PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA BAGI HASIL, DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP ANGGARAN BELANJA MODAL PADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA Se- PROPINSI LAMPUNG

(1)

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI

DAERAH, DANA BAGI HASIL, DANA ALOKASI UMUM DAN DANA

ALOKASI KHUSUS TERHADAP ANGGARAN BELANJA MODAL PADA

PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA Se- PROPINSI LAMPUNG

Oleh

AGUS KURNIAWAN

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER SAINS AKUNTANSI

Pada

Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA ILMU AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(2)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui dan menganalisa apakah Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh terhadap Anggaran Belanja Modal pada Pemko/Pemkab Lampung. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif, dengan pengujian regresi berganda dengan

melakukan uji asumsi klasik sebelum mendapatkan model penelitian yang terbaik. Variabel dalam penelitian ini adalah Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus sebagai variabel independen dan Belanja Modal sebagai variabel dependen. Jumlah populasi penelitian ini sebanyak 14 kabupaten dan kota dan dengan menggunakan purposive sampling diperoleh 10 Kabupaten/Kota sebagai sampel dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa secara simultan Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh signifikan terhadap belanja modal di

Kabupaten/Kota di Lampung hal ini dapat dijelaskan dalam Adjusted R2 sebesar

30,3% variabel Belanja Modal dapat dijelaskan oleh variabel independen yang ada yaitu Pertumbuhan Ekonomi, Dana Bagi Hasil, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh terhadap Belanja Modal. Sisanya sebesar 69,7% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan oleh model penelitian ini.

Secara parsial variabel Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang berpengaruh signifikan terhadap belanja modal di Kabupaten/Kota di Lampung, sedangkan Pertumbuhan Ekonomi yang diproksikan oleh PDRB harga konstan, tidak berpengaruh secara signifikan terhadap besarnya Belanja Modal.

Kata Kunci: Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Belanja Modal.


(3)

ABSTRACT

The purpose of this research is to find out and to analyze whether Economic Growth, Local Own Revenue, Revenue Sharing Fund, General Alocation

Fund,and Special Alocation Fund influence the Capital Expenditure in Lampung Province. The analyze method that is used in this research is quantitative method with multiple linier regression with bring about classical assumption test before finding out the best linier model.

The variable used in this research are Economic Growth, Local Own Revenue, Revenue Sharing Fund, General Alocation Fund, Special Alocation Fund as independent variable and the Capital Expenditure as dependent variable. The population is 14 regencies and cities in Lampung, and by using purposive sampling technique, 10 regencies and cities in Lampung Province the year 2008 up to year 2012 are chosen as samples.

The result proof that Economic Growth, Local Own Revenue, Revenue Sharing Fund, General Alocation Fund, Special Alocation Fund influence significanly and simultaneously

the Capital Expenditure of regencies and cities in Lampung. Adjusted R2

expressed that 30,3% influence given by Independent variables. The rest 69,7% influence given by other variables is not mentioned in this research model. Partially Local Own Revenue and Special Alocation Fund variable influence Capital Expenditure. Economic Growth with PDRB with constan price haveno significant influence to the Capital Expenditure.

Keywords: Economic Growth, Regional Own Revenue, Revenue Sharing Fund, General Alocation Fund, Special Alocation Fund and Capital Expenditure.


(4)

I{ama Mahasiswa

Nomor Pokok Mahasiswa Pfogram Studi

Pembimbing I

EAGI IIASIL, DANA AII}IIASI UMUII DAN DAJIA ALOKAIII trNUlIUlI TERNADAP AI{G'GANffI AEI,ANJA ITODAL PAI'A

PBFTEBIIITAIT I(ABUPAIrEII/KOTA SE-PROPTIISI IJUTPUITG

: z{6us Qnntcwcn

: 1121O51OO1

: Program fascasa{ana llmu Akuntansi

Fakultas

Ekonomi dan Bisnis

Unlversitas

Lampung

MEITYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Pembimbing II

Slarlng Suhendro, $.E , !l,Sl., AkL NrP 19740512 200112 1 005

h

Dr. Elnde Wtana, S.E , [lI.Sl., AIIL NrP 19560620 1,98605 1 005

2, Ketua Program Pascasaqjana llmu Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas l,ampung

$usl $arumpaet, Ph.D., AkL NrP 19691008 199512 2 001


(5)

1. Tim Pengqii

Ketua

: $arlng $uhendre, S.F-, !l.Sl., *,

M

Pengqfl Utama : $usl Sarumpaet, Ph,D., Aft-Selretarls

198705 r" Ot l

Dr. $u{fam, !1.S. 9550528 198105 L OO2


(6)

1 .

Saya menyatakan dengan sebenanrya battwa:

Tesis dengan judul *Pengamh Pertumbuhan Ekonomir Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus Terbadap Anggaran Belania Modal Pada Pemerintah

Kabupaten/I(ota Selampung' adalatr karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat

akademik atau yang di sebutplagiarisme.

Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan a kepada Universitas Lampung.

Atas pemyataan ini, apabila dikemudian hari temyata ditemukan adanya ketidak benararu maka saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang akan diberikan dan bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung 17 Desember 2013 Pembuat Pernyataan,

AGUS KT]RI\IIAWAI\ NPM r 121031001 2.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

BAB I PENDAHULUAN1 1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2. Rumusan Masalah Penelitian ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS ... 8

2.1. Landasan Teoritis ... 8

2.1.1. Anggaran Daerah ... 8

2.1.2. Proses Penyusunan Anggaran di Indonesia ... 9

2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi ... 9

2.1.4. Pendapatan Asli Daerah ... 11

2.1.5. Dana Bagi Hasil ... 15

2.1.6 .Dana Alokasi Umum ... 16

2.1.7. Dana Alokasi Khusus ... 19

2.1.8. Belanja Modal dalam Anggaran Daerah ... 20

2.1.9. Hubungan Keagenan dalam Penganggaran Pemerintah Daerah ... 23

2.1.9.1 Hubungan Keagenan antara Eksekutif dan Legislatif ... 25

2.1.9.2 Hubungan Keagenan antara Legislatif dan Publik ... 25

2.1.9.3 Hubungan Keagenan dalam Penyusunan Anggaran Daerah di Indonesia ... 26

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 26

2.3. Hipotesis Penelitian ... 28

2.3.1. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Anggaran Belanja Modal ... 28

2.3.2. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran Belanja Modal ... 29

2.3.3. Pengaruh Dana Bagi Hasil terhadap Anggaran Belanja Modal ... 31

2.3.4. Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Anggaran Belanja Modal ... 32


(8)

BAB III METODE PENELITIAN... 36

3.1. Populasi dan Sampel Penelitian ... 36

3.2. Metode Pengumpulan Data ... 37

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 37

3.3.1. Variabel penelitian ... 37

3.3.1.1. Variabel Bebas (Independen) ... 37

3.3.1.2. Variabel Terikat (Dependen)... 38

3.3.2. Definisi Operasional ... 37

3.4. Metode Analisis ... 40

3.4.1. Statistik Deskriptif ... 40

3.4.2. Uji Asumsi Klasik ... 40

3.4.3. Model Pengujian Hipotesis ... 35

3.4.3.1. Uji Regresi Berganda ... 43

3.4.3.2. Koefisien Determinasi... 44

3.4.3.3. Uji F ... 45

3.4.3.4. Uji t ... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46

4.1. Deskripsi Data Penelitian ... 46

4.2. Analisis Data ... 49

4.2.1. Uji Asumsi Klasik ... 49

4.2.1.1. Pengujian normalitas ... 49

4.2.1.2. Uji multikolinieritas ... 51

4.2.1.3. Uji heteroskedastisitas ... 52

4.2.1.4. Uji autokorelasi ... 53

4.3. Hasil Analisis ... 54

4.4. Model Uji Hipotesis ... 55

4.4.1. Uji F ... 55

4.4.2. Uji t ... 57

4.5. Pembahasan ... 59

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

5.1. Kesimpulan ... 66

5.2. Keterbatasan Penelitian ... 67

5.3. Saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA


(9)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang tercermin dalam anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu wujud dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam

mengevaluasi kinerja masing-masing satuan perangkat daerah. Hal ini dipertegas dalam undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara pasal 19 (1) dan (2) yaitu, pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran Tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan. Demikian pula dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah ditegaskan bahwa pemerintah daerah diberi kesempatan secara luas untuk mengembangkan dan membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya masing-masing, termasuk dalam hal penyusunan dan

pertanggungjawaban atas pengalokasian dana yang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. dimiliki dengan cara yang efisien dan efektif, khususnya dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan pelayanan umum kepada


