PERBANDINGAN LIFE SKILLANTARAJIGSAWDANVCTDENGAN MEMPERHATIKAN KONSEP DIRI
PEMBELAJARAN VCT (VALUE CLARIFICATION
TECHNIQUE) DENGAN MEMPERHATIKAN KONSEP
DIRI SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS TERPADU
SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 4 GADINGREJO
PRINGSEWU TAHUN AJARAN 2014/2015
Oleh :
Andreas saut H. malau
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN
Pada
Program Studi Pendidikan Ekonomi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015
(2)
STUDI PERBANDINGAN LIFE SKILL ANTARA MODEL PEMBELAJARAN JIGSAW DAN MODEL PEMBELAJARAN VCT (VALUE CLARIFICATION TECHNIQUE) DENGAN MEMPERHATIKAN KONSEP DIRI SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 4 GADINGREJO PRINGSEWU TAHUN
AJARAN 2014/2015
(Skripsi)
Oleh
Andreas Saut H. Malau
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2015
(3)
Gambar Halaman
1. Kerangka Pikir ... 44
2. Hasil Konsep Diri Kelas Eksperimen ... 69
3. Hasil Konsep Diri Kelas Kontrol ... 71
4. HasilLife SkillKelas Eksperimen ... 73
5. HasilLife SkillKelas Kontrol ... 74
6. Life SkillSiswa yang Memiliki Konsep Diri Positif Kelas Kontrol ... 76
7. Life SkillSiswa yang Memiliki Konsep Diri Negatif Kelas Kontrol... 79
8. Life SkillSiswa yang Memiliki Konsep Diri Positif Kelas Eksperimen... 81
9. Life SkillSiswa yang Memiliki Konsep Diri Negatif Kelas Eksperimen 84 10. Interaksi antara Model Pembelajaran dengan konsep diri Siswa ... 94
(4)
ABSTRAK
STUDI PERBANDINGAN LIFE SKILL ANTARA MODEL PEMBELAJARAN JIGSAW DAN MODEL PEMBELAJARAN VCT (VALUE CLARIFICATION TECHNIQUE) DENGAN MEMPERHATIKAN KONSEP DIRI SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 4
GADINGREJO PRINGSEWU TAHUN AJARAN 2014/2015
Oleh
Andreas Saut Halomoan Malau
Penelitian ini mengkaji tentang perbandingan Life Skill antara model pembelajaran Jigsaw dan VCT (Value Clarification Technique) dengan memperhatikan konsep diri pada siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Gadingrejo, Pringsewu Tahun Ajaran 2014/2015. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan Life Skill serta interaksi antara model pembelajaran dan konsep diri siswa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode komparatif dengan pendekatan eksperimen. Populasi penelitian ini 133 siswa dengan jumlah sampel sebanyak 60 siswa. Teknik penelitian ini adalah Cluster Random Sampling. Teknik pengambilan data dengan observasi, dan angket. Pengujian hipotesis menggunakan rumus analisis varian dua jalan dan t-test dua sampel independen.
Hasil analisis data menunjukkan (1) Ada perbedaan life skill siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Jigsaw dibandingkan menggunakan model pembelajaran
VCT (Value Clarification Technique). (2) Life Skill siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Jigsaw lebih tinggi dibandingkan menggunakan VCT (Value Clarification Technique) pada siswa yang memiliki konsep diri yang positif. (3) Life Skill Siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Jigsaw lebih rendah dibandingkan menggunakan VCT(Value Clarification Technique) pada siswa yang memiliki konsep diri yang negatif. (4) Ada interaksi antara model pembelajaran dengan konsep diri siswa terhadap Life Skill
pada mata pelajaran IPS Terpadu.
(5)
Lampiran
1. Daftar Nama Siswa Kelas VIII A (Eksperimen) 2. Daftar Nama Siswa Kelas VIII B (Kontrol) 3. Daftar Nama Kelompok Kelas Eksperimen 4. Daftar Nama Kelompok Kelas Kontrol 5. Silabus
6. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen (VIIIA) 7. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Kontrol (VIIIB) 8. Uji Normalitas
9. Uji Homogenitas 10. Uji T Tes
11. Uji ANAVA 12. Kisi-Kisi Angket
13. Lembar ObservasiLife Skill
14. Lembar Angket Konsep Diri 15. Uji Validitas Angket Konsep Diri 16. Uji Reliabilitas Angket
17. Daftar NilaiLife SkillKelas Eksperimen 18. Daftar NilaiLife SkillKelas Kontrol
19. Daftar Nilai Konsep Diri Kelas Eksperimen 20. Daftar Nilai Konsep Diri Kelas Kontrol 21. Profil Sekolah
(6)
Tabel Halaman
1. Kesenjangan antara Harapan dan Fakta yang Terjadi ... 4
2. Penelitian yang Relevan... 36
3. Desain Penelitian Eksperimen ... 49
4. Penilaian PernyataanFavorabledanUnfavorable... 54
5. Rumus Unsur Tabel Persiapan Anava Dua Jalan ... 59
6. Cara Untuk Menentukan Kesimpulan Hipotesis Anava ... 60
7. Daftar Sarana dan Prasarana SMP Negeri 4 Gading Rejo ... 64
8. Konsep Diri Siswa Kelas Eksperimen ... 69
9. Konsep Diri Siswa Kelas Kontrol ... 70
10. Life Skill Siswa Kelas Eksperimen ... 72
11. Life Skill Siswa Kelas Kontrol ... 74
12. Life Skill Siswa yang Memiliki Konsep Diri Positif Kelas Kontrol ... 76
13. Life Skill Siswa yang Memiliki Konsep Diri Negatif Kelas Kontrol ... 78
14. Life Skill Siswa yang Memiliki Konsep Diri Positif Kelas Eksperimen.. 81
15. Life Skill Siswa yang Memiliki Konsep Diri Negatif Kelas Eksperimen 83 16. Uji Normalitas Data ... 85
17. Rekapitulasi Uji Normalitas ... 86
18. Hasil Uji Homogenitas... 87
19. Hasil Pengujian Hipotesis 1 ... 89
20. Hasil Pengujian Hipotesis 2 ... 90
21. Hasil Pengujian Hipotesis 3 ... 92
(7)
(8)
(9)
“Dream, Believe, Achieve” (Andrea Barzagli)
“Kalau hari ini kita menjadi penonton bersabarlah menjaddi pemain esok hari”
(Alessandro Del Piero)
“Hanya dibutuhkan sebuah senyum untuk menyembunyikan sejuta air mata”
(10)
Segala puji dan syukur untuk Mu Tuhan Yesus Kristus
atas segala berkat dan anugrah yang Engkau berikan selama ini
.Dengan Bangga Kupersembahkan Karya Ini Untuk
Ayah
Teima kasih selalu membimbing dan mendoakan agar sukses selalu
hari demi hari.
Ibu Tercinta yang penuh kasih
Dengan Penuh Kesabaran Membimbing Serta Mendidik Agar
Menjadi Manusia yang Lebih Baik hari demi hari. Terima kasih telah
membawa namaku di dalam doamu. Memberi Nasehat dan
Semangat untuk Masa Depan yang Lebih Baik.
Para Pendidik
Terima kasih Telah Berbagi Ilmu dan Pengalaman untuk Bekal
Menghadapi Kehidupan.
Kakak dan Abang Tercinta
Kalian telah membuatku termotivasi untuk segera menyelesaikanya.
Sahabat sahabatku
Terima kasih Telah Memberikan Warna dalam Hidup.
Almamater Tercinta Universitas Lampung
(11)
Penulis di lahirkan di Pringsewu, Kota Pringsewu, Provinsi Lampung pada tanggal 23 November 1992 dengan nama lengkap Andreas Saut Halomoan Malau. Penulis merupakan anak terakhir dari enam bersaudara, Pasangan Bapak M. Malau dan Ibu D. Nainggolan.
Pendidikan formal yang diselesaikan penulis.
1. SD Fransiskus Pringsewu diselesaikan pada tahun 2005 2. SMP N 3 Pringsewu diselesaikan pada tahun 2008 3. SMA Xaverius Pringsewu diselesaikan pada tahun 2011
Pada tahun 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi Jurusan IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung melalui jalur Ujian Masuk Lokal (UML). Pada tahun 2014, penulis mengikuti Kuliah Kerja Lapangan (KKL) ke Solo, Bali, Jogjakarta, Bandung dan Jakarta. Serta pada bulan Juli-September mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Jagaraga, Kecamatan Sukau, Kabupaten Lampung Barat dan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP N 3 Sukau.
(12)
Puji dan syukur kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan rahmat, karunia, petunjuk dan kemudahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “STUDI PERBANDINGAN LIFE SKILL ANTARA MODEL PEMBELAJARAN JIGSAW DAN MODEL PEMBELAJARAN VCT
(VALUE CLARIFICATION TECHNIQUE) DENGAN MEMPERHATIKAN
KONSEP DIRI SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 4 GADINGREJO PRINGSEWU TAHUN AJARAN 2014/2015”.
Selesainya penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, motivasi, bimbingan dan saran dari semua pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Unila.
2. Bapak Dr. Abdurrahman, M.Si., selaku Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kerjasama FKIP Unila.
3. Bapak Drs. Zulkarnain, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Unila.
4. Bapak Drs. Tedi Rusman, M.Si., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Ekonomi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Unila.
(13)
memberikan motivasi, arahan dan nasehat dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Bapak Drs. Yon Rizal, M.Si., selaku pembimbing II dan pembimbing
akademik yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta memberikan motivasi, arahan dan nasehat dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Bapak Drs. Tedi Rusman, M.Si., selaku penguji skripsi penulis yang telah
membantu mengarahkan dan memotivasi dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Ekonomi Jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Unila, terima kasih untuk ilmu dan pengalamannya yang telah diberikan kepada penulis.
9. Siswa-Siswi SMP Negeri 4 Gadingrejo Pringsewu, terima kasih atas kerjasama dan kekompakkannya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.
10. Kedua orang tua, Ibu D. Nainggolan beribu kata terima kasih karena telah mendoakanku dalam pengharapan-pengharapan yang pasti. Kesabaran, senyuman, air mata, tenaga dan pikiran tercurah di setiap perjuangan dan doamu menjadi kunci kesuksesanku di kemudian hari dan Bapak M. Malau yang selalu sabar mendidik dan sangat menyayangi.
11. Kakak dan Abang tercinta, Kak Ita, Kak Vera, Bang Arnold, Kak Yosi, dan Kak Maya. Terima kasi atas doa dan motivasinya.
