Pembangunan Perubahan Iklim dan Kemiskin

(1)

Pembangunan, Perubahan Iklim dan Kemiskinan

Oleh: Rany Purnama Hadi

Hubungan Internasional, Universitas Airlangga ranyphadi@gmail.com

I. Pendahuluan

Perubahan iklim merupakan salah satu gejala lingkungan yang menjadi perhatian internasional saat ini. Hal ini dikarenakan, perubahan iklim tidak hanya mempengaruhi temperature suhu bumi yang berdampak pada sisem biologis saja, tetapi juga memberi pengaruh terhadap kondisi sosial masyarakat. Pengaruh terhadap kondisi sosial masyarakat ini disebabkan karena perubahan iklim juga mengurangi intensitas hujan di beberapa wilayah sehingga menyebabkan terganggunya akses akan air bersih, kesehatan, dan nutrisi. Pengaruh ini tentu saja akan menjadi ancaman khususnya bagi negara yang menggantungkan ekonominya kepada agrikultur1. Tidak hanya itu, perubahan iklim juga menyebabkan krisis lingkungan yang berdampak pada keamanan manusia. Meski kepedulian terkait perubahan iklim dan lingkungan sudah mulai banyak dibicarakan dalam forum internasional, akan tetapi tidaklah mudah untuk mencapai koordinasi yang baik dalam pembuatan keputusan terkait respon terhadap ancaman perubahan iklim. Hal ini dikarenakan, negara-negara umumnya terbentur permasalahan prioritas pembangunan seperti pertumbuhan ekonomi yang mana hal tersebut cenderung berlawanan dengan penyelamatan lingkungan2.

Pembahasan terkait isu lingkungan dan pengembangan ekonomi umumnya diwarnai dengan adanya perdebatan antara negara industrialis dan negara berkembang atau yang lebih dikenal dengan North-South debate. Perdebatan ini dimulai sejak tahun 1972 setelah adanya UN Conference on the Human Environment di Stockholm dimana masyarakat dunia mulai memperhatikan dampak dari industrialisasi dan pembangunan terhadap keamanan lingkungan. Isu lingkungan sendiri sebenarnya telah menjadi agenda dalam pembicaraan internasional sejak dikeluarkannya mandat oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) di       

1 Berdasarkan penjabaran yang dikemukakan oleh Mohamed Salih, adanya ancaman perubahan iklim terhadap

pembangunan adalah dampak yang diberikan kepada negara-negara yang menggantungkan ekonominya kepada sektor-sektor yang sangat dipengaruhi oleh iklim seperti sektor agrikultur. Baca Salih, M.A. Mohamed. Climate Change and Sustainable Development - New Challenges for Poverty Reduction. Cheltenham & Northampton: Edward Elgar Publishing, 2009.

2 Munasinghe, Mohan, and Rob Swart. Primer on Cllimate Change and Sustainable Development - Facts, policy


(2)

tahun 1969 yang kemudian menghasilkan dua buah perjanjian terkait stabilitas lingkungan dan pembangunan yakni; Founex Report on Development on Environment di tahun 1971, dan dilanjutkan dengan UN Conference on the Human Environment di tahun 1972 yang selanjutnya menjadi awal mula hukum lingkungan internasional3. Pada konferensi PBB di tahun 1972 tersebut, selanjutnya dihasilkan sebuah konsep terkait usaha untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan industri tanpa memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan4. Meski demikian, pada saat itu, perjanjian yang dibentuk belum melibatkan aspek ekonomi dan sosial yang seharusnya turut diperhatikan dalam sebuah pembangunan, serta bagaimana pengaruhnya terhadap lingkungan. Perjanjian 1972 tersebut ditentang oleh negara berkembang karena dirasa kerusakan lingkungan yang terjadi merupakan akibat dari indrustrialisasi sehingga bukan menjadi perhatian utama dari negara-negara berkembang yang mana belum maju dalam hal industri.

Selanjutnya ditahun 1992, diadakan konferensi lingkungan oleh PBB bernama United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio, Brasil, yang mana konferensi ini berusaha menjembatani perdepatan antara negara maju dan negara berkembang dengan mengangkat konsep sustainable development. Menurut Brundtland Report, definisi dari sustainable development adalah proses pembangunan guna memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini, tanpa membahayakan generasi mendatang dalam memperoleh kebutuhan mereka kelak5. Dengan kata lain, sustainable development dapat diartikan sebagai usaha pembangunan ekonomi dan sosial masayarakat yang dilakukan tanpa membahayakan keberlangsungan lingkungan di masa kini dan mendatang. Dengan adanya konsep ini, maka setiap negara diwajibkan untuk memperhatikan dan berkomitmen terhadap perlindungan lingkungan dalam aktivitas pembangunan, terutama negara-negara berkembang yang merupakan negara dengan kapasitas sumber daya alam yang jauh lebih banyak dari negara maju.

Akan tetapi, pada kenyataannya, konferensi Rio ini nampaknya belum mampu memberikan jalan tengah bagi negara-negara maju atau idustrialis dan negara-negara       

3 Dalam Beyerlin dijelaskan bahwa keprihatinan yang muncul dari negara-negara akibat adanya kerusakan

lingkungan yang disebabkan oleh pembangunan dan industrialisasi memunculkan konferensi pada tahun 1971. Akan tetapi pada awalnya konferensi ini hanya dihadiri oleh beberapa pemerintah negara saja. Kemudian satu tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1972, PBB membentuk UN Conference on the Human Environment di Stockholm. Meski pada tahun ini pembentukan treaty masih didominasi oleh negara-negara industrial, akan tetapi pertemuan di Stockholm menjadi awal mula terbentuknya hukum untuk melindungi lingkungan. Baca dalam Beyerlin, Ulrich. "Bridging the North-South Divide in International Environmental Law." 2006: 259-261.

4 Adams, W.M. The Future of Sustainability: Re-thinking Environment and Development in the Twenty-first

Century. IUCN The World Conservation Union, 2006.


