Paradigma Misi Ekumenis 1. Akar Oikumene

3. Teologi Kontekstualisasi yang sah harus peka atau tanggap dengan keadaan lingkungan

atupun budaya, serta harus bisa membela setiap orang yang tertindas dan melakukan pembebasn dengan penuh kebenaran. 2.5. Paradigma Misi Ekumenis 2.5.1. Akar Oikumene Sebelum berbicara mengenai gerakan ekumenis maka perlu diketahui terlebih dahulu kata ekumenisOikumene. Kata ini berasal dari bahasa Yunani dari kata kerja Oikeo yang berarti tinggal, berdiam atau mendiami. Oleh sebab itu secara harafiah berarti tinggal atau mendiami’. Tetapi participum ini telah memiliki arti khusus sebagai kata benda. Arti pertama adalah geografis: Dunia yang didiami Luk.4:5,Rom. 10:18,Ibr. 1:6 dan lain-lain. Dari sana kata ini juga dapat berarti: Seluruh umat manusia Kis. 17:31,19:27, Why.12:9, kemudian istilah ini mendapat arti politik dari kekaisaran Romawi Kis.24:5 sedangkan dari bidang politik istilah oikumene dan oikumenis mulai dipakai oleh gereja. Oikumene seluruh dunia yang didiami dan yang di kuasai oleh kekaisaran Romawi menjadi tempat gereja menjalani misinya. 15 Pemahaman yang modern baru muncul pertengahan abad lalu mula- mula diartikan sebagai rela untuk melampaui dan mengatasi batas-batas konfensional yang memisahkan orang-orang kristen. Singkat kata arti modern tidak lagi menunjuk kepada kenyataan seperti dulu tetapi kepada suatu 15 Christian De Jong. Menuju Keesaan Gereja Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993 2. tujuan usaha dan pergumulan, yaitu gereja yang satu esa untuk itu harus diwujudkan secara nyata. Inilah perkembangan sejarah gereja mula mula khususnya mengenai akar-akar oikumene.

2.5.2. Kemunculan Gerakan Ekumenis

Paradigma misi ekumenis yang sangat kental dipengaruhi oleh sejarah masa lalu, didasarkan pada gejolak-gejolak dalam masyarakat terutama konflik dan keprihatinan-keprihatinan ekonomi, sosial yang lebih luas. Secara singkat masalah-masalah ini yang kemudian menghasilkan prinsip keesaan gereja, keutuhan ciptaan, dan konteks-konteks konkrit lainnya menjadi hal utama dalam paradigma misi ekumenis. Kesadaran ini pada awal puncaknya dimulai dari diadakannya pertemuan di Edinburgh 1910, sebagai puncak dari seluruh rangkaian pertemuan yang pernah diadakan untuk membahas tentang kesatuan gereja dan umat kristen melalui pemikiran maupun praktek misi kristen yang luas. 16 Sebagai akibatnya para teolog humanis baik dari khatolik maupun protestan, menjadi pelopor dalam gerakan perkembangan paradigma misi ekumnis yang dikemudian hari mempunyai ciri khas yang paling menonjol yaitu misi kemanusian dalam arti yang luas berdasarkan konteks. 2.6. Hakekat Misioner 16 Ibid., 9-32. Bandingkan pula, S. Marantika. Ekumene Dalam Pembangunan Bangsa Jakarta: Sinar Harapan Anggota IKAPI,1983 28. David J. Bosch berpendapat bahwa; 17 Unsur yang paling penting untuk memahami hakekat missioner adalah a kegiatan missioner bukanlah terutama karya gereja melainkan sebagai gereja yang berkarya ini adalah tugas yang berkaitan dengan seluruh gereja karena Allah adalah Allah yang missioner dan umat Allah adalah umat yang missioner. b Gereja dan misi saling terkait sejak semula, sebuah gereja tanpa misi atau sebuah misi tanpa gereja sama-sama adalah kontradiksi. c Dimensi missioner dari kehidupan sebuah gereja lokal menampakan diri, antara lain bila ia sungguh-sungguh merupakan suatu komunitas yang beribadah; ia mampu menyambut orang luar dan membuat mereka merasa betah; ini adalah gereja yang mana sang pendeta tidak memegang monopoli dan anggota-anggotanya bukan sekedar objek dari pemeliharaan pastoral; anggota-anggotanya dilengkapi untuk melaksanakan panggilan mereka dalam masyarakat; secara struktur ia lentur dan inovatif; dan tidak membela hak-hak kelompok khusus. Dimensi missioner gereja semacam ini membangkitkan intensional yakni keterlibatan langsung-nya didalam masyarakat; ia sesungguhnya bergerak melampaui tembok-tembok gereja dan terlibat dalam titik-titik konsentrasi” missioner seperti penginjilan karya keadilan dan perdamaian.