(10)

masyarakat. Sejalan dengan pembagian kewenangan yang disebutkan di atas maka pengaturan pembiayaan Daerah dilakukan berdasarkan azas desentralisasi,

dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan azas desentralisasi dilakukan atas beban APBD, pembiayaan

penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelaksanaan azas dekonsentrasi dilakukan atas beban APBN dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban anggaran tingkat

pemerintahan yang menugaskan. Manajemen keuangan daerah yang tercermin dalam APBD merupakan media utama pemerintah daerah dalam melakukan alokasi sumberdaya daerah secara optimal, sekaligus merupakan media yang dapat digunakan untuk mengevaluasi prestasi pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan di daerah. Sebagai media utama maka setiap

pengeluaran pemerintah harus diperuntukan untuk kepentingan publik dan wajib dipertanggungjawabkan. Artinya pengelolaan dalam bentuk alokasi anggaran publik diharapkan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat agar dapat mandiri secara ekonomis. Dari sisi keuangan negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah menimbulkan implikasi yang mendasar dalam peta pengelolaan fiskal. Artinya dengan adanya desentralisasi fiskal pemerintah daerah diharapkan mampu mengoptimalkan potensi sumberdaya daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengotimalan tersebut harus secara tegas dicantumkan dalam APBD sebagai salah satu media utama dalam perencanaan penerimaan dan pembiayaan pembangunan di daerah. Ini berarti pengalokasian anggaran publik harus lebih diperuntukan pada bagi


(11)

pengelolaan dan pengalokasian anggaran menempati posisi strategis dalam pembangunan suatu negara, termasuk anggaran daerah. Anggaran publik yang dikelola oleh pemerintah memiliki tiga fungsi utama, yaitu; alokasi, distribusi dan stabilitas. Dalam fungsi alokasi, anggaran publik memainkan peranan dalam pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik atau penyelanggaraan

pemerintahan yang pada gilirannya dapat meningkatkan pelayanan publik. Fungsi distribusi tercermin dari pemerataan pendapatan dan pengetasan kemiskinan. Fungsi stabilitas tercermin dari penciptaan lingkungan makroekonomi yang kondusif. Ketiga fungsi tersebut menjadi landasan utama kebijakan fiskal pemerintah, baik dari sisi pendapatan, pembiyaaan maupun belanja negara, termasuk kebijakan pemerintah daerah dalam pengalokasian anggaran publik. Di sisi lain, dalam proses penyusunan sampai implementasinya Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memiliki berbagai permasalahan, salah satunya adalah pengalokasian sumber-sumber pendapatan daerah yang

diperuntukan untuk kepentingan publik, baik alokasi dana untuk belanja langsung maupun tidak langsung. Fozzard (2001) menunjukkan bahwa pengalokasian sumberdaya merupakan permasalahan mendasar dalam anggaran sektor publik. Hal ini menenujukkan perlu adanya suatu desain sistem pengeluaran yang mampu mengendalikan pola konsumsi sumberdaya ekonomi, khususnya anggaran publik yang tidak tepat sasaran. Salah satu pendekatan yang dipandang relevan dewasa ini adalah manajemen pengeluaran sektor publik. Hal ini penting karena selama ini banyak pengeluaran pemerintah terutama pemerintah daerah, misalnya untuk belanja modal rata-rata masih dibawah 30% dari yang disyaratkan. Permasalahan seputar alokasi belanja tersebut menjadi lebih parah bila kewenangan pemerintah


(12)

daerah secara mandiri dalam pengelolaan keuangan daerah tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal.

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan azas desentralisasi, kepala Daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan sebagai sumber dana bagi APBD. Secara umum, sumber dana bagi daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus) dan pinjaman daerah, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui APBD, sedangkan yang lainnya dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah. Salah satu wujud dari

desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing. Kewenangan Daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan undang nomor 34 tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari undang-undang nomor 18 tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaan-nya dengan peraturan pemerintahn nomor 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan peraturan pemerintah nomor 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Sejak diberlakukan reformasi keuangan daerah dan sejalan dengan implementasi Otonomi daerah, tampak kita cermati sejumlah daerah tertentu tidak mampu membiayai rumah tangga daerahnya sebagai akibat kapasitas fiskal yang rendah. Hal ini tentunya berdampak pada pelaporan keuangan pemerintah daerah yang diharus disajikan dan diperiksa setiap tahun. Ini berarti struktur belanja setiap


(13)

pemerintah daerah perlu diperkuat agar dapat mendorong perekonomian daerah. Halim (2004) menegaskan bahwa tuntutan untuk mengubah struktur belanja menjadi semakin kuat, khususnya pada daerah-daerah yang mengalami kapasitas fiskal rendah. Penegasan ini menunjukkan bahwa bagi daerah-daerah yang

memiliki celah fiskal yang tinggi perlu memperkuat struktur anggaran belanjanya, ini bukan berarti daerah-daerah yang celah fiskal yang rendah tidak perlu

memperkuat struktur belanja. Dengan memperkuat struktur belanja daerah dapat meningkatkan kepercayaan publik. Hal ini penting karena anggaran yang

digunakan oleh pemerintah daerah dalam menjalankan aktivitas pembangunan daearah merupakan anggaran publik. Alokasi belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah setiap tahun harus betul-betul dimanfaatkan untuk aktivitas-aktivitas yang produktif. Saragih (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misalnya untuk melakukan aktivitas pembangunan. Sejalan dengan Saragih, Stine (1994) menyatakan bahwa penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program-program layanan publik. Gagasan yang dikemukakan baik oleh Saragih maupun Stine menunjukkan bahwa pengalokasikan belanja untuk berbagai kepentingan publik merupakan hal yang sangat penting dan strategis dalam mendorong perekonomian daerah. Dikatakan penting dan strategis karena, dengan peningkatan sarana publik, misalnya membangun jembatan dan jalan dapat mempermudah akses masyarakat dalam melakukan aktvitas bisnis maupun non bisnis. Di sisi lain, bagi daerah-daerah yang memiliki potensi sumberdaya yang dapat diandalkan, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam kebijakan Otonomi daerah disambut baik, karena terbuka peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola


(14)

daerahnya secara mandiri termasuk dalam hal pengelolaan keuangan daerah. Salah satu harapan dari kebijakan tersebut adalah daerah diberi kesempatan untuk mempercepat pertumbuhan ekonominya dan memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya bagi daerah-daerah yang memiliki keterbatasan

sumberdaya, kebijakan demikian akan memberatkan. Daerah yang tidak memiliki potensi sumberdaya dalam hal sumber keuangan atau dana yang melimpah akan mengalami kesulitan dalam membiayai belanja daerahnya.

Dengan adanya otonomi daerah pula, maka dengan tegas terjadi pemisahan fungsi antara fungsi Pemerintahan Daerah (Eksekutif) dengan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Legislatif). Berdasarkan pembedaan fungsi tersebut,

menunjukkan bahwa antara legislatif dan eksekutif terjadi hubungan keagenan, eksekutif melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan atas anggaran daerah, yang merupakan manifestasi dari pelayanan kepada publik, sedangkan legislatif berperan aktif dalam melaksanakan legislasi, penganggaran, dan pengawasan (Halim, 2006).

Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Situngkir (2009). Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan variabel yang ada pada penelitian yang dilakukan oleh Situngkir (2009). Variabel-variabel yang digunakan diantaranya pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). Namun dalam tesis ini peneliti menambahkan variabel independen lain dalam penelitiannya,yaitu Dana Bagi Hasil (DBH), karena pada penelitian yang


(15)

belanja modal.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh terhadap Anggaran Belanja Modal?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris pada Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap alokasi Anggaran Belanja Modal.

1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah Kabupaten/kota se-Lampung tentang Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DBH, DAU, DAK dan Belanja Modal.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten/Kota se-Lampung dalam penyusunan Anggaran Belanja Modal.

3. Sebagai bahan referensi bagi peneliti tentang Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DBH, DAU, DAK dan Anggaran Belanja Modal.


(16)

BAB II

TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1. Landasan Teori 2.1. 1 Anggaran Daerah

Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang

dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Anggaran daerah merupakan salah satu alat yang memegang peranan penting dalam meningkatkan pelayanan publik dan didalamnya tercermin kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan sumber-sumber kekayaan daerah. APBN merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (UU No 17/2003).