(3)

berkembang. Negara-negara berkembang merasa bahwa keputusan ini tidak memberikan keadilan bagi pembangunan ekonomi dan sosial di negara mereka. Ada dua pendapat yang kemudian muncul dari negara-negara berkembang terkait perdebatan tersebut, yakni pertama, mereka menganggap bahwa yang seharusnya paling bertanggung jawab dalam perlindungan terhadap lingkungan adalah negara maju atau negara industrialis. Sebagai contohnya, Di awal tahun 2000an, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan China yang merupakan negara maju dan negara industrialis merupakan kontributor terbesar penghasil emisi gas CO2 di dunia, yang mana gas tersebut dianggap sebagai penyebab permasalahan lingkungan yang mengakibatkan perubahan iklim6. Oleh karena demikian, negara-negara berkembang berasumsi bahwa seharusnya yang menjadi penanggung jawab paling besar dari perubahan iklim adalah negara-negara maju. Pendapat kedua, konsep ini dianggap hanya merupakan sebuah eco-imperialism dimana negara maju membatasi kebebasan negara-negara berkembang untuk memanfaatkan sumber daya alam mereka guna pembangunan negara7. Permasalahan yang muncul dari perdebatan ini adalah adanya kebimbangan dari pihak negara-negara berkembang yang dihadapkan pada dua sisi dimana mereka harus memilih untuk berkomitmen dalam melindungi lingkungan, atau tetap mengeksplorasi pembangunan ekonominya dan meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Hal ini menjadi masalah karena dengan adanya aturan terkait perlindungan lingkungan, maka negara-negara berkembang tidak dapat melakukan eksplorasi sumber daya secara besar-besaran dan menggunakannya dalam proses pembangunan ekonomi untuk merantas kemiskinan sebagaimana yang dilakukan oleh negara maju dulu. Hal inilah yang kemudian penyebabkan penanganan terkait isu lingkungan tidak dapat dengan mudah dilakukan.

II. Perdebatan Isu Lingkungan dan Perubahan Iklim

Isu lingkungan, yang seringkali dikaitkan dengan adanya perubahan iklim bumi, menjadi sebuah pembicaraan yang masih menuai kontroversi diantara aktor-aktor politik dunia. Penyebabnya adalah dampak yang dihasilkan dari adanya perubahan iklim tersebut tidaklah sama diberbagai belahan dunia. Perbedaan ini selanjutnya mempengaruhi respon yang diberikan oleh pemerintah setempat. Meski demikian, menurut PBB, sebagai lembaga pemerintahan internasional, isu tentang lingkungan dan perubahan iklim merupakan hal yang       

6 Kaskinen, Tuuli, Olli Alanen, Aleksi Neuvonen, and Pirkka Aman. No Development Without Adressing

Climate Change. Working Papers, Helsinki: Kepa Service Centre For Development Cooperation, 2009.


(4)

penting untuk menjadi perhatian karena pengaruhnya terhadap kondisi ekonomi, sosial, politik, dan keamanan masyarakat global8.

Perubahan iklim, merupakan sebuah permasalahan lingkungan dimana emisi gas CO2 yang memberikan efek rumah kaca menyebabkan peningkatan suhu bumi menjadi lebih hangat sehingga mempengaruhi pola siklus atau kondisi iklim yang terjadi di bumi. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC, yang menjadi dampak utama dari adanya perubahan iklim adalah peningkatan temperatur yang sangat tinggi, munculnya gelombang panas, serta adanya cuaca ekstrem seperti badai dan kekeringan dengan intensitas yang lebih tinggi9. Kondisi alam yang tidak menentu dengan intensitas cuaca ekstrem yang tinggi ini kemudian akan berpengaruh pada kegiatan pertanian atau agrikultur yang mana sangat bergantung pada cuaca yang selanjutnya berpengaruh terhadap aktivitas perekonomian khususnya di negara-negara yang berbasis pada agrikultur dalam sistem ekonominya. Tidak hanya bagi pertanian dan perekonomian, perubahan iklim juga memberikan dampak terhadap keberlangsungan hidup manusia dimana kondisi bumi yang semakin hangat dapat berpotensi memunculkan kekeringan, perkembangbiakan virus penyakit yang semakin besar, dan peningkatan level air laut akibat mencairnya es di kutub yang dapat menenggelamkan beberapa wilayah di dunia yang memiliki ketinggian tidak jauh dari permukaan air laut10. Disamping itu, beberapa spesies juga dapat terancam punah akibat hilangnya habitat mereka akibat kerusakan alam.

Meskipun asumsi terhadap dampak perubahan iklim terhadap kondisi dunia dan manusia telah banyak dikemukakan oleh beberapa institusi seperti PBB, World Bank, IPCC, dan khususnya organisasi atau aktivis lingkungan, akan tetapi masih banyak pro dan kontra terkait permasalahan ini. Menurut Robert Mendelsohn dari Commision on Groth and Development berbagai perdebatan dapat muncul jika menyikapi isu perubahan iklim dan lingkungan11. Hal pertama yang menjadi topik pembicaraan adalah mengenai kebijakan yang harus dibentuk untuk menyikapi perubahan iklim. Pendapat mengenai kebijakan ini terbagi       

8 Dalam working paper yang dikeluarkan oleh Bank Dunia pada tahun 2003, dijelaskan mengenai dampak dari

perubahan iklim terhadap proses pemberantasan kemiskinan, yang mana kemudian juga akan memberikan pengaruh terhadap kesuksesan dari pembangunan. Baca dalam World Bank. Poverty and Climate Change. Working Paper, World Bank, 2003.

9 Kaskinen, Tuuli, et al. 2009.

10 Mendelsohn, Robert. Climate Change and Economic Growth. Working Papers No.60, Washington, DC: The

World Bank Commission on Growth and Development, 2009.

11 Dalam Mendelsohn dijelaskan yang menjadi permasalahan negara-negara dalam menghadapi isu perubahan

iklim adalah mengenai bagaimana dampak sesungguhnya dari perubahan iklim tersebut. Adanya persepsi yang dikemukakan oleh pemerintah akan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan sebagai bentuk respon terhadap perubahan iklim. Baca Mendelsohn, Robert. Climate Change and Economic Growth. Working Papers No.60, Washington, DC: The World Bank Commission on Growth and Development, 2009.


