1. PENDAHULUAN
Alergi adalah suatu penyakit yang berupa perubahan reaksi tubuh yang berlebihan terhadap suatu bahan di lingkungan yang disebut alergen. Reaksi alergi
timbul segera dalam beberapa menit setelah ada rangsangan alergen pada seseorang yang hipersensitif. Efeknya terlihat dalam bentuk rinitis alergi, asma
bronkial asma dan dermatitis atopi Rabson et al. 2005; Kuby et al. 2007. Dalam dua dekade akhir, penyakit alergi meningkat di hampir semua
negara di dunia, terutama negera-negara maju Singh Kumar 2003; Folletti et al. 2008. Setelah tahun 1990, jumlah pasien asma yang berobat ke dokter dan
dirawat di rumah sakit juga tak menurun Akinbami Schoendorf 2002. Berdasarkan penelitian International Study of Asthma and Allergies in Childhood
ISAAC, prevalensi penyakit alergi di negara-negara maju lebih tinggi dibandingkan di negara-negara berkembang. Penelitian ISAAC menemukan
sekitar 20-30 kasus alergi berupa rinitis alergi, 5-15 asma dan 0,33-20,5 dermatitis atopi pada populasi di dunia Beasley et al. 1998. Namun penelitian
seperti ini belum banyak dilakukan di Indonesia, sehingga pengetahuan alergi di sini sangat minim, informasi akurat tentang seberapa besar prevalensi penyakit
alergi dan statistik insiden penyakit alergi juga jarang diperoleh di negeri ini. Beberapa penelitian yang sudah dilaporkan di antaranya penelitian di Utan
Kayu, Jakarta Pusat, menunjukkan persentase prevalensi asma pada penduduk berusia lebih dari 14 tahun sebesar 6,9 Sundaru Sukmana 1990. Selain itu,
penelitian ISAAC di Indonesia tahun 1996 dilakukan pada anak usia 13-14 tahun, melibatkan tujuh kota besar yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Denpasar, Manado, dan Ujung Pandang. Penelitian ini menyimpulkan, bahwa prevalensi di berbagai daerah tersebut menunjukkan rentang yang cukup
besar, yaitu rinitis alergi berkisar 22,57-61,94, asma 2,09-9,01, dan dermatitis atopi 0,39-18,8 Baratawidjaja et al. 2006.
Kini penderita alergi ditemukan di semua lapisan masyarakat di dunia, dengan tingkat keparahan berbeda-beda, mulai dari yang ringan, sedang sampai
berat. Pada kasus kronis yang berat, alergi mengganggu aktivitas sehari-hari
pasien, dan akhirnya menurunkan kualitas hidupnya. Tak hanya itu, pengobatan alergi dengan menggunakan jasa dokter, obat, kunjungan gawat darurat, atau
perawatan rumah sakit perlu biaya yang tidak sedikit Wijk 2002. Masalah ini tentunya akan sangat memberatkan masyarakat menengah ke bawah yang menjadi
mayoritas penduduk kita. Penyebab alergi ditimbulkan oleh interaksi antara faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik merupakan faktor bawaan yang diwarisi penderita dari salah satu atau kedua orang tuanya. Orang tua penderita alergi cenderung
memiliki anak yang berbakat alergi pula. Selain hal tersebut, ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya yaitu pola hidup penderita serta keadaan lingkungan yang
banyak dipenuhi alergen. Alergen itu sendiri bisa berasal dari dalam rumah indoor allergens atau dari luar rumah outdoor allergens. Alergen dalam rumah
bermacam-macam, antara lain tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, atau serpihan kulit hewan piaraan seperti anjing dan kucing, sedangkan alergen luar
rumah dapat berupa spora jamur dan serbuk sari pollen yang bersifat musiman, terutama di negara yang mempunyai 4 musim Church Holgate 1995; Lilly
2005; Schoefer et al. 2008. Penyakit alergi adalah penyakit inflamasi yang berjalan kronis dan sulit
disembuhkan selama masih ada pemicunya. Terapi yang diberikan pada saat kambuh umumnya bersifat simptomatik, artinya ditujukan untuk mengurangi
gejala saja. Rekomendasi penting penanganan penyakit alergi dimulai dengan menghindari alergen. Oleh karena itu penatalaksanaan penyakit alergi selain
pengobatan, ditekankan pada kontrol lingkungan agar terhindar kontak dengan alergen Luskin 2005; Bacharier et al. 2008; Bateman et al. 2008. Untuk itu,
sebagai dasar antisipasi alergi, setiap pasien alergi perlu mengetahui bahan-bahan apa yang dapat memicu reaksi alergi pada dirinya. Hingga kini belum ada terapi
yang dapat menghilangkan atau menyembuhkan penyakit alergi sampai tuntas. Pengobatan alergi hanya dapat mengendalikan penyakitnya agar tidak kambuh
dengan cara menghindari pemicu. Penanganan memerlukan kontrol lingkungan
yang ketat melalui penyuluhan pada pasien Bateman et al. 2008.
Di negara dengan empat musim, alergi pernapasan seperti rinitis alergi dan asma yang ditimbulkan serbuk sari biasanya kambuh secara musiman. Dalam arti,
penyakitnya muncul bergantung dari geografi, iklim, dan vegetasi D’Amato et al. 2007; Mandal et al. 2008.
