2. TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Alergi
Dalam imunologi, banyak istilah yang kerap tumpang tindih untuk menggambarkan penyakit alergi. Selain istilah alergi, dikenal istilah atopi dan
hipersensitivitas. Ketiga istilah sering dipakai bergantian tanpa mempengaruhi makna kalimat, meskipun sebenarnya masing-masing mempunyai batasan
tersendiri. Istilah alergi diperkenalkan pertama kali pada tahun 1906 oleh Clemens Peter Freiherr von Pirquet, seorang dokter anak dari Austria yang mendalami
bidang bakteriologi dan imunologi. Alergi berasal dari bahasa Yunani allos artinya: perubahan atau penyimpangan dan ergon artinya: reaksi. Oleh karena
itu, alergi didefinisikan sebagai reaksi penyimpangan sistem imun terhadap bahan-bahan alergen yang tidak berbahaya. Pengaktifan sistem imun yang tidak
diinginkan serta berpotensi merusak jaringan tubuh disebut hipersensitivitas. Bakat atau kecenderungan seseorang untuk mengalami reaksi hipersensitivitas
disebut atopi, yang berasal dari bahasa Yunani atopia yang berarti tanpa tempat, karena reaksi hipersensitivitas dapat bermanifestasi secara menyeluruh pada tubuh
sistemik. Kata atopi pertama diperkenalkan oleh Coca pada tahun 1928, yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada orang yang mempunyai
kepekaan dalam keluarganya. Penyakit-penyakit alergi sering dihubungkan dengan organ tertentu, yaitu
hidung rinitis alergi, mata konjungtivitis alergi, rongga hidung di belakang wajah sinusitis, paru asma bronkialasma, kulit dermatitis atopiekzema dan
urtikariakaligata Rabson et al. 2005; Kuby et al. 2007. Dahulu semua jenis hipersensitivitas disebut alergi, tetapi sekarang alergi
hanya merupakan satu dari empat jenis reaksi hipersensitivitas Tabel 1. Alergi adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang disebut juga tipe cepat atau anafilaksis,
ditandai dengan produksi antibodi Imunoglobulin E IgE berlebihan sebagai respons atas rangsangan alergen yang memicu aktivasi sel-sel imun tertentu untuk
melepaskan zat perantara mediator kimiawi seperti histamin, dan menimbulkan respons inflamasi berupa asma, rinitis alergi, dan dermatitis atopi Platt-Mills et
al. 2006.
Tabel 1 Jenis reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs Platt-Mills 2006
Tipe Nama reaksi Perantara Contoh penyakit
1 Alergicepatanafilaksis IgE
Asma, rinitis alergi, dermatitis atopi
2 Sitotoksik
IgG, IgM Anemia hemolitik autoimun
3 Kompleks imun
IgG, IgM Lupus eritematosus sistemik
4 Lambat
Sel T Dermatitis kontak
Suatu alergen akan menimbulkan gejala klinik bila seseorang telah mengalami sensitisasi yang merupakan hasil interaksi antara kemampuan
seseorang secara genetik untuk merespons pemajanan oleh alergen. Sensitisasi ditandai dengan produksi IgE, sebagai petanda respons imun terhadap alergen
yang merangsang. Pemajanan oleh alergen kepada orang yang tidak sensitif, meskipun dalam jumlah besar tidak akan menimbulkan gejala, sementara bagi
orang yang sensitif, hanya dibutuhkan sejumlah kecil alergen untuk menimbulkan gejala alergi. Sensitisasi terhadap alergen dapat terjadi sejak masa kandungan,
kanak-kanak, dan bahkan dewasa Rabson et al. 2005; Kuby et al. 2007. Penyakit alergi ditandai oleh respons imun terhadap alergen dalam
lingkungan yang menimbulkan inflamasi imunologik di jaringan dan kelainan fungsi organ dengan dibentuknya antibodi IgE spesifik. Alergen masuk ke dalam
tubuh melalui beberapa cara, yaitu alergen hirup melalui saluran napas tungau debu rumah, serpihan kulit binatang, serbuk sari, dan spora jamur, alergen
ingestan melalui mulut makanan dan obat-obatan, alergen injektan obat suntik dan alergen kontaktan seperti logam, karet, dan wangi-wangian Al-Frayh
Hasnain 2000. Manifestasi alergi dapat terjadi di organ pernapasan berupa asma dan rinitis alergi, di kulit berupa dermatitis atopi dan urtikaria kaligatabiduran,
serta reaksi alergi yang mengancam nyawa bersifat sistemik yang disebut anafilaksis Rabson et al. 2005, Chapel et al. 2006; Kuby et al. 2007.