(5)

menjadi dua kubu yakni antara kelompok ekonom dan kelompok scientist dan environmentalis. Dalam tulisannya yang berjudul Climate Change and Economic Growth12, Mendelsohn mengungkapkan bahwa kalangan ekonomom umumnya berpendapat bahwa pembuatan kebijakan bagi penanganan atau mitigasi terhadap dampak dari perubahan iklim haruslah memperhitungkaan untung dan rugi yang mungkin terjadi. Dalam perumusan kebijakan, kalangan ekonom berasumsi bahwa seharusnya mitigasi perubahan iklim sebaiknya dilakukan secara seimbang, perlahan dan berkembang setiap tahunnya. Sedangkan kelompok environmentalis pada umumnya mengingankan program atau kebijakan mitigasi yang dilakukan secepatnya sebelum bencana besar yang diakibatkan oleh perubahan iklim terjadi.

Perbedaan dalam melihat keseriusan isu lingkungan dan perubahan iklim ini tentu saja akan berdampak pada kebijakan seperti apa yang seharusnya diambil oleh pemerintah dalam menghadapi permasalahan perubahan iklim yang juga akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Para ilmuan dan kelompok environmentalis melihat perubahan iklim adalah suatu hal yang emergency atau darurat dimana penanganan cepat dari pemerintah dan masyarakat internasional harus segera dilakukan. Isu-isu seperti penyakit, bencana kekeringan dan kelangkaan air, serta peningkatan air laut yang terjadi semakin cepat akibat melelehnya es di Kutub menjadi dasar dari argument mereka. Pengangkatan isu-isu seperti inilah yang disanggah oleh kelompok ekonom ataupun pihak-pihak yang kontra dengan merubahan iklim. Menurut mereka, fenomena perubahan iklim yang terjadi saat ini memang perlu untuk diperhatikan, akan tetapi kemungkinan untuk terjadi bencana besar sebagaimana yang diungkapkan oleh pihak-pihak yang pro-perubahan iklim sangatlah kecil13. Kalaupun memang hal itu akan terjadi, menurut mereka itu akan membutuhkan bahwa puluhan tahun bahkan berabad-abad untuk terjadi bahkan jika dibiarkan tanpa adanya mitigasi. Dan hal itu tidak akan terjadi karena manusia akan menemukan cara untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Seiring dengan berkembangnya dunia, manusia akan menemukan teknologi dan kemampuan yang lebih baik untuk membantu mereka mengatasi dan beradaptasi dengan permasalahan lingkungan.

Dalam aspek ekonomi sendiri, perubahan iklim hanya memberikan sedikit dampak terhadap keseimbangan ekonomi global. Menurut penelitian ekonomi, dampak yang dihasilkan oleh perubahan iklim hanya sebesar 5% dari ekonomi global dan prosentase ini       

12 Ibid. 13 Ibid.


(6)

semakin berkurang setiap tahunnya14. Perubahan iklim hanya akan mempengaruhi sepersekian persen aspek dalam ekonomi global yang memang sangat rawan terhadap kondisi lingkungan ekosistem seperti pertanian, kelautan, energi, kehutanan, pariwisata, dan pengairan dimana aspek-aspek ini bukanlah aspek dominan dalam ekonomi global. Kebanyakan sektor dalam global ekonomi bukanlah hal-hal yang rentan atau sensitif dengan dampak perubahan iklim. Sehingga negara-negara yang memungkinkan terpengaruh oleh perubahan iklim adalah negara-negara yang murni menggantungkan ekonomi mereka kepada sektor yang sensitif terhadap perubahan iklim.

Selanjutnya yang menjadi perdebatan adalah dampak yang dihasilkan oleh perubahan iklim berbeda-beda pada tiap negara atau kawasan, yang kemudian turut mempengaruhi penilaian pemerintah terhadap penting atau tidaknya isu perubahan iklim15. Dijelaskan oleh Mendelson, berdasarkan agricultural studies di Amerika Serikat, dampak yang diperoleh negara-negara yang beriklim lembab atau mid-latitude dari perubahan iklim justru memberikan keuntungan tersendiri bagi negara-negara tersebut. Sedangkan negara-negara agrikultur seperti negara-negara Afrika, Amerika latin dan Cina yang cenderung memiliki iklim pada low-latitude merupakan negara yang paling besar mengalami dampak dari perubahan iklim karena cuaca yang terlalu panas akan berdampak buruk pada aktifitas agrikultur di negara-negara tersebut. Meski demikian, beberapa ahli berpendapat bahwa dampak cuaca panas di negara-negara low-latitude dapat mengalami penurunan mengingat masyarakat dan petani-petani di negara tersebut sudah banyak yang mulai menggunakan peralatan atau teknologi yang membuat mereka dapat beradaptasi dengan perubahan iklim yang ada. Kemampuan manusia untuk beradaptasi inilah yang memungkinkan penurunan resiko yang dapat dihasilkan dari perubahan iklim terhadap kondisi masyarakat.

III. Perubahan Iklim, Kemiskinan dan Dampaknya bagi Pembangunan

Diskursus lain mengenai perubahan iklim dalam sistem internasional adalah mengenai keterkaitannya dengan kemiskinan dan pembangunan. Salah satu hal yang menjadi indikator dari suksesnya sebuah pembangunan adalah kemampuan untuk mengatasi kemiskinan. Oleh       

14 Mendelson menjelaskan bahwa pada kenyataannya, perubahan iklim tidaklah memiliki pengaruh yang besar

terhadap aspek ekonomi global. Prosentase pengaruh dari perubahan iklim hanya sebesar 5% dari keseluruhan sektor ekonomi global. Hal ini dikarenakan, yang paling terkena dampak dari perubahan iklim adalah sektor-sektor yang memang rentan terhadap kondisi lingkungan. Yang mana, sektor-sektor-sektor-sektor tersebut bukanlah sektor-sektor dominan dalam ekonomi global. Baca dalam Mendelsohn, Robert. Climate Change and Economic Growth. Working Papers No.60, Washington, DC: The World Bank Commission on Growth and Development, 2009.


