104
Pada  praktek  kehidupan  menegara  di  Indonesia,  bertubi-tubi  bentuk penyimpangan  terhadap  ideologi  bangsa  dan  negara  di  lakukan  dalam  perilaku
penyelenggara  negara,  pemerintah,  lembaga  peradilan,  legislasi,  masyarakat, kelompok, partai, perorangan dan lain sebagainya berupa:
a.  Penindasan  atas  nama  ideologi  dan  atas  nama  negara  terhadap  warganegara, kelompok,  partai  golongan,  penganut  agamakepercayaan  yang  dimusuhi
karena  berbeda  pandangan  dalam  praktek  menegara  dan  melaksanakan ideologi negara.
b.  Penyalahgunaan  ideologi  untuk  kepentingan  tertentu  yang  biasanya  koruptif, manipulatif demi kekuasaan semata.
c.  Monopoli  kebenaran,  makna  dan  pelaksanaan  ideologi  dalam  praktek menegara sehingga tertutup terhadap kritik, masukan atau ide dari masyarakat
warga yang seharusnya menjadi ‘stake holder’ negara dalam suatu dialog yang terus  menerus,  karena  pelaksanaan  praktek  menegara  tidaklah  dapat
dimonopoli.
d.  Praktek  menegara  yang  bertentangan  dengan  semangat  ideologi  negara bahkan tersusupkan oleh ideologi asing maupun  dalam negara yang bertujuan
membunuh ideologi negara. Sejarah  kehidupan  negara  Indonesia  sejak  kemerdekaannya  banyak  mencatat
peristiwa-peristiwa perilaku politik menyimpang semacam ini. Namun anehnya setiap terjadi  perbenturan  dan  konflik  hampir  selalu  terhimbau  untuk  kembali  menjunjung
tinggi  nilai-nilai  ideologi  negara.  Sementara  begitu  konflik  mereda,  maka  masing- masingnya  kembali  sibuk  membenahi  nilai  dan  ideologi  yang  dimaknainya  sendiri.
Sebagai formalitas, ideologi negara hingga saat ini masih cukup efektif memperantarai perbenturan  nilai  masyarakat  Indonesia  dalam  hidup  menegara.  Namun  cukup
mencolok  untuk  dicermati,  apakah  ideologi  negara  hanya  difungsikan  sebagai ‘shockbreaker’  bagi  setiap  tabrakan  perilaku  politik  menegara  sehingga  suatu  ketika
dapat menjadi tidak efektif lagi?
2. Perilaku Politik Menyimpang Dari Konstitusi
Pada  uraian  sebelumnya,  telah  pula  dideskripsikan  pemahaman  tentang ideologi  dan  konstitusi  sebagai  dasar  bagi  perilaku  menegara.  Sedemikian  erat
kaitannya  sehingga  sering  dikatakan  bahwa  konstitusi  adalah  merupakan  konstruksi yuridis  dari  ideologi.  Bahkan  di  Indonesia  seringkali  dikatakan  bahwa  konstitusi
adalah  merupakan  tafsir  resmi  dari  ideologi  dan  hanya  bisa  ditafsirkan  dalam pelaksanaan perilaku menegara melalui produk-produk hukum pula.
105
diterjemahkan dalam kenyataan bahwa walaupun dikatakan memiliki sumber ideologi yang  satu  yaitu:Pancasila,  namun  terdapat  tiga  konstitusi  yaitu  UUD  1945,  UUD
RIS  dan  UUDS  1950  yang  memuat  konstruksi,  sistem  maupun  esensi  yang  berbeda sebagai  dasar  perilaku  menegara.  Menjadi  pertanyaan  apakah  semua  konstitusi
tersebut  dapat  dikatakan  secara  resmi  sebagai  konstuksi  hukum  dasar  negara  yang bersumber  dari  ideologi  negara  yang  sama  :  Pancasila?  Apakah  sedemikian
fleksibelnya ideologi negara Indonesia itu sehingga mampu menjadi acuan dari semua perbedaan bentuk  negara,  sistem pemerintahan, sistem hukum, sistem  kepartaian dlsb
itu?  Ataukah  mungkin  pengertian  hubungan  ideologi  dengan  konstitusi  sebagaimana diuraikan di atas itulah yang tidak tepat secara terminologis.