2.6.1. Misi Sebagai Misio Dei

Misi sebagai Misio Dei menegaskan suatu perkembangan pergeseran misi yang luas. Misi yang dimaksudkan ada di dalam terang Allah sendiri. 18 Misio Dei bukanlah secara sempit sebagai perluasan gereja, atau misi keselamatan dalam sejarah gereja. Namun misi ini adalah misi Allah. 17 David J Bosch. Transformasi Misi Kristen Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009 571-572. 18 Ibid.,596-601. Allah adalah Allah yang missioner. Bukan gereja yang mempunyai misi keselamatan yang harus digenapi didalam dunia. Ini adalah misi Sang Anak dan Roh Kudus melalui Bapa yang mengikut sertakan dunia” dengan begitu, misi dipandang sebagai sebuah gerakan dari Allah kepada dunia dan gereja dipandang sebagai sebuah Alat, tanda dan sakramen., 19 untuk misi Allah tersebut. Gereja ada karena ada misi bukan sebaliknya. Ikut serta dalam misi berarti ikut serta di dalam gerakan kasih Allah kepada manusia, karena Allah adalah sumber dari kasih yang mengutus. Allah adalah sumber kasih yang mengutus diriNya sendiri dan misi ada karena Allah mengasihi manusia.

2.6.2. Misi Sebagai Perjuangan Demi Keadilan

Misi ini sesungguhnya merupakan suatu bentuk yang ada dalam konteks perjanjian lama, yaitu nabi-nabi mengkritik pemerintahan raja-raja karena ketidakadilan yang terjadi dalam bangsa Israel lebih daripada itu konteks gereja mula-mula banyak pula ketidakadilan yang terjadi dalam gereja di zaman Romawi yang merupakan sumber ketidakdilan yang besar dalam sejarah perjalanan kekristenan. Untuk itu, sifat dari keadilan dalam injil inilah yang kini penting untuk diperhatikan dan dicermati dalam upaya sebuah misi yang relevan meskipun hal ini sering kontra dengan pemahaman kasih namun ini merupakan sosok dari injil yang bersifat memanusiakan manusia karena inilah intisari yang penting untuk melihatnya dalam terang misi kekristenan sambil mempertimbangan aspek etis yang mengaturnya yaitu bagaimana keadilan itu seharusnya di tegakan dalam terang injil yang konkrit dan benar. 20 19 Ibid.,571-576. 20 Ibid.,614-626.