(7)

karenanya, kemiskinan menjadi salah satu faktor yang sangat penting dalam program pembangunan. Dalam hal ini, perubahan iklim dan isu-isu terkait lingkungan dianggap sebagai salah satu faktor yang menghambat pemberantasan kemiskinan. Akan tetapi perubahan iklim tidak dipandang sebagai suatu faktor yang menyebabkan kemiskinan, melainkan sebagai pendorong untuk semakin memperburuk kemiskinan yang telah terjadi. Perubahan iklim yang juga dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem karena adanya kekeringan, bencana alam, kelangkaan sumber daya alam maupun bencana-bencana lainnya menyebabkan kemiskinan semakin diperparah akibat ketidakmampuan masyarakat miskin untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada16.Masyarakat dan komunitas miskin yang sebagian besar berada di negara berkembang, adalah kelompok yang paling susah untuk dapat menanggulangi konsekuensi ekonomi dan sosial dari guncangan serta dampak negatif yang dihasilkan oleh perubahan iklim17. Kondisi ini menyebabkan mereka semakin terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan menjadi penghalang bagi pembangunan. Hal ini selanjutnya semakin memperlebar jarak antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin.

Pada level negara, negara-negara yang menjadi perhatian dari dampak perubahan iklim dan kemiskinan adalah negara berkembang.Negara-negara berkembang adalah wilayah yang paling besar menerima dampak dari perubahan iklim dikarenakan miskin dan terbatasnya pengetahuan, teknologi, ekonomi dan infrastruktur untuk membantu mereka dalam menghadapi dampak yang dihasilkan oleh cuaca ekstrim18. Negara berkembang merupakan negara yang pada umumnya sangat mengantungkan ekonomi mereka pada sektor agrikultur, kelautan, atau pariwisata, yang mana merupakan sektor-sektor yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Rendahnya difersifikasi ekonomi ini menyebabkan negara-negara berkembang tidak memiliki banyak pilihan untuk menghadapi permasalahan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Selain itu, kemampuan negara-negara berkembang untuk terlepas dari jerat kemiskinan pada awalnya memang sudah mengalami kendala dengan banyaknya tren-tren penyebab kemiskinan seperti kepadatan penduduk, HIV/AIDS, dan tekanan akibat globalisasi. Dan perubahan iklim dapat memperburuk tren-tren yang sudah terjadi sehingga

      

16 World Bank. Poverty and Climate Change. Working Paper, World Bank, 2003.

17Turner dan Fisher menjelasakan bahwa masyarakat miskin, khususnya yang berada di negara berkembang,

merupakan masyarakat yang paling rentan terhadap dampak dari perubahan iklim. Kondisi ini dikarenakan, masayrakat miskin tidak memiliki fasilitas atau teknologi yang dapat membantu mereka untuk dapat beradaptasi dengan adanya perubahan iklim. Baca dalam Turner, Kerry, and Brendan Fisher. "An ecosystems services approach: Income, inequality and poverty." In Climate Change and Sustainable Development - New Challenges for Poverty Reduction, by M.A. Mohamed Salih, 156-178. Cheltenham & Northampton: Edward Elgar, 2009


(8)

menyebabkan negara-negara tersebut semakin rentan19. Meskipun secara global negara berkembang akan menerima dampak terburuk dari perubahan iklim dan cuaca ekstrem, akan tetapi besar kecilnya dampak ini juga dipengaruhi oleh tingkat pembangunan ekonomi yang mereka miliki. Sebagai contohnya, negara-negara berkembang di Asia yang memiliki infrastruktur dan kondisi ekonomi yang lebih stabil daripada negara-negara berkembang Afrika akan memiliki respon yang berbeda terhadap ancaman dari perubahan iklim yang melanda negara mereka.

IV. Mitigasi Internasional terkait Perubahan Iklim dan Pembangunan

Dalam mengatasi permasalahan yang dihasilkan oleh perubahan iklim dan pembangunan, Perserikatan Bangsa-Bangsa bekerjasama dengan Bank Dunia dan IMF membentuk sebuah program pembangunan bernama Millennium Development Goals (MDGs) dan dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) dimana isu lingkungan menjadi salah satu isu yang diperhitungkan dalam pelaksanaan pembangunan.

Pada September 2000, negara-negara di dunia mengadopsi sebuah rancangan pembangunan bernama UN Millennium Declaration sebagai sebuah komitmen dan upaya untuk mengurangi kemiskinan, memajukan persamaan hak dan meciptakan perdamaian, serta menegakkan demokrasi dan ketahanan lingkungan20. Komitmen ini kemudian diwujudkan dengan pembentukan Millennium Development Goals (MDGs) yang mengikat negara-negara untuk mau dan terlibat secara aktif dalam pemberantasan kemiskinan, ketidaksetaraan gender, kerusakan lingkungan, dan kekurangan atas pendidikan, kesehatan dan air bersih di dunia dalam kurun waktu 15 tahun. Ada delapan sasaran pembangunan dan 18 target yang menjadi tujuan dari MDGs dimana salah satunya, yakni pada sasaran ke-7 isu lingkungan menjadi tujuan pembangunan yang difokuskan pada penyediaan air bersih dan sanitasi. Guna mencapai ambisi pembangunan dalam MDGs, PBB melakukan strategi dengan melakukan official development assistance (ODA) oleh negara-negara maju terhadap negara-negara yang menjadi prioritas dalam MDGs. Pada Monterrey Conference on Financing for Development di tahun 2002, negara-negara maju (OECD countries), berkomitmen untuk memberikan 0,7% persen dari GNI mereka untuk mendanai asistensi pembangunan di negara-negara       

19 Ibid.

20 UNDP. Summary Human Development Report 2003. Report, UNDP, New York: Oxford University Press,


(9)

berkembang. Jumlah bantuan yang diberikan mencapai $103,9 milyar pertahun di tahun 2006 dan meninkat menjadi $135 milyar per tahun di tahun 2015, yang mana jumlah ini hanya hanya sekitar 0,26% dari total GNI 22 negara OECD. Selain itu, tidak hanya melalui bantuan dari negara-negara maju, MDGs juga menyediakan beberapa kebijakan pembangunan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pembangunan seperti kebijakan bagi para petani untuk meningkatkan produktifitas, investing infrastructure, developing industrial development policy, human rights and social equity, serta kebijakan untuk melestarikan lingkungan.