Penganggaran mempunyai tiga tahapan, yaitu (1) perumusan proposal anggaran, (2) pengesahan proposal anggaran, (3) pengimplementasian anggaran yang telah ditetapkan sebagai produk hukum (Samuels, 2000). Von Hagen (2005) dalam Darwanto (2007) menyatakan bahwa penganggaran dibagi ke dalam empat

tahapan, yaitu executive planning, legislative approval, executive implementation, and ex post accountability. Pada tahapan executive planning dan legislative approval terjadi interaksi antara eksekutif dengan legislatif dimana politik

anggaran paling mendominasi, sementara pada tahapan executive implementation dan ex post accountability hanya melibatkan birokrasi sebagai agent.


(17)

2.1.2 Proses Penyusunan Anggaran di Indonesia

Perubahan paradigma baru dalam pengelolaan dan penganggaran daerah merupakan akibat dari penerapan otonomi daerah di Indonesia. Penganggaran kinerja ( performance budgeting) merupakan konsep dalam penganggaran yang menjelaskan keterkaitan antara pengalokasian sumberdaya dengan pencapaian hasil yang dapat diukur. Proses penyusunan APBD dimulai dengan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), selanjutnya RPJMD dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) untuk periode 1 tahun. Berdasarkan RKPD tersebut, Pemerintah Daerah menyusun Kebijakan Umum Anggaran (KUA) yang dijadikan dasar dalam penyusunan APBD. Kemudian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menerima penyerahan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang sebelumnya disusun oleh Pemda untuk disetujui. Setelah Pemda menyetujui PPAS, selanjutnya disusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang kemudian disahkan menjadi APBD (PP No.58/2005).

2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita diproduksi dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita (Boediono, 1985). Satu-satunya ukuran yang paling penting dalam konsep ekonomi adalah produk domestik bruto (PDB) yang mengukur total nilai barang dan jasa yang dihasilkan pada suatu negara atau nasional dan PDRB untuk mengukur total nilai barang dan jasa yang dihasilkan pada suatu daerah atau lokal. PDB digunakan untuk banyak tujuan tetapi yang paling penting adalah untuk mengukur ke seluruh performa dari


(18)

suatu perekonomian (Samuelson, 2004).

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dari seluruh kegiatan perekonomian di suatu daerah. Penghitungan PDRB menggunakan dua macam harga yaitu harga berlaku dan harga konstan. PDRB atas harga berlaku merupakan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada tahun bersangkutan, sementara PDRB atas dasar harga konstan dihitung dengan menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai tahun dasar dan saat ini menggunakan tahun 2000 (BPS 2003).

Penghitungan PDRB dapat dilakukan dengan dua metode pendekatan yakni: a. Pendekatan Produksi

Pendekatan ini disebut juga pendekatan nilai tambah dimana Nilai Tambah Bruto (NTB) diperoleh dengan cara mengurangkan nilai output yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan ekonomi dengan biaya antara dari masing-masing nilai produksi bruto tiap sektor ekonomi. Nilai tambah merupakan nilai yang ditambahkan pada barang dan jasa yang dipak ai oleh unit produksi dalam proses produksi sebagai input antara. Nilai yang ditambahkan ini sama dengan balas jasa faktor produksi atas ikut sertanya dalam proses produksi.

b. Pendekatan pendapatan

Pada pendekatan ini, nilai tambah dari kegiatan-kegiatan ekonomi dihitung dengan cara menjumlahkan semua balas jasa faktor produksi yaitu upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung neto. Untuk sektor

pemerintahan dan usaha-usaha yang sifatnya tidak mencari untung, surplus usaha (bunga neto, sewa tanah dan keuntungan) tidak diperhitungkan. berlaku dengan


(19)

jumlah penduduk pada tahun bersangkutan dapat digunakan untuk membanding tingkat kemakmuran suatu daerah dengan daerah lainnya. Perbandingan PDRB atas dasar harga berlaku terhadap PDRB atas dasar harga konstan dapat juga digunakan untuk melihat tingkat inflasi atau deflasi yang terjadi (BPS , 2003) Dalam penelitian ini PDRB yang digunakan adalah PDRB Harga Konstan. PDRB atas dasar harga konstan menunjukan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar

penghitungannya. Harga konstan dapat digunakan untuk mengetahuipertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Dengan demikian, PDRB merupakan

indikator untuk mengatur sampai sejauh mana keberhasilan pemerintah dalam memanfaatkan sumber daya yang ada, dan dapat digunakan sebagai perencanaan dan pengambilan keputusan.

Salah satu alat ukur yang digunakan dalam mengukur nilai uang dari barang dan jasa adalah menggunakan harga pasar untuk barang dan jasa yang berbeda

(Samuelson, 2004). Berdasarkan teori tersebut peneliti menggunakan PDRB harga konstan sebagai alat ukur untuk menilai pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan semakin tinggi tingkat pertumbuhan perekonomian tentu akan mengakibatkan bertumbuhnya investasi modal swasta maupun pemerintah. Hal inilah mengakibatkan pemerintah lebih leluasa dalam menyusun anggaran belanja modal.

2.1.4. Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah adalah salah satu sumber penerimaan yang harus selalu terus menerus di pacu pertumbuhannya. Dalam otonomi daerah ini kemandirian


(20)

pemerintah daerah sangat dituntut dalam pembiayaan pembangunan daerah dan pelayaan kepada masyarakat. Oleh sebab itu pertumbuhan investasi di pemerintah kabupaten dan kota di Lampung perlu diprioritaskan karena diharapkan

memberikan dampak positif terhadap peningkatan perekonomian regional.

Menurut Halim (2004: 67), "Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pasal 157 UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2004 menjelaskan bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri:

1. Pajak Daerah, 2. Retribusi Daerah,

3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, 4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah.

Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Pasal 1, “Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang asli digali di daerah yang digunakan untuk modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat.

Menurut Mardiasmo (2002: 132), Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.


(21)

Menurut Halim (2004: 96) kelompok Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan:

a. Pajak Daerah.

Sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009 jenis pendapatan pajak untuk kabupaten/ kota terdiri dari:

1) Pajak hotel, 2) Pajak restoran, 3) Pajak hiburan, 4) Pajak reklame,

5) Pajak penerangan jalan,

6) Pajak pengambilan bahan galian golongan C, 7) Pajak Parkir.

8) Pajak Air Tanah.

9) Pajak Sarang Burung Walet.

10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. b. Retribusi Daerah.

Retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari retribusi. Terkait dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 jenis pendapatan retribusi untuk kabupaten/kota meliputi objek pendapatan yang terdiri dari 29 objek. c. Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan.

Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini dirinci menurut objek pendapatan yang


(22)

mencakup:

1) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD. 2) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/BUMD. 3) Bagian laba penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau

kelompok usaha masyarakat. d. Lain-lain PAD yang sah.

Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik Pemda. Rekening ini disediakan untuk mengakuntansikan penerimaan daerah selain yang disebut di atas. Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut:

1) Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan. 2) Jasa giro.

3) Pendapatan bunga.

4) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah.

5) Penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan pengadaan barang, dan jasa oleh daerah.

6) Penerimaan keuangan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.

7) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan. 8) Pendapatan denda pajak.

9) Pendapatan denda retribusi.

10) Pendapatan eksekusi atas jaminan. 11) Pendapatan dari pengembalian. 12) Fasilitas sosial dan umum.


(23)

13) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan. 14) Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.

Secara konseptual, perubahan pendapatan akan berpengaruh terhadap belanja atau pengeluaran, namun tidak selalu seluruh tambahan pendapatan tersebut akan dialokasikan dalam belanja.

Abdullah & Halim (2004) menemukan bahwa sumber pendapatan daerah berupa PAD dan dana perimbangan berpengaruh terhadap belanja daerah secara

keseluruhan. Meskipun proporsi PAD maksimal hanya sebesar 10% dari total pendapatan daerah, kontribusinya terhadap pengalokasian anggaran cukup besar, terutama bila dikaitkan dengan kepentingan politis (Abdullah, 2004).

2.1.5. Dana Bagi Hasil

DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun 2004).

DBH yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdiri dari dua (2) jenis, yaitu DBH pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA). Pola bagi hasil penerimaan tersebut dilakukan dengan prosentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil. Penerimaan DBH pajak bersumber dari: 1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), (2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan (3) Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh WPOPDN) dan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21). Sedangkan penerimaan DBH SDA bersumber dari: (1) Kehutanan, (2) Pertambangan Umum,


(24)

(3) Perikanan, (4) Pertambangan Minyak Bumi, (5) Pertambangan Gas Bumi, dan (6) Pertambangan Panas Bumi Prinsip otonomi daerah sendiri adalah prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang.