2.6.3. Misi Sebagai Kontekstualisasi

Dalam menguraikan misi sebagai kontekstualisasi maka terdapat beberapa pikiran utama yang menjadi pertimbangan misi dilihat sebagai kontekstualisasi; 21 1. Misi sebagai kontekstualisasi adalah pemahaman tentang Allah telah berpaling kepada dunia. Situasi dunia yang historis bukanlah semata-mata suatu kondisi luar bagi misi gereja; sebaliknya ia harus diikutsertakan sebagai suatu unsur pembentuk ke dalam pemahaman kita tentang misi, tujuan dan organisasinya. Sikap seperti itu sepenuhnya sesuai dengan pemahaman Yesus tentang misi-Nya seperti yang dicerminkan dalam injil-injil kita; Ia tidak membumbung tinggi ke langit melainkan menenggelamkan diriNya ke dalam keadaan-keadaan yang sama sekali riil dari orang orang miskin mereka yang tertawan, yang buta, dan tertindas. Masa kinipun, Kristus berada di antara yang lapar sakit, yang dihisap disisihkan. Kuasa kebangkitanNya mendorong sejarah umat manusia menuju akhir, di bawah panji-panji” lihatlah Aku menjadikan semuanya baru Why 21:5. Seperti Tuhannya, gereja di dalam misi harus memihak, demi kehidupan dan menentang maut, demi keadilan dan menentang penindasan. 2. Misi sebagai Kontekstualisasi melibatkan pembangunan berbagai teologi Lokal. Dalam defenisi ini secara sederhana ingin menekankan bahwa teologi harus dipribumikan. Kontekstualisasi mengusulkan sifat yang eksperimental dan sementara dari semua teologi. Selain itu untuk mengantisipasi sifat relativisme yang muncul dari teologi kontekstual perlunya juga dimensi universal dan transenden dari teologi karena ada tradisi-tradisi kristen yang universal yang dapat diterima secara universal. Perspektif- 21 Ibid.,652-662. perspektif yang semata-mata sementara perlu diimbangi oleh suatu penekanan pada perspektif-perspektif meta-teologis. Karena hal ini untuk pembahasan tentang keterkaitan dari perspektif-perspektif ini dalam teologi dan budaya. Oleh sebab itu, teologi kontekstual kini menjadi penting di pendidikan teologi dunia pertama. 3. Perlunya juga mempertimbangkan bukan hanya bahaya relativisme dalam teologi kontekstual tetapi sikap absolutisme karena secara singkat ini terjadi di barat dan juga tidak kebal terhadap negara dunia ketiga. 4. Kita harus memandang pada seluruh masalah ini dari sudut pandang yang lain lagi yakni” membaca tanda tanda zaman” memang ada kemungkinan untuk kita melihat ke belakang dan masa kini namun penekanan yang paling utama adalah dengan memakai terang injil sebagai norma dan ketika kita berjuang demi keadilan, kebebasan komunitas, perujukan kesatuan dan kebenaran dalam semangat kasih dan sikap tidak mementingkan diri sendiri kita boleh diberanikan untuk melihat Allah bekerja. Keyakinan ini memampukan kita untuk bersikap berani dan mengambil keputusan-keputusan meskipun relatif sifatnya karena penilaian kita tidak sama persis dengan penghakiman akhir. 5. Jadi meskipun tak dapat disangkal pentingnya sifat dan peran konteks, hal itu tidak boleh ditanggapi sebagai kewibawaan satu-satunya yang paling mendasar untuk refleksi teologis dan untuk ini konteks secara sederhana juga memerlukan peran penting teori secara kritis. 6. Kita juga membutuhkan dimensi penciptaan atau representasi imaginatif dari gambaran gambaran yang evokatif- membangkitkan kesadaran. Orang tidak hanya perlu melihat kebenaran teori dan keadilanpraksis mereka juga membutuhkan keindahan simbol- simbol yang kaya, kesalehan, ibadah, kasih, ketakjuban dan misteri. Terlalu sering dalam tarik-menarik antara prioritas kebenaran dan prioritas keadilan, dimensi ini hilang.

2.6.4. Misi Sebagai Pembebasan

Pemikiran ini terkait kepada sebuah pendalaman tentang teologi kontekstual karena menurut Bosch Teologi Pembebasan Adalah sebuah gejala yang berwajah banyak, yang menampakan dirinya sebagai teologi hitam teologi hispanik, teologi Amerika latin dan sebagainya yang secara langsung membangun pemikiran dan praktek misi yang memperjuangkan pembebasan dalam kerangka berteologi misi. 22 Kemudian lebih dari itu misi ini dalam dunia ketiga khususnya berbicara tentang inkulturasi budaya yang mana telah diketahui bahwa ragam budaya dunia pertama kedua dan khususnya ketiga berbeda dan untuk itulah membentuk cara berteologi yang berbeda berdasarkan budaya masing-masing dan hal ini berdasarkan tidak terdapat misi pembebasan dari kaum misionaris barat dan lebih penting lagi misi pembebasan ini terkait langsung dengan struktural dunia secara global antara dunia pertama, kedua dan ketiga yang dilanda kemiskinan dalam arti yang luas yaitu korban masyarakat baik yang dimarjinalkan dan tidak mendapat kesempatan partisipasi aktif dimasyarakat di mana hal ini merupakan persoalan misi yang penting antara persoalan injil juga dibantu dengan unsur etika sosial orang-orang yang mengetahuinya yang turut terlibat 22 Ibid., 663-685. Pendapat yang tidak jauh berbeda dapat dilihat dalam Stephen B. Bevans. Model-Model Teologi KontekstualMaumere: Ledalero, 2002 1. Khususnya tentang tidak ada sesuatu yang disebut “teologi”; yang ada hanya teologi kontekstual: Teologi pembebasan, teologi Asia-Amerika teologi Afrika dll. dalam penindasan ini, ditobatkan dan disadarkan untuk memahami dan tidak menyangkali realitas yang ada.