Selanjutnya pada tahun 2015, PBB kembali membentuk Sustainable Development Goals SDGs sebagai sebuah kelanjutan dari program MDGs yang berakhir pada tahun 2015. Konsep sustainable development dipelopori oleh pelaksanaan ‘Earth Summit’ atau United Nations Conference on Environment and Development di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Konferensi internasional yang dihadiri oleh 170 perwakilan negara, 2.500 NGOs dan 8000 jurnalis ini berusaha untuk memasukkan kajian lingkungan dalam proses pembangunan. tujuan utama dari konferensi ini adalah untuk mengidentifikasi prinsip-prinsip yang diperlukan untuk agenda pembangunan berkelanjutan di masa mendatang21. Berawal dari konferensi inilah pada tahun 2015 program Sustainable Development Goals (SDGs) dimunculkan sebagai upaya untuk pembangunan di masa mendatang. Dengan keberhasilan program MDGs di tahun 2000-2015, menciptakan ambisi baru bagi negara-negara untuk menciptakan sasaran pembangunan baru dimana tidak hanya mengatasi permasalahan pembangunan yang ada saat ini, tetapi juga menjadi investasi pembangunan dimasa mendatang, dengan melihat keterkaitan antara manusia dengan bumi atau lingkungan22. Berbeda dengan MDGs, SDGs berusaha untuk melibatkan partisipasi global, tidak hanya pemerintah dan IGO, melainkan juga NGOs, social movement, civil society, dan individu dalam proses pembangunan.

Definisi dari sustainable development menurut World Commission on Environment and Development (WCED, 1987:43) adalah “Development that meets the needs of the present without compromising the ability of the future generations to meet their own needs.” Berdasarkan definisi tersebut, yang menjadi sasaran dari sustainable development tidak hanya pembangunan di masa sekarang dan masa depan, tetapi juga jaminan pembangunan bagi generasi yang akan datang. Berdasarkan fokus diatas, pada 25 September 2015, negara-negara didunia mulai mengadopsi program Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai       

21 Elliot, Jennifer A. An Introduction to Sustainble Development - Third Edition. New York: Routledge, 2006. 22 UNDP. "Sustainable Development Goals." United Nations, New York, 2015.


(10)

bentuk upaya pembangunan yang didasarkan pada pemberantasan kemiskinan, perlindungan terhadap keberlangsungan alam dan bumi, dan menjamin kemakmuran bagi seluruh masyarakat selama 15 tahun mendatang. Dalam SDGs, terdapat 17 fokus sasaran pembangunan yaitu: 1) No Poverty, 2) Zero Hunger, 3) Good Health and Well being, 4) Quality Education, 5) Gender Equality, 6) Clean Water and Sanitation, 7) Afforadable and Clean Energy, 8) Decent Work and Economic growth, 9) Industry, Innovation and Infrastructure, 10) Reduced Inequalities, 11) Sustainable Cities and Communities, 12) Responsible Consumption and Production, 13) Climate Action, 14) Life Below Water, 15) Life on Land, 16) Peace, Justice and Strong Institution, 17) Partnership for the goals.

Jika dianalisa berdasarkan sasaran SDGs sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, dapat dikatakan bahwa SDGs merupakan program pembangunan kelanjutan dari MDGs yang telah mencapai hasil pada tahun 2015. Program ini dibuat tidak hanya untuk mengurangi permasalahan pembangunan, melainkan juga untuk mengaitkan antara lingkungan, manusia, ekonomi, dan pembangunan agar tercipta proses yang berkelanjutan. SDGs berusaha untuk mengaitkan jaringan antara aspek sosial, lingkungan dan ekonomi dalam pembangunan global. Disamping itu, fokus-fokus yang dibentuk dalam SDGs merupakan tujuan universal dimana hal ini berbeda dengan MDGs yang cenderung lebih banyak diterapkan hanya pada negara berkembang.

Tidak hanya membentuk program-program pembangunan yang peduli terhadap kondisi lingkungan, PBB melalui United Nation Framework on Climate Change atau UNFCCC membentuk Conference of Parties (COP) sebagai wadah bagi negara-negara di dunia untuk bersama-sama mengatasi permasalahan perubahan iklim melalui sebuah konferensi internasional23. Tujuan dari pembentukan COP adalah untuk melalukan pengkajian terhadap implementasi dari Earth Summit yang dilakukan di Rio pada Tahun 1992 terkait perlindungan terhadap lingkungan. Konferensi yang diikuti lebih dari 190 negara ini, pada tahun 2015 lalu melakukan COP ke-21 di Paris, Perancis, dimana pada kesempatan itu dihasilkan sebuah kesepakatan bersama baik negara maju maupun negara berkembang, untuk bersama-sama mengurangi panas bumi menjadi 2 derajat dan mengurangi gas emisi rumah kaca mereka pada tahun 2025 hingga 203024. Kebijakan internasional yang disepakati oleh negara-negara di dunia ini kemudian menjadi salah satu pendorong untuk mengatasi       

23 Data diperoleh dari website resmi United Nations Framework on Climate Change, yang diakses melalui

UNFCCC. COP21 Paris : About. 2015. http://www.cop21paris.org/about/cop21 (accessed July 3, 2016).

24 Data diperoleh dari website COP21 News: What Was COP21? 2015. yang dapat diakses pada


(11)

permasalahan perubahan iklim yang terjadi saat ini, guna meminimalisir dampak dari perubahan iklim di dunia.

V. Kesimpulan

Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian penting dalam pembangunan internasional. Perubahan iklim yang diakibatkan oleh emisi gas karbon yang menyebabkan efek rumah kaca sehingga meningkatkan suhu bumi, mengakibatkan berbagai dampak terhadap lingkungan ekosistem, ekonomi, keamanan dan keselamatan manusia yang berpengaruh terhadap pembangunan. Peningkatan suhu, gelombang panas, dan cuaca ekstrim akibat perubahan iklim memberikan dampak terhadap aktivas sektor-sektor ekonomi yang sensitif terhadap kondisi cuaca dan iklim seperti pertanian, kelautan, perhutanan, dan pengairan. Hal ini kemudian menganggu kestabilan ekonomi negara-negara yang bergantung pada sektor-sektor tersebut.