Alergen yang masuk tubuh akan memacu sel limfosit B untuk memproduksi IgE yang kemudian diikat oleh reseptornya pada sel mast yang
terdapat di jaringan tubuh dan basofil yang berada dalam sirkulasi. Selanjutnya alergen yang sama masuk tubuh pada pajanan ulang akan diikat oleh IgE tersebut.
Ikatan IgE dan alergen spesifiknya akan mengaktifkan sel mast dan basofil untuk melepas histamin dan mediator lainnya yang berperan dalam timbulnya gejala
alergi Gambar 1.
Gambar 1 Pajanan alergen yang memacu produksi IgE dan degranulasi sel mast dimodifikasi dari Rabson et al. 2005
Pasien alergi yang sudah tersensitisasi terhadap alergen spesifik akan menunjukkan reaksi kulit positif berupa bentol dan merah pada uji tusuk kulit. Sel
limfosit B dan produknya yang berupa antibodi IgE merupakan elemen utama respons imun humoral. Produksi antibodi oleh sel limfosit B dikendalikan dan
dirangsang oleh sel limfosit T dengan profil sitokin T helper
2
Th
2 ,
meningkatkan sintesis Interleukin-4 IL-4 dan Interleukin-13 IL-13 yang memacu sintesis antibodi IgE. Sel mast ditemukan dalam berbagai jaringan seperti
kulit, konjungtiva mata, saluran cerna serta saluran napas bagian atas dan bawah. Di tempat-tempat tersebut sel mast terpajan dengan berbagai bahan eksternal. Sel
mast juga ditemukan sekitar saraf dan pembuluh darah. Sebaliknya basofil tetap dalam sirkulasi yang merupakan sekitar 0,5 dari leukosit sel darah putih. Bila
sel mast dan basofil diaktifkan, akan berdegranulasi dan melepas berbagai mediator baik yang sudah ada dalam sel preformed yang menimbulkan awal
respons alergi dan yang dibentuk baru newly generatedsynthesize Rabson et al. 2005; Platt-Mills 2006.
Respons alergi dibagi menjadi fase dini dan fase lambat. Sel mast merupakan sel utama yang berperan dalam fase dini, melepas mediator yang
sudah terbentuk sebelumnya seperti histamin dan Platelet Activating Factor PAF, dan mediator yang baru disintesis seperti leukotrin. Efek histamin adalah
bronkokonstriktor, meningkatkan sekresi mukus dan kontraksi otot polos saluran napas, vasodilatasi, dan peningkatan permeabilitas vaskular Bachert 2002;
MacGlashan 2003. Leukotrin merupakan kemoatraktan leukosit poten, menginduksi kontraksi otot polos, bronkokonstriksi dan peningkatan sekresi
mukus, sedangkan mediator PAF berfungsi sebagai kemoatraktan eosinofil poten
Alergen IgE
Sel Mast Mediator
Reaksi hipersensitivitas tipe 1alergicepat
Rinitis alergi Asma bronkial
Dermatitis atopi dan urtikaria
Alergi makanan
Histamin Serbuk Sari
IgE
Sel Mast
Edwards 2003. Eosinofil ditemukan pada tahun 1879 oleh Paul Ehrlich, sel ini dianggap berperan penting dalam inflamasi alergi. Eosinofil memproduksi dan
melepas berbagai mediator, salah satunya Protein Dasar Utama Major Basic Protein yang merusak jaringan dan memacu inflamasi pada penyakit alergi
Romagnini 2004. .
Rinitis alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi kronik lapisan lendir mukosa hidung yang terletak di saluran napas atas, diperantarai antibodi IgE setelah
dipicu oleh pajanan alergen. Gejala-gejalanya dapat berupa bersin-bersin, hidung berair, hidung tersumbat dan gatal, seringkali disertai mata gatal, merah dan
berair. Berdasarkan kemunculannya, rinitis alergi dibagi menjadi rinitis intermiten dan persisten. Berdasarkan keparahannya, rinitis alergi dibagi menjadi
ringan, sedang, dan berat. Rinitis alergi adalah penyakit multifaktorial dengan banyak faktor risiko yang dipicu oleh interaksi gen dan lingkungan. Rinitis alergi
dan asma adalah penyakit alergi pernapasan, dengan konsep one airway one disease, yang berarti pada orang yang menderita rinitis alergi seringkali disertai
asma, karena merupakan satu saluran pernapasan. Rinitis alergi adalah penyakit alergi pada saluran pernapasan atas, sedangkan asma pada saluran pernapasan
bawah Huang 2007.
Pencetus rinitis alergi adalah alergen, baik alergen dalam rumah atau luar rumah di daerah beriklim sedang. Alergen dalam rumah terpenting adalah tungau
debu rumah, kecoa, serpihan kulit hewan piaraan seperti kucing dan anjing. Alergen luar rumah terpenting adalah serbuk sari. Spora jamur merupakan alergen
dalam dan luar rumah, Aspergillus dan Penicillium adalah spesies yang paling banyak ditemukan dalam rumah, sedang Alternaria dapat ditemukan di dalam
maupun luar rumah Matsui Wood 2007. Penyakit rinitis yang dicetuskan serbuk sari disebut polinosis. Sejak lama masyarakat di negara 4 musim
menyadari bahwa pada musim panas, orang-orang tertentu akan mengalami rinitis alergi yang dikenal dengan istilah hay fever. Semula mereka menganggap
penyakit ini disebabkan oleh bunga mawar pada awal musim panas dan oleh tanaman goldenrod di akhir musim panas. Kenyataannya, hay fever dicetuskan
oleh serbuk sari rumput-rumputan yang tumbuh di sekitar bunga mawar dan
serbuk sari gulma ragweed yang tumbuh di sekitar goldenrod. Hay fever pada awal musim panas berbarengan dengan berbunganya rumput-rumputan,
sedangkan pada akhir musim panas sejalan dengan berbunganya ragweeds dan goldenrods. Selain rumput-rumputan dan ragweed, banyak tumbuhan lain
penyebab hay fever Wodehouse 1965. Di Amerika Utara, ragweed jenis Ambrosia artimisifolia Asteraceae merupakan serbuk sari gulma terpenting oleh
karena dapat disebarkan dengan jarak ratusan kilometer. Reaksi alergi terhadap serbuk sari tersebut terjadi pada akhir musim panas dan berlangsung sampai bulan
Oktober. Sekalipun demikian, di Florida Selatan orang yang tersensitisasi dapat menunjukkan gejala alergi di luar musim tersebut. Hal ini disebabkan di daerah
pantai itu, serbuk sari di produksi sepanjang tahun. Dewasa ini ragweed juga ditemukan di Korea, Jepang, Australia dan Eropa Gossage 2000.
Cynodon dactylon disebut juga Bermuda grass, serbuk sarinya merupakan sumber polinosis yang sangat banyak di seluruh dunia, pencetus asma, rinitis
alergi, dan konjungtivitis alergi yang kuat, dikenal sebagai salah satu spesies rumput yang sering menyebabkan reaksi alergi dan terdapat di berbagai wilayah
seperti Eropa, Amerika, Afrika Selatan, Australia, India, dan Jepang Sompolinsky et al.1984; Adler et al.1985; Weber 2002. Serbuk sari C. dactylon
merupakan alergen tersering penyebab rinitis alergi pada anak-anak yang dibuktikan dengan uji IgE spesifik Halonen et al. 1997 dan juga berhubungan
bermakna dengan sinusitis Lombardi et al. 1996. Selain di daerah beriklim sedang, reaksi alergi terhadap serbuk sari
C. dactylon juga ditemukan di Asia Tropik. Pada penelitian di Thailand, 17 dari 100 orang pasien alergi rinitis menunjukkan uji IgE spesifik terhadap alergen
C. dactylon Pumhirun 1997. Di Semenanjung Malaysia, serbuk sari C. dactylon dilaporkan merupakan serbuk sari yang paling alergenik di antara serbuk sari
rumput-rumputan Sam 1998. Bahkan di Kuwait, negara yang terdapat di gurun
pasir, mendapatkan serbuk sari C. dactylon sebagai salah satu alergen yang paling sering ditemukan pada 505 orang dewasa muda dengan prevalensi 53,6, sedikit
lebih banyak dari tungau debu rumah 52,7 Ezeamuzie 1997. Dari 810 pasien asma atau rinitis alergi di Kuwait, IgE spesifik terhadap C. dactylon terdeteksi
pada 54,6 serum pasien Ezeamuzie 2000. Pada 706 pasien rinitis alergi berusia
6-64 tahun, IgE spesifik terhadap C. dactylon didapatkan pada 55 orang Dowaisan 2000. Di Uni Emirat Arab, 33 dari 263 pasien alergi pernapasan
didapatkan sensitif terhadap C. dactylon Lestringant et al. 1999. Di Arab Saudi, IgE spesifik terhadap C. dactylon merupakan salah satu alergen yang sering
dijumpai pada pasien dewasa maupun anak-anak dengan asma dan rinitis alergi Al-Anazy 1997; Sorensen 1986. C. dactylon juga merupakan alergen yang
menonjol di Afrika Selatan pada anak-anak dengan asma dan rinitis alergi Green 1997; Potter 1991.
Alergen Serbuk Sari Poaceae pencetus rinitis alergi. Protein serbuk sari
poaceae yang dapat mencetuskan alergi telah diteliti luas dan dibagi menjadi 13 grup. Alergen grup 1 meliputi glikoprotein yang mempunyai BM antara 27-35
kD. Alergen ini berada baik di sitoplasma maupun di eksin butir serbuk sari dan merupakan alergen utama dari ekstrak serbuk sari rumput. Sekitar 90 orang
yang alergi serbuk sari rumput memperlihatkan reaktivitas antibodi IgE terhadap alergen grup 1 Matthiesen et al. 1991; Han et al. 1993; Schramm et al. 1996.
Alergen ini merupakan glikoprotein yang sering menyebabkan reaktivitas silang dengan serbuk sari berbagai rumput lainnya Grobe et al. 1999; Schenk et al.
1996; Hiller et al. 1997. Pada serbuk sari C. dactylon terpenting adalah alergen grup 1 Cyn d 1 dengan BM 30 kD Shen et al. 1988; Ford Baldo 1987;
Matthiesen et al. 1991 dan grup 7 Cyn d 7 Smith et al. 1997; Suphioglu et al.
1997.
Alergen grup 2 dan 3 meliputi protein non-glikosilat dengan kisaran BM 10-12 kD. Alergen grup 4 merupakan glikoprotein pengikat IgE dengan BM 50-
67 kD dan awalnya diidentifikasi dari rumput Phleum pratense yang sering disebut Timothy grass, Lolium perenne dikenal dengan nama Perennial rye grass,
dan Dactylis glomerata atau Orchard grass Brodard et al. 1993. Sebanyak 80 orang yang alergi terhadap serbuk sari rumput memperlihatkan reaktivitas IgE
terhadap alergen grup 4, sehingga kelompok ini dianggap sebagai alergen mayor Leduc-Brodard et al. 1996. Alergen grup 5 mirip dengan grup 1, mempunyai
BM antara 27-33 kD. Alergen grup 6 adalah sitokrom, sejauh ini hanya ditemukan pada P. pratense, yang merupakan protein non-glikosilat bersifat asam dengan
BM sekitar 13 kD Lowenstein et al. 1978. Alergen grup 7 merupakan
sekelompok protein kecil dengan BM 8,7-8,8 kD, ditemukan pada rumput C. dactylon dan P. pratense Smith et al. 1997, Niederberger et al. 1996, Puc 2003.
Alergen grup 11 pertama ditemukan dari serbuk sari L. perenne yang merupakan glikoprotein pengikat IgE berukuran 18 kD Ree et al 1995. Alergen grup 12
merupakan keluarga protein yang disebut profilin berukuran 14 kD Sohn et al 1994, dan grup 13 merupakan kelompok terakhir yang ditemukan pada serbuk
sari rumput-rumputan dengan BM sekitar 55-60 kD Sohn et al. 1994.
Asma bronkial
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik di paru yang terletak di saluran napas bawah, berupa episode penyempitan dan peradangan jalan napas
yang disertai produksi lendir mukus berlebihan sebagai respons terhadap satu atau lebih pencetus. Batasan teknis dari Global Initiative for Asthma GINA
mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan peran berbagai sel, terutama sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Inflamasi pada
orang yang peka mengakibatkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada
tertekan, dan batuk terutama malam dan dini hari Bateman et al. 2008. Batasan
praktis dari Pedoman Nasional Penanganan Asma Anak adalah mengi berulang dan atau batuk persisten dengan karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada
malam dan dini hari, musiman, setelah aktivitas fisik, dan dapat membaik dengan atau tanpa pengobatan serta adanya riwayat asma atau atopik lain pada pasien dan
atau keluarganya [UKK Pulmonologi IDAI 2002]. Faktor pencetus serangan asma antara lain adalah alergen tungau debu
rumah, kecoa, serpihan kulit hewan piaraan, spora jamur, serbuk sari, asap rokok, polusi udara, dan infeksi virus. Alergen merupakan faktor terpenting tidak hanya
dalam mencetuskan asma, tetapi juga menentukan keparahan dan menetapnya gejala-gejala asma Nelson 2000. Secara patologis, asma ditandai oleh
hiperreaktivitas bronkus. Orang atopi adalah orang yang rentan untuk mengalami hiperreaktivitas bronkus, tetapi hanya 10-30 yang akhirnya mengalami asma.
Bukti bahwa asma memiliki komponen genetik berasal dari studi pada keluarga, yang memperkirakan bahwa kontribusi faktor genetik terhadap atopi dan asma
secara relatif adalah sekitar 40-60. Asma adalah penyakit genetik yang kompleks
dan melibatkan banyak gen, sehingga kerentanan terhadap asma melibatkan interaksi berbagai faktor genetik dan lingkungan Kuby et al. 2007.
Dermatitis atopi
Dermatitis atopi atau ekzema adalah peradangan kronik kulit dengan gejala gatal yang seringkali mengganggu tidur. Pada bayi, ekzema umumnya
berupa ruam merah yang sangat gatal di wajah, kulit kepala, belakang telinga, badan, lengan dan tungkai. Pada anak balita, ruam sering kali ditemukan di lipatan
kulit sekitar lutut dan siku. Menjelang remaja ekzema umumnya menghilang dan dapat bermanifestasi menjadi asma. Alergen pemicu biasanya berupa makanan
susu, makanan laut, kacang tanah, coklat, dan lain-lain. Reaksi alergi makanan selain berupa dermatitis atopi, dapat juga berupa reaksi bentol, kemerahan dan
gatal yang dikenal dengan sebutan urtikaria, nama lainnya biduran atau kaligata Rabson et al. 2005.
Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Alergi
Terjadinya alergi ditentukan faktor atopi, yaitu predisposisi genetik seseorang untuk memproduksi antibodi IgE dalam tubuhnya bila terpajan alergen
yang terdapat di lingkungannya. Atopi tidak selalu menimbulkan gejala alergi, tetapi cenderung untuk berkembang menjadi penyakit alergi. Atopi dapat
diketahui dengan pemeriksaan IgE Bousquet et al. 2008. Ditemukannya antibodi IgE spesifik terhadap alergen tertentu merupakan uji terpenting dalam diagnosis
dan penatalaksaan penyakit alergi dalam upaya pencegahan. Pemeriksaan adanya IgE dapat dilakukan dengan cara uji tusuk kulit skin prict test dan pemeriksaan
darah cara radioallergosorbent test RAST Rusznak Davies 1998; Jarvis Burney 2004; Koshak 2006
Diagnosis penyakit alergi terutama ditegakkan berdasarkan wawancara anamnesis tentang riwayat penyakit. Anamnesis yang cermat merupakan kunci
keakuratan diagnosis, meliputi riwayat timbulnya gejala, frekuensi serangan, intensitas gejala, riwayat berbagai faktor pencetus, dan kondisi rumah serta
lingkungan Church Holgate 1995. Pada pemeriksaan fisis rinitis alergi dapat ditemukan rinore atau ingusan, penurunan atau hilangnya indera penciuman.
Pemeriksaan fisis pasien asma pada masa di luar serangan umumnya normal. Pada saat serangan dapat ditemukan sesak napas disertai bunyi napas mengi yang khas
Rabson et al. 2005. Setiap pasien yang dicurigai menderita asma atau rinitis alergi harus dievaluasi adanya sensitisasi terhadap alergen dengan cara uji tusuk
kulit guna mengetahui faktor pencetus yang ada di lingkungannya Church Holgate 1995.
Uji tusuk kulit pertama kali diperkenalkan oleh Lewis dan Grant pada tahun 1924, namun baru dipergunakan secara luas setelah dimodifikasi oleh Pepys
pada tahun 1974. Ekstrak alergen dan cairan kontrol diteteskan pada permukaan volar lengan bawah. Bagian superfisial kulit ditusuk menggunakan jarum khusus
tanpa berdarah. Untuk setiap alergen harus digunakan jarum yang berbeda untuk menghindari tercampurnya cairan uji. Dalam melakukan uji tusuk kulit, sebagai
kontrol positif dipakai histamin dan untuk kontrol negatif dipakai bahan pelarut Mygind et al. 1994. Tes dibaca setelah 15 menit, reaksi positif dinyatakan
adanya kemerahan dan bentol pada kontrol positif histamin dengan minimal diameter 3 mm lebih besar dibanding dengan kontrol negatif. Keunggulan uji
tusuk kulit adalah sederhana, pembacaan dapat dilakukan dengan cepat, mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi serta dapat menguji sejumlah
besar alergen sekaligus Rusznak Davies 1998; Jarvis Burney 2004. RAST merupakan pemeriksaan darah yang akurat untuk mengukur kadar
IgE spesifik dalam darah. Umumnya, terjadinya alergi akan ditandai dengan adanya peningkatan kadar IgE yang spesifik. Pada RAST, alergen akan
ditempatkan di suatu paper discs atau polyurethane caps dan kemudian direaksikan dengan sampel serum yang diambil dari pembuluh darah vena pasien.
Pengikatan IgE spesifik terhadap alergen tersebut terdeteksi melalui enzyme linked-human IgE antibody pada reaksi kolorometrik. Pemeriksaan RAST spesifik
untuk menentukan alergen penyebab reaksi alergi, digunakan bila uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan pada orang-orang dengan penyakit kulit tertentu seperti
ekzema berat, atau pada orang yang mendapat terapi obat-obatan yang mengganggu akurasi hasil uji tusuk kulit. Keuntungan RAST tidak perlu
menghentikan obat-obat tertentu dan tidak ada risiko anafilaksis, hanya harganya lebih mahal dibanding uji tusuk kulit. Meski demikian, hasil RAST perlu
diinterpretasikan bersama dengan hasil pemeriksaan alergi lainnya seperti anamnesis dan uji tusuk kulit untuk memperoleh diagnosis yang lebih baik
Chapel et al. 2006.
Serbuk Sari
Serbuk sari adalah alat reproduksi tumbuhan guna mempertahankan jenisnya dari kepunahan. Serbuk sari berupa butiran halus yang mengandung
mikrogametofit, yang menghasilkan gamet jantan tumbuhan berbiji. Dinding serbuk sari terdiri atas 2 lapisan yaitu lapisan luar yang disebut eksin dan lapisan
dalam intin. Lapisan eksin terdiri dari bahan yang sangat kuat disebut sporopolenin, dibagi menjadi lapisan seksin eksternal dan neksin internal. Seksin
merupakan lapisan yang memiliki ornamen berupa lubang-lubang sirkular atau galur-galur longitudinal atau keduanya, dan neksin tidak. Struktur eksin
merupakan salah satu karakter yang digunakan dalam mengidentifikasi, dan memiliki aviditas untuk zat pewarna dasar fuchsin dan phenosaffranin.
Pelepasan serbuk sari atau antesis biasanya terjadi pasif, karena anter pecah bila menjadi kering Faegri et al. 1964.
Studi terhadap serbuk sari disebut palinologi dan istilah palinologi diperkenalkan oleh Hyde dan Williams pada tahun 1945. Palinologi juga berkaitan
dengan bidang ilmu lainnya seperti biologi polinasi dan biologi reproduktif. Untuk kepentingan taksonomi, penekanan diberikan pada ciri-ciri komparatif
serbuk sari, khususnya pada apertura dan struktur dinding Stuessy 1990. Aplikasi studi serbuk sari di bidang kedokteran antara lain dalam mengidentifikasi
alergen sebagai pencetus penyakit alergi dan imunoterapi Mildenhall et al. 2006. Penyerbukan pada tumbuhan dapat melalui beberapa cara yaitu anemofili
dibantu angin seperti padi, jagung, rumput, akasia dan pinus, hidrofili dibantu air seperti tanaman air, entomofili dibantu serangga seperti pada anggrek,
ornitofili dibantu burung seperti benalu, kiropterofili dibantu kelelawar seperti durian, malakofili dibantu siput dan antropofili dibantu manusia seperti pada
vanili. Serbuk sari tumbuhan anemofili biasanya kecil, halus, amat ringan, dan diproduksi dalam jumlah yang sangat besar. Di antara tumbuhan entomofili,
terdapat beberapa tumbuhan yang memproduksi serbuk sari sangat banyak,
memiliki anter terbuka, serbuk sari yang kurang lengket dapat melepaskan cukup banyak serbuk sari ke udara; tumbuhan seperti ini disebut amfifili karena secara
parsial dapat menggunakan angin sebagai cara penyebaran serbuk sari Wodehouse 1965; Sornsathapornkul Owens 1998; Smith 2000.
Aerobiologi adalah ilmu tentang partikel biologis yang terdapat di udara. Aerobiologi antara lain bertujuan untuk memahami penyebaran partikel biologis
yang terdapat di udara yang menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan tumbuhan sebagai upaya pencegahan. Sebagai contoh, banyak orang mengalami
reaksi alergi karena partikel biologis yang dihirup, adakalanya bersifat alergen terhadap manusia. Serbuk sari merupakan salah satu contoh dari partikel biologis
yang terdapat di udara yang menjadi objek aerobiologi Lacey West 2006.
Penangkapan Serbuk Sari
Untuk mengetahui serbuk sari apa yang ada di udara, dapat dilakukan penangkapan dengan beberapa cara, yaitu dengan menggunakan kolektor pasif
berupa kolektor aeroalergen dasar yang secara total tergantung pada angin dan gravitasi untuk membawa objek di udara ke permukaan pengumpul. Yang paling
banyak dipakai adalah gelas objek berperekat yang ditempatkan tak terlindung dalam posisi terpajan terhadap udara bebas dalam waktu singkat Smith 2000.
Alat penangkap lain seperti slit-type volumetric spore trap merupakan cara terbaik pengumpulan serbuk sari dengan mesin slit-type yang menggunakan alat
penghisap. Alat ini mengeluarkan udara melalui satu atau beberapa ventilasi agar udara terhisap ke dalam mesin melalui celah sempit berukuran 0,04x0,55 inci.
Kipas dan pompa udara digunakan untuk mengeluarkan udara dan menciptakan kondisi bertekanan rendah yang memungkinkan udara masuk dan berganti melalui
celah. Slit-type volumetric spore trap yang banyak dipakai adalah alat Burkard. Alat Burkard volumetric spore trap terdiri dari bagian luar dan bagian dalam
dengan drum yang dapat berputar dengan mekanisme pengaturan waktu 7 hari terus-menerus. Drum ini dilengkapi dengan pita plastik transparan “Melinex”
yang dilekatkan di sekelilingnya. Alat Burkard juga dilengkapi dengan sebuah pompa vakum yang dapat menarik udara sebanyak 10 liter per menit, sehingga
dapat menarik serbuk sari maupun spora dari udara melalui celah, yang kemudian akan membentur dan melekat pada “Melinex”. Alat ini dapat diandalkan, mudah
dibawa, dapat digunakan dalam segala cuaca, dan mudah dioperasikan. Burkard merupakan alat yang direkomendasikan oleh World Allergy Organization
WAO dan mendapat sertifikasi dari The American Academy of Allergy, Asthma and Immunology AAAAI Lacey West 2006, Hasnain et al. 2007.
Identifikasi Serbuk Sari Untuk mengidentifikasi serbuk sari dapat dilakukan dengan mikroskop
cahaya dan pengamatan ultrastruktur dengan SEM, identifikasi berdasarkan karakteristik berupa ukuran, bentuk, apertura, dan permukaan eksin Faegri et al.
1964; Smith 2000.
Ukuran . Ukuran dan volume serbuk sari bervariasi secara alamiah karena
faktor genetik dan lingkungan yang berbeda. Ukuran dapat berubah dari bunga ke bunga atau dari anter ke anter pada bunga yang sama. Temperatur dan
ketersediaan air juga dilaporkan mempengaruhi ukuran serbuk sari. Smith 2000.
Bentuk. Bentuk serbuk sari ditentukan secara genetik dan lingkungan.
Bentuk butir serbuk sari dapat dilihat dari pandangan polar dan equatorial, ditentukan berdasarkan perbandingan antar panjang aksis polar P dan diameter
ekuatorial E, diekspresikan dalam bentuk indeks polarekuatorial PE Index, yaitu rasio panjang dari kutub ke kutub dibandingkan lebar ekuatorial. Ekuator
adalah zona berjarak sama equidistant di antara kutub-kutub Kapp 1969. Serbuk sari dari spesies tumbuhan yang sama atau berkerabat dekat cenderung
memiliki morfologi yang serupa. Faktor lingkungan internal dan eksternal juga turut berperan membentuk serbuk sari. Jika lingkungan internal tidak sama,
bentuk serbuk sari dari spesies yang berkerabat dekat atau bahkan sama mungkin menghasilkan perbedaan nyata. Serupa dengan itu, jika faktor lingkungan
eksternal tidak sama, serbuk sari akan sangat berbeda tanpa memandang kedekatan kekerabatannya. Kecenderungan kemiripan serbuk sari antar spesies
yang berkerabat dapat ditekan oleh perkembangan karakter yang dicetuskan oleh pengaruh luar sehingga sedikit kemiripan yang dapat dikenali Wodehouse 1965;
Smith 2000.
Apertura. Apertura atau bukaan adalah suatu area tipis pada eksin yang
berhubungan dengan perkecambahan serbuk sari, berfungsi sebagai titik keluar tabung serbuk sari yang mengakomodasi perubahan volume di dalam serbuk sari
ketika mengalami hidrasi atau pengeringan. Apertura melintas dari eksin ke intin,
dan dibedakan menjadi dua tipe yang bermanfaat untuk mengidentifikasi, yaitu berupa celah memanjang disebut kolpikolpus furrow dan yang celah pendek
atau berbentuk bulat disebut poruspori pore. Pada bagian tengah pori beberapa
serbuk sari tampak suatu tudung sirkular operkulum yang merupakan sisa perkembangan dinding serbuk sari sebelumnya, dan seringkali gugur saat
penyebaran serbuk sari yang telah matang. Pori pada serbuk sari dikelompokkan berdasarkan jumlahnya. Serbuk sari inapertura tidak mempunyai pori pada
permukaannya. Serbuk sari yang mempunyai satu, dua, atau tiga pori-pori berturut-turut disebut monoporat, diporat, dan triporat. Serbuk sari lainnya
mempunyai kolpus di permukaannya, dengan satu, dua, tiga, dan empat kolpi, berturut-turut disebut monokolpat, dikolpat, trikolpat, dan tetrakolpat Faegri et
al. 1964; Smith 2000.
Permukaan eksin. Serbuk sari juga mempunyai karakteristik permukaan
berdasarkan tipe ornamentasi eksin yang menjadi alat mengidentifikasi. Tipe ornamentasi dapat dibedakan berdasarkan ukuran, bentuk, dan susunan
ornamentasinya, yaitu: psilat, perforat, foveolat, skabrat, verukat, gernat, klavat, pilat, ekinat, rugulat, striat, dan retikulat. Permukaan psilat Yunani: psilos-halus,
rata tidak menampakkan gambaran apa pun di permukaannya dan tampak halus rata, contohnya serbuk sari rumput. Di luar itu, ciri permukaan serbuk sari
digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu yang tampak sebagai penekanan atau ridges pada eksin retikulata, rugulata, dan striata, dan gambaran yang
merupakan tonjolan dari eksin bakulata, klavata, ekinata, gemata, skabrata, dan verukata. Permukaan retikulata Latin: rete=jaring adalah permukaan serbuk sari
yang mirip jaring. Permukaan rugulata Latin: ruga=keriput mempunyai permukaan yang tidak teratur dengan garis-garis keriput yang tidak paralel.
Permukaan striata Latin: stria=garis mempunyai permukaan bergaris halus yang tersusun hampir sejajar. Permukaan eksin bakulata Latin: baculum=batang
adalah tonjolan berbentuk batang dengan diameter terbesar kurang dari tinggi tonjolan. Permukaan klavata Latin: clava=gada berbentuk tonjolan gada atau
raket tenis yang apeks-nya lebih lebar dari dasarnya. Permukaan ekinata Latin: echinatus-duri adalah tonjolan berbentuk duri dan meruncing tajam dari dasar ke
ujungnya. Permukaan gemata Latin: gemma=tunas adalah tonjolan berbentuk tombol pintu atau tonjolan bulat dengan dasar menyempit. Permukaan skabrata
Latin: scaber-bercak kecil cenderung tampak sebagai permukaan kasar yang tersusun dari tonjolan-tonjolan sangat kecil berdiameter kurang dari satu mikron.
Permukaan verukata Latin: verucca-kutil tampak tidak rata dengan tonjolan- tonjolan bulat yang tidak menyempit di dasarnya Faegri et al. 1964; Smith 2000.
Serbuk Sari sebagai Alergen Penting di Udara
Alergen adalah antigen yang memacu produksi antibodi IgE. Alergen dalam udara masuk tubuh melalui inhalasi, terdiri dari partikel organik
aeroalergen dan inorganik. Serbuk sari tumbuhan merupakan sumber alergen yang sangat penting dan dapat menimbulkan penyakit alergi pada kisaran 10-20
populasi manusia, biasanya berupa rinitis alergi Thompson Stewart 1993. Kadar dan jenis serbuk sari dapat berbeda bergantung pada jenis tumbuhan, angin,
dan faktor meteorologik lainnya. Kadar alergen di udara harus cukup tinggi, dengan ukuran yang kecil dan ringan. