24
Traskripsi Audio Visual
G. Seto Harianto, Sekretaris Praksi PDKB DPR-RI
Manusia dan Perilaku Politik Menyimpang di Indonesia
Kami berangkat dari satu pemikiran dasar, kita menyatakannya sebagai prinsip Imago Dei, yaitu manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang
sempurna. Karena itu manusia diberikan hak-hak dasar yang kita sebut hak asasi, tetapi manusia diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan. Sebagai
makhluk yang mulia, dia punya kebebasan berperilaku. Ia bisa memilih berperilaku baik atau buruk. Dalam kaitan kehidupan bermasyarakat manusia diciptakan sebagai
makhluk pribadi dan juga mahluk sosial. Karena dia bebas memilih, dia bisa memilih mengutamakan kepentingan pribadi atau kepentingan sebagai makhluk sosial;sehingga
selalu ada benturan. Dia punya hak dasar dan melaksanakannya dengan seharusnya memikirkan pada hak dasar orang lain. Itulah sebabnya maka kita berpikir selain hak
asasi juga ada demokrasi. Artinya bagaimana dalam memperjuangkan hak-hak dasar itu, dia juga berdialog dan berbicara mencari solusi dengan makhluk lain di luar
dirinya. Prinsipnya, manusia hidup dalam suatu lingkungan, maka bila kita berbicara perilaku tentu kita bertanya motivasi dia. Politik itu suatu cara untuk mewujudkan hak
dan kewajibannya. Yang kita lihat kaitannya dengan tadi. Untuk apakah kita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara itu? Lalu apa yang dia perjuangkan? Apakah
yang dia lakukan itu sesuai dengan prinsip dia bermasyarakat, berbanga, dan bernegara. Kemudian perilaku politik harus menegakkan HAM kita namun di dalam
berperilaku dia harus menghargai pula hak asasi orang lain. Bersikap demokratis, harus menghargai orang lain bukan semata hal setuju atau tidak setuju. Meskipun
tidak setuju tetapi ia harus menghargai. Untuk itu harus ada keterbukaan. Harus ada transparansi, jadi jangan berpolitik itu lain di muka lain di belakang. Sebetulnya sering
kita dengar kalau politik itu kotor. Politikus senyum di depan, di belakang mendumel. Menurut kita secara ideal tidak boleh, harus transparan, katakan apa yang terjadi.
Mungkin sebagai contoh mengapa PDKB tidak mendukung interpelasi yang diajukan karena kita melihat tidak ada kejujuran, alasan yang digunakan kita anggap terlalu
sederhana, kepentingan dua menteri tetapi sebetulnya di balik itu mereka ingin menggoyang Presiden. Kenapa tidak langsung? Karena itu PDKB pada waktu itu
menentang. Kenapa tidak sekaligus mengadakan interpelasi untuk mempertanyakan kinerja, untuk mempertanyakan kenapa ekonomi, bagaimana program ekonomi,
kebijakannya, bagaimana soal hukum, termasuk bagaimana gaya kepemimpinan yang kontra produktif ini, kenapakah itu diinterpelasi? Padahal ini yang menurut kita tidak
betul, perilaku politik yang begitu itu yang menurut kita dan yang berikutnya kriteria yang perlu diperhatikan adalah apakah kita berperilaku politik itu demi kepentingan
bersama atau hanya untuk kepentingan kelompok, golongan, atau pribadi. Jadi kembali kepada tujuan bersama itu apa, nah, kalau itu dalam berpolitik tidak menjadi
acuan, tidak menjadi kriteria dalam berpolitik maka itu menurut kita kurang benar.
PERILAKU POLITIK INDONESIA DAN PERANAN PSIKOLOGI BAGI PENANGGULANGANNYA
C.
25
Kesenjangan Perilaku Politik Menyimpang dan Ideal
Persoalan mendasarnya adalah ketidakmampuan para politisi elit negeri ini untuk memisahkan atau membuat jarak antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan masyarakat. Jadi sekarang ini, yang terjadi masih banyak elit politik yang lebih mementingkan kepentingan dirinya daripada kepentingan masyarakat. Yang
sangat menyedihkan itu dilakukan atas nama masyarakat. Rakyat tidak sabar Apa betul rakyat tidak sabar? Apa betul rakyat itu marah ketika Gus Dur itu bilang bahwa
dia copot Yusuf Kalla dan Laksamana Sukardi karena KKN itu? Tidak juga kan, mungkin banyak yang malah tidak peduli. Ini yang menurut saya jadi pokok persoalan.
Selama ini tidak bisa diselesaikan, siapapun yang jadi pemerintah tidak akan mampu, persoalannya hanya pada perebutan kepentingan yang menonjol, hingga kemudian kita
lihat cita-cita reformasi yang bernotabene disponsori oleh mahasiswa pada akhirnya hanya merubah orang, sikap dan mentalnya tidak berubah. Ya kan dulu kita menuduh
Suharto. Sekarang orang berlomba-lomba juga korupsi, kalau dulu anggota DPR dicap yes men, lima dekade karena takut kekuasaan sekarang apa dia lakukan juga betul
untuk kepentingan rakyat? Jadi persoalan mendasarnya adalah bagaimana mengembalikan komitmen kita bahwa berpolitik itu demi kepentingan bangsa negara?