Tidak hanya dalam hal ekonomi, perubahan iklim juga mendorong semakin buruknya kemiskinan yang terjadi di negara-negara berkembang yang mana memiliki keterbatasan teknologi dan infrastruktur untuk dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Sebagai salah satu faktor yang menjadi indikator keberhasilan dari pembangunan, kemiskinan merupakan hal penting untuk diatasi. Oleh karena itu, segala hal yang menghambat proses pemberantasan kemiskinan seperti perubahan iklim patut mendapatkan perhatian dari pemerintah dan masyarakat global. Meskipun masih mengalami banyak kontroversi mengenai perubahan iklim sebagai suatu isu internasional yang serius, akan tetapi beberapa organisasi dunia melihat isu perubahan iklim merupakan sebuah permasalahan yang perlu dipertimbangkan dalam proses pembangunan. Oleh karena itu, pada tahun 2000 PBB dan beberapa organisasi internasional seperti Bank Dunia dan IMF membentuk Millennium Development Goals yang dilanjutkan oleh Sustainable Develompent Goals di Tahun 2015 sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak perubahan iklim bagi pembangunan.

VI. Referensi  

Adams, W.M. The Future of Sustainability: Re-thinking Environment and Development in the Twenty-first Century. IUCN The World Conservation Union, 2006.


(12)

Beyerlin, Ulrich. "Bridging the North-South Divide in International Environmental Law." 2006: 259-261.

COP21. News: What Was COP21? 2015. http://www.cop21.guv.fr/en/2c-target-result-of-state-contributions/ (accessed July 3, 2016).

Elliot, Jennifer A. An Introduction to Sustainble Development - Third Edition. New York: Routledge, 2006.

Kaskinen, Tuuli, Olli Alanen, Aleksi Neuvonen, and Pirkka Aman. No Development Without Adressing Climate Change. Working Papers, Helsinki: Kepa Service Centre For Development Cooperation, 2009.

Mendelsohn, Robert. Climate Change and Economic Growth. Working Papers No.60, Washington, DC: The World Bank Commission on Growth and Development, 2009. Munasinghe, Mohan, and Rob Swart. Primer on Cllimate Change and Sustainable

Development - Facts, policy analysis, and application. Cambridge: Cambrigde University Press, 2005.

Salih, M.A. Mohamed. Climate Change and Sustainable Development - New Challenges for Poverty Reduction. Cheltenham & Northampton: Edward Elgar Publishing, 2009. Turner, Kerry, and Brendan Fisher. "An ecosystems services approach: Income, inequality

and poverty." In Climate Change and Sustainable Development - New Challenges for Poverty Reduction, by M.A. Mohamed Salih, 156-178. Cheltenham & Northampton: Edward Elgar, 2009.

UNDP. Summary Human Development Report 2003. Report, UNDP, New York: Oxford University Press, 2003.

UNDP. "Sustainable Development Goals." United Nations, New York, 2015.

UNFCCC. COP21 Paris : About. 2015. http://www.cop21paris.org/about/cop21 (accessed July 3, 2016).

World Bank. Poverty and Climate Change. Working Paper, World Bank, 2003.  


(1)

karenanya, kemiskinan menjadi salah satu faktor yang sangat penting dalam program pembangunan. Dalam hal ini, perubahan iklim dan isu-isu terkait lingkungan dianggap sebagai salah satu faktor yang menghambat pemberantasan kemiskinan. Akan tetapi perubahan iklim tidak dipandang sebagai suatu faktor yang menyebabkan kemiskinan, melainkan sebagai pendorong untuk semakin memperburuk kemiskinan yang telah terjadi. Perubahan iklim yang juga dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem karena adanya kekeringan, bencana alam, kelangkaan sumber daya alam maupun bencana-bencana lainnya menyebabkan kemiskinan semakin diperparah akibat ketidakmampuan masyarakat miskin untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada16.Masyarakat dan komunitas miskin yang sebagian besar berada di negara berkembang, adalah kelompok yang paling susah untuk dapat menanggulangi konsekuensi ekonomi dan sosial dari guncangan serta dampak negatif yang dihasilkan oleh perubahan iklim17. Kondisi ini menyebabkan mereka semakin terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan menjadi penghalang bagi pembangunan. Hal ini selanjutnya semakin memperlebar jarak antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin.

Pada level negara, negara-negara yang menjadi perhatian dari dampak perubahan iklim dan kemiskinan adalah negara berkembang.Negara-negara berkembang adalah wilayah yang paling besar menerima dampak dari perubahan iklim dikarenakan miskin dan terbatasnya pengetahuan, teknologi, ekonomi dan infrastruktur untuk membantu mereka dalam menghadapi dampak yang dihasilkan oleh cuaca ekstrim18. Negara berkembang merupakan negara yang pada umumnya sangat mengantungkan ekonomi mereka pada sektor agrikultur, kelautan, atau pariwisata, yang mana merupakan sektor-sektor yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Rendahnya difersifikasi ekonomi ini menyebabkan negara-negara berkembang tidak memiliki banyak pilihan untuk menghadapi permasalahan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Selain itu, kemampuan negara-negara berkembang untuk terlepas dari jerat kemiskinan pada awalnya memang sudah mengalami kendala dengan banyaknya tren-tren penyebab kemiskinan seperti kepadatan penduduk, HIV/AIDS, dan tekanan akibat globalisasi. Dan perubahan iklim dapat memperburuk tren-tren yang sudah terjadi sehingga

      

16 World Bank. Poverty and Climate Change. Working Paper, World Bank, 2003.

17Turner dan Fisher menjelasakan bahwa masyarakat miskin, khususnya yang berada di negara berkembang, merupakan masyarakat yang paling rentan terhadap dampak dari perubahan iklim. Kondisi ini dikarenakan, masayrakat miskin tidak memiliki fasilitas atau teknologi yang dapat membantu mereka untuk dapat beradaptasi dengan adanya perubahan iklim. Baca dalam Turner, Kerry, and Brendan Fisher. "An ecosystems services approach: Income, inequality and poverty." In Climate Change and Sustainable Development - New Challenges for Poverty Reduction, by M.A. Mohamed Salih, 156-178. Cheltenham & Northampton: Edward Elgar, 2009 18World Bank. Poverty and Climate Change. Working Paper, World Bank, 2003.