Namun sejarah konstitusi sepanjang riwayat Indonesia Merdeka menunjukkan bahwa  perubahan  konstitusi  negara  tidak  pernah  terjadi  disebabkan  karena  adanya
perubahan ideologi. Apakah itu karunia atau penyimpangan? Nyatanya,  ideologi  negara  sejak  kemerdekaan  tidak  pernah  berubah,  sementara
konstitusi negara Republik Indonesia telah berulang kali berubah.
Yang  perlu  dicermati  adalah,  perubahan  konstitusi  yang  cukup  sering dilakukan,  biasanya  banyak  ditemukan  di  negara-negara  yang  tingkat  stabilitas  dan
kemampuannya  tergolong  rendah.  Banyak  negara  Republik  Pisang  Banana’s Republics mengganti konstitusinya, manakala terjadi pergantian rezim yang berkuasa.
Perubahan konstitusi terjadi berdasarkan ideologi, keinginan bahkan selera semata dari rezim yang berkuasa.
Perubahan  konstitusi  di  Indonesia  tampaknya  seringkali  dianggap  sebagai  akibat pengalaman menegara. Mulai dari:
Perubahan  sistem  pemerintahan  presidensial  menjadi  sistem  pemerintahan parlemen  P.M.  Sutan  Syahrir  pada  pelaksanaan  UUD  1945  ditahun  1945,
dengan  alasan  taktis  menghadapi  sekutu  yang  tidak  bersimpati  terhadap pemimpin-pemimpin  di  negara  bekas  jajahan  yang  berkolaborasi  dengan
pemerintahan fasisme Jepang.
Pemberlakukan  UUD  RIS  tahun  1949  sebagai  penyesuaian  terhadap perjanjian KMB dalam perjuangan kemerdekaan melawan Belanda yang ingin
kembali menjajah. Pemberlakuan  UUDS  tahun  1950  dalam  rangka  mempraktekkan  kembali
sistem demokrasi parlementer  yang  dianggap telah sukses  membawa RI tetap eksis dalam masa perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan.
Pemberlakuan  kembali  UUD  1945  melalui  Dekrit  Presiden  RI  5  Juli  1959, karena kegagalan konstitusi membuat UUD RI  yang baru dan anggapan telah
gagalnya UUDS Tahun 1950 Amandemen  UUD  1945  pada  masa  pasca  reformasi  1998  yang  ditandai
dengan lengsernya
rezim Soeharto
untuk mencegah
terulangnya penyalahgunaan  UUD    1945  dengan  mempertegas  pasal-pasalnya  agar  tidak
memungkinkan  terulangnya  kembali  kekeliruan-kekeliruan  yang  dilakukan dalam  pemerintahan  rezim  Soeharto  namun  memasukan  pula  ketentuan-
ketentuan  baru  yang  ‘berbau’  kepentingan  golongan  sesaat,  jangka  pendek dengan  memperlemah  posisi  presidensial  dan  memperkuat  dominasi  partai
politik  melalui  parlemen  maupun  sistim  pemilihan  presidenwakil  presiden serta  pimpinan  daerah.  Konstitusi  menjadi  berbeda  dan  bukan  merupakan
implementasi lagi dari ideologi nasional. Konstitusi dibuat menjadi compang- camping  dengan  pelbagai  wacana,  konsep  dan  ideologi  golongan,  sehingga
semakin  menjauhkan  upaya  untuk  mewujudkannya  dalam  manajemen
106
3.   Perilaku Menyimpang Kepemimpinan Dan Kelompok Otoriter