2.6.5. Misi Sebagai Inkulturasi

23 Paradigma misi ini dimulai dengan kesadaran pluralisme budaya, yang juga pada zaman sebelumnya dihancurkan oleh dunia barat terhadap dunia ketiga. Padahal dengan adanya keragaman budaya maka terdapat pula keragaman teologi. Perkembangan inkulturasi ini dimulai dari dalam teolog-teolog dunia ketiga dan bukan lagi teolog barat atau misionaris. Perbedaan yang kedua adalah tekanannya ada pada situasi lokal di mana baik bahasa sosial politik ekonomi keagamaan bahkan pendidikan tergabung menjadi bagian-bagian yang utuh dalam inkulturasi. Sambil perlu diperdebatkan secara regional perbedaan kebudayaan ini apakah ia diterima ataukah tidak. Inkulturasi juga secara sadar mengikuti model inkarnasi dalam hal ini masalah pokok utama dari paradigma ini adalah gereja yang dilahirkan kembali dari konteksnya. Berikutnya bahwa model inkulturasi ini harus ditata dalam bentuk Kristologis meskipun dalam model lainnya memperlihatkan adanya interaksi kebudayaan dan injil. Karena dengan demikian inkulturasi memberikan kesan sebuah gerakan ganda: pada saat bersamaan ada inkulturasi terhadap kekristenan dan Kristenisasi’ terhadap kebudayaan. Kemudian terakhir injil harus terus melakukan perjumpaan dengan budaya secara inklusif. Maka pengalaman ini akan menjadi satu kekuatan yang menghidupkan dan memperbaharui kebudayaan dari dalam. Dari kepelbagaian inkulturasi yang dikemukakan inkulturasi kemudian tetap memiliki batasannya yaitu secara sederhana pada tingkat injil yang tetap memiliki dimensi yang berbeda 23 Ibid., 686-700. dengan kebudayaan dan yang kedua adalah penerimaan firman yang pada hakekatnya injil dapat menjadi peringatan bagi kebudayaan tetapi injilpun dapat berjalan bersama-sama kebudayaan. Dalam hakekat ini yang paling penting dari budaya dan injil adalah menciptakan suatu kehidupan baru yang ditransformasikan secara tajam melalui proses yang saling mendukung, ataupun bertolak belakang pada sisi atau bagian-bagian tertentu. Tetapi bahkan lebih daripada itu kita membutuhkan interkulturasi yaitu suatu pertukaran teologi yang juga sangat penting dalam konteks saling belajar hal-hal yang mungkin baru pada konteks yang berbeda-beda dalam tataran lokal dengan cara berpikir yang global karena pekerjaan Allah melibatkan partisipasi seluruh umat manusia terkhususnya gereja dimanpun berada untuk itu perlu melihat dunia lokal dengan pikiran global.

2.6.6. Misi Sebagai Kesaksian Bagi Orang Orang berkepercayaan Lain

Pada dasarnya misi semacam ini ingin memperlihatkan suatu konteks di mana terdapat keberagaman agama dan krisis agama yang sedang dialami semua agama, tentang bagaimana menerima perbedaan ini dan dilihat sebagai suatu misi, yang penting untuk diperhatikan dalam konteks berteologi misi dengan memperhatikan perbedaan yang bukan hanya dari dalam tetapi yang lebih besar lagi yaitu dari luar agama tersebut yang berhadapan dengan agama lain, terutama yang dikatakan Bosch tentang teologi agama agama. 24

2.6.7. Misi Sebagai Teologi

Pemahaman ini sangat berpengaruh terhadap hakikat gereja yang berkaitan dengan misi gereja yang pada masa kini diakui hal ini penting dalam melihat dunia sebagai ladang misi, 24 Ibid., 727-731. dalam artian tanggungjawab berteologi. Di sisi yang lain dalam bidang keilmuan tentunya misi yang dikenal dalam misiologi sebagai upaya berteologi sudah tidak hanya terbatas pada pekerjaan misionaris, untuk menyelamatkan jiwa-jiwa melainkan misiologi adalah upaya berteologi secara keseluruhan sebagai sebuah bidang ilmu yang melihat dunia sebagai lahan berteologi dengan memperhatikan kenyataan kenyataan disekitarnya.

2.7. Tanah Batak sebagai tujuan misi Kristen