal USS Missouri, Teluk Tokyo pada 2 September 1945 dengan mendatangani Deklarasi Potsdam (Record 2009:12).

Berdasarkan dokumen yang diterbitkan oleh U.S National Archives & Records Administration melalui website resminya, Deklarasi Potsdam merupakan bentuk pernyataan kekalahan Jepang tanpa syarat dan mendefinisikan syarat penyerahan semua angkatan bersenjata Jepang kepada Sekutu. Deklarasi ini disusun pada tanggal 26 Juli 1945 di Potsdam, Jerman dan ditandatangi oleh tiga pemimpin dunia yaitu Presiden AS, Harry S. Truman, Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill, dan Kepala Negara Cina, Chiang Kai-shek. Pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin ikut dalam konfrensi Potsdam namun tidak ikut menandatangai deklarasi, hal ini disebabkan Uni Soviet tidak terlibat perang melawan Jepang sampai tanggal 8 Agustus 1945. Setelah Deklarasi Potsdam disusun, maka pada tanggal 2 September tahun 1945 di atas Kapal USS Missouri, Teluk Tokyo, Jepang secara legal menandatangani deklarasi tersebut. Berikut adalah cuplikan isi pernyataan kekalahan Jepang:


(39)

We, acting by command of and in behalf of the Emperor of Japan, the Japanese Government and the Japanese Imperial General Headquarters, ... We hereby proclaim the unconditional surrender to the Allied Powers of the Japanese Imperial General Headquarters and of all Japanese armed forces and all armed forces under Japanese control wherever situated...” (U.S National Archives & Records Administration 1995) (Kami bertindak atas nama dan perintah kekaisaran Jepang, Pemerintah Jepang, dan Markas Besar Jepang...Kami dengan ini menyatakan menyerah tanpa syarat kepada kekuatan sekutu dari Markas Besar Jepang dan semua atribut militer di bawah kontrol Jepang) (Terjemahan penulis)

Dalam dokumen yang diterbitkan oleh U.S National Archives & Records Administration, juga menyebutkan bahwa Perjanjian Potsdam terdiri dari 13 poin yang menjadi acuan pernyataan kekalahan Jepang kepada Sekutu. Lima diantaranya yang menyebutkan kekalahan Jepang adalah poin ke- 7, 8, 9, dan 13 yaitu pertama, sebelum ada tatanan baru dalam pemerintahan Jepang, dan sebelum adanya bukti bahwa peperangan yang dibuat oleh Jepang sudah dihapuskan, maka sebagian wilayah Jepang akan ditunjuk oleh Sekutu untuk diamankan dan diduduki oleh tentara Sekutu.

Kedua, Jepang harus mengikuti persyaratan yang tertera dalam Deklarasi Kairo1 serta wilayah kedaulatan Jepang akan dibatasi pada pulau-pulau tertentu, yakni Pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, Shikoku, dan pulau-pulau kecil lainnya akan ditentukan oleh Sekutu. Ketiga, Pasukan Militer Jepang akan dilucuti serta mereka diizinkan kembali ke rumah masing-masing untuk memulai kehidupan

1

Deklarasi Kairo merupakan hasil dari Konferensi Kairo yang diadakan pada 27 November 2947 di Kairo, Mesir. Deklarasi Kairo ini di tandatangani oleh tiga pemimpin besar dunia Presiden AS, Franklin D. Roosevelt, PM Winston Churchill, dan Kepala Negara Cina, Chiang Kai-Shek. Deklarasi ini diumumkan ke publik pada 1 Desember 1943. Isi dari Deklarsi ini dikembangkan dari ide Atlantic Charter tahun 1941 yang diterbitkan oleh Sekutu pada Perang Dunia II untuk menetapkan tujuan yang ingin dicapai setelah Perang selesai. Di dalam isi Deklarasi Kairo disebutkan bahwa tujuan Sekutu adalah untuk mengalahkan Jepang dan ingin mendapatkan keuntungan untuk mereka sendiri tanpa adanya pemikiran ekspansi territorial ke wilayah lain. Sekutu juga menginginkan tentara Jepang dilucuti dari semua pulau-pulau kecil di Pasifik, dan wilayah Cina yang telah dicuri oleh Jepang yaitu Manchuria, Formosa, dan Pecadores harus dikembalikan kepada Cina, serta wilayah Korea akan dibebaskan dari perbudakan Jepang. Deklarasi Kairo ini di tandatangani oleh tiga pemimpin besar dunia Presiden AS, Franklin D. Roosevelt, PM Winston Churchill, dan Kepala Negara Cina, Chiang Kai-Shek.

Sumber : http://www.ndl.go.jp/constitution/e/shiryo/01/002_46/002_46tx.html diakses pada 16 Agustus 2014


(40)

baru sebagai warga sipil. Keempat, Sekutu mengatakan kepada pemerintah Jepang untuk memberitakan pernyataan kekalahan Jepang tanpa syarat kepada Sekutu ke seluruh dunia dan Jepang harus menjamin tindakan ini dapat terlaksana dengan aman, jika Jepang menolak untuk menyerah maka Sekutu akan terus melancarkan serangan hingga Jepang hancur (The National Archives and Records Administration 1995).

Perjanjian lain yang ditandatangi oleh Jepang ialah San Francisco Peace Treaty (SFPT). Perjanjian damai ini ditandatangani Jepang bersama 48 negara lainnya pada 8 September 1951 di San Francisco, AS untuk membahas mengenai hubungan antara Jepang dan Sekutu dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Dalam San Francisco Peace Treaty (SFPT) juga membicarakan bahwa Jepang mengakui kemerdekaan Korea dan melepaskan wilayah jajahannya yang lain yakni Formosa (Taiwan), Pescadores, Sakhalin, Kuril, dan beberapa pulau kecil di pasifik seperti Pulau Spratly dan Paracel (The Open University 1998).

Dalam pasal 2 Perjanjian San Francisco, Jepang juga menyetujui untuk menjalankan sistem hak kewenangan wilayah (Trusteeship System) sesuai dengan mandate PBB dan AS akan bertindak sebagai satu-satunya administering authority di Jepang. Beberapa wilayah Jepang yang berada dalam kewenangan otoritas administrasi AS sesuai dengan sistem Trusteeship adalah Okinawa, Kepulauan Daio, Kepulauan Bonin, Pulau Rosario, Pulau Volcano, Pulau Parece Vela, dan Pulau Marcus (The Open University 1998).


(41)

Meskipun Jepang telah mendapatkan kemerdekaan pada 8 September 1951 sesuai pasal 1 dalam San Francisco Peace Treaty yang menyatakan bahwa Sekutu menjamin kedaulatan wilayah Jepang, namun pada poin 9 Deklarasi Potsdam dinyatakan bahwa angkatan bersenjata Jepang akan dilucuti (dihapuskan), dan industri militer Jepang dihilangkan, sehingga Jepang menjadi negara demiliterisasi yang tidak memiliki status kepemilikan militer nasional skala besar (Mueller 2007). Pernyataan yang sama mengenai Jepang tidak memiliki militer skala besar juga tertera dalam pasal 9 Konstitusi Jepang yang dinyatakan oleh Ministry of Defense sebagai berikut:

“Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of settling international disputes. In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well as other war potential, will never maintained. The right of belligerency of the state will not be recognized” (Ministry of Defense 2004)

(Demi menciptakan sebuah perdamaian internasional berdasarkan asas keadilan dan ketertiban, sebagai negara yang berdaulat, rakyat Jepang menyatakan akan meninggalkan cara kekerasan (perang) dalam menghadapi permasalahan internasional. Dalam rangka mewujudkan pernyataan diatas maka angkatan darat, laut dan udara tidak akan ikut terlibat dalam potensi perang mendatang. Hak untuk terlibat perang tidak akan diakui) (Terjemahan penulis)

Berdasarkan Pasal 9 Konstitusi Jepang diatas disebutkan bahwa pasukan militer Jepang dilarang bersikap agresif dalam menyelesaikan perselisihan internasional, sebaliknya Jepang harus bersikap netral dan damai ketika menemui masalah internasional, sehingga kebijakan pertahanan ini dinamakan Kebijakan Pasif (Cai 2008). Meskipun kebijakan pasif telah digunakan Jepang sebagai bentuk kebijakan luar negerinya dan Jepang dilarang untuk memiliki angkatan bersenjata militer, namun berdasarkan perjanjian keamanan dengan AS yaitu


(42)

pertahanan nasional dikenal dengan Japanese Self-Defense Forces (JSDF) yang dibentuk pada tahun 1954 (O.Hague 2007:61).

Sebelum Treaty of Mutual Cooperation and Security direvisi pada 19 Januari tahun 1960, landasan kerjasama aliansi militer antara Jepang dan AS adalah San Francisco Treaty yang menandai berakhirnya penempatan tentara Sekutu di Jepang serta menjadi awal hubungan aliansi militer AS dengan Jepang. Di dalam Perjanjian San Francisco, AS menyatakan kepentingannya dalam menjaga perdamaian dan keamanan kawasan Asia Timur, sehingga AS akan mempertahankan militernya di wilayah Jepang dan AS berperan sebagai pelindung keamanan Jepang dan juga Timur Jauh. Kegunaan utama dari JSDF adalah menjaga pertahanan teritori negara dari dalam (The Shield) sedangkan adanya pasukan militer AS di Jepang adalah sebagai penjaga garis depan wilayah Jepang (The Spear) (O.Hague 2007:61).

Japan Self Defense Force (JSDF) atau yang sering dikenal dengan Self Defense Force (SDF) telah resmi bekerja pasca Perang Dunia II dan bertugas untuk menjaga pulau-pulau Jepang dari ancaman eksternal dan tidak diizinkan digunakan ke luar negeri serta SDF dilarang memiliki senjata nuklir atau senjata apapun yang bersifat ofensif (Reed 1983:28). Menurut data yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan Jepang melalui website resminya, mengatakan bahwa

Japan Self Defense Force dibagi menjadi tiga unit yaitu Ground Self Defense Force (GSDF), Maritime Self Defense Force (MSDF), dan Air Self Defense Force

(ASDF). Jumlah personil SDF sampai pada tahun 2005 adalah sekitar 250.000 tentara serta SDF memiliki 6 % anggaran dana nasional atau sekitar 50 miliar dolar AS setara dengan 589 trilyun rupiah.