12. Teman-teman seperjuangan, Fredy, Tomi, Irpan, Irpan Hidayat, Komar, Edi, I Wayan Wendra, Sabri, Ajeng, Leni, Yusmai, Lisna, Eka, Rini, Esti, Wulan, dan Arum. Terima kasih untuk kebersamaannya selama ini, untuk kegilaan
(14)
13. Teman-teman seluruh angkatan 2011 Ganjil dan Genap yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas kebersamaannya selama ini.
14. Teman KKN-KT, Agung, Dapi, Mira, Irma, Resti, Rosa, Riska, Neti, Erlina. Satu lagi, Noris (temen ngopi) terima kasih telah memberikan banyak pengalaman dan kebahagiaan. Juga semua warga kabupaten Lampung Barat khususnya desa Jagaraga, terima kasih telah menerima kami selama tiga bulan.
15. Teman-teman kosan Nata, Mardi, Rio, Riyan, Arief, dan Ando dll, suatu kehormatan punya sahabat seperti kalian. Semoga kita semua sukses.
16. Teman-teman Pringsewu Rizal, Riko, Ebit, Bintang, Nunut, dll. Terima kasih atas bantuannya selama ini, sukses.
17. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Semoga segala bantuan, bimbingan, dorongan dan doa yang diberikan kepada penulis mendapat berkat dari Tuhan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Bandar Lampung, September 2015 Penulis,
(15)
(16)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………i
DAFTAR ISI... ii
DAFTAR TABEL...v
DAFTAR GAMBAR ………..vi
DAFTAR LAMPIRAN ………..vii
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah... 1
B. Identifikasi masalah... 9
C. Pembatan masalah... 9
D. Rumusan masalah... 10
E. Tujuan Penelitian... 11
F. Kegunaan Penelitian... 11
G. Ruang Lingkup Penelitian... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS A. Tinjauan Pustaka... 13
1. Pengertian Life Skill... 13
2. Pengertian Model Pembelajaran Jigsaw... 17
3. Pengertian Model Pembelajaran VCT... 23
4. Pengertian Konsep Diri ………...……….. 30
B. Penelitian yang Relevan... 36
C. Kerangka Pikir... 39
D. Hipotesis Penelitian... 45
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian... 46
B. Populasi dan Sampel... 47
1. Populasi... 47
2. Sampel... 47
(17)
F. Definisi Operasional Variabel... 51
G. Instrumen Penelitian ... 53
H. Uji Persyaratan Instrumen...55
1. Uji Validitas... 55
2. Uji Reliabilitas... 56
I. Uji Persyaratan Statistik Parametrik... 57
1. Uji Normalitas... 57
2. Uji Homogenitas... 58
J. Teknik Analisis Data ………... 58
1. T-Tes Dua Sampel Independen... 58
2. Analisis Varians Dua Jalan... 60
K. Pengujian Hipotesis………61
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... ….64
1. Sejarah Singkat Berdirinya SMP Negeri 4 Gadingrejo... ….64
2. Situasi dan Kondisi SMP Negeri 4 Gadingrejo ... ….65
3. Visi dan Misi SMP Negeri 4 Gadingrejo ... ….66
4. Proses belajar mengajar SMP Negeri 4 Gadingrejo ... ….68
5. Gambaran Umum Responden ... ….68
6. Struktur Organisasi Sekolah ... ….68
B. Deskripsi Data ... ….69
1. Data Konsep Diri Siswa ... ….69
a. Deskripsi Data Konsep Diri Siswa pada Kelas Eksperimen (Model Jigsaw) ... ….69
b. Deskripsi Data Konsep Diri Siswa pada Kelas Kontrol (Model VCT) ... ….71
2. Data Life Skill Siswa ... ….72
a. Deskripsi Life Skill Siswa pada Kelas Eksperimen (Model Jigsaw) ... ...73
b. Deskripsi Life Skill Siswa pada Kelas Kontrol (Model VCT) ... ….74
3. Data Life Skill Siswa dengan Memperhatikan konsep diri Siswa pada Kelas Kontrol ... ….76
a. Deskripsi Data Life Skill Siswa yang Memiliki konsep diri positif Kelas Kontrol (Model VCT) ... ….76 b. Deskripsi Data Life Skill Siswa yang Memiliki konsep diri negatif Kelas Kontrol (Model VCT) ... ….78
4. Data Life Skill Siswa dengan Memperhatikan konsep diri Siswa pada Kelas Eksperimen ... ….81
a. Deskripsi Data Life Skill Siswa yang Memiliki konsep diri positif Kelas Eksperimen (Model Jigsaw) ... ….81
(18)
1. Uji Normalitas ... ….86
2. Uji Homogenitas ... 87
D. Pengujian Hipotesis ... 89
E. Pembahasan ... 97
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 107
B. Saran ... 108 DAFTAR PUSTAKA
(19)
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap manusia. Pendidikan tidak terlepas dari segala kegiatan manusia. Dalam kondisi apapun manusia tidak dapat menolak efek dari penerapan pendidikan. Pendidikan diambil dari kata dasar didik, yang ditambah imbuhan menjadi mendidik. Mendidik berarti memelihara atau memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dari pengertian ini didapat beberapa hal yang berhubungan dengan Pendidikan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha manusia untuk
memanusiakan manusia itu sendiri. Dalam pendidikan terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi. Kedua subjek itu adalah pendidik dan subjek didik. Sehingga pada pendidikan terjadi interaksi antara pendidik dengan subjek didik guna mencapai tujuan pendidikan.
(20)
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.”
Oleh sebab itu, pendidikan merupakan modal utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Penyelenggaraan pendidikan dapat dibedakan menjadi pendidikan formal, informal dan nonformal. Pendidikan formal adalah segala bentuk pendidikan atau pelatihan yang diberikan secara terorganisasi dan berjenjang, baik bersifat umum maupun bersifat khusus. Contohnya adalah pendidikan SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi negeri ataupun swasta. Pendidikan Informal dalah jenis pendidikan atau pelatihan yang terdapat di dalam keluarga atau masyarkat yang diselenggarakan tanpa ada organisasi tertentu (bukan organisasi). Pendidikan nonformal adalah segala bentuk pendidikan yan diberikan secara terorganisasi tetapi di luar wadah pendidikan formal.
Pada dasarnya setiap kegiatan yang dilakukan akan menimbulkan dua macam dampak yang saling bertentangan. Kedua dampak itu adalah dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif adalah segala sesuatu yang merupakan harapan dari pelaksanaan kegiatan tersebut, dengan kata lain dapat disebut
sebagai ’Tujuan’. Sedangkan dampak negatif adalah segala sesuatu yang
bukan merupakan harapan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, sehingga dapat disebut sebagai hambatan atau masalah yang ditimbulkan. Jika peristiwa di atas dihubungkan dengan pendidikan, maka pelaksanaan
(21)
pendidikan akan menimbulkan dampak negatif yang disebut sebagai masalah dan hambatan yang akan dihadapi. Hal ini akan lebih tepat bila disebut sebagai permasalahan pendidikan. Istilah permasalahan pendidikan
diterjemahkan dari bahasa inggris yaitu “problem“. Masalah adalah segala
sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Sedangkan kata
permasalahan berarti sesuatu yang dimasalahkan atau hal yang dimasalahkan. Jadi, permasalahan pendidikan adalah segala sesuatu hal yang merupakan masalah dalam pelaksanaaan kegiatan pendidikan.
Salah satu program utama pengembangan pendidikan di Indonesia adalah meningkatkan mutu pendidikan. Upaya untuk meningkatkan mutu
pendidikan, fungsi sekolah sangat penting. Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan yang mempunyai tugas untuk membentuk manusia berkualitas dalam pengetahuan, sikap, maupun keterampilan yang pencapaiannya dilakukan terencana, terarah, dan sistematis. Semakin maju masyarakat
semakin penting peranan sekolah dalam mengembangkan kemampuan peserta didiknya untuk memiliki kemampuan bersaing secara global.
Salah satu jenjang pendidikan formal yang dapat mengembangkan
kemampuan peserta didik adalah sekolah menengah pertama. SMP Negeri 4 Gadingrejo merupakan salah satu sekolah yang ada di Kabupaten Pringsewu Kecamatan Gadingrejo. SMP Negeri 4 Gadingrejo sendiri terletak di
lingkungan yang cukup sunyi, yaitu terletak di bawah pegunungan dan di kelilingi persawahan sehingga aktivitas belajar dapat berjalan dengan baik di sana. Akan tetapi,life skillsebagian siswa di sini kurang baik untuk mata
(22)
pelajaran tertentu terutama IPS Terpadu. Selain itu, berdasarkan pengamatan guru selama proses pembelajaran IPS Terpadu di kelas VIII A dan VIII B SMP Negeri 4 Gadingrejo, peserta didik kurang dalam menunjukkanlife skills-nya. Berikut ini adalah hasil pengamatan tentang prilaku siswa yang mencerminkanlife skill yang masih rendah.
Tabel 1. Kesenjangan antara Harapan dan Fakta yang Terjadi
No Fakta yang terjadi Harapan yang diinginkan
1 Siswa belum menyadari apa yang menjadi kelebihan dan
kekurangan yang dimiliki sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial.
Siswa dapat menyadari dan
mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus
menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya.
2 Siswa masih mengandalkan dan berdasarkan perintah guru dalam memperoleh informasi.
Siswa dapat menggali dan menemukan informasi sendiri.
3 Di dalam kelas siswa sulit mengambil kesimpulan dalam hasil diskusi.
Siswa dapat mengolah dan mengambil keputusan termasuk dalam
pembahasan diskusi. 4 Siswa masih kurang baik dalam
berkomunikasi secara lisan dan tulisan.
Siswa dapat berkomunikasi dengan baik secara lisan dan tulisan.
Berdasarkan penelitian pendahulan dan wawancara dengan guru yang saya lakukan, masih banyak siswa yang belum bisa bekerjasama dengan baik dan aktif dalam kegiatan kelompok belajar. Demikian pula menggali informasi dan memecahkan masalah juga siswa masih belum menguasainya dengan baik, sedangkanUNESCO merekomendasikan “empat pilar pembelajaran”
untuk memasuki era globalisasi, yaitu
“Program pembelajaran yang diberikan hendaknya mampu memberikan kesadaran kepada masyarakat sehingga mau dan mampu belajar
(learning know or learning to learn). Bahan belajar yang dipilih hendaknya mampu memberikan suatu pekerjaan alternatif kepada peserta didiknya (learning to do), dan mampu memberikan motivasi
(23)
untuk hidup dalam era sekarang dan memiliki orientasi hidup ke masa depan (learning to be). Pembelajaran tidak cukup hanya diberikan dalam bentuk keterampilan untuk dirinya sendiri, tetapi juga
keterampilan untuk hidup bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, dan hidup dalam pergaulan antar bangsa-bangsa dengan semangat kesamaan dan kesejajaran (learning to live together)”.