Perilaku Politik Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif
Menurut saya nyaris sama. Yang terjadi sekarang, banyak unsur, aspek dari eksekutif hal yang sama terjadi. Kita hanya mengganti orang tanpa mengganti sikap
mentalnya. Karena itu kita lihat saja contoh BPPN mau diganti berapa orang pun, persoalannya sikap mentalnya bagaimana, benar tidak? Demikian pula kalau kita lihat
di departemen-departemen, hampir semua jajaran, persoalannya kita belum mampu merubah sikap mental. Yang saya khawatir bisa menjadi lebih parah karena yang dulu
itu sudah kenyang, yang sekarang masih kelaparan. Jadi kalau korupsi itu, sudah kasar betul permainannya. Yudikatif itu sama saja. Dari dulu kita sebut KUHP: kasih uang
habis perkara.
Perilaku Politik Masyarakat Pada Umumnya:
Kalau kita bicara perilaku politik pada masyarakat, kita harus kembali pada pendidikan. Harus meneliti kembali bagaimana pendidikan nasional kita termasuk
pendidikan dalam masyarakat. Bagaimana kita bisa menolak dan mencegah anak-anak SMA tawuran kalau mereka melihat elit politik juga tawuran terus. Bagaimana
pendidikan di sekolah kalau disiplin di sekolah-sekolah tidak bisa ditegakkan. Guru karena kurang gaji harus ngelesi, karena ngelesi wibawa jadi kurang. Nilai lima
dikasih delapan karena les. Sikap mental tidak bisa berubah. Terlebih jauh lagi kalau kita bicara pendidikan yang lebih mendasar di rumah. Ayah ibu sibuk bekerja,
anaknya kurang mendapat perhatian. Atau akhirnya mereka terimbas oleh budaya konsumerisme, materialistis. Orangtua cukup kalau anaknya cukup uang, cukup ini,
cukup itu, dan lainnya. Tidak ada pendidikan moral etika yang mendasar. Jadi itu menurut saya harus dimulai dri sana. Sekarang tentu saya sangat menghargai apa itu
yang disebut Forum Rembug Nasional, paling tidak Forum Rembug Nasional itu
26
Menurut saya, mereka juga korban dari situasi nasional semacam itu. Dari pendidikan yang tidak tertib, kurangnya pendidikan moral, sehingga banyak LSM pun
tidak tahu mana yang benar, mana yang salah dalam pengertian moral. Banyak LSM pun yang akhirnya terjebak pada kegiatan yang juga sebenarnya demi kepentingan
dirinya. Meskipun saya tidak mengatakan semua, tidak ada yang betul-betul murni, tapi sekarang banyak sekali. Apalagi dengan ikut campurnya dana luar negeri yang
luar biasa, jadi sekarang LSM-LSM pesta pora. Pertanyaan kita apakah itu semua dia lakukan demi kepentingan bangsa, negara, atau tidak?
Menurut saya masing-masing kita harus mawas diri. Mengkaji kembali visi misinya, kemudian dikaitkan dengan sepak terjang perilaku politiknya. Apakah sudah
benar visi misinya benar tidak demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Kemudian perilakunya bagaimana, sesuai apa belum. Itu kita tidak bisa menanyakan
orang lain, masing-masing kita mawas diri. Karena itu menurut saya, kita semua punya salah, punya andil terhadap kesalahan ini.
Perlunya Peranan Psikologi
Bisakah dicari suatu metode psikologi sosial untuk menciptakan kesadaran masyarakat. Secara umum artinya mungkin bukan dengan shock therapy atau apalah.
Tetapi bisa tidak melakukan aktifitas sebagai semacam cermin dimana semua pihak dapat bercermin, melihat, mendengar, membaca, menyentuh dirinya, merubah.
Mungkin ilmu psikologi dapat diterapkan. Salah satu harapan saya, suatu ketika di Indonesia ilmu psikologi sosial itu betul-betul mampu merubah masyarakat. Sampai
sekarang ini belum. Artinya, untuk kepentingan bangsa karena selama ini kan lebih banyak psikologi yang sifatnya lebih ke kepentingan pribadi atau individu, padahal
bangsa ini membutuhkan penerapan ilmu-ilmu psikologi sosial untuk menata kembali, membangun kembali budaya dan nilai-nilai yang sempat diabaikan. Paling tidak kalau
berbicara lebih keras, supaya bangsa ini berhenti dari kemunafikannya. Kita selalu bicara, orang selalu ribut kalau soal agama, tapi persis seperti yang dia lakukan adalah
bertentangan dengan agama yang dia bela-bela itu.
27
Bagaimana kita harus mementingkan kepentingan kelompok yang besar, masyarakat, dan bukan kepentingan pribadi, atau golongan.
Sikap demokratis, yaitu mau menghargai, mau mengungkapkan pemikiran dan perasaan, tapi juga mau menghormati dan menghargai pemikiran dan perasaan
orang lain walaupun berbeda. Bagaimana kita harus jujur dan transparan, artinya apa yang kita katakan, apa
yang kita tetapkan sebagai visi dan misi harus sesuai dengan perilakunya juga.
28
Oleh:
M. Enoch Markum, Dr. Drs. Psi.,Psikologi Sosial