(43)

Meskipun Japan Self Defense Force tidak diizinkan digunakan di luar negeri berdasarkan konstitusi Jepang, namun setelah beberapa tahun Japan Self Defense Force dibentuk, mereka diizinkan untuk dikirim ke luar negeri dengan tujuan sebagai pasukan penjaga perdamaian bersama AS dan PBB. Beberapa misi perdamaian yang pernah dilakukan oleh Self Defense Force adalah SDF pernah mengirimkan kapal “penyapu” ranjau pada 26 April 1991 ke Teluk Persia, tujuannya adalah untuk membersihkan ranjau-ranjau yang masih aktif maupun tidak selama Perang Teluk terjadi (Muneo 2014:2).

Misi kedua SDF adalah ditugaskan sebagai pasukan perdamaian dibawah

United Nations Transitional Authority in Cambodia (UNTAC) pada 19 Agustus 1992 dan membantu pembangunan jalan, jembatan bagi warga Kamboja. Ketiga, misi bagi SDF adalah mengirimkan kapal maritim SDF ke Afganistan pada 9 November 2001 bersama dengan militer AS dan NATO, SDF bertugas untuk menginvasi Afganistan setelah kejadian pengeboman 9 September 2001. Selain itu, PM Koizumi dan kabinetnya juga mengizinkan SDF mengirimkan kapal maritimnya ke Samudera Hindia berdasarkan UU Khusus Anti-Terorisme tahun 2001 sebagai bentuk dukungan aliansi Jepang kepada AS dalam melawan terorisme dunia (Muneo 2014:3).

Setelah melihat peranan SDF di luar negeri cukup penting sebagai pasukan pendukung AS, maka AS manyatakan bahwa Jepang merupakan mitra aliansi yang strategis bagi AS. Selain itu, sejalan dengan kepentingan AS untuk menjaga perdamaian dan keamanan di Timur Jauh, maka AS menempatkan pasukannya di Jepang, dan penempatan pasukan militer AS di Jepang juga sebagai pelindung Jepang jika Jepang diserang oleh musuh (O.Hague 2007:63).


(44)

Pernyataan bahwa pasukan militer AS adalah sebagai pelindung Jepang tertera dalam pasal 6 Treaty of Mutual Cooperation and Security sebagai berikut:

“For the purpose of contributing to the security of Japan and the maintenance of international peace and security in the Far East, the United States of America is granted the use by its land, air and naval forces of facilities and areas in Japan…” (Institute of Oriental Culture, University of Tokyo 1960)

(Sebagai tujuan bentuk kontribusi dalam menjaga keamanan Jepang dan pemeliharaan perdamaian internasional di Timur Jauh, maka AS diizinkan untuk menggunakan fasilitas angkatan darat, laut dan udaranya di wilayah Jepang) (Terjemahan penulis)

Berdasarkan pernyataan tersebut maka, aliansi kedua negera ini memiliki

mutual interest yaitu dari sisi Jepang, mereka lebih merasa aman karena pertahanan negera dapat dijaga oleh AS sehingga dapat meminimalkan ancaman serangan eksternal, serta Jepang tetap dapat mempertahankan isi pasal 9 dalam UU konstitusinya (O.Hague 2007:63). Sedangkan keuntungan jangka panjang bagi AS adalah kepentingan AS dalam menghadang perluasan ideologi komunis dari Uni Soviet dan Cina di kawasan Asia Pasifik pada masa perang dingin dapat terlaksana karena pusat militer AS di Asia berada di wilayah Jepang, yang dianggap strategis (McDougall 1997:20).

B. Penempatan Pasukan Militer AS di Jepang

Berdasarkan Treaty of Mutual Cooperation and Security pasal 6 tahun 1960 yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, secara legal AS dapat menempatkan pangkalan militernya di wilayah Jepang. Pangkalan militer AS ini kemudian digunakan sebagai garda depan saat Perang Dingin dan Perang Korea tahun 1950-1953 berlangsung, bahkan Jepang disebut sebagai “rare base” oleh

AS karena dapat mempermudah pergerakan tentara AS di Semenanjung Korea (McDougall 1997:36).


(45)

Pangkalan Militer AS di Jepang memiliki sekitar 135 fasilitas militer yang tersebar di beberapa prefektur Jepang yaitu Okinawa, Kanagawa, Nagasaki, dan Tokyo. (Terlihat pada gambar II.B) Jumlah personil militer AS yang ditempatkan di Jepang adalah sekitar 52.000 personil dengan penempatan 26.000 personil tersebar di daratan Jepang dan 25.000 personil lainya di tempatkan di Prefektur Okinawa (Muto 2004).