Sejalan dengan itu Hidayanto (2002 : 5) menjabarkan empat pilar menjadi: pengetahuan, ketrampilan, kemandirian, dan kemampuan untuk
menyesuaikan diri dan bekerjasama. Keempat pilar tersebut, merupakan pilar-pilar belajar yang harus menjadi basis dari setiap lembaga
pendidikan baik pendidikan formal (PF) maupun pendidikan Non-formal (PNF) dan pendidikan inNon-formal (PI) dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran yang bertujuan pada hasil belajar aktual yang diperlukan dalam kehidupan manusia. Empat pilar belajar tersebut tidak bisa dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri, melainkan keempatnya merupakan suatu garis kontinum dalam proses pencapaiannya.
Mengajar secara efektif sangat bergantung pada pemilihan dan penggunaan model mengajar yang serasi dengan tujuan mengajar. Guru-guru yang telah berpengalaman umumnya sependapat, bahwa masalah ini sangat penting bagi para calon guru karena menyangkut kelancaran tugasnya. Model mengajar yang dipergunakan akan menentukan suksesnya pekerjaan saudara selaku guru kelas. Cara guru mengajar merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhilife skill (kecakapan hidup) siswa. Guru yang mengajar dengan model konvensional, seperti halnya model yang banyak digunakan para pengajar di SMP Negeri 4 Gadingrejo, Pringsewu yang mana dengan model ini guru akan menyampaikan informasi dan pengetahuan secara lisan kepada sejumlah siswa yang pada umumnya mengikuti secara pasif sehingga kurang menumbuhkan semangat dan kreativitas siswa. Aktivitas siswa pun kurang sehingga sering menimbulkan kebosanan. Selain itu, ilmu yang diperoleh siswa hanya sebatas apa yang diberikan oleh guru. Oleh karena itu, hasil yang diperoleh siswa pun menjadi kurang memuaskan.
(24)
Perlu adanya perubahan dalam proses pembelajaran di sekolah untuk
menciptakan suasana yang aktif dan menyenangkan bagi siswa sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pemahaman belajar siswa. Hal ini sudah
sepatutnya diterapkan model pembelajaran kooperatif. Pembelajaran
kooperatif merupakan sistem pengajaran yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk bekerjasama dengan sesama siswa lainnya dalam menjalankan tugas-tugas yang terstruktur. Model-model pembelajaran tersebut dapat diterapkan agar proses pembelajaran menjadi bervariasi dan tidak monoton. Hal ini dilakukan agar siswa tidak merasa jenuh dalam belajar. Akan tetapi pada kenyataannya, model pengajaran guru di dalam kelas masih
menggunakan model konvensional atau model ceramah sehingga dalam kegiatan belajar-mengajar menimbulkan kejenuhan pada siswa. Penggunaan model seperti ini juga membuat siswa tidak aktif dalam proses belajar.
Guru berperan dominan dalam kegiatan belajar-mengajar, baik dalam mempersiapkan, menyusun dan memprogram proses pembelajaran di sekolah. Kondisi pembelajaran berpusat pada guru (teacher center), guru bersikap aktif sedangkan siswanya pasif sehingga proses pembelajaran kurang melibatkan para siswa baik secara fisik maupun mental dalam kegiatan pembelajaran. Proses pembelajaran demikian membuat sebagian besar siswa kurang beminat. Kondisi ini ditunjukkan dengan jumlah siswa yang bertanya sangat sedikit, kurang adanya keberanian untuk berpendapat yang berbeda, dengan pendapat guru, siswa cenderung bersikap pasif, dan
(25)
merasa cukup menerima materi yang telah dipersiapkan oleh guru yang dikait dalam pembelajaran.
Situasi dan kondisi pembelajaran tersebut berpengaruh pada tingkat pencapaian peningkatan pemahaman siswa yang rendah.
Kejenuhan yang dialami siswa dalam proses pembelajaran bukan hanya semata disebabkan oleh cara pengajaran guru yang monoton, akan tetapi terdapat faktor lain yang mempengaruhi kejenuhan siswa diantaranya yaitu kondisi fisik, kepribadian, keyakinan, pendidikan, lingkungan, dan budaya. Tipe model pembelajaran yang bervariasi akan memudahkan guru untuk memilih tipe yang paling sesuai dengan pokok bahasan, tujuan pembelajaran, suasana kelas, sarana yang dimiliki dan kondisi internal siswa. Model
pembelajaran yang dapat diterapkan yaitu model pembelajaran Jigsaw dan model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique). Kedua model pembelajaran kooperatif tersebut dapat diterapkan pada mata pelajaran IPS Terpadu.
Menurut Zubaedi (2012: 288) mendefinisikan Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai mata pelajaran di sekolah yang didesain atas dasar fenomena, masalah dan realitas sosial dengan pendekatan interdisipliner yang melibatkan berbagai cabang ilmu-ilmu dan humanioran seperti kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, pendidikan. Hal tersebut berarti bahwa IPS Terpadu mempelajari masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat sehingga harus memadukan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Sedangkan Maryani (2011: 12) menyatakan tujuan mata pelajaran IPS Terpadu sebagai berikut.
a. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
b. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah dan keterampilan dalam kehidupan sosial.
c. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai sosial dan kemanusiaan.
(26)
d. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan kompetisi dalam masyarakat yang majemuk, ditingkat lokal, nasional dan global.
Berdasarkan tujuan di atas, diharapkan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan VCT (Value Clarification Technique)pada mata pelajaran IPS Terpadu dapat meningkatkanlife skillsiswa di SMP Negeri 4 Gadingrejo. Melalui pembelajaran IPS Terpadu peserta didik akan mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dengan
lingkungannya. PeningkatanLife Skilldipengaruhi oleh berbagai factor psikologis yang terdapat dalam diri siswa. Diantara faktor tersebut yang diduga berpengaruh adalah konsep diri. Peserta didik akan membutuhkan pemahaman tentang konsep diri dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Konsep diri akan diperoleh melalui proses pembelajaran dan pengalaman hidup. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Gunawan (2004: 24) konsep diri terbentuk melalui.
1. Diperoleh melalui proses pembelajaran, bukan faktor keturunan. 2. Diperkuat melalui pengalaman hidup yang dialami setiap hari. 3. Dapat berubah secara drastis.
4. Mempengaruhi semua proses berpikir dan berprilaku. 5. Mempengaruhi proses pembelajaran dan presentasi.
6. Dapat dibangun dan dikembangkan dengan mengganti sistem kepercayaan yang merugikan dan menggantiself talkyang negatif dengan yang positif.
7. Bila konsep diri yang buruk terdapat dalam diri seorang guru atau orang tua maka ini akan sampai kepada siswa atau anak baik melalui komunikasi sadar atau komunikasi bawah sadar.
Model pembelajaran Jigsaw dan VCT dapat meningkatkanlife skill,dengan memperhatikan konsep diri yaitu rasa percaya diri dan lebih optimistis terhadap kegagalan.
(27)
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka diperlukan penelitian yang berjudul“Studi PerbandinganLife SkillAntara Model
Pembelajaran Jigsaw dan Model Pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) dengan Memperhatikan Konsep Diri Siswa pada Mata Pelajaran IPS Terpadu Siswa Kelas VIII SMP Negeri 4 Gadingrejo PringsewuTahun Ajaran 2014/2015”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka masalah penelitian dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1. Masih belum sesuai harapanlife skillpada diri siswa terkait mata pelajaran IPS Terpadu.
2. Aktivitas siswa sangat rendah di dalam kelas.
3. Model pembelajaran masih kurang efektif untuk meningkatkanLife Skill.
4. Siswa kurang memperhatikan pelajaran di dalam kelas.
5. Guru belum memperhatikan faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadapLife Skill.
6. Siswa kurang tertarik dan tidak berpusat pada pembelajaran. 7. Kurangnya variasi model pembelajaran yang diterapkan oleh guru. 8. Proses belajar mengajar yang masih monoton sehingga siswa merasa
bosan di kelas.
9. Guru belum memperhatikan konsep diri sebagai salah satu faktor yang diduga berpengaruh terhadapLife Skill.
10. Lemahnya konsep diri siswa sehingga menimbulkan ketidak-percayaan diri dalam proses pembelajaran.
(28)
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka masalah dalam penelitian ini dibatasi pada kajian perbandinganLife Skillantara Model Pembelajaran Jigsaw dan Model Pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) kelas VIII SMP Negeri 4 Gadingrejo Pringsewu Tahun Ajaran 2014/2015. Dengan memperhatikan pengaruh variabel moderator yaitu Konsep Diri. Dalam penelitian ini pada kajian perbandinganLife Skill
dibatasi oleh indikator-indikatornya yaitu antara lain,personal skill, thinking skill, dan social skill.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan masalah, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Apakah terdapat perbedaanlife skill antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Jigsaw dengan VCT (Value
Clarification Technique)?
2. Apakahlife skillsiswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Jigsaw lebih baik dibandingkan menggunakan VCT (Value Clarification Technique) pada siswa yang memiliki konsep diri yang positif?
3. Apakahlife skillsiswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Jigsaw lebih baik dibandingkan menggunakan VCT (Value Clarification Technique) pada siswa yang memiliki konsep diri yang negatif?
(29)
4. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan konsep diri terhadaplife skillpada mata pelajaran IPS Terpadu?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui perbedaanlife skillsiswa pada pelajaran IPS Terpadu yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Jigsaw dan VCT (Value Clarification Technique).
2. Mengetahui keefektifan model pembelajaran Jigsaw dibandingkan dengan VCT (Value Clarification Technique) dalam mencapai indikator
life skillpada siswa yang memiliki konsep diri yang positif.
3. Mengetahui keefektifan model pembelajaran Jigsaw dibandingkan dengan VCT (Value Clarification Technique) dalam mencapai indikator
life skillpada siswa yang memiliki konsep diri yang negatif.
4. Mengetahui interaksi antara model pembelajaran dengan konsep diri terhadaplife skillpada mata pelajaran IPS Terpadu.
F. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi lebih lengkap mengenai penelitian yang menekankan pada penelitian model pembelajaran yang berbeda pada mata pelajaran IPS Terpadu.