Berdasarkan Undang - Undang No.32 Tahun 2004, sebagai konsekuensi dari kewenangan otonomi yang luas, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil, merata, dan berkesinambungan. Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah mampu mengelola potensi daerahnya yaitu potensi SDA, sumber daya manusia (SDM), dan potensi sumber daya keuangan secara optimal. Setiap daerah dituntut untuk lebih meningkatkan kemampuan sumber daya manusia untuk dapat menggali potensi yang ada dan mengelolanya sehingga pendapatan daerah dapat terus meningkat dan ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan

pemerintah pusat dapat berkurang. Melalui bagi hasil penerimaan negara tersebut, diharapkan potensi penerimaan daerah menjadi semakin meningkat dan daerah merasakan bahwa haknya atas pemanfaatan SDA yang dimiliki

masing-masing daerah diperhatikan oleh pemerintah pusat.

2.1.6. Dana Alokasi Umum

Dalam pengaturan keuangan menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 adalah provisi berupa transfer antar pemerintah dari pusat ke kabupaten dan kota yang disebut dengan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana Alokasi Umum adalah merupakan transfer yang bersifat umum ( block grant) yang diberikan kepada


(25)

semua kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-pinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak dari pada daerah kaya. Dengan kata lain tujuan alokasi DAU adalah dalam rangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar pemda di Indonesia (Kuncoro, 2004).

Secara definisi DAU dapat diartikan sebagai berikut:

1. Salah satu komponen dari dana perimbangan pada APBN, yang

pengalokasiannya didasarkan atas konsep kesenjangan fiskal yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapital fiskal.

2. Instrumen untuk mengatasi horizontal balance yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dan penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah.

3. Equalization grant berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak dan bagi hasil SDA yang diperoleh daerah (Kuncoro, 2004).

Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya di dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, hal tersebut

merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan didalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dan pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan dana ini apakah untuk memberi


(26)

pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat atau untuk keperluan lain yang tidak penting. DAU merupakan salah satu alat bagi pemerintah pusat sebagai alat pemerataan pembangunan di Indonesia yang bertujuan untuk mengurangi

ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25% dari

Penerimaan Dalam Negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini sesuai dengan prinsip fiscal gap yang dirumuskan oleh

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan yang sejalan dengan Sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Propinsi, Kabupaten dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep fiscal gap, di mana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal needs) dan potensi daerah (fiscalcapacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah/gap yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada.

Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini beberapa daerah, khususnya daerah yang kaya sumber daya alam dapat memperoleh DAU yang negatif.


(27)

Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan oleh Holtz-Eakin et.al., (1985) dalam Situngkir (2009) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja pemerintah daerah. Secara spesifik mereka menegaskan bahwa variabel-variabel kebijakan pemerintah daerah dalam jangka pendek disesuaikan ( adjusted) dengan transfer yang diterima, sehingga memungkinkan terjadinya respon yang non-linier dan asymmetric

2.1.7. Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan di bawah rata-rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat yang telah merupakan urusan daerah. DAK merupakan dana yang berasal dari APBN dan dialokasikan ke daerah kabupaten/kota untuk membiayai kebutuhan tertentu yang sifatnya khusus, tergantung tersedianya dana dalam APBN (Suparmoko, 2002). Kebutuhan khusus adalah kebutuhan yang sulit diperkirakan dengan rumus alokasi umum, dan atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

Kebijakan DAK secara spesifik: (www.depkeu.djpk.go.id)

1. Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan di bawah rata-rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan penyediaan


(28)

urusan daerah;

2. Menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah

tertinggal/terpencil, daerah rawan banjir/longsor, serta termasuk kategori daerah ketahanan pangan dan daerah pariwisata;

3. Mendorong peningkatan produktivitas perluasan kesempatan kerja dan

diversifikasi ekonomi terutama di pedesaan, melalui kegiatan khusus di bidang pertanian, kelautan dan perikanan, serta infrastruktur;

4. Meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan prasarana dasar melalui kegiatan khusus di bidang pendidikan, kesehatan, dan

infrastruktur;

5. Menjaga dan meningkatkan kualitas hidup, serta mencegah kerusakan

lingkungan hidup, dan mengurangi risiko bencana melalui kegiatan khusus di bidang lingkungan hidup, mempercepat penyediaan serta meningkatkan cakupan dan kehandalan pelayanan prasarana dan sarana dasar

6. Mendukung penyediaan prasarana di daerah yang terkena dampak pemekaran pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi melalui kegiatan khusus di bidang prasarana pemerintahan;

7. Meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari DAK dengan kegiatan yang didanai dari anggaran Kementerian/Lembaga dan kegiatan yang didanai dari APBD;

8. Mengalihkan secara bertahap dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah menjadi urusan daerah ke DAK. Dana yang dialihkan berasal dari anggaran Departemen Pekerjaan


(29)

Umum, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Kesehatan. 2.1.8. Belanja Modal dalam Anggaran Daerah

Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak berwujud (PP Nomor 71 Tahun 2010). Dengan kata lain belanja modal dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya

menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Belanja Modal dapat dikategorikan dalam 5 (lima) kategori utama:

1. Belanja Modal Tanah

Belanja Modal Tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk

pengadaan/pembeliaan/pembebasan penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertipikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai.

2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin

Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan kapasitas

peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai.


(30)

3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan

Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan termasuk

pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.

4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan

Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian/peningkatan pembangu- nan/pembuatan serta perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan,

pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah

kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai. 5. Belanja Modal Fisik Lainnya

Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian/peningkatan pembangunan/pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainnya yang tidak dapat dikategorikan kedalam criteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan, termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah.

Aset tetap merupakan prasayarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Untuk menambah aset tetap, pemerintah daerah


(31)

mengalokasikan dana dalam bentuk belanja modal dalam APBD. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintahan daerah, sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara finansial.

Menurut Halim (2004), belanja modal merupakan belanja yang manfaatnya

melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah serta akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan. Munir (2003) dalam Situngkir (2009) juga menyatakan menyatakan hal sama. Bahwa belanja modal memiliki karakteristik spesifik menunjukkan adanya berbagai pertimbangan dalam pengalokasiannya.

2.1.9. Hubungan Keagenan dalam Penganggaran Pemerintah Daerah

Teori keagenan yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori keagenan menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh prinsipal. Menurut Ross (1973) contoh-contoh hubungan keagenan sangat universal.

Para teoretisi berpegang pada proposisi bahwa agents behave opportunistically toward principals. Sementara Elgie & Jones (2000) menyatakan adanya principal


(32)

drift, yakni ketika prinsipal tidak mematuhi kesepakatan pendelegasian yang telah dibuat.

Hubungan prinsipal-agen terjadi whenever one individual’s actions have an effect on another individual atau whenever one individual depends on the action of another (Gilardi, 2001). Stiglitz (1999) menyatakan bahwa masalah keagenan terjadi pada semua organisasi, baik publik maupun privat.Menurut Andvig et al. (2001) principal-agent model sangat berguna dalam menjelaskan masalah insentif dalam institusi publik, karena dua hal: (1) terdapat beberapa prinsipal dengan masing-masing tujuan dan kepentingan yang tidak koheren dan (2) prinsipal bisa berlaku korup dan tidak bertindak sesuai kepentingan masyarakat, tetapi mengejar kepentingannya sendiri.

Teori keagenan berfokus pada persoalan asimetri informasi: agents mempunyai informasi lebih banyak tentang kinerja aktual, motivasi, dan tujuannya yang sesungguhnya, yang berpotensi menciptakan moral hazard dan adverse selection. Prinsipal sendiri harus mengeluarkan biaya (costs) untuk memonitor kinerja agents dan menentukan struktur insentif dan monitoring yang efisien. Adanya asimetri informasi di antara eksekutif-legislatif dan legislatif-pemilih

menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunistik dalam proses penyusunan anggaran, yang justru lebih besar daripada di dunia bisnis yang memiliki automatic checks berupa persaingan.

Menurut Moe (1984) dan Strom (2000), hubungan keagenan dalam penganggaran publik adalah antara (1) pemilih-legislatur, (2) legislatur-pemerintah, (3) menteri keuangan-pengguna anggaran, (4) perdana menteri-birokrat, dan (5) pejabat-pemberi pelayanan. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Gilardi (2001), yang


(33)

melihat hubungan keagenan sebagai hubungan pendelegasian (chains of delegation).

2.1.9.1 Hubungan Keagenan antara Eksekutif dan Legislatif

Dalam hubungan keagenan antara eksekutif dan legislatif, eksekutif (Pemda) bertindak sebagai agen dan legislatif (DPRD) bertindak sebagai prinsipal. Pemda menyusun anggaran daerah dalam bentuk RAPBD yang selanjutnya diserahkan kepada DPRD untuk diperiksa. Jika RAPBD telah sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), maka pihak legislatif (DPRD) akan melakukan pengesahan RAPBD menjadi APBD. Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah oleh pihak legislatif (DPRD) dijadikan alat kontrol untuk mengawasi kinerja pihak eksekutif (Pemda).

2.1.9.2 Hubungan Keagenan antara Legislatif dan Publik

Dalam hubungan antara legislatif dan publik, legislatif (DPRD) bertindak sebagai agen dan publik bertindak sebagai prinsipal. Menurut Von Hagen (2003) bahwa hubungan yang terjadi antara publik dan legislatif pada dasarnya menunjukkan bagaimana publik memilih politisi untuk membuat keputusan-keputusan tentang belanja publik dan memberikan dana dengan membayar pajak. Kemudian legislatif terlibat dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam anggaran, maka DPRD diharapkan mewakili kepentingan publik. Jadi walaupun legislatif menjadi pihak prinsipal, disisi lain dapat bertindak senagai agen dalam hubungannya dengan publik. Sehingga legislatif menempatkan dirinya sebagai pihak yang menerima tugas dari publik, dan melakukan pendelegasian kepada eksekutif untuk menjalankan penganggaran.


(34)

2.1.10. Hubungan Keagenan dalam Penyusunan Anggaran Daerah di Indonesia

Penyusunan APBD yang dibuat antara eksekutif dan legislatif berpedoman pada Kebijakan Umum APBD dan Plafon Anggaran. Pihak eksekutif membuat rancangan APBD yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai Perda. Dalam perspektif keagenan, APBD merupakan bentuk kontrak yang dijadikan alat oleh legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif (Darwanto, 2007).

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini diantaranya. Harahap (2009) melakukan penelitian tentang pengaruh Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam terhadap Belanja Modal pada

Kabupaten dan Kota di Sumatera Utara menemukan besarnya Dana Bagi Hasil Pajak berpengaruh positif terhadap belanja modal sedangkan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam tidak berpengaruh positif terhadap belanja modal .

Maimunah (2006) melakukan penelitian tentang Flypaper Effect pada DAU dan PAD terhadap belanja daerah Kabupaten/Kota di Sumatera dan menemukan besarnya nilai DAU dan PAD berpengaruh positif terhadap belanja daerah dan ada Pengaruh flypaper effect dalam memprediksi belanja daerah periode ke depan. Darwanto (2007) meneliti Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD, dan DAU terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal dengan mengambil sampel


(35)

Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi, PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhadap anggaran belanja modal. Sedangkan secara parsial PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhdap anggaran belanja modal, sedangkan pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh.

Situngkir (2009) meneliti Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU dan DAK terhadap Anggaran Belanja Modal dengan mengambil sampel Kabupaten/Kota di Sumatra Utara, menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi, PAD DAU dan DAK berpengaruh signifikan terhadap anggaran belanja modal. Sedangkan secara parsial PAD, DAU dan DAK berpengaruh signifikan terhdap anggaran belanja modal, sedangkan pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh.

Beberapa penelitian sebelumnya yang dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu Nama

Peneliti/Tahun

Judul Penelitian Variabel yang digunakan

Hasil Penelitian Harahap

(2009)

Pengaruh Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam terhadap Belanja Modal pada

Kabupaten dan Kota di Sumatera Utara

Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam

Dana Bagi Hasil Pajak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal sedangkan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.


(36)

Maimunah (2006)

Flypaper Effect Pada DAU dan PAD Terhadap Belanja Daerah Kabupaten/ Kota di Sumatera

DAU PAD

Belanja Daerah

Besarnya nilai DAU dan PAD berpengaruh positif terhadap

Belanja daerah dan ada

Pengaruh flypaper effect dalam memprediksi Belanja Daerah periode ke depan. Darwanto

(2007)

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD, Dan DAU terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Pertumbuhan Ekonomi PAD DAU Anggaran Belanja Modal

PE, PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhadap variabel BM. Secara parsial PAD dan DAU

berpengaruh signifikan,

sedangkan PE tidak berpengaruh. Anggiat Situngkir

(2009)

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU dan DAK terhadap Anggaran Belanja Modal Pada Pemko/Pemkab Sumatra Utara Pertumbuhan Ekonomi PAD DAU DAK Anggaran Belanja Modal

PE, PAD, DAU, dan DAK berpengaruh signifikan terhadap variabel BM. Secara parsial PAD, DAU dan DAK

berpengaruh signifikan,

sedangkan PE tidak berpengaruh. Sumber: Review dari beberapa artikel

2.3 Hipotesis Penelitian

2.3.1 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Anggaran Belanja Modal Kebijakan otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus tiap-tiap daerah. Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta


(37)

masyarakat. Tetapi, kemampuan daerah yang satu dengan daerah yang lainnya dalam mengelola potensi lokalnya dan ketersediaan sarana prasarana serta sumber daya sangat berbeda. Perbedaan ini dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang beragam antara satu daerah dengan daerah lainnya (Nugroho, 2005).

Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan output perkapita yang diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto. Pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk peningkatan ekonomi yang berkelanjutan. Menurut penelitian Lin dan Liu (2000) bahwa upaya desentralisasi memberikan pengaruh yang sangat berarti terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Oates (1995) dalam Lin dan Liu (2000)

membuktikan bahwa antara desentralisasi dengan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif dan signifikan. Darwanto (2007) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pembanguan. Faktor-faktor tersebut antara lain sumber daya alam, tenaga kerja, investasi modal, kewirausahaan, transportasi, komunikasi, komposisi sektor industri, teknologi, pasar ekspor, situasi perekonomian internasional, kapasitas pemerintah daerah, pengeluaran pemerintah dan dukungan pembangunan.

Berdasarkan landasan teori dan argumen di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kebijakan otonomi daerah mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Dimana pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah berbeda-beda sesuai dengan potensi tiap-tiap daerah. Sehingga semakin tinggi tingkat

pertumbuhan perekonomian tentu akan mengakibatkan bertumbuhnya investasi modal swasta maupun pemerintah. Hal inilah yang mengakibatkan pemerintah


(38)

lebih leluasa dalam menyusun anggaran belanja modal. Oleh karena itu, untuk hipotesis pertama dinyatakan sebagai berikut :

Ha1 : Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap anggaran Belanja Modal.

2.3.2 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap anggaran Belanja Modal Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanakan kebijakannya sebagai daerah otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut dalam

menghasilkan pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan asli daerah yang diterima, maka semakin besar pula kewenangan pemerintah daerah tersebut dalam melaksanakan kebijakan otonomi. Pelaksanaan otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Salah satu cara untuk meningkatkan pelayanan publik dengan melakukan belanja untuk kepentingan investasi yang direalisasikan melalui belanja modal.

Menurut Mardiasmo (2002: 132), Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak berwujud (Halim, 2004).

Darwanto (2007) menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal. Temuan ini dapat mengindikasikan


(39)

bahwa besarnya PAD menjadi salah satu faktor penentu dalam menentukan belanja modal. Hal ini sesuai dengan PP No 58 tahun 2005 yang menyatakan bahwa APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan daerah dalam menghasilkan pendapatan. Setiap penyusunan APBD, alokasi belanja modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah dengan mempertimbangkan PAD yang diterima. Sehingga apabila Pemda ingin meningkatkan belanja modal untuk pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, maka Pemda harus menggali PAD yang sebesar-besarnya.

Berdasarkan landasan teori dan beberapa hasil penelitian diatas maka hipotesis berikutnya adalah sebagai berikut :

Ha2 : Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap anggaran Belanja Modal.

2.3.3 Pengaruh Dana Bagi Hasil terhadap Anggaran Belanja Modal

Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun 2004). Secara teoritis Pemerintah daerah akan mampu menetapkan belanja modal yang semakin besar jika anggaran DBH semakin besar pula, begitupun Sebaliknya semakin kecil belanja modal yang akan ditetapkan jika anggaran DBH semakin kecil. DBH berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. Hasil penelitian Harahap (2009), menunjukkan bahwa secara simultan Dana Bagi Hasil berpengaruh secara positif terhadap Belanja Modal, sedangkan secara parsial Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal.


(40)

Berdasarkan landasan teori dan beberapa hasil penelitian diatas maka hipotesis berikutnya adalah sebagai berikut:

Ha3 : Dana Bagi Hasil berpengaruh positif terhadap anggaran Belanja Modal

2.3.4 Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Anggaran Belanja Modal Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan. Pelaksanaan desentralisasi dilakukan dengan pemerintah pusat menyerahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan

mengurus sendiri daerahnya. Wujud desentralisasi yaitu pemberian dana

perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan ini bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (UU No. 33/2004). Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Hasil penelitian Darwanto (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara DAU dengan belanja modal. Penelitian empiris yang dilakukan oleh Holtz-Eakin et. Al. (1985) dalam Hariyanto Adi menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara dana transfer dari pemerintah pusat dengan belanja modal. Prakosa (2004) memperoleh bukti empiris bahwa jumlah belanja modal dipengaruhi oleh dana Dana Alokasi Umum yang diterima dari pemerintah pusat. Hasil penelitan Harianto dan Adi (2007) semakin memperkuat bukti

empiris tersebut. Mereka menemukan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi lebih baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu ketergantungan


(41)

tinggi. Hal ini memberikan adanya indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah khususnya belanja modal akan sangat dipengaruhi sumber penerimaan DAU. Berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan semakin tinggi DAU maka alokasi belanja modal juga meningkat. Hal ini disebabkan karena daerah yang memiliki pendapatan (DAU) yang besar maka alokasi untuk anggaran belanja daerah (belanja modal) akan meningkat. Hipotesis berikutnya adalah sebagai berikut : Ha4 : Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap anggaran Belanja

Modal

2.3.5 Pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap Anggaran Belanja Modal Salah satu perwujudan pelaksanaan otonomi daerah adalah desentralisasi.

Pelaksanaan desentralisasi dilakukan oleh pemerintah pusat dengan memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahnya. Urusan pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah disertai dengan penyerahan keuangan yang terwujud dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah (UU No.33/2004).

Dana perimbangan merupakan perwujudan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah. Salah satu dana perimbangan adalah Dana Alokasi Khusus, DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan prioritas nasional. Tujuan DAK untuk mengurangi beban biaya kegiatan khusus yang harus ditanggung oleh pemerintah daerah. Pemanfaatan DAK diarahkan kepada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan,

peningkatan, perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan publik dengan umur ekonomis panjang. Dengan diarahkannya pemanfaatan DAK untuk kegiatan


(42)

tersebut diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik yang direalisasikan dalam belanja modal. Penelitian yang dilakukan oleh Situngkir (2009) Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif dan signifikan terhadap anggaran belanja modal. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara pemberian dana transfer dari pemerintah pusat (DAK) dengan alokasi anggaran pengeluaran daerah melalui belanja modal. Berdasarkan landasan teori dan penemuan empiris tersebut maka menghasilkan hipotesis sebagai berikut :

Ha5 : Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif terhadap anggaran Belanja Modal

2.4 MODEL PENELITIAN

Ha1 Ha2 Ha3 Ha4 Ha5

Gambar 3.1. Model Penelitian

Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita diproksi dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita (Boediono, 1985).

PAD adalah pendapatan asli daerah yang berasal dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah

Pertumbuhan Ekonomi (PE) (X1)

Pendapatan Asli Daerah (PAD) (X2)

Anggaran Belanja Modal (ABM)

(Y) Dana Alokasi

Umum(DAU) (X4) Dana Alokasi Khusus(DAK) (X5) Dana Bagi


(43)

(Mardiasmo, 2002).

Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun 2004).

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah merupakan transfer yang bersifat umum (block grant) untuk mengatasi masalah ketimpangan horizontal (antar daerah) dengan tujuan utama pemerataan kemampuan keuangan antar daerah (UU No.33 Tahun 2004).

DAK adalah merupakan transfer yang bersifat khusus untuk mengatasi masalah khusus dengan dana pendampingan dari APBN dengan tujuan utama

pembangunan nasiona l (UU No.33 Tahun 2004).

Anggaran Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak berwujud (PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah). Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk kualitas pelayanan publik. Besarnya belanja modal yang dialokasikan pemerintah daerah dalam APBD tentu sangat dipengaruhi oleh posisi keuangan pada daerah tersebut.


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pemerintahan Kota/Kabupaten di Provinsi Lampung berjumlah 14 kabupaten dan kota. Sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Lampung pada tahun 2008-2012. Data sampel diambil dengan menggunakan purposive sampling dengan kriteria yaitu:

1. Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung yang mempublikasikan laporan keuangannya secara konsisten dari tahun 2008-2012.

2. Pemerintah daerah kabupaten dan kota yang tidak dimekarkan pada kurun waktu 2008 -2012.

Dari 14 daerah kota dan kabupaten yang dijadikan populasi, hanya sebanyak 10 yang memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai sampel penelitian. Sumber data dari dokumen laporan realisasi APBD yang diperoleh dari situs Dirjen Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah melalui website

www.djpk.depkeu.go.id. Dari laporan realisasi APBD tahun 2008-2012 dapat diperoleh data mengenai jumlah anggaran Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS).


(45)

3.2. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder bersumber dari dokumen laporan realisasi APBD yang diperoleh dari situs Dirjen Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah melalui www.depkeu.djpk.go.id. Dari laporan realisasi APBD ini diperoleh data mengenai jumlah anggaran belanja modal, dana alokasi umum, dana alokasi khusus. Variabel Pertumbuhan Ekonomi yang

diproksikan oleh PDRB dan PAD bersumber dari BPS Lampung melalui www.bps.go.id/lampung.

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.3.1 Variabel Penelitian

Variabel adalah apa pun yang dapat membedakan atau membawa variasi pada nilai (Sekaran, 2002). Penelitian yang dilakukan adalah penelitian asosiatif kausal, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menganalisis hubungan antara dua variabel dengan variabel lainnya atau bagaimana suatu variabel mempengaruhi variabel lainnya (Sekaran, 2002 : 30). Pengujian ini untuk menganalisis secara empiris mengenai pengaruh pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum terhadap belanja langsung.

3.3.1.1 Variabel Bebas (Independen)

Ghozali (2005) menjelaskan bahwa disebut variabel independen karena veriabel ini

tidak dipengaruhi oleh variabel antiseden (sebelumnya). Variabel independen yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK).


(46)

3.3.1.2 Variabel Terikat (Dependen)

Ghozali (2005) menjelaskan bahwa disebut variabel dependen karena variabel ini dipengaruhi variabel sebelumnya. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah

belanja modal.

3.3.2 Definisi Operasional

Definisi operasional variabel adalah suatu definisi yang diberikan pada suatu variabel atau dengan cara memberikan arti atau menspesifikasikan kegiatan ataupun

membenarkan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut (Sekaran, 2002).

Variabel Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan output per kapita (Boediono, 1985). Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian daerah dalam suatu tahun tertentu. Pertumbuhan Ekonomi diukur dengan rumus :

Dimana dalam pengukurannya menggunakan skala rasio. (Sumber : UU No. 33 tahun 2004).

Variabel Pendapatan Asli Daerah menurut UU No. 33 Tahun 2004 adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah asli yang digali di daerah tersebut untuk digunakan sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat.

Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil

Pertumbuhan Ekonomi = (�����−�����−1) x 100%


(47)

pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Variabel Pendapatan Asli daerah diukur dengan rumus :

(Sumber : UU No. 33 tahun 2004).

Variabel Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun 2004).

Variabel Dana Alokasi Umum (DAU) adalah transfer yang bersifat umum dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengatasi ketimpangan horizontal dengan tujuan utama pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. Dana Alokasi Umum untuk masing-masing Kabupaten / Kota dapat dilihat dari pos dana perimbangan dalam Laporan Realisasi APBD. Rumusan alokasi Dana Alokasi Umum untuk daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota dapat dinyatakan sebagai berikut :

Dimana,

(Sumber : UU No. 33 tahun 2004).

Variable Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas

PAD = Pajak Daerah + Retribusi Daerah + Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan + Lain-lain PAD yang Sah

DAU = Celah Fiskal + Alokasi Dasar


(48)

nasional. Dana Alokasi Khusus untuk masing-masing Kabupaten / Kota dapat dilihat dari pos dana perimbangan dalam Laporan Realisasi APBD.

Variabel dependen yang digunakan adalah belanja modal. Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode

akuntansi. Belanja modal meliputi belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak berwujud. Indikator variabel ini diukur dengan :

(Sumber : UU No. 33 tahun 2004).

3.4. Metode Analisis 3.4.1. Statistik Deskriptif

Penyajian statistik deskriptif bertujuan untuk melihat profil dari data penelitian tersebut dengan hubungan yang ada antar variabel yang digunakan dalam penelitian tersebut. Dalam penelitian ini variabel yang digunakan adalah

Pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Belanja Modal.

3.4.2. Uji Asumsi Klasik

Sebelum dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis regresi maka diperlukan pengujian asumsi klasik meliputi:

1. Uji Normalitas bertujuan untuk mengetahui distribusi data dalam variabel yang Belanja Modal = Belanja Tanah + Belanja Peralatan dan Mesin +

Belanja Gedung dan Bangunan + Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan + belanja Aset Lainnya


(49)

digunakan dalam penelitian. Data yang baik dan layak digunakan dalam penelitian adalah data yang memiliki distribusi normal (Nugroho, 2005).

Untuk menguji apakah distribusi normal atau tidak dapat dilihat melalui normal probability plot dengan membandingkan distribusi kumulatif dan distribusi normal. Data normal akan membentuk satu garis lurus diagonal, dan ploting data akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data adalah normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya (Ghozali, 2005).

2. Uji Multikolinieritas, diperlukan untuk mengetahui apakah ada tidaknya

variable independen yang memiliki kemiripan dengan variabel independen lain dalam satu model (Nugroho, 2005: 58). Selain itu deteksi terhadap

multikoliniearitas juga bertujuan untuk menghindari bias dalam proses pengambilan keputusan mengenai pengaruh pada uji parsial masing-masing variabel independen terhadap variable dependen. Deteksi multikolinieritas pada suatu model dapat dilihat jika nilai Variance Inflation Factor (VIF) tidak lebih dari 10 dan nilai Tolerance tidak kurang dari 0,1, maka model tersebut dapat dikatakan terbebas dari multikolinieritas. VIF = 1/Tolerance, jika VIF = 10 maka Tolerance = 1/10 = 0,1.

3. Uji Heteroskedastisitas, bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi perbedaan variance residual suatu periode pengamatan ke periode pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah model regresi yang memiliki kesamaan variance residual suatu periode pengamatan dengan pengamatan yang lain, atau homokesdastisitas. Menurut Ghozali (2005: 107) model regresi yang baik adalah model yang homoskesdatisitas atau tidak


(50)

terjadi heteroskedastitas. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya

heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan dengan Uji Glesjer. Asumsi utama Uji Glesjer yaitu dengan melakukan regresi variabel independen terhadap residual (Ghozali, 2005: 111).

4. Uji Autokorelasi, dilakukan untuk mengetahui apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dan dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Pengujian asumsi ketiga ini, dilakukan dengan menggunakan uji Durbin Watson (Durbin-Watson Test), yaitu untuk menguji apakah terjadi korelasi serial atau tidak dengan menghitung nilai d statistik. Salah satu pengujian yang digunakan untuk mengetahui adanya autokorelasi adalah dengan memakai uji statistik Durbin.Watson (DW test), dimana hasil pengujian ditentukan

berdasarkan nilai Durbin-Watson (Wardani, 2008). Tabel 3.1

Kriteria Autokorelasi Durbin-Watson

DW Kesimpulan

< 1,414 Ada autokorelasi positif

1,414 - 1,724 Tanpa kesimpulan

1,724 - 2,276 Tidak ada autokorelasi

2,276 - 2,586 Tanpa kesimpulan

> 2,586 Ada auotokorelasi negative


(51)

3.4.3. Model Pengujian Hipotesis 3.4.3.1 Uji Regresi Berganda

Regresi linier berganda adalah untuk menguji pengaruh dua variabel atau lebih variabel independen terhadap satu variabel dependen (Ghozali, 2005). Variabel independen dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi, PAD, DBH, DAU dan DAK. Sedangkan variabel dependennya adalah Anggaran Belanja Modal. Adapun persamaan untuk menguji hipotesis pada penelitian iniadalah sebagai berikut:

Model regresi yang digunakan adalah:

Y = α + β1PE_PDRB + β2PAD + β3DBH + β4DAU + β5DAK + e

Dimana :

Y = Anggaran Belanja Modal (ABM) α = Konstanta

β = Slope atau Koefisien Regresi

PE_PDRB = Pertumbuhan Ekonomi _Produk Domestik Regional Bruto PAD = Pendapatan Asli Daerah (PAD)

DBH = Dana Bagi Hasil (DBH) DAU = Dana Alokasi Umum (DAU) DAK = Dana Alokasi Khusus (DAK) e = error

Regresi linier berganda pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel bebas yang dimaksudkan dalam model mempunyai pengaruh secara simultan terhadap variabel dependen. Pengujian dilakukan dengan menggunakan significance level


(52)

0,05 (α=5%). Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel independen yang diuji secara bersama – sama (simultan) berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel dependen. Pengujian hipotesis terhadap koefisien regresi linier berganda secara simultan dilakukan uji t pada tingkat keyakinan 95% dan tingkat kesalahan dalam analisis (α) = 5%.

Kriteria pengambilan keputusan atas uji t antara variabel independen terhadap variabel dependen yaitu:

Probabilities value (p) > 0,05 maka Ha ditolak. Artinya tidak ada pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan.

Probabilities value (p) < 0,05 maka Ha diterima. Artinya ada pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan.

3.4.3.2 Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi bertujuan untuk menguji tingkat keeratan atau keterikatan antarvariabel dependen dan variabel independen yang bisa dilihat dari besarnya nilai koefisien determinan determinasi (adjusted R-square).Nilai koefisien

determinasi adalah antara nol dan satu (Ghozali, 2005). Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen sangat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen (Ghozali, 2005).


(53)

3.4.3.3 Uji F

Output hasil uji F dilihat untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung secara simultan (Gujarati, 1999). Pedoman untuk menerima atau menolak hipotesis sebagai berikut :

Probabilities value (p) > 0,05 maka Ha ditolak. Artinya

tidak ada pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan.

Probabilities value (p) < 0,05 maka Ha diterima. Artinya ada

pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan.

3.4.3.4 Uji t

Uji Statistik t untuk menguji secara parsial antara variabel bebas terhadap variabel terikat dengan asumsi bahwa variabel lain dianggap konstan dengan tingkat keyakinan 95% (α =0,05). Output hasil uji t dilihat untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara individu terhadap variabel dependen, dengan menganggap variable independen lainnya konstan (Gujarati, 1999). Penetapan untuk mengetahui hipotesis diterima atau ditolak yaitu :

Probabilities value (p) > 0,05 maka Ha ditolak. Artinya

tidak ada pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan.

Probabilities value (p) < 0,05 maka Ha diterima. Artinya ada pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan.


(1)

68

5.3. Saran

1. Bagi peneliti berikutnya dimasa mendatang agar dapat memperluas atau menambah sampel penelitian seperti sampel dari luar Lampung atau seluruh Indonesia dengan menambah periode pengamatan.

2. Peneliti berikutnya sebaiknya menambah variabel atau faktor-faktor lain yang mempengaruhi anggaran belanja modal seperti kebijakan pemerintah daerah. 3. Pemerintah Daerah sebaiknya lebih mengoptimalkan potensi ekonomi lokalnya

untuk menambah penerimaan daerah sehingga tercipta kemandirian daerah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya sehingga pada akhirnya

ketergantungan padaPemerintah Pusat bisa dikurangi.Pemerintah Daerah harus lebih dapat mengefisienkan jumlah pegawai yangdimilikinya dengan cara lebih fokus pada kualitas pegawai daripada kuantitasnya dan pemanfaatan teknologi, dengan begitu diharapkan Pemerintah bisa lebih menekan anggaran belanja pegawai yang selama ini menjadi pengeluaran terbesar Pemerintah.

Penghapusan honor belanja pegawai yang melekat pada pos belanja langsung atau lebih spesifik pada belanja modal dapat lebih mengefisienkan pengeluaran belanja modal.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Syukriy. 2004. Perilaku Oportunistik Legislatif dalam Penganggaran Daerah: Pendekatan Principal-Agent Theory. Makalah disajikan pada Seminar Antarbangsa di Universitas Bengkulu. Bengkulu. 4-5 Oktober 2004.

Allen, Richard dan Tommasi, Daniel, 2001. Managing a Public Expenditure: A Reference Book for Transition Coutries. OECD Paris.

Andvig, Jens Chr., Odd-Helge Fjeldstad, Inge Amundsen, Tone Sissener & Tina Søreide. 2001. Corruption: A review of contemporary research. Chr. Michelsen Institute Development Studies and Human Rights Report R 2001: 7. Web: http//www.cmi.no.

BAPPENAS. 2003. Peta Kemampuan Keuangan Propinsi dalam Era Otonomi Daerah: Tinjauan Atas Kinerja PAD dan Upaya yang Dilakukan Daerah. Direktorat Jenderal Pengembangan Otonomi Daerah. Jakarta.

Budiono, 1985. Pengantar Ilmu Ekonomi No. 4. BPFE. Yogyakarta.