Gambar II.B Peta Penyebaran Fasilitas Pangkalan Militer AS di Jepang

Sumber: http://www.tokyoprogressive.org/content/us-bases-japanampo diakses pada 2 September 2014

Berikut adalah beberapa pusat pangkalan militer AS di darataan Jepang: 1. Pangkalan Udara Misawa

Pangkalan Udara Misawa terletak di Pulau Honshu, Kota Misawa, Prefektur Aomori. Wilayah ini berada sekitar 400 km sebelah utara Tokyo dan hanya berjarak 5 km dari Samudera Pasifik. Jumlah populasi


(46)

di Prefektur Aomori adalah sekitar 42.000 jiwa termasuk jumlah pasukan militer AS sekitar 3.800 personil, 700 pekerja sipil AS, dan 1.100 pasukan angkatan udara Jepang (JASDF). Unit militer AS yang ada di Pangkalan Udara Misawa adalah 35th Fighter Wing sebagai pasukan penerbang yang mengendarai pesawat tempur F-16 dan dibagi menjadi empat kelompok, 2 skuadron, 27 unit pendukung skuadron (CNIC, Naval Air Facility Misawa 2008).

Pada saat Perang Dunia II terjadi, Pangkalan Udara Misawa dijadikan sebagai lokasi latihan tempur bagi angkatan bersenjata Jepang yang akan dikirim untuk menyerang Pearl Harbour, karena lokasi ini dikelilingi oleh perairan yang mirip dengan lokasi Pearl Harbour. Saat pasukan Sekutu menyerang daratan Jepang, Pangkalan Udara Misawa ikut hancur dengan total kerusakan mencapai 90%, kemudian pangkalan ini dibangun kembali saat AS menghadapi Perang Korea, Perang Vietnam, serta menjadi lokasi yang strategis untuk misi pengintaian Uni Soviet dan Cina pada tahun 1950an. Pasukan Bela Diri Jepang (JASDF) pertama kali bergabung bersama angkatan udara AS adalah saat JSDF terbentuk pada tahun 1954 (CNIC, Naval Air Facility Misawa 2008).

2. Pangkalan Udara Yokota

Pangkalan Udara Yokota terletak di Pulau Honshu, Kota Fussa, Selatan Tokyo dengan jumlah pasukan militer AS sekitar 14.000 personil, dan menempati lahan seluas sekitar 136.000 m2. Unit pasukan militer di Pangkalan Udara Yokota adalah 374 Airlift Wing, unit ini


(47)

ditugaskan beroperasi di seluruh kawasan Asia Timur dengan dibagi menjadi empat kelompok yaitu kelompok operasi, kelompok pendukung pasukan khusus, kelompok pemelihara peralatan, dan kelompok medis. Misi dari 374 Airlift Wing adalah memberikan komando supply untuk pelaksanaan pemberian pasokan logistik, kargo, peralatan militer, dan sebagai pasukan evakuasi. Nama Pangkalan Udara Yokota sebelumnya adalah Lapangan Udara Tama yang dibangun oleh Kerajaan Jepang pada 1940 sebagai salah satu kekuatan utama militer Jepang. Lapangan Udara Tama digunakan sebagai lokasi pengujian dan pelatihan bagi tentara Jepang saat Perang Dunia II berlangsung, serta dijadikan sebagai tempat bertemunya Jepang dan Italia ketika mendiskusikan strategi perang (Patrick M. Cronin 2012).

Ketika Jepang menyerah pada Sekutu tahun 1945, Lapangan Udara Tama kemudian diduduki oleh tentara kavaleri AS dan diganti dengan nama Fussa Army Airfield, setelah itu AS kembali memutuskan mengganti nama Fussa Army Airfiled menjadi Yokota Air Base serta pada tahun 2005, Pangkalan Udara Yokota dijadikan sebagai markas besar bagi JASDF (Patrick M. Cronin 2012:10).

3. Pangkalan Udara Angkatan Marinir Iwakuni

Marine Corp Air Station (MCAS) Iwakuni adalah pangkalan udara bagi angkatan militer marinir AS yang terletak di Pulau Honshu, Kota Iwakuni di Prefektur Yamaguchi. Lokasi ini berada 300 km sebelah barat dari Okasa dan 30 km sebalah barat daya dari Kota Hiroshima dan jumlah personil marinir saat ini sekitar 15.000 personil termasuk


(48)

pekerja nasional Jepang. MCAS adalah pangkalan udara pendukung pesawat marinir yang memiliki 3 unit pelayanan pemeliharaan pesawat, 31 armada pesawat JMSDF, 12 skuadron logistik, dan 171 skuadron pesawat pendukung selain itu, MCAS juga digunakan sebagai tempat pelatihan para angkatan marinir (Marine Corps Air Station Iwakuni 2006).

Pada saat Perang Dunia II terjadi, Jepang menggunakan Pangkalan Udara Iwakuni sebagai tempat pelatihan dan pertahanan tentara Jepang namun, saat Jepang kalah oleh Sekutu, pangkalan udara Iwakuni diduduki oleh tentara Inggris, Australia, Selandia Baru, dan AS. Pangkalan udara ini kemudian rekonstruksi ulang dan dijadikan pangkalan militer oleh Tentara Kerajaan Australia (Royal Australian Air Force) tahun 1948, kemudian pada tahun 1950 pangkalan udara Iwakuni berpindah menjadi pangkalan udara milik AS dan digunakan sebagai Springboard saat Perang Korea terjadi tahun 1950-1953 (Marine Corps Air Station Iwakuni 2006).