Sumbangan khasanah keilmuan serta untuk melengkapi teori yang sudah diperoleh melalui penelitian sebelumnya.
(30)
2. Secara Praktis
Bagi sekolah hasil penelitian diharapkan menjadi salah satu bahan rujukan yang bermanfaat untuk perbaikan mutu pelajaran. Bagi guru mata pelajaran IPS Terpadu diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam pemilihan alternatif model pembelajaran yang mampu meningkatkan hasil belajar danlife skillsiswa. Bagi siswa, untuk membantu peningkatanlife skill. Bagi peneliti, sebagai referensi yang ingin meneliti lebih lanjut.
G. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Objek penelitian
Objek penelitian ini adalah model pembelajaran Jigsaw, VCT (Value Clarification Technique), life skill, dan konsep diri.
2. Subjek penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII. 3. Tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 4 Gadingrejo Pringsewu. 4. Waktu penelitian
(31)
A. Tinjauan Pustaka
1. Life Skill (Kecakapan Hidup)
Brolin dalam Anwar (2004: 20) menjelaskan bahwalife skillatau
kecakapan hidup adalah sebagai kontinum pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar menjadi independen dalam
kehidupan. Pendapat lain mengatakan bahwalife skillmerupakan kecakapan yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat bahagia dalam kehidupan.
Fajar (2002: 18) mengatakan bahwalife skilladalah;
Kecakapan yang dibutuhkan untuk bekerja selain kecakapan dalam bidang akademik. Sementara ituTeam Broad Base Education
Depdiknas mendefinisikan bahwalife skilladalah kecakapan yang dimiliki oleh seseorang agar berani dan mau menghadapi segala permasalahan kehidupan dengan aktif dan proaktif sehingga dapat menyelesaikannya.
Sedangkan Slamet PH mendefinisikanlife skilladalah kemampuan, kesanggupan dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia. Kecakapan tersebut mencakup segala aspek sikap perilaku manusia sebagai bekal untuk menjalankan kehidupannya.
(32)
Satori (2002: 20)life skills dapat dinyatakan sebagai:
kecakapan untuk hidup. Istilah hidup, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia harus
memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti : membaca, menulis, menghitung, merumuskan, dan
memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja, mempergunakan teknologi.
Kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Fajar, 2002 : 11).
Menurut Delor (2012 : 1) mengatakan bahwa pada dasarnya programlife skillsini berpegang pada empat pilar pembelajaran yaitu sebagai berikut: 1.Learning to know(belajar untuk memperoleh pengetahuan).
2.Learning to do(belajar untuk dapat berbuat/bekerja). 3. Learning to be(belajar untuk menjadi orang yang berguna).
4.Learning to live together(belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain).
Pendidikanlife skill adalah pendidikan yang memberikan bekal dasar dan latihan yang dilakukan secara benar kepada peserta didik tentang nilai-nilai kehidupan yang dibutuhkan dan berguna bagi perkembangan kehidupan peserta didik. Dengan demikian, pendidikanlife skillharus dapat merefleksikan kehidupan nyata dalam proses pengajaran agar peserta didik memperoleh kecakapan hidup tersebut, sehingga peserta didik siap untuk hidup di tengah-tengah masyarakat.
(33)
Sedangkan pelaksanaan pendidikanlife skilladalah bervariasi , disesuaikan dengan kondisi anak dan lingkungannya, namun memiliki prinsip-prinsip umum yang sama. Berikut ini adalah prinsip umum pendidikanlife skill, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan pendidikan di Indonesia (Hariyanto 2012: 18):
1. tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku;
2. tidak harus dengan mengubah kurikulum, tetapi yang diperlukan adalah penyiasatan kurikulum untuk diorientasikan dan
diintegrasikan kepada pengembangan kecakapan hidup; 3. etika-sosio-religius bangsa dapat diintegrasikan dalam proses
pendidikan;
4. pembelajaran menggunakan prinsiplearning to know, learning to do, learning to be,danlearning to live together;
5. pelaksanaan pendidikanlife skilldengan menerapkan menejemen berbasis sekolah (MBS);
6. potensi wilayah sekitar sekolah dapat direfleksikan dalam penyelenggaraan pendidikan, sesuai dengan prinsip pendidikan kontekstual dan pendidikan berbasis luas (broad base education); 7. paradigmalearning for life and school to workdapat dijadikan
dasar kegiatan pendidikan, sehingga terjadi pertautan antara pendidikan dengan kehidupan nyata peserta didik;
8. penyelenggaraan pendidikan harus selalu diarahkan agar peserta didik menuju hidup yang sehat, dan berkualitas, mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang luas serta memiliki akses untuk mampu memenuhi hidupnya secara layak.
Menurut peraturan Depdiknas (2003: 21) menyatakan bahwa:
“Ciri pembelajaranlife skilladalah (1) terjadi proses identifikasi kebutuhan belajar, (2) terjadi proses penyadaran untuk belajar bersama, (3) terjadi keselarasan kegiatan belajar untuk
mengembangkan diri, belajar, usaha mandiri, usaha bersama, (4) terjadi proses penguasaan kecakapan personal, sosial, vokasional, akademik, manajerial, kewirausahaan, (5) terjadi proses pemberian pengalaman dalam melakukan pekerjaan dengan benar, (6) terjadi proses interaksi saling belajar dari ahli, (7) terjadi proses penilaian kompetensi, dan (8) terjadi pendampingan teknis untuk bekerja”.
Apabila dihubungkan dengan pekerjaan tertentu,life skilldalam lingkup pendidikan non-formal ditujukan pada penguasaanvokasional skill
(34)
(kemampuan kejuruan). Pada dasarnyalife skillmembantu peserta didik dalam mengembangkan kemampuan belajar (learning how to learn), menghilangkan kebiasaan dan pola pikir yang tidak tepat(learning how to unlearn). Menyadari dan mensyukuri potensi diri untuk dikembangkan dan diamalkan, berani menghadapi problema kehidupan, dan
memecahkan secara kreatif.
Slamet (2002: 551), memberikan harapan-harapan yang ingin dicapai dalam penerapan pendidikanlife skilldiantara harapan tersebut adalah:
Pertama, setelah mendapat pendidikanlife skill peserta didik mempunyai aset kualitas batiniyah, sikap dan perbuatan yang siap menghadapi perkembangan masa depan. Kedua, peserta didik memiliki wawasan perkembangan karir, sehingga mampu memilih, memasuki, bersaing dan maju dalam dunia kerja. Ketiga, peserta didik memiliki kemampuan untuk survival dalam kemandiriannya dan belajar tanpa bimbingan. Keempat, peserta didik memiliki tingkat kemandirian, keterbukaan, kerjasama dan akuntabilitas yang menjadi sikap mentalnya sehingga mampu hidup bahagia ditengah-tengah perkembangan zaman. Kelima, peserta didik memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya.
Manfaat yang diharapkan dari pendidikanlife skillada dua, yang pertama adalah manfaat bagi pribadi peserta didik, sedang yang kedua adalah manfaat bagi lingkungan dimana peserta didik itu berada atau bagi masyarakat luas. Manfaat bagi pribadi peserta didik diantaranya adalah pendidikanlife skill dapat meningkatkan kualitas berpikir, kualitas kalbu dan kualitas fisik. Bagi masyarakat pendidikan kecakapan hidup dapat meningkatkan kehidupan yang maju dan madani dengan indikator-indikator adanya peningkatan kesejahteraan sosial, pengurangan perilaku destruktif sehingga dapat mereduksi masalah-masalah sosial dan
(35)
pengembangan masyarakat yang secara harmonis mampu memadukan nilai-nilai religi, teori, solidaritas, ekonomi, kuasa dan seni (cita rasa).
Indikator-indikator yang terkandung dalam life skills (Ditjen Penmum: 2002):
1. Kecakapan personal(personal skill) adalah kecakapan yang dimiliki oleh seseorang untuk memiliki kesadaran atas eksistensi dirinya dan kesadaran akan potensi dirinya. 2. Kecakapan berpikir(thinking skill) atauKecakapan
akademik(Academic Skill) meliputi kecakapan menggali informasi, kecakapan mengolah informasi, kecakapan
mengambil keputusan, dan kecakapan memecahkan masalah. 3. Kecakapan sosial(social skill) adalah kecakapan yang
dimiliki seseorang untuk mampu berkomunikasi lisan, berkomunikasi tertulis, dan bekerja sama.
4. Kecakapan vokasional(Vocational Skill) sering juga disebut
kecakapan kejuruan. Kecakapan kejuruan artinya kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di dalam masyarakat.
Kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan berpikir, dan
kecakapan vokasional bukanlah kecakapan hidup (life skill) yang dapat dipilah-pilah dalam pelaksanaan atau dalam kenyataan. Keempat kecakapan itu kadang-kadang bisa menyatu dalam dan melebur dalam tindakan. Tindakan yang menyatukan dan meleburkan kecakapan tersebut biasanya melibatkan aspek fisik, mental, emosional, dan
intelektual. Akan tetapi, di dalam pembelajaran, guru dapat memberikan stresing (penekanan) kepada kecakapan tertentu.
2. Model Pembelajaran Jigsaw
Model pembelajaran Jigsaw dikembangkan dan diuji oleh Aronson dan teman dari Universitas Texas, dan diadopsi oleh Slavin dan
(36)
teman-teman di Universitas John Hopkins (Trianto, 2009:73). Sedangkan menurut Rusman (2011: 217) arti Jigsaw dalam bahasa Inggris adalah gergaji ukir dan ada juga yang menyebutnya dengan istilahpuzzleyaitu sebuah teka-teki menyusun potongan gambar. Model Jigsaw ini
mengambil pola cara bekerja sebuah gergaji (zigzag), yaitu siswa melakukan suatu kegiatan belajar dengan cara bekerjasa sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut Rusman (2011:218) model pembelajaran Jigsaw adalah: sebuah model belajar yang menitikberatkan pada kerja kelompok siswa dalam bentuk kelompok kecil. Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajaran sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut kepada anggota kelompoknya yang lain.
Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Lie dalam Rusman (2011:
218), bahwa “Pembelajaran kooperatif model Jigsaw ini merupakan model belajar kooperatif dengan cara siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari empat sampai enam orang secara heterogen dan siswa bekerja sama saling ketergantungan positif dan bertanggung jawab secara
mandiri”.