Penelitian di lapangan menunjukkan, penyebaran serbuk sari di udara berfluktuasi sesuai musim, sehingga dapat dibuat kalender
yang menunjukkan fluktuasi jumlah serbuk sari di udara dalam satu tahun. Kalender tersebut diperlukan oleh pasien alergi dalam upaya menghindari
pajanan, sehingga kekambuhan penyakit alergi akan dapat diperkirakan berdasarkan jenis serbuk sari di musim tertentu Platt-Mills et al. 1998; Gossage
2000; Kuhl 2001. Penelitian epidemiologi yang banyak dilakukan para peneliti telah
meningkatkan pemahaman dan penanganan penyakit alergi. Berbagai penelitian itu membuktikan, serbuk sari rumput merupakan penyebab penyakit alergi penting
di seluruh dunia, sehingga perlu diwaspadai serbuk sari sebagai salah satu alergen utama pemicu alergi pernapasan Phanichyakam et al. 1989, Silvestri et al. 1996;
Bufe et al. 1998; Sridhara et al. 2002. Di Amerika dan Eropa, berbagai alergen baik dalam maupun luar rumah
sudah banyak diteliti dan diketahui Gossage 2000; Kuhl 2001. Ekstrak serbuk sari rumput-rumputan sebagai alergen pada uji tusuk kulit telah digunakan sebagai
gold standard dalam diagnosis penyakit alergi Wodehouse 1965; Nelson 2000;
Koshak 2006. Dewasa ini di Indonesia umumnya dipakai alergen komersial
untuk uji tusuk kulit, yang berarti hanya terbatas pada bahan yang dibuat di Eropa atau Amerika. Walau alergen komersial cukup banyak dan bervariasi untuk
mendeteksi pencetus alergi yang umum, namun alergen serbuk sari tumbuhan tropik tidak tersedia sehingga besar kemungkinan akan tetap tidak terdeteksi.
Sebuah penelitian uji sensitivitas yang dilakukan pada pasien alergi pernapasan di sebuah Klinik Alergi Imunologi di Jakarta terhadap 8 jenis alergen
dalam rumah asal Singapura, dengan hasil positif tinggi pada uji tusuk kulit terhadap jenis tungau debu rumah Dermatophagoides farinae, Dermatophagoides
pteronyssinus, dan Blomia tropicalis Baratawidjaja et al. 1998a. Penelitian selanjutnya uji tusuk kulit dilakukan di klinik yang sama di Jakarta terhadap
alergen regional asal Singapura pada pasien alergi pernapasan dengan persentase reaksi positif terhadap Dermatophagoides pteronyssinus 77,57, Blomia
tropicalis 71,96, Austroglycyphagus malaysiensis 33,64, Elaeis guineensis
22,43, Acacia auriculiformis 12,15, Dicranopteris spp 11,21, Curvularia fallax 8,41, dan Exserohilum rostratum 13,08 Baratawidjaja et al. 1999.
Pada sisi lain, hasil penelitian tersebut belum banyak memberikan informasi tentang alergi secara menyeluruh di Indonesia. Untuk faktor alergen
misalnya, selama ini yang lebih banyak diteliti adalah faktor alergen dalam rumah, sedangkan faktor alergen di luar rumah seperti terabaikan. Padahal di
daerah tropis seperti Indonesia ini, rumput-rumputan tumbuh tersebar di mana- mana sepanjang tahun. Serbuk sari yang disebarkan angin dari berbagai pohon
dan rumput mengandung sejumlah alergen terutama protein Gossage 2000; Puc 2003.
Berdasarkan latar belakang tersebut, tampaknya sampai saat ini belum terdapat studi tentang alergen serbuk sari tumbuhan di Indonesia dan
kemungkinannya sebagai penyebab alergi pada manusia. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman
flora yang memiliki sumber serbuk sari yang tersedia sepanjang tahun, kemungkinan terjadinya sensitisasi terhadap serbuk sari sangat besar. Oleh karena
itu penelitian khusus tentang sensitivitas terhadap serbuk sari asal tumbuhan Indonesia sangat perlu dilakukan untuk dapat mengungkapkan dan
mengidentifikasi serbuk sari yang tersebar di udara serta seberapa jauh manusia telah tersensitisasi.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi serbuk sari tumbuhan yang berada di suatu daerah di Indonesia yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada
manusia dan membuat ekstrak serbuk sari, serta melihat profil bobot molekul BM protein alergen serbuk sari dengan analisis sodium dodecyl sulfate
polyacrylamide gel electrophoresis SDS-PAGE,
untuk mengetahui kealergenikannya dilakukan uji klinis pada manusia dengan cara uji tusuk kulit,
baik pada orang dengan riwayat alergi maupun tanpa riwayat alergi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang seberapa
besar telah terjadi pajanan terhadap alergen serbuk sari pada manusia. Serbuk sari yang berpotensi tinggi sebagai alergen dapat digunakan dalam panel uji tusuk
kulit sebagai upaya pencegahan penyakit alergi di Indonesia.
2. TINJAUAN PUSTAKA