4. Pangkalan Angkatan Laut Yokosuka

Pangkalan Angkatan Laut AS atau yang dikenal dengan

Commander, Fleet Activities Yokosuka (CFAY) terletak di Kota Yokosuka, Prefektur Kanagawa. Lokasi ini berada di pintu masuk Teluk Tokyo dengan jarak 65 km dari selatan Tokyo, 30 km dari selatan Yokohama di Semananjung Miura. Misi dari CFAY yaitu bertanggung jawab atas pemeliharaan, pengoperasiaan fasilitas angkatan laut Yokosuka seperti logistik, dan pemberian pelayanan administrasi ke


(49)

seluruh unit angkatan laut AS yang ditempatkan di negara aliansi AS, serta beroperasi di sekitar Pasifik Barat atau yang dikenal dengan

Commander, Logistic Group, Western Pacific (COMLOG WESTPAC) (Commander U.S 7th Fleet 2010). Pangkalan Laut AS memiliki 60-70 armada kapal laut yang tersebar di negara aliansi AS lainnya, dan menempatkan 23 kapalnya di Jepang di bawah otoritas CFAY seperti kapal induk tenaga nuklir, USS George Wahington, USS Ronald Reagan, Kapal komando USS Blue Ridge, dan kapal perusak USS Fitzgerald (CNIC Commander Fleet Activities Yokosuka 2009). Jumlah personil militer AS di CFAY adalah sekitar 3.700 persnil dan 4.300 personil SDF, selain itu CFAY merupakan pangkalan laut terbesar bagi angkatan laut AS di dunia karena pangkalan laut Yokosuka memiliki lokasi yang strategis untuk operasional Angkatan Laut AS di Perairan Pasifik (Muto 2004)

C. Kepentingan Penempatan Pasukan Militer AS di Okinawa

Berdasarkan San Francisco Peace Treaty pada 8 September 1951 dimana perjanjian ini mulai efektif dilaksanakan pada 28 April 1952, Jepang menyetujui

Trussteeship System yang menempatkan beberapa pulau di Jepang berada di bawah otoritas AS, hal ini ditunjukkan dalam pasal 3 yang berbunyi:

Japan will concur in any proposal of the United States to United Nations to place under trusteeship system, with the United States as the sole administering authority, Nansei Shoto south of 29 degrees north latitude (including the Ryukyu Islands and Daito Islands), Nampo Shoto south of Sofu Gan (including the Bonin Islands, Rosario Islands and the Volcano Islands) and Parece Vela and Marcus Island. Pending the making of such a proposal and affirmative actions thereon, the United States will have the right to exercise all and any power of administration, legislation, and jurisdiction over the territory and inhabitants of these islands, including their territorial waters (Watanabe 1970)


(50)

(Jepang menyetujui usulan mengenai penempatan wilayah dibawah sistem perwalian dari PBB yang menjadikan AS sebagai pemegang hak perwalian tersebut dan wilayah yang menjadi otoritas administrasi AS adalah wilayah yang terletak pada 29 derajat Lintang utara Nansei Shoto (termasuk Kepulauan Ryukyu dan Kepulauan Daito), wilayah yang terletak pada Nampo Shoto selatan dari Sofu Gan (termasuk Kepulauan Bonin, Kepulauan Rosario, dan Kepulauan Volcano) dan Parece Vela, serta Pulau Marcus. Sambil menunggu pembuatan proposal dan tindakan lebih lanjut, AS memiliki hak untuk melaksanakan kegiatan adminitrasi, legislasi, dan yuridiksi atas wilayah-wilayah tersebut termasuk masyarakat, serta wilayah-wilayah perairan mereka) (Terjemahan penulis)

Dengan adanya pasal tersebut, maka status Okinawa masih belum dikembalikan ke wilayah Jepang seutuhnya seperti pulau-pulau lainnya, sehingga AS memiliki hak untuk menempatkan dan mendirikan pangkalan militer di Okinawa sampai status Okinawa resmi ditentukan di masa mendatang. AS memiliki pasukan sekitar 27.000 personil dari 52.000 total keseluruahan pasukan militer AS di daratan Jepang selain itu terdapat sekitar 37 fasilitas pangkalan militer AS yang tersebar di seluruh wilayah Okinawa yang terlihat pada Gambar II.C dibawah ini, hal ini menandakan bahwa AS memiliki 75% pasukan militer yang berpusat di Okinawa (Pajon 2010:4).


(51)

Gambar II.C.1 Peta Penyebaran Fasilitas Militer AS di Prefektur Okinawa

Sumber: http://okinawa-institute.com/en/node/32 diakses pada 19 Juli 2014

Dalam artikel jurnal berjudul Understanding Okinawa’s Role in the U.S. -Japan Security Agreement yang ditulis Jacques Fuqua dan diterbitkan oleh

National Clearing house for United States-Japan Studies tahun 2001, mengatakan bahwa Okinawa merupakan wilayah prefektur Jepang yang dihuni oleh sekitar 1,5 juta penduduk dan merupakan wilayah selatan Jepang. Okinawa memiliki luas wilayah sekitar1.201,03 km2 atau 0,6% dari total daratan Jepang dan sebelum menjadi prefektur di Jepang, Okinawa merupakan sebuah kerajaan merdeka yang dikenal dengan nama Kerajaan Ryukyu.

Saat masih menjadi kerajaan, Ryukyu memiliki hubungan perdagangan yang erat dengan Kerajaan Cina dan Jepang hingga pada abad ke 18, Kerajaan Ryukyu dimasukkan ke dalam wilayah Jepang secara sepihak dan menghapuskan status Kerajaan Ryukyu menjadi Prefektur Okinawa oleh Kerajaan Jepang pada


(52)

tahun 1879. Meskipun secara status Ryukyu merupakan prefektur di Jepang, namun sebenarnya pergantian status ini masih menimbulkan kontroversi, terutama bagi Cina yang merasa Ryukyu adalah bagian dari Kerajaan Cina serta dari pihak Kerajaan Ryukyu sendiri juga menganggap bahwa mereka bukan bagian dari Kerajaan Jepang. Akibat dari klaim satu sama lain tersebut, Cina dan Jepang akhirnya berperang memperebutkan Kerajaan Ryukyu pada tahun 1894-1895, dan hasil dari peperangan tersebut adalah Cina kalah serta Kerajaan Ryukyu sepenuhnya kembali menjadi Prefektur Okinawa milik Jepang (Watanabe 1970:58).

Kerajaan Jepang melihat Kerajaan Ryukyu sebagai wilayah strategis untuk jalur perdagangan selain itu, ketika Ryukyu diambil alih Jepang, Ryukyu dijadikan sebagai benteng oleh Jepang untuk menghindari serangan bangsa Spanyol dari arah Filipina dan juga saat Perang Dunia II Ryukyu menjadi benteng pertahanan darat tentara Jepang dari serangan tentara Sekutu (Fuqua 2001:2) .

Keberhasilan Okinawa sebagai basis pertahanan tentara Jepang dalam menghalau serangan darat tentara Sekutu, membuat AS melihat Okinawa sebagai lokasi ideal untuk melakukan serangan balik ke Jepang melalui jalur udara yaitu dengan target serangan ke Kota Hiroshima dan Nagasaki yang bertujuan untuk melumpuhkan Jepang. Akibat perang tersebut, tercatat hampir 220,000 warga Okinawa tewas, dan sekitar 14.000 tentara AS tewas (Bandow 1998:6).

Fungsi strategis wilayah Okinawa juga dibuktikan dari kedekatan jarak Okinawa dengan beberapa negara di Kawasan Asia Pasifik seperti ke Manila yang berjarak 900 km, ke Taiwan 390 km, ke Korea 830 km, dan ke Shanghai, Cina 510 km. Sedangkan jarak wilayah Okinawa ke Tokyo adalah 970 km, hal ini


(53)

menandakan wilayah Okinawa cenderung lebih dekat dengan negara-negara tersebut daripada ke wilayah daratan Jepang (Watanabe 1970:5).

Pergerakan militer AS yang lebih mudah ke beberapa negara di kawasan Asia Pasifik juga dilihat saat terjadi perang Korea tahun 1950 dan Perang Vietnam tahun 1965. Jika ditinjau dari jalur udara, Okinawa hanya membutuhkan 2 jam waktu tempuh pesawat menuju Semenanjung Korea dan ke Taiwan. Waktu tempuh ini lebih singkat jika dibandingkan dengan waktu tempuh 5 jam dari Guam dan 11 jam dari Hawai’i yang harus militer AS ambil jika melakukan penerbangan ke Semenanjung Korea dan Taiwan, jarak Okinawa dengan wilayah sekitarnya dapat dilihat pada Gambar II.C.2 dibawah ini (Watanabe 1970:60).

Gambar II.C.2 Peta Lokasi Strategis Okinawa

Sumber: http://orientalreview.org/2010/10/01/is-guam-ready-to-accept-the-us-military-bases-from-okinawa/ dikses pada 2 Agustus 2014


(54)

Melihat letak Okinawa yang strategis tersebut maka Okinawa dijuluki sebagai “kunci utama Jalur Pasifik” karena akses yang mudah dijangkau dan dekat dengan Semenanjung Korea, Taiwan serta wilayah teritori lain yang rawan konflik di Kawasan Asia Pasifik (Fukumura 2007:7). Selain itu, salah satu media cetak Jepang yaitu Ryukyu Shimpo mengatakan bahwa bagi AS, Okinawa seperti sebuah hadiah dari kemenangan Perang Dunia II (Bandow 1998:4).

Posisi Okinawa semakin penting bagi AS pada masa Perang Dingin tahun 1945-1991, hal ini terlihat ketika AS banyak mendirikan fasilitas militer di Okinawa dengan mengeluarkan biaya pembangunan sekitar 50 juta dolar AS atau setara dengan 589 milyar rupiah sebagai antisipasi kemenangan partai komunis di Cina tahun 1950. Selain itu, dengan hak otoritas (U.S Trussteeship) yang dimiliki AS atas Okinawa, AS mendirikan pemerintahan administrasi yang disebut dengan

United States Civil Administration in the Ryukyus (USCAR) dibawah komando Jendral Douglas MacArthur tahun 1950 (The National Archives and Records Administration 1995).

Tujuan dari pembentukan ini adalah memberikan pengawasan terhadap kegiatan domestik Okinawa, termasuk masalah-masalah domestik Okinawa dan mendorong rakyat Okinawa ikut berpartisipasi dalam kegiatan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan informasi kerjasama pemerintah AS dengan Jepang. USCAR juga berkontribusi dalam pendirian bank sentral Okinawa, perusahaan listrik, dan perusahaan air Okinawa. (Watanabe 1970:22). Namun USCAR dihentikan pada 15 Mei 1972 setelah perjanjian antara AS dan Jepang terkait pengembalian Kepulauan Ryukyu, dan Kepulauan Daito ke Pemerintah Jepang


(55)

Area Barak 31%

Area Latihan 13% Pangkalan

Udara 43% Pusat

pelayanan, Informasi dan

Penyimpanan 13%

telah ditandatangani pada 17 Juni 1971 di Tokyo, Jepang (The National Archives and Records Administration 1995).

1. Fasilitas Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa

Sejak Okinawa menjadi wilayah otoritas AS (U.S Trusteeship), AS berhak mendirikan pangkalan militer di Okinawa dan tercatat dari total wilayah Okinawa yaitu sekitar 1.201,03 km2, lahan yang digunakan sebagai pangkalan militer adalah seluas sekitar 229, 2 km2 serta total pangkalan militer AS di seluruh Jepang adalah 310.1 km2 (Shimoji 2011:4). Berdasarkan jumlah luas wilayah tersebut menandakan bahwa hampir ¾ total wilayah Okinawa digunakan sebagai basis pangkalan militer AS yang dapat dilihat pada Grafik II.C

Grafik II.C Persentase Lahan Pangkalan Militer AS

Sumber: Yoshio Shimoji, Futenma: Tip of the Iceberg in Okinawa’s Agony, The Asia-Pacific Journal: Japan Focus, 2011

Keterangan dari gambar grafik diatas adalah bahwa keseluruhan lahan yang digunakan untuk fasilitas pangkalan militer AS adalah 229, 2-km2 dengan pembagian sebagai berikut:


(1)

Fukumura, Yoko. 2007. “Home: Patners: Okinawa : Effects of long-term US Military presence.” Women for genuine security website. Retrieved Maret 22, 2014 (http://www.genuinesecurity.org/partners/okinawa.html).

Fukumura, Yoko. 2007. “Home: Patners: Okinawa : Effects of long-term US Military presence.” Women for Genuine Security. Retrieved Agustus 11, 2014 (http://www.genuinesecurity.org/partners/report/Okinawa.pdf).

Gates, Robert M. 2005. “Home: Secretary of Defense:Speeches.” U.S Department of Defense. Retrieved Oktober 21, 2014

(http://www.defense.gov/Speeches/Speech.aspx?SpeechID=77).

Global Research. 2007. “Home : Region : USA : The Worldwide Network of US Military Bases.” Global Research Website. Retrieved November 2, 2014 (http://www.globalresearch.ca/the-worldwide-network-of-us-military-bases/5564).

Global Security. 2013. “Home: Military: Facilities: PACOM.” Global Security Website. Retrieved Oktober 25, 2014

(http://www.globalsecurity.org/military/facility/guam.htm).

Hemmings, John. 2013. “Home: East Asia.” The Diplomat Web Site. Retrieved September 17, 2014 (http://thediplomat.com/2013/05/hedging-the-real-u-s-policy-towards-china/).

Institute of Oriental Culture, University of Tokyo. 1960. “Home : U.S-Japan Relations : US-Japan Treaties & Agreements.” Embassy of The United State in Japan Website. Retrieved Agustus 30, 2014


(2)

James K, Bowen. 2007. “Historical Sources : Pearl Harbour.” The Pasific War. Retrieved Agustus 26, 2014

(http://www.pacificwar.org.au/pearlharbor/Japattack.html).

Japan Communist Party. 2000. “Home: Japanese:Domestic.” Japan Communist Party Web site. Retrieved November 12, 2013

(http://www.jcp.or.jp/tokusyu/okinawa/Okinawa.pdf).

Jeffrey A. Bader, Kenneth G. L. a. M. M. 2014. “Home: Research: Policy Brief.” Brookings Foreign Policy Brief web site. Retrieved Oktober 21, 2014 (http://www.brookings.edu/research/papers/2014/08/south-china-sea-perspective-bader-lieberthal-mcdevitt).

Kai, Jin. 2013. “Features: Diplomacy: Security: East Asia.” The Diplomat. Retrieved Juli 22, 2014 (http://thediplomat.com/2013/10/structural-distrust-undermining-a-senkakudiaoyu-solution/).

Keck, Zachary. 2014. “Home: East Asia:Is China Preparing MIRVed Ballistic Missiles?” The Diplomat Web site. Retrieved Oktober 19, 2014

(http://thediplomat.com/2014/08/is-china-preparing-mirved-ballistic-missiles/).

Lee, Oliver. 1998. “The Choson Sinbo Website.” Retrieved November 21, 2014 (http://www1.korea-np.co.jp/pk/054th_issue/koreanwar/98080501.htm). Liem, Channing. 1993. “The Choson Sinbo website.” Retrieved November 21,

2014


(3)

Marine Corps Air Station Iwakuni. 2006. “Home : History.” Marine Corps Air Station Iwakuni. Retrieved Agustus 22, 2014

(http://www.mcasiwakuni.marines.mil/History.aspx).