(2)

menyebabkan negara-negara tersebut semakin rentan19. Meskipun secara global negara berkembang akan menerima dampak terburuk dari perubahan iklim dan cuaca ekstrem, akan tetapi besar kecilnya dampak ini juga dipengaruhi oleh tingkat pembangunan ekonomi yang mereka miliki. Sebagai contohnya, negara-negara berkembang di Asia yang memiliki infrastruktur dan kondisi ekonomi yang lebih stabil daripada negara-negara berkembang Afrika akan memiliki respon yang berbeda terhadap ancaman dari perubahan iklim yang melanda negara mereka.

IV. Mitigasi Internasional terkait Perubahan Iklim dan Pembangunan

Dalam mengatasi permasalahan yang dihasilkan oleh perubahan iklim dan pembangunan, Perserikatan Bangsa-Bangsa bekerjasama dengan Bank Dunia dan IMF membentuk sebuah program pembangunan bernama Millennium Development Goals (MDGs) dan dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) dimana isu lingkungan menjadi salah satu isu yang diperhitungkan dalam pelaksanaan pembangunan.

Pada September 2000, negara-negara di dunia mengadopsi sebuah rancangan pembangunan bernama UN Millennium Declaration sebagai sebuah komitmen dan upaya untuk mengurangi kemiskinan, memajukan persamaan hak dan meciptakan perdamaian, serta menegakkan demokrasi dan ketahanan lingkungan20. Komitmen ini kemudian diwujudkan dengan pembentukan Millennium Development Goals (MDGs) yang mengikat negara-negara untuk mau dan terlibat secara aktif dalam pemberantasan kemiskinan, ketidaksetaraan gender, kerusakan lingkungan, dan kekurangan atas pendidikan, kesehatan dan air bersih di dunia dalam kurun waktu 15 tahun. Ada delapan sasaran pembangunan dan 18 target yang menjadi tujuan dari MDGs dimana salah satunya, yakni pada sasaran ke-7 isu lingkungan menjadi tujuan pembangunan yang difokuskan pada penyediaan air bersih dan sanitasi. Guna mencapai ambisi pembangunan dalam MDGs, PBB melakukan strategi dengan melakukan official development assistance (ODA) oleh negara-negara maju terhadap negara-negara yang menjadi prioritas dalam MDGs. Pada Monterrey Conference on Financing for Development di tahun 2002, negara-negara maju (OECD countries), berkomitmen untuk memberikan 0,7% persen dari GNI mereka untuk mendanai asistensi pembangunan di negara-negara       

19 Ibid.

20 UNDP. Summary Human Development Report 2003. Report, UNDP, New York: Oxford University Press, 2003.


(3)

berkembang. Jumlah bantuan yang diberikan mencapai $103,9 milyar pertahun di tahun 2006 dan meninkat menjadi $135 milyar per tahun di tahun 2015, yang mana jumlah ini hanya hanya sekitar 0,26% dari total GNI 22 negara OECD. Selain itu, tidak hanya melalui bantuan dari negara-negara maju, MDGs juga menyediakan beberapa kebijakan pembangunan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pembangunan seperti kebijakan bagi para petani untuk meningkatkan produktifitas, investing infrastructure, developing industrial development policy, human rights and social equity, serta kebijakan untuk melestarikan lingkungan.

Selanjutnya pada tahun 2015, PBB kembali membentuk Sustainable Development Goals SDGs sebagai sebuah kelanjutan dari program MDGs yang berakhir pada tahun 2015. Konsep sustainable development dipelopori oleh pelaksanaan ‘Earth Summit’ atau United Nations Conference on Environment and Development di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Konferensi internasional yang dihadiri oleh 170 perwakilan negara, 2.500 NGOs dan 8000 jurnalis ini berusaha untuk memasukkan kajian lingkungan dalam proses pembangunan. tujuan utama dari konferensi ini adalah untuk mengidentifikasi prinsip-prinsip yang diperlukan untuk agenda pembangunan berkelanjutan di masa mendatang21. Berawal dari konferensi inilah pada tahun 2015 program Sustainable Development Goals (SDGs) dimunculkan sebagai upaya untuk pembangunan di masa mendatang. Dengan keberhasilan program MDGs di tahun 2000-2015, menciptakan ambisi baru bagi negara-negara untuk menciptakan sasaran pembangunan baru dimana tidak hanya mengatasi permasalahan pembangunan yang ada saat ini, tetapi juga menjadi investasi pembangunan dimasa mendatang, dengan melihat keterkaitan antara manusia dengan bumi atau lingkungan22. Berbeda dengan MDGs, SDGs berusaha untuk melibatkan partisipasi global, tidak hanya pemerintah dan IGO, melainkan juga NGOs, social movement, civil society, dan individu dalam proses pembangunan.

Definisi dari sustainable development menurut World Commission on Environment and Development (WCED, 1987:43) adalah “Development that meets the needs of the present without compromising the ability of the future generations to meet their own needs.” Berdasarkan definisi tersebut, yang menjadi sasaran dari sustainable development tidak hanya pembangunan di masa sekarang dan masa depan, tetapi juga jaminan pembangunan bagi generasi yang akan datang. Berdasarkan fokus diatas, pada 25 September 2015, negara-negara didunia mulai mengadopsi program Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai       

21 Elliot, Jennifer A. An Introduction to Sustainble Development - Third Edition. New York: Routledge, 2006. 22 UNDP. "Sustainable Development Goals." United Nations, New York, 2015.


(4)

bentuk upaya pembangunan yang didasarkan pada pemberantasan kemiskinan, perlindungan terhadap keberlangsungan alam dan bumi, dan menjamin kemakmuran bagi seluruh masyarakat selama 15 tahun mendatang. Dalam SDGs, terdapat 17 fokus sasaran pembangunan yaitu: 1) No Poverty, 2) Zero Hunger, 3) Good Health and Well being, 4) Quality Education, 5) Gender Equality, 6) Clean Water and Sanitation, 7) Afforadable and Clean Energy, 8) Decent Work and Economic growth, 9) Industry, Innovation and Infrastructure, 10) Reduced Inequalities, 11) Sustainable Cities and Communities, 12) Responsible Consumption and Production, 13) Climate Action, 14) Life Below Water, 15) Life on Land, 16) Peace, Justice and Strong Institution, 17) Partnership for the goals.

Jika dianalisa berdasarkan sasaran SDGs sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, dapat dikatakan bahwa SDGs merupakan program pembangunan kelanjutan dari MDGs yang telah mencapai hasil pada tahun 2015. Program ini dibuat tidak hanya untuk mengurangi permasalahan pembangunan, melainkan juga untuk mengaitkan antara lingkungan, manusia, ekonomi, dan pembangunan agar tercipta proses yang berkelanjutan. SDGs berusaha untuk mengaitkan jaringan antara aspek sosial, lingkungan dan ekonomi dalam pembangunan global. Disamping itu, fokus-fokus yang dibentuk dalam SDGs merupakan tujuan universal dimana hal ini berbeda dengan MDGs yang cenderung lebih banyak diterapkan hanya pada negara berkembang.

Tidak hanya membentuk program-program pembangunan yang peduli terhadap kondisi lingkungan, PBB melalui United Nation Framework on Climate Change atau UNFCCC membentuk Conference of Parties (COP) sebagai wadah bagi negara-negara di dunia untuk bersama-sama mengatasi permasalahan perubahan iklim melalui sebuah konferensi internasional23. Tujuan dari pembentukan COP adalah untuk melalukan pengkajian terhadap implementasi dari Earth Summit yang dilakukan di Rio pada Tahun 1992 terkait perlindungan terhadap lingkungan. Konferensi yang diikuti lebih dari 190 negara ini, pada tahun 2015 lalu melakukan COP ke-21 di Paris, Perancis, dimana pada kesempatan itu dihasilkan sebuah kesepakatan bersama baik negara maju maupun negara berkembang, untuk bersama-sama mengurangi panas bumi menjadi 2 derajat dan mengurangi gas emisi rumah kaca mereka pada tahun 2025 hingga 203024. Kebijakan internasional yang disepakati oleh negara-negara di dunia ini kemudian menjadi salah satu pendorong untuk mengatasi       

23 Data diperoleh dari website resmi United Nations Framework on Climate Change, yang diakses melalui UNFCCC. COP21 Paris : About. 2015. http://www.cop21paris.org/about/cop21 (accessed July 3, 2016). 24 Data diperoleh dari website COP21 News: What Was COP21? 2015. yang dapat diakses pada


(5)

permasalahan perubahan iklim yang terjadi saat ini, guna meminimalisir dampak dari perubahan iklim di dunia.

V. Kesimpulan

Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian penting dalam pembangunan internasional. Perubahan iklim yang diakibatkan oleh emisi gas karbon yang menyebabkan efek rumah kaca sehingga meningkatkan suhu bumi, mengakibatkan berbagai dampak terhadap lingkungan ekosistem, ekonomi, keamanan dan keselamatan manusia yang berpengaruh terhadap pembangunan. Peningkatan suhu, gelombang panas, dan cuaca ekstrim akibat perubahan iklim memberikan dampak terhadap aktivas sektor-sektor ekonomi yang sensitif terhadap kondisi cuaca dan iklim seperti pertanian, kelautan, perhutanan, dan pengairan. Hal ini kemudian menganggu kestabilan ekonomi negara-negara yang bergantung pada sektor-sektor tersebut.

Tidak hanya dalam hal ekonomi, perubahan iklim juga mendorong semakin buruknya kemiskinan yang terjadi di negara-negara berkembang yang mana memiliki keterbatasan teknologi dan infrastruktur untuk dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Sebagai salah satu faktor yang menjadi indikator keberhasilan dari pembangunan, kemiskinan merupakan hal penting untuk diatasi. Oleh karena itu, segala hal yang menghambat proses pemberantasan kemiskinan seperti perubahan iklim patut mendapatkan perhatian dari pemerintah dan masyarakat global. Meskipun masih mengalami banyak kontroversi mengenai perubahan iklim sebagai suatu isu internasional yang serius, akan tetapi beberapa organisasi dunia melihat isu perubahan iklim merupakan sebuah permasalahan yang perlu dipertimbangkan dalam proses pembangunan. Oleh karena itu, pada tahun 2000 PBB dan beberapa organisasi internasional seperti Bank Dunia dan IMF membentuk Millennium Development Goals yang dilanjutkan oleh Sustainable Develompent Goals di Tahun 2015 sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak perubahan iklim bagi pembangunan.

VI. Referensi  

Adams, W.M. The Future of Sustainability: Re-thinking Environment and Development in the Twenty-first Century. IUCN The World Conservation Union, 2006.


(6)

Beyerlin, Ulrich. "Bridging the North-South Divide in International Environmental Law." 2006: 259-261.

COP21. News: What Was COP21? 2015. http://www.cop21.guv.fr/en/2c-target-result-of-state-contributions/ (accessed July 3, 2016).

Elliot, Jennifer A. An Introduction to Sustainble Development - Third Edition. New York: Routledge, 2006.

Kaskinen, Tuuli, Olli Alanen, Aleksi Neuvonen, and Pirkka Aman. No Development Without Adressing Climate Change. Working Papers, Helsinki: Kepa Service Centre For Development Cooperation, 2009.

Mendelsohn, Robert. Climate Change and Economic Growth. Working Papers No.60, Washington, DC: The World Bank Commission on Growth and Development, 2009. Munasinghe, Mohan, and Rob Swart. Primer on Cllimate Change and Sustainable

Development - Facts, policy analysis, and application. Cambridge: Cambrigde University Press, 2005.

Salih, M.A. Mohamed. Climate Change and Sustainable Development - New Challenges for Poverty Reduction. Cheltenham & Northampton: Edward Elgar Publishing, 2009. Turner, Kerry, and Brendan Fisher. "An ecosystems services approach: Income, inequality

and poverty." In Climate Change and Sustainable Development - New Challenges for Poverty Reduction, by M.A. Mohamed Salih, 156-178. Cheltenham & Northampton: Edward Elgar, 2009.

UNDP. Summary Human Development Report 2003. Report, UNDP, New York: Oxford University Press, 2003.

UNDP. "Sustainable Development Goals." United Nations, New York, 2015.

UNFCCC. COP21 Paris : About. 2015. http://www.cop21paris.org/about/cop21 (accessed July 3, 2016).

World Bank. Poverty and Climate Change. Working Paper, World Bank, 2003.