Darwanto dan Yustikasari, Yulia. 2007. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar. Departemen Keuangan RI. Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan

Keuangan Daerah 2009. www.depkeu.djpk.go.id. akses 05 Juni 2009. Elgie, Robert & Erik Jones. 2000. Agents, Principals and the Study of Institutions:

Constructing a Principal-Centered Account of Delegation. Working documents in the Study of European Governance Number: 5. Center for the Study of European Governance (CSEG).

Fozzard, Adrian. 2001. The basic budgeting problem: Approaches to resource allocation in the public sector and their implications for pro-poor budgeting.

Center for Aid and Public Expenditure, Overseas Development Institute (ODI). Working paper 147. www.odi.org.uk/resources/odipublications/ working-papers/147-resource-allocation-public-sector-pro-poorbudgeting. pdf diakses 1 April 2009.

Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Edisi III,1-52, 79-134, 251-258, Badan Penerbit UNDIP. Semarang.


(3)

Gilardi, Fabrizio. 2001. Principal-agent models go to Europe: Independent regulatory agencies as ultimate step of delegation. Paper presented at the ECPR General Conference, Canterbury (UK), 6-8 September 2001.

Gujarati, Damodar N. (1999). Essentials Econometrics 2th edition. Mc-Graw Hill Book Company. New York.

Halim, Abdul & Syukriy Abdullah. 2004. Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Pemda: Studi Kasus Kabupaten dan Kota di Jawa dan Bali. Jurnal Ekonomi STEI No.2/Tahun XIII/25. Halim, Abdul & Syukriy Abdullah. 2006. Hubungan dan Masalah Keagenan

di Pemerintahan Daerah: Sebuah Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi. Jurnal Akuntansi Pemerintah 2(1): 53-64.

Hair, et al. 1988. Multivariate Data Analisys, Fifth Edition, Prentice-Hall International. New Jersey.

Harahap, Alfan H. 2009. Pengaruh Dana Bagi Hasil Pajak Dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Terhadap Belanja Modal Pada Kabupaten Dan Kota Di Sumatera Utara. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Harianto, David dan Priyo Hari Adi. 2007. Hubungan antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Per Kapita. Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar.

Holtz-Eakin, Doglas, Harvey S & Schuyley Tilly, 1985. Intempora Analysis of StateA Local Government Spending: Theory and Tests. Journal of Urban Economics 35: 159 – 174.

Keefer, Philip and Khemani, Democracy, Public Expenditures, and the Poor, 2003, Word Bank Policy Research Working Paper 3164.

Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Lane, Jan-Erik. 2003. Management and public organization: The principal-agent framework. University of Geneva and National University of Singapore. Working paper.

Lee, Robert D. Jr. & Ronald W. Johnson. 1998. Public Budgeting Systems. Sixth edition. Gaithersburg, Maryland: Aspen Publishers, Inc.

Lupia, Arthur & Mathew McCubbins. 2000. Representation or abdication? How citizens use institutions to help delegation succeed. European Journal of Political Research 37: 291-307.


(4)

Lin, Justin Yifu dan Zhiqiang Liu. 2000. Fiscal Decentralization and Economic Growth in China, Economic Development and Cultural Change, Chicago. http://www3.nccu.edu.tw/~jthuang/Fiscal%20Decentralization%20and%2 0Economic%20Growth.pdf diakses 1 April 2009.

Magner, Nace & Gary G. Johnson. 1995. Municipal officials’ reactions to justice in budgetary resource allocation. Public Administration Quarterly (Winter): 439-456.

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi. Yogyakarta.

Maimunah, Mutiara. 2006. “Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Daerah Studi Kasus Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera“. Simposium Nasional Akuntansi XI, 1- 26.

Moe, T. M. 1984. The new economics of organization. American Journal of Political Science 28(5): 739-777.

Nugroho, Bhuono, Agung. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian Dengan SPSS, Edisi I. Andi. Yogyakarta.

Oates, Wallace E. 1995. Comment on “Conflic and Dillemas of Decentralization” by Rudolf Holmes. The world Bank Research Observer.

Prakoso, Kesit Bambang. 2004. Analisis pengaruh dana alokasi umum (dau) dan pendapatan asli daerah (pad) terhadap prediksi belanja daearah (studi empirik di wilayah propinsi jawa tengah dan DIY). Jurnal Akuntansi & Auditing Indonesia, 8, 101-118.

Republik Indonesia. Himpunan Undang-Undang Republik Indonesia. Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. Jakarta. 2004.

_____________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta.

_____________. Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta.

_____________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta.


(5)

_____________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta.

_______________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah. Departemen Komunikasi dan informatika. Jakarta.

_______________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta.

_____________. Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 1999 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Anggaran. Citra Umbara. Bandung.

_____________. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

_____________. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah.

Ross, Stephen A. 1973. The economic theory of agency: The principal’s problem. American Economic Review 63(2): 134-139.

Rubin, Irene S. 1993. The Politics of Public Budgeting: Getting and Spending, Borrowing and Balancing. Second edition. Chatam, NJ: Chatham House Publishers, Inc.

Samuels, David. 2000. Fiscal horizontal accountability? Toward theory of budgetary checks and balances. in presidential systems. University of Minnesota, Working paper presented at the Conference on Horizontal Accountability in New Democracies, University of Notre Dame, May. Samuelson, Paul. 2004. Ilmu Makro Ekonomi, Edisi 17 (terjemahan). Penerbit

Media Global Edukasi. Jakarta.

Santoso. 2005. Statistik Parametrik. Penerbit Elex Media Computindo. Jakarta. Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam

Otonomi. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.

Sekaran, Uma. 2002. Research Methods for Business (A Skill Building Approach). Second Edition. John Wiley & Sons. New York.

Sianipar, Eva Septriani. 2011. “Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Dana Perimbangan Terhadap Pengalokasian Belanja Modal Pada Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara”. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.


(6)

Sidik, Machfud, Raksaka Mahi, Robert Simanjuntak dan Bambang Brodjonegoro. 2002. Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.

Situngkir, Anggiat. 2009. Pengaruh pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus terhadap anggaran belanja modal pada pemko/pemkab sumatera utara. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Stine, William F.1994. Is Local Goverment Revenue Response it Federal Aid Symetrical? Evidence From Pennsylvania Country Goverment in an Era Of Retrenchment. National Tax Journal 47. Nomor.4. Hal:799-816 Stiglitz, Joseph E. 1999. Economics of the Public Sector. Third edition. New

York: W.W. Norton & Company.

Strom, K. 2000. Delegation and accountability in parliamentary democracies. European Journal of Political Research 37: 261-289.

Suparmoko. 2002. Ekonomi Publik Untuk Keuangan Dan Pembangunan Daerah. Andi. Yogyakarta.

Wandira, Arbie G. 2012. Pengaruh PAD, DAU, DAK dan DBH terhadap Pengalokasian belanja modal pada Pemerintah Propinsi Se-Indonesia. Jurnal Ekonomi Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang, Indonesia.

Wong, John D. 2004. The Fiscal Impact of Economic Growth and Development on Local Government Capacity, Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management. Fall. 16.3. Hal : 413-423.

Von, Hagen, 2005, Political Economy of Fiscal Institutions, Discussion paper 149, Governance and efficiency of Economic System, GESY.

Yovita, Farah Marta. 2011. “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi Empiris pada Pemerintah Provinsi Se Indonesia Periode 2008 –2010)”. Diponegoro Jurnal Of Accounting. Semarang: UNDIP.

Zainuddin et al., 2002. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

www.bps.go.id/lampung


Dokumen yang terkait

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA BAGI HASIL, DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP ANGGARAN BELANJA MODAL PADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA Se- PROPINSI LAMPUNG

1 44 61

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP BELANJA DAERAH DI PEMERINTAH PROVINSI LAMPUNG (TAHUN 2001-2012)

0 19 77

PENGARUH DANA ALOKASI UMUM DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP ALOKASI BELANJA DAERAH Di KABUPATEN LAMPUNG TENGAH

1 32 60

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP BELANJA DAERAH PADA KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI ACEH

0 0 7

1 PENGARUH LATAR BELAKANG PENDIDIKAN KEPALA DAERAH, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DI SUMATERA

1 2 28

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP BELANJA MODAL PADA PROVINSI JAWA TENGAH

1 1 13

View of PENGARUH RASIO EFEKTIVITAS PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP TINGKAT KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DI PROVINSI DIY

0 0 10

PENGARUH PAJAK DAERAH, RETRIBUSI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP BELANJA MODAL di D.I YOGYAKARTA TAHUN 2012-2016

0 9 15

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DAN DANA BAGI HASIL TERHADAP BELANJA MODAL (STUDI PADA KABUPATENKOTA DI WILAYAH ACEH)

0 1 9

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD), DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL Se-Provinsi Sumatera Utara 2007-2010

0 0 12