Ministry of Defense. 2004. “Home: Defense Activities: Defense Policy: Ⅰ. Constitution and the Basis of Defense Policy.” Ministry of Defense official website. Retrieved Juli 22, 2014

(http://www.mod.go.jp/e/d_act/d_policy/dp01.html).

Ministry of Foreign Affairs of Japan. 1996. “Top: Regional Affairs: North Amarica: The United States: President Clinton's 1996 State Visit to Japan: The Japan-U.S. Special Action Committee (SACO) Interim Report.” Ministry of Foreign Affairs of Japan Web site. Retrieved Oktober 22, 2014 (http://www.mofa.go.jp/region/n-america/us/security/seco.html).

Mueller, Major G. P. J. 2007. “Homepage : News Archives : Article.” The Official Homepage of U.S Army. Retrieved Agustus 28, 2014

(http://www.army.mil/article/4613/Occupied_Japan____A_Progress_Report /).

Muto, Ichiyo. 2004. “Overview : People's Plan Study Group : US Military Bases in Japan.” Japan Computer Access Network. Retrieved September 9, 2014 (http://www.jca.apc.org/wsf_support/2004doc/WSFJapUSBaseRepoFinalAl l.html).

Nihon. 2008. Retrieved Oktober 10, 2013

(http://nihon.awardspace.com/okinawa_sofa_crime.html).

Reuters. 2013. “Home: World: US: Manila plans air, naval, bases at Subic with access for U.S Official say.” Reuters News. Retrieved November 4, 2014


(4)

(http://www.reuters.com/article/2013/06/26/us-philippines-usa-idUSBRE95P1EP20130626).

Sakoda, Robin". 2013. “Home: Publications: Japan Chair Platform: Japan and Collective Self-Defense: An American Perspective.” Center for Strategic and International Studies. Retrieved Oktober 30, 2014

(http://csis.org/publication/japan-chair-platform-japan-and-collective-self-defense-american-perspective).

Shapiro, Ian. 2007. “Home: Sample Chapter:Containment: Rebuilding a Strategy against Global Terror.” Princeton University Press. Retrieved Agustus 28, 2014 (press.princeton.edu/chapters/pons/s2_9143.pdf).

The Atlantic News. 2005. “Home : Archieve: How We Would Fight China.” The Atlantic News Website. Retrieved Oktober 22, 2014

(http://www.theatlantic.com/magazine/archive/2005/06/how-we-would-fight-china/303959/).

The Guardian. 2011. “News: US News.” The Guardian website. Retrieved Oktober 26, 2014 (http://www.theguardian.com/world/2011/nov/16/china-us-troops-australia).

The National Archives and Records Administration. 1995. “Home : Research Our Records: Guide to Federal Records: Records of U.S. Occupation

Headquarters, World War II.” National Archives. Retrieved Agustus 22, 2014


(5)

The Open University. 1998. The Asia Pasific Profile. 3rd ed. Forest Gate, London: Commercial Colour Press. Retrieved Juni 07, 2014

(http://www.jpri.org/publications/workingpapers/wp78.html).

The Wall Street Journal. 2013. “World News: Plan to Shift U.S. Forces in Pacific Hits Speed Bumps on Guam.” The Wall Street Journal Website. The Wall Street Journal. Retrieved Maret 22, 2014

(http://www.wsj.com/articles/SB10001424127887323874204578217490207 346314).

U.S Department of State. 2008. “Milestones : 1937-1945 : Japan, China, the United States and the Road to Pearl Harbor, 1937–41.” U.S Department of State Office of the Historian Web site. Retrieved Juni 05, 2014

(http://history.state.gov/milestones/1937-1945/pearl-harbor).

U.S National Archives & Records Administration. 1995. “Home: Japanese Surrender Document.” U.S National Archives & Records Administration. Retrieved Juni 12, 2014

(http://www.archives.gov/exhibits/featured_documents/japanese_surrender_ document/).

United Nations. 2012. “Home: Up: Advise&Assistance: Function of the CLCS.” Ocean and Law of the Sea United Nations Website. Retrieved Juli 12, 2014 (http://www.un.org/depts/los/clcs_new/commission_purpose.htm).

United Nations. 2013. “THE Convention and the Related Agreement: United Nations Convention on the Law of the Sea.” United Nation Oceans and Law of the Sea. Retrieved Juli 22, 2014


(6)

(http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/part7.htm ).

US Census Bureau. 2014. “Census.gov: Business & Industry: Foreign Trade : U.S. International Trade Data.” US Census Berau Website. Retrieved Oktober 22, 2014

(https://www.census.gov/foreign-trade/balance/c5700.html).

washingtonpost. 2011. “News: Post TV: Asia & Pacific.” washingtonpost web site. Retrieved Pktober 25, 2014

(http://www.washingtonpost.com/world/asia_pacific/us-troops-headed-to-australia-irking-china/2011/11/16/gIQAiGiuRN_story_1.html).

Yukie Yoshikawa Research. 2011. “U.S. Military Base Map in Okinawa.” Yukie Yoshikawa Research Website. Retrieved Juni 11, 2014 (http://okinawa-institute.com/en/node/81).