Menurut Arends dalam Purnamasari (2010: 24) menyatakan bahwa: pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggungjawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain di dalam kelompoknya. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan metode pembelajaran kooperatif, dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang dalam kelompok dan bekerjasama saling ketergantungan yang positif serta anggota kelompok bertanggungjawab terhadap keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi yang dipelajari dan dapat
(37)
menyampaikan informasinya kepada kelompok lain. Dalam model kooperatif Jigsaw ini siswa memiliki banyak kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan mengolah informasi yang didapat dan dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Menurut Lie dalam Mirnasari (2009: 25) menyatakan bahwa:
dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan. Jadi, keunggulan kooperatif tipe Jigsaw meningkatkan rasa tanggungjawab siswa terhadap pelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, akan tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut kepada anggota kelompoknya yang lain. Namun demikian, model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw memiliki keterbatasan, misalnya tidak dapat digunakan di kelas yang kemampuan
sosialisasinya rendah.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa Jigsaw adalah suatu pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggungjawab atas penguasaan bagian materi belajar akan tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut kepada anggota kelompoknya yang lain.
Jhonson and Jhonson dalam Rusman (2011: 219) melakukan penelitian tentang pembelajaran kooperatif model Jigsaw yang hasilnya
menunjukkan bahwa interaksi kooperatif memiliki berbagai pengaruh positif terhadap perkembangan anak. Pengaruh positif tersebut adalah sebagai berikut.
a. Meningkatkan hasil belajar. b. Meningkatkan daya ingat.
c. Dapat digunakan untuk mencapai tarap penalaran tingkat tinggi. d. Mendorong hubungan antar manusia yang heterogen.
e. Meningkatkan sikap anak yang positif terhadap sekolah. f. Meningkatkan sikap positif terhadap guru.
(38)
h. Meningkatkan perilaku penyesuaian sosial yang positif dan Meningkatkan keterampilan hidup gotong royong.
i. Tumbuhnya motivasi intrinsic (kesadaran individu).
Rusman (2011: 219) menyataka bahwa:
pembelajaran model Jigsaw ini dikenal juga dengan kooperatif para ahli. Karena anggota setiap kelompok dihadapkan pada
permasalahan yang berbeda. Tetapi permasalahan yang dihadapi setiap kelompok sama, setiap utusan dalam kelompok yang berbeda membahas materi yang sama, kita sebut sebagai tim ahli yang bertugas membahas permasalahan yang dihadapi, selanjutnya hasil pembahasan itu dibawa ke kelompok asal dan disampaikan pada anggota kelompoknya.
Stephen, Sikes and Snapp dalam Rusman (2011: 219) mengemukakan langkah-langkah pembelajaran kooperatif model Jigsaw sebagai berikut.
1. Siswa dikelompokan ke dalam 1-5 anggota tim.
2. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda. 3. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan. 4. Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari
bagian/sub bab yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka.
5. Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan seksama.
6. Tim ahli mempresentasikan hasil diskusi. 7. Guru member evaluasi.
8. Penutup.
Dalam model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok ahli dan kelompok asal. Kelompok asal adalah kelompok awal siswa terdiri dari beberapa anggota kelompok ahli yang dibentuk dengan memperhatikan keragaman dan latar belakang. Guru harus terampil dan mengetahui latar belakang siswa agar terciptanya suasana yang baik bagi setiap anggota kelompok. Sedangkan kelompok ahli, yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok lain (kelompok asal) yang
(39)
ditugaskan untuk mendalami topik tertentu untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.
Ibrahim, dkk (2011: 70) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw memiliki kelebihan dan kekurangan, di antara kelebihannya, yaitu:
1. dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dengan siswa lain;
2. siswa dapat menguasai pelajaran yang disampaikan;
3. setiap anggota siswa berhak menjadi ahli dalam kelompoknya; 4. dalam proses belajar mengajar siswa saling ketergantungan
positif;
5. setiap siswa dapat saling mengisi satu sama lain. Sedangkan Ibrahim (2011: 71) kekurangannya, yaitu:
1. membutuhkan waktu yang lama;
2. siswa cenderung tidak mau apabila disatukan dengan temannya yang kurang pandai apabila ia sendiri yang pandai dan yang kurang pandai pun merasa minder apabila digabungkan dengan temannya yang pandai walaupun lama kelamaan perasaan itu akan hilang dengan sendirinya.
Kunci tipe Jigsaw ini adalahinterdependencesetiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan informasi yang diperlukan. Artinya para siswa harus memiliki tanggungjawab dan kerjasama yang positif dan saling ketergantungan untuk mendapatkan informasi dan memecahkan masalah yang diberikan. Jadi pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar menjadi komponen-komponen yang lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari 4-6 orang sehingga setiap anggota bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap subtopik yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing kelompok yang
(40)
bertanggung jawab terhadap subtopik yang sama membentuk kelompok lagi yang terdiri dari dua atau tiga orang.
Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam hal. Pertama, siswa belajar dan menjadi ahli dalam subtopik bagiannya dan selanjutnya siswa merencanakan bagaimana mengajarkan subtopik bagiannya kepada anggota kelompoknya semula. Setelah itu siswa tersebut kembali kepada kelompok masing-masing sebagai “ahli”
dalam subtopik tersebut kepada temannya. Ahli dalam subtopik lainnya juga bertindak serupa sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan oleh guru. Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus menguasai topik secara keseluruhan.
Jika dilihat dari proses penerapannya maka model pembelajaran ini merupakan implementasi teori belajar konstruktivisme. Menurut Hariyanto (2010: 1) dalam teori konstruktivisme siswa dapat berpikir untuk menyelesaikan masalah, mencari ide dan membuat keputusan. Siswa akan lebih paham karena mereka terlibat langsung dalam membina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan mampu
mengapliklasikannya dalam semua situasi. Selain itu, siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep.
(41)
3. Model Pembelajaran VCT (Value Clarification Technique)
Value Clarification Technique(VCT) sebagai teknik pengajaran untuk menanamkan dan menggali mengungkapkan nilai-nilai tertentu dalil pada diri siswa. VCT adalah sebuah metode dalam model pembelajaran mediatif, VCT biasanya digunakan khususnya untuk pendidikan nilai/ afektif. Dalam konteks pendidikan persekolahan di Indonesia istilah VCT sebenarnya sudah dikenal sejak berlakunya kurikulum 1975, yang
diartikan sebagai “Teknik Pembinaan Nilai”. Pembelajaran VCT dapat dikembangkan dalam berbagai cara yang tentunya telah diadaptasi dari Negara-negara barat. Beberapa diantaranya adalah model VCT dari Kohelberg yang terkenal dengan“Controversial Issues”, VCT model
Hilda Taba yang terkenal dengan nama model “Value Inquiry Question”
dan kemudian Simon, dkk. Teknik mengklarifikasi nilai (Value Clarification Technique) atau sering disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melaui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.
Menurut Djahiri (2009) model pembelajaran VCT meliputi:
metode percontohan; analisis nilai; daftar/matriks; kartu keyakinan; wawancara, yurisprudensi dan teknik inkuiri nilai. Selain itu, dikenal juga dengan metode bermain peran. Metode dan model di atas dianggap sangat cocok diterapkan dalam pembelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) dan PKn, karena kedua mata pelajaran tersebut mengemban misi untuk membina nilai, moral, sikap dan prilaku siswa, di samping
(42)
VCT adalah salah satu teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pencapaian pendidikan nilai. Pembelajaran VCT menurut Djahiri (2009: 115), mengemukakan bahwa:
Value Clarification Technique, merupakan sebuah cara bagaimana menanamkan dan menggali/ mengungkapkan nilai-nilai tertentu dari diri peserta didik. Karena itu, pada prosesnya VCT berfungsi untuk:a)
mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai;b)
membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang positif maupun yang negatif untuk kemudian dibina kearah peningkatan atau pembetulannya;c)menanamkan suatu nilai kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa sebagai milik pribadinya.
Dengan kata lain, Djahiri (2009: 116) mengemukakan bahwa“VCT dimaksudkan untuk melatih dan membina siswa tentang bagaimana cara menilai, mengambil keputusan terhadap suatu nilai umum untuk
kemudian dilaksanakannya sebagai warga masyarakat”.
VCT juga dianggap unggul untuk pembelajaran afektif karena; pertama, mampu membina dan mempribadikan nilai dan moral; kedua, mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan materi yang disampaikan; ketiga mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa dan nilai moral dalam kehidupan nyata; keempat, mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya; kelima, mampu memberikan pengalaman belajar dalam berbagai kehidupan; keenam, mampu menangkal, meniadakan mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai moral naif yang ada dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang; ketujuh, menuntun dan memotivasi untuk hidup layak dan bermoral tinggi.
(43)
VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Dalam praktik pembelajaran, VCT dikembangkan melalui proses dialog antara guru dan siswa. Proses tersebut hendaknya berlangsung dalam suasana santai dan terbuka, Sehingga setiap siswa dapat mengungkapkan secara bebas perasaannya. Beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam mengimplementasikan VCT melalui proses dialog, yaitu sebagai berikut.
1. Hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasihat, yaitu memberikan pesan-pesan moral yang menurut guru dianggap baik. 2. Jangan memaksa siswa untuk memberi respons tertentu apabila
memang siswa tidak menghendakinya.
3. Usahakan dialog dilaksanakan secara bebas dan terbuka, Sehingga siswa akan mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa adanya.
4. Dialog dilaksanakan kepada individu, bukan kepada kelompok kelas. 5. Hindari respons yang dapat menyebabkan siswa terpojok, sehingga
ia menjadi defensive.
6. Tidak mendesak siswa pada pendirian tertentu. 7. Jangan mengorek alasan siswa lebih dalam.
Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa
(44)
memperhatikan nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa. Akibatnya, sering terjadi benturan atau konflik dalam diri siswa karena
ketidakcocokan antara nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru. Siswa sering mengalami kesulitan dalam menyelaraskan nilai lama dan nilai baru. Salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan.
Langkah model pembelajaran VCT Jarolimek (2002) menjelaskan langkah pembelajaran denganValue Clarification Technique(VCT) dalam 7 tahap yang dibagi ke dalam 3 tingkat, setiap tahapan dijelaskan sebagai berikut.
1. Kebebasan Memilih. Pada tingkat ini terdapat 3 tahap, yaitu: (1) Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan yang menurutnya baik. Nilai yang dipaksakan tidak akan menjadi miliknya secara penuh; (2) Memilih dari beberapa alternatif. Artinya, untuk menentukan pilihan dari beberapa alternatif pilihan secara bebas; (3) Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat pilihannya.
2. Menghargai. Terdiri atas 2 tahap pembelajaran, yaitu; (1) Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya, sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian dari dirinya; (2) Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di depan umum. Artinya, bila kita
menggagap nilai itu suatu pilihan, maka kita akan berani dengan penuh kesadaran untuk menunjukkannya di depan orang lain. 3. Berbuat. Pada tahap ini, terdiri atas 2 tahap, yaitu; (1) Kemauan
dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya (2) Mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya. Artinya, nilai yang menjadi pilihan itu harus tercermin dalam
(45)
Jarolimek juga merekomendasikan beberapa cara teknik pembelajaran nilai, antara lain.
a. Teknik evaluasi diri (self evaluation) dan evaluasi kelompok (group evaluation).
b. TeknikLecturing.
c. Teknik menarik dan memberikan percontohan. d. Teknik indoktrinasi dan pembakuan kebiasan. e. Teknik tanya-jawab.
f. Teknik menilai suatu bahan tulisan.
g. Teknik mengungkapkan nilai melalui permainan(games).
Langkah-langkah(Sintaks)model pembelajaran VCT pada umumnya membuat/mencari media stimulus, berupa contoh keadaan/perbuatan yang memuat nilai-nilai kontras sesuai dengan topik atau tema target pelajaran. Media stimulus yang akan anda gunakan dalam VCT hendaknya.
a. Mampu merangsang, mengundang, dan melibatkan potensi afektual siswa.
b. Terjangkau oleh pengetahuan dan potensi afektual siswa (ada dalam lingkungan kehidupan siswa).
c. Memuat sejumlah nilai moral yang kontras.
Kegiatan Pembelajaran (KBM)
a. Guru melontarkan stimulus dengan cara membaca cerita atau menampilkan gambar, foto, atau film.
b. Memberi kesempatan beberapa saat kepada siswa untuk berdialog sendiri atau sesama teman sehubungan dengan stimulus tadi.
c. Melaksanakan dialog terpimpin melalui pertanyaan guru, baik secara individual, kelompok, atau klasikal.
(46)
d. Menentukan argumen dan klarifikasi pendirian (melalui pertanyaan guru dan bersifat individual, kelompok, dan klasikal).
e. Pembahasan/pembuktian argumen. Pada fase ini sudah mulai ditanamkan target nilai dan konsep sesuai materi pelajaran.
f. Penyimpulan.
Prinsip reaksi model pembelajaran VCT berkaitan dengan pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana seharusnya guru memberikan respon terhadap siswa. Prinsip reaksi dalam model pembelajaran VCT adalah sebagai berikut.
1. Guru sebagai pembimbing dalam pembelajaran.
2. Guru memberikan fasilitas agar proses pembelajaran berlangsung optimal.
Berikut sistem sosial pada model pembelajaran VCT. Sistem sosial adalah pola hubungan guru dengan siswa pada saat terjadinya proses pembelajaran. Sistem sosial pada model pembelajaran VCT adalah sebagai berikut.
1. Kegiatan kelas berorientasi pada pemecahan masalah.
2. Guru dan siswa mengenal dan menganalisis masalah secara rinci. 3. Peranan guru dan siswa sederajat, walaupun dalam hal ini berbeda
peran.
Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran VCT 1. Kelebihan VCT
Menurut Djahiri, model ini dianggap unggul karena alasan berikut. a. Mampu membina dan mempribadikan nilai dan moral.
b. Mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan materi yang disampaikan.
(47)
c. Mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa dan nilai moral dalam kehidupan nyata.
d. Mampu mengundang, melibatkan, membina, dan mengembangkan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya.
e. Mampu memberikan pengalaman belajar dalam berbagai kehidupan.
f. Mampu menangkal, meniadakan, mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai moral naïf yang ada dalam system nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang. g. Menuntun dan memotivasi untuk hidup layak dan bermoral
tinggi. 2. Kelemahan VCT
Proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru, yang artinya guru yang menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memerhatikan nilai yang sudah ada tertanam dalam diri siswa. Akibatnya, sering terjadi benturan atau konflik dalam diri siswa. Karena ketidakcocokan antar nilai lama yang sudah ada terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru.
Dengan model pembelajaran VCT, akan mudah mengungkap sikap, nilai dan moral siswa terhadap suatu kasus yang disajikan oleh guru. Tentu saja harus dibekali dengan kemampuan guru dalam menguasai
keterampilan dan teknik dasar mengajar dengan baik. Sikap demokratis, ramah, hangat dan nuansa kekeluargaan yang akrab diperlukan, sehingga siswa berani berpendapat dan beda pendapat dengan guru maupun dengan siswa lain. Sedangkan untuk evaluasi anda dapat melakukan evalusi proses dan evaluasi hasil belajar. Pada evaluasi proses dapat dilakukan dengan melakukan pengamatan jalannya diskusi, sikap dan aktivitas siswa maupun proses pembelajaran secara menyeluruh dan evaluasi hasil dapat dilihat dari hasil tes. Jangan lupa memberikan pujian kepada siswa yang mampu berpendapat sekalipun kepada siswa yang berpendapat belum lengkap secara variatif.
(48)
Jika dilihat dari proses penerapannya maka model pembelajaran ini merupakan implementasi teori behavioristik. Menurut Hariyanto (2010: 1) teori behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik.
4. Konsep diri
Konsep diri merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Djaali (2007: 129) berpendapat bahwa “Konsep diri adalah pandangan
seseorang tentang dirinya sendiri yang menyangkut apa yang ia ketahui dan rasakan tentang prilakunya, isi pikiran dan perasaannya, serta
bagaimana perilakunya tersebut berpengaruh terhadap orang lain”.
Menurut Agustiani dalam Ratnawuri (2007: 10) menyatakan bahwa: konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan berkembang dari pengalaman yang terus menerus dan terdeferensiasi. Dasar dari konsep diri individu ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya di kemudian hari.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa konsep diri adalah pandangan (gambaran) atau keyakinan seseorang terhadap dirinya
(49)
sendiri yang timbul sejak kecil dan dapat pula terjadi karena ada pengaruh dari pihak luar yang mempengaruhi dirinya.
Konsep diri terbentuk melalui proses bukan faktor keturunan atau bawaan. Seperti pendapat Djaali (2007: 130) bahwa:
konsep diri seseorang mula-mula terbentuk dari perasaan apakah ia di terima atau diinginkan kehadirannya oleh keluarganya. Melalui perlakuan yang berulang-ulang dan setelah menghadapi sikap-sikap tertentu dari ayah-ibu-kakak-adik ataupun orang lain di lingkup
kehidupannya, akan berkembanglah konsep diri seseorang. Konsep diri ini yang pada mulanya berasal dari perasaan dihargai atau tidak
dihargai. Perasaan inilah yang menjadi landasan dari pandangan atau penilaian seseorang mengenai dirinya sendiri yang keseluruhannya disebut konsep diri.
Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seseorang dari kecil hingga dewasa. Menurut pemikiran Erikson dalam Djaali (2007: 130) ada lima tahap pembentukan konsep diri pada perkembangan seseorang:
1. Pada usia 1,5-2 tahun disebutsense of trust.
Melalui hubungan dengan orang tuanya anak akan mendapat kesan dasar apakah orang tuanya merupakan pihak yang dapat dipercaya atau tidak.
2. Pada usia 2-4 tahun disebutsense of anatomy.
Yang terutama berkembang pesat pada usia ini adalah kemampuan motorik dan berbahasa, yang keduanya memungkinkan anak menjadi lebih mandiri (anatomy). 3. Pada usia 4-7 tahun disebutsense of initiative.
Pada usia ini anak selalu menunjukan perasaan ingin tahu dan mencoba-coba.
4. Pada usia 7-12 tahun disebutsense of industry.
Masa anak ingin membuktikan keberhasilan dari usahanya. Anak berkompetisi dan berusaha untuk bisa menunjukkan prestasi.
5. Pada usia 12 tahun ke atas disebutsense of identity.
Remaja biasanya sangat besar minatnya terhadap dirinya sendiri. Biasanya mereka ingin memperoleh jawaban tentang siapa dan bagaimana dia.
(50)
Sedangkan Suparno (2008: 55) mengungkapkan bahwa konsep diri terbentuk dari pengamatan, dan penilai terhadap diri sendiri maupun respon/ reaksi orang-orang sekitar terhadap diri sendiri. Seseorang yang pandai mawas diri akan meraih keuntungan karena dari respons orang-orang disekitarnya dia akan berusaha memperbaiki citra dirinya
Menurut pendapat Gunawan (2004: 24) konsep diri terbentuk melalui. 1. Diperoleh melalui proses pembelajaran, bukan faktor
keturunan.
2. Diperkuat melalui pengalaman hidup yang dialami setiap hari. 3. Dapat berubah secara drastis.
4. Mempengaruhi semua proses berpikir dan berprilaku. 5. Mempengaruhi proses pembelajaran dan presentasi.
6. Dapat dibangun dan dikembangkan dengan mengganti sistem kepercayaan yang merugikan dan menggantiself talkyang negatif dengan yang positif.
7. Bila konsep diri yang buruk terdapat dalam diri seorang guru atau orang tua maka ini akan sampai kepada siswa atau anak baik melalui komunikasi sadar atau komunikasi bawah sadar.
Suparno (2008: 81) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri yaitu:
1. pengalaman di sekolah;
2. pola atau praktik-praktik pengasuhan; 3. perkembangan fisik seseorang.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut bahwa perubahan konsep diri pada siswa terjadi jika siswa tersebut mengerti apa yang dimaksud konsep diri, karena setiap orang memiliki pandangan dan gambaran sendiri terhadap apa yang ada dalam dirinya. Gambaran tentang dirinya itu akan muncul melalui berbagai pengalamannya menghadapi masalah
(51)
dalam kehidupan sehari-hari. Jika konsep diri telah dipahami oleh siswa maka kemungkinan akan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik.
Menurut Rini dalam Julianti (2008: 11-12) bahwa konsep diri dikategorikan dalam dua kelompok dasar yakni.
1. Konsep diri positif
Konsep diri positif adalah pandangan atau keyakinan terhadap diri yang lebih optimis dan penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu juga termasuk kegagalan yang dialaminya.
2. Konsep diri negatif
Konsep diri negatif adalah pandangan atau keyakinan terhadap diri yang cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapi.
Menurut Ahmad, ciri-ciri pribadi dan prilaku orang yang memiliki konsep diri yang positif yaitu.
1. Merasa yakin atau percaya diri akan kemampuannya untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.
2. Merasa setara dengan yang lain. 3. Dapat menerima pujian orang lain.
4. Mampu memperbaiki dirinya apabila mengalami kegagalan. 5. Mempunyai kepedulian terhadap kepentingan orang lain. Ciri-ciri pribadi dan prilaku orang yang memiliki konsep diri yang negatif yaitu:
1. Tidak mau dikritik orang lain 2. Senang dipuji orang lain
3. Suka meremehkan atau mencela orang lain
4. Merasa tidak disenangi, ditolak atau tidak diperhatikan orang lain
5. Bersikap pesimis dalam suasana persaingan, atau pesimis akan masa depannya.
Adapun langkah-langkah yang perlu diambil untuk memiliki konsep diri positif, yaitu:
(52)
1. Bersikap objektif dalam mengenali diri sendiri
Jangan pernah abaikan pengalaman positif atau keberhasilan sekecil apapun yang pernah dicapai. Lihatlah talenta, bakat dan potensi yang ada dalam diri dan carilah cara atau kesempatan untuk
mengembangkannya. Janganlah terlalu berharap bahwa diri kita dapat melakukan segala sesuatu sekaligus.
2. Hargailah diri sendiri
Tidak ada orang lain yang lebih menghargai diri kita selain diri sendiri. Jika kita tidak bisa menghargai diri sendiri, tidak dapat melihat kebaikan yang ada pada diri sendiri, tidak mampu memandang hal-hal baik dan positif terhadap diri sendiri ,
bagaimana kita bisa menghargai orang lain dan melihat hal-hal baik yang ada dalam diri orang lain secara positif. Jika kita tidak bisa menghargai orang lain, bagaimana orang lain bisa menghargai diri kita.
3. Jangan memusuhi diri sendiri
Sikap menyalahkan diri sendiri secara berlebihan merupakan
pertanda bahwa ada permusuhan antara harapan ideal dan kenyataan diri sendiri, akibatnya akan timbul kelelahan mental dan rasa frustasi yang dalam yang akan mengakibatkan negatif terhadap dirinya. 4. Berpikir positif dan rasional
Berpikirlah positif dan rasional dalam memandang segala sesuatu, baik itu persoalan maupun terhadap seseorang. Jadi, kendalikan pikiran kita jika pikiran itu mulai menyesatkan jiwa dan raga.
(53)
Tingkah laku seseorang dipengaruhi oleh cara individu memandang dirinya sendiri. Konsep diri positif maupun negatif akan mengarahkan bagaimana individu tersebut bereaksi terhadap orang lain. Apabila konsep diri positif ada dalam dirinya maka tingkah laku dan penilaiannya
terhadap orang lain akan positif, tetapi sebaliknya seseorang yang bertingkah laku atau berpandangan buruk terhadap orang lain maka konsep diri negatif ada dalam dirinya.
Konsep diri memiliki tiga dimensi, yaitu: 1. Pengetahuan tentang diri
Yaitu informasi yang dimiliki tentang diri. Misalkan jenis kelamin, penampilan, dsb.
2. Penghargaan bagi diri
Yaitu gagasan tentang kemungkinan apa yang akan terjadi nanti. 3. Penilaian terhadap diri
Yaitu pengukuran tentang keadaan diri dibandingkan dengan apa yang seharusnya terjadi pada diri. Hasil pengukuran tersebut adalah rasa harga diri.
Diperjelas dengan pendapat Gunawan (2004: 17) yang mengatakan
bahwa “Konsep diri adalah kunci utama harta karun. Konsep diri
merupakan pondasi utama keberhasilan proses pembelajaran”.Konsep
diri terdiri dari 3 komponen yaitu: 1. Diri Ideal (Self Ideal)
Diri ideal menentukan sebagian besar arah kehidupan. Diri ideal menetukan arah perkembangan diri dan pertumbuhan karakter serta kepribadian. Diri ideal merupakan gambaran dari sosok seseorang yang sangat diinginkan dan bisa menjadi orang yang diinginkan.
(54)
2. Citra Diri(Self Image)
Citra diri adalah cara seseorang melihat dirinya sendiri dan berpikir mengenai dirinya saat ini. Citra diri sering juga disebut sebagai
“cermin diri”.
3. Harga Diri(Self Esteem)
Harga diri merupakan komponen yang bersifat emosional dan merupakan komponen yang paling penting dalam menentukan sikap kepribadian kita. Harga diri merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan hidup. Harga diri dapat didefinisikan sebagai seberapa suka kita terhadap diri kita sendiri. Orang yang dengan harga diri tinggi memiliki kekuatan pribadi yang luar biasa besar dan dapat berhasil melakukan apa saja dalam hidupnya. Harga diri dibangun dengan melakukan suatu tindakan bukan dengan menggunakan emosi atau keinginan.
Siswa yang memiliki konsep diri dalam belajarnya rendah dapat mengakibatkan segala sesuatu yang berhubungan dengan belajar kurang termotivasi. Untuk meningkatkan motivasi dalam konsep diri yang masih rendah, harus dilakukan tindakan oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain. Gunawan (2004: 33) ada lima teknik yang digunakan untuk melakukan motivasi konsep diri (1) kisah sukses, (2) simbol sukses, (3) afirmasi positif, (4) visualisasi yang bersifat sensori, (5)goal setting.
B. Penelitian yang Relevan
Tabel 2. Penelitian yang Relevan
No Nama Judul Penelitian Hasil Penelitian
1 Ardiyanti (2010)
Penggunaan Lembar Kerja Siswa Berbasis Lingkungan untuk MeningkatkanLife Skill
Penggunaan LKS berbasis lingkungan oleh guru yang mengajar kelas VI SD Negeri Pahawang
(55)
Siswa Kelas VI SD Negeri Pahawang Kecamatan Punduh Pidada
Kecamatan Punduh Pidada Tahun Ajaran 2010/2011 dapat meningkatkanlife skillsiswa. Persentaselife skillsiswa saat observasi awal sebesar 55% sedangkan peningkatan persentaselife skillsiswa meningkat dari siklus I (68,85%) ke siklus II (76%) sebesar 7,15% dan 6% dari siklus II ke siklus III (82%).
2 Ria Widyastuti (2011)
Pengaruh Penguasaan Konsep Diri Terhadap Tingkat Penyesuaian Diri Siswa dalam Lingkungan Belajar pada Siswa Kelas X SMA Negeri 10
Bandar Lampung Tahun
Ada pengaruh signifikan antara penguasaan konsep diri terhadap tingkat penyesuaian diri siswa dalam lingkungan belajar pada siswa kelas X, dimana konsep diri mempengaruhi 3 Eka Noviyanti
(2012)
Studi Perbandingan Hasil Belajar IPS Terpadu dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS dengan Memperhatikan Minat Belajar pada Siswa Kelas IX Semester Genap SMP Negeri 7 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2011/2012
Hasil penelitian pada pengujian hipotesis pertama diperoleh Fhitung
5,039>Ftabel4,11 dan
terlihat dari hasil belajar IPS Terpadu dengan menggunakan model jigsaw 81,30 lebih tinggi dibandingkan siswa yang diajarkan menggunakan model pembelajaran koperatif tipe TPS 76,15, pada pengujian hipotesis kedua diperoleh Thitung
2,198>Ttabel2,101 dan
terlihat dari hasil belajar IPS Terpadu siswa yang meiliki minat belajar tinggi dengan menggunakan model jigsaw 83,50 lebih tinggi dibandingkan siswa yang diajarkan
menggunakan model pembelajaran koperatif tipe TPS 76,70, pada pengujian hipotesis ketiga diperoleh Thitung1,248>Ttabel2,101
(56)
belajar IPS Terpadu siswa yang memiliki minat belajar rendah dengan menggunakan model jigsaw 73,10 lebih rendah dibandingkan siswa yang diajarkan menggunakan model pembelajaran koperatif tipe TPS 77,70. 4 Eka Rizky
Amalia (2010)
Studi Perbandingan Moralitas Antara Model Pembelajaran Vct Dan Gi Dengan Memperhatikan Sikap Terhadap Mata Pelajaran Ips Terpadu Smp Negeri 1 Sragi
Hasil pengujian Fhitung 5,802 > Ftabel 4,10 (2) moralitas siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaranValue Clarification Technique
(VCT) lebih baik
dibandingkan dengan yang menggunakan model pembelajaranGroup Investigation(GI) bagi siswa yang memiliki sikap positif terhadap mata pelajaran IPS Terpadu, dengan hasil pengujian 9,806 > 2,10 (3) moralitas siswa yang
pembelajarannya menggunakan model pembelajaranGroup Investigation(GI) lebih baik dibandingkan dengan yang menggunakan model pembelajaranValue Clarification Technique
(VCT) bagi siswa yang memiliki sikapnegatif terhadap mata pelajaran IPS Terpadu, dengan hasil pengujian 2,339 > 2,10. (4) ada interaksi antara
penggunaan model pembelajaran dan sikap siswa pada mata pelajaran IPS Terpadu terhadap moralitas siswa, dengan hasil pengujian 59,026 > 4,10.
(57)
C. Kerangka Pikir
Penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel independen (variabel bebas) dan variabel dependen (variabel terikat). Dimana dalam penelitian ini ada dua variabel independen yaitu model pembelajaran Jigsaw (X1) dan VCT (Value Clalrification Technique) (X2). Variabel dependennya adalahLife skill(Y) melalui penerapan model pembelajaran tersebut. Konsep diri siswa sebagai variabel moderator dalam mata pelajaran IPS Terpadu.
1. PerbedaanLife SkillSiswa pada Pelajaran IPS Terpadu yang Pembelajarannya Menggunakan Model Pembelajaran Jigsaw dan VCT (Value Clarification Technique)
Model pembelajaran merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu proses pembelajaran. Model pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang mengutamakan adanya kerjasama antar siswa dalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup. Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dimana siswa belajar dalam kelompok kecil, saling membantu dan memahami materi, menyelesaikan tugas atau kegiatan lain agar semua mencapai hasil belajar yang tinggi. Dua jenis model pembelajaran yang
diterapkan dalam penelitian ini yaitu kooperatif tipe Jigsaw dan VCT (Value Clarification Technique).
Model pembelajaran Jigsaw adalah suatu pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang
(58)
bertanggungjawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain di dalam kelompoknya. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan metode pembelajaran kooperatif, dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang dalam kelompok dan bekerjasama saling ketergantungan yang positif serta anggota kelompok bertanggungjawab terhadap keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi yang dipelajari dan dapat menyampaikan informasinya kepada kelompok lain. Dalam model kooperatif Jigsaw ini siswa memiliki banyak kesempatan untuk
mengemukakan pendapat dan mengolah informasi yang didapat dan dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) adalah salah satu teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pancapaian pendidikan nilai. Langkah-langkah model pembelajaran VCT yang pertama membuat/mencari media stimulus, berupa contoh
keadaan/perbuatan yang memuat nilai-nilai kontras sesuai dengan topik atau tema target pelajaran. Media stimulus yang dapat digunakan dalam ber VCT hendaknya, 1) mampu merangsang, mengundang, dan
melibatkan potensi afektual siswa. 2) Terjangkau oleh pengetahuan dan potensi afektual siswa (ada dalam lingkungan kehidupan siswa). 3) Memuat sejumlah nilai moral yang kontras.
Kegiatan Pembelajaran (KBM) dalam VCT, guru melontarkan stimulus dengan cara membaca cerita atau menampilkan gambar, foto, atau film.
(59)
Memberi kesempatan beberapa saat kepada siswa untuk berdialog sendiri atau sesama teman sehubungan dengan stimulus tadi. Melaksanakan dialog terpimpin melalui pertanyaan guru, baik secara individual, kelompok, atau klasikal. Menentukan argumen dan klarifikasi pendirian (melalui pertanyaan guru dan bersifat individual, kelompok, dan klasikal). Pembahasan/pembuktian argumen. Pada fase ini sudah mulai ditanamkan target nilai dan konsep sesuai materi pelajaran, lalu terakhir penyimpulan.
Pada model pembelajaran Jigsaw dilakukan dalam kelompok kecil yang terdiri dari empat sampai enam orang secara heterogen dan siswa bekerja sama saling ketergantungan positif dan bertanggung jawab secara
mandiri. Sedangkan model pembelajaran VCT dapat dilakukan dalam kelompok atau individu. Karna tidak ada keharusan untuk berkelompok dalam model pembelajaran ini. Dengan demikian, terdapat perbedaan antara kedua model pembelajaran tersebut yang juga akan mempengaruhi indikator-indikatorlife skill.
Jika dilihat dari aktifitas belajar, bekerjasama, dan berinteraksi maka dapat diketahui manakah model yang diduga lebih cocok untuk mengukur indikator-indikator darilife skill.Jigsaw lebih diunggulkan untuk
diterapkan dalam penelitian ini dibandingkan VCT karena model
pembelajaran jigsaw lebih memenuhi kriteria untuk mengukur indikator-indikator darilife skill.
Perbedaan kedua model pembelajaran ini yaitu terletak pada
(60)
belajar konstruktivisme sedangkan VCT merupakan penerapan dari teori belajar behavioristik.
2. Life SkillSiswa yang Pembelajarannya Menggunakan Model Pembelajaran Jigsaw akan Lebih Tinggi Dibandingkan
Menggunakan VCT (Value Clarification Technique) pada Siswa yang Memiliki Konsep Diri yang Positif
Satori (2002: 20)life skillsdapat dinyatakan sebagai kecakapan untuk hidup. Istilah hidup, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti : membaca, menulis,
menghitung, merumuskan dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja, dan
mempergunakan teknologi. Aktivitas belajar pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, bagi siswa yang memiliki konsep diri yang positif harus mempersiapkan diri secara optimal karena siswa dituntut untuk berpikir, bekerja dalam tim dan menyelesaikan masalah serta harus dapat menjelaskan atau mempresentasikan materi yang ia pelajari.
VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Dalam praktik pembelajaran, VCT dikembangkan melalui proses dialog antara guru dan siswa. Proses tersebut hendaknya
berlangsung dalam suasana santai dan terbuka, Sehingga setiap siswa dapat mengungkapkan secara bebas perasaannya. Sehingga didugalife skillsiswa yang memiliki konsep diri yang positif yang menggunakan
(1)
62
Adapun kriteria pengujian hipotesis adalah. Jika nilai t hitung < t tabel maka terima H0 Jika nilai t hitung > t tabel maka tolak H0
Atau dapat pula menggunakan kriteria pengujian hipotesis sebagai berikut. Jika nilai Sig > α(0,05) maka Terima H0
(2)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1. Ada perbedaanlife skillsiswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaranJigsawdibandingkan menggunakan model
pembelajaranVCT (Value Clarification Technique)pada siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Gadingrejo, Pringsewu tahun ajaran 2014/2015.
2. Life Skillsiswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Jigsaw lebih tinggi dibandingkan menggunakan VCT (Value Clarification Technique) pada siswa yang memiliki konsep diri yang positif.
3. Life SkillSiswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Jigsaw lebih rendah dibandingkan menggunakan VCT (Value
Clarification Technique) pada siswa yang memiliki konsep diri yang negatif.
4. Ada interaksi antara model pembelajaran dengan konsep diri siswa terhadapLife Skillpada mata pelajaran IPS Terpadu.
(3)
107
B. Saran
Berdasarkan penelitian tentang“STUDI PERBANDINGANLIFE SKILL
ANTARA MODEL PEMBELAJARAN JIGSAW DAN MODEL PEMBELAJARAN VCT (VALUE CLARIFICATION TECHNIQUE) DENGAN MEMPERHATIKAN KONSEP DIRI SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 4 GADINGREJO, PRINGSEWU TAHUN AJARAN 2014/2015”, maka peneliti menyarankan:
1. Hendaknya untuk mencapai tujuan khusus pembelajaran, sebaiknya para guru dapat memilih model pembelajaran Jigsaw. Hal ini dapat
mendorong siswa agar lebih aktif dalam proses pembelajaran dan dapat membuat siswa lebih bersungguh-sungguh memahami materi pelajaran yang diajarkan oleh guru.
2. Sebaiknya jika siswa dalam kelas memiliki konsep diri positif dalam pembelajaran dapat menerapkan model pembelajaran Jigsaw karena siswa yang belum mengerti bisa berdiskusi dengan teman
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Anwar. (2004). Pendidikan Kecakapan Hidup. Bandung: Alfabeta.
Arikunto, Suharsimi. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi.Bumi Aksara: Jakarta. 310 hlm.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.Rineka Cipta: Jakarta. 370 hlm.
Arikunto, Suharsimi. 2009. ManajemenPenelitian.Rineka Cipta: Jakarta. 506 hlm. Ayu Mirnasari, Rosi. 2010.Studi perbandingan hasil belajar akuntansi siswa melalui
model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada siswa kelas XI SMA Negeri 4 Kotabumi tahun pelajaran 2009/2010. Skripsi, FKIP. Universitas Lampung.
Delor, Jacque. 2012.QS AN-NISA 9 (Pendidikan Life Skill). Diakses 2 Maret 2015 dari
http://devitrianalistia.blogspot.co.id/2013/05/qs-nisa-9-pendidikan-life-skill_4622.html
Departemen Pendidikan Nasional. 2003.Life Skills-Pendidikan Kecakapan Hidup.
Jakarta: Depdiknas.
Djaali. 2007.Psikologi pendidikan.PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Djahiri, kosasih. 2009.Pembelajaran Value Clarification Technique (VCT). Diakses 2 Maret 2015 dari http://www.sekolahdasar.net/2011/04/pembelajaran-value-clarification.html
Fajar, Malik. (2002). Pendidikan kecakapan hidup (Life Skill). Bandung: PT Remaja Rosda Karya
(5)
Gunawan, Adi W. 2004.Genius Learning Strategy.PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hariyanto. 2012.Tujuan Pendidikan Nasional. Diakses 26 Februari 2015 dari http://belajarpsikologi.com/tujuan-pendidikan-nasional/
Ibrahim. 2011.Pembelajaran Model Jigsaw. Diakses 2 Maret 2015 dari
http://mastugino.blogspot.co.id/2013/06/pembelajaran-model-jigsaw.html Jarolimek, John. (2002). Social Studies in Elementary Education. New York:
MacMillan Co. Inc.
Julianti, Fitri. 2008.Pengaruh Penguasaan Konsep Diri terhadap Tingkat Penyesuaian Diri Mahasiswa dalam Lingkungan Belajar di Program Studi PPKn Pendidikan IPS FKIP Unila Tahun 2007.
Kusumah, Angga. 2012.Rumusan Tujuan Pendidikan Nasional. Diakses 2 Maret 2015 dari
http://www.cubungcinta.com/2012/09/rumusan-tujuan-pendidikan-nasional.html
Maryani, Enok. 2011.Pengembangan Program Pembelajaran IPS untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Purnamasari, Lora. 2010.Penggunaan Animasi Multimedia dengan Pembelajaran Tipe Jigsaw dan TSTS terhadap Penguasaan Materi Pokok Sistem Pencernaan Pada Manusia dan Hewan. Skripsi, FKIP. Universitas Lampung.
Ratnawuri, Triani. 2007.Hubungan Antara Konsep Diri dan Motifasi Berprestasi dengan Prestasi Belajar Mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi
Angkatan 2005-2006 Jurusan Pendidikan IPS FKIP Universitas Lampung Tahun Ajaran 2006/2007. Skripsi FKIP Unila.
Rusman. 2011.Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Rajagrafindo Persada: Jakarta 421 hlm.
Satori, D. 2002. “ImplementasiLife Skilldalam Konteks Pendidikan diSekolah” Dalam
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan.No. 034 (8). Januari 2002. (hal 25-37). Slamet, PH. 2002. “Pendidikan Kecakapan Hidup: Konsep Dasar” DalamJurnal
Pendidikan dan KebudayaanNomor: 037 (hal 541-561). Jakarta: Balitbang Diknas.
Sugiyono. 2008.Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, R&D. Bandung: Alfabeta.
(6)
Suparno, A. Suhaenah. 2008.Membangun Kompetensi Belajar. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Trianto. 2009.Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Prenada Media. Jakarta. 371 hlm.
Zubaedi. 2012.Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana Pranada Media Grup.
(http://aadesanjaya.blogspot.com/2011/01/pembelajaran-kooperatif-tipe-jigsaw.html) (http://gurupkn.wordpress.com/category/pembelajaran/model-model/page/3/)
(http://www.sekolahdasar.net/2011/04/pembelajaran-value-clarification.html) (http://putra-ariantha.blogspot.com/2011/10/model-pembelajaran-vct.html) (http://wajito-hdy.blogspot.com/2014/02/pembelajaran-ips-vct.html) (http://bandono.web.id/forum/viewtopic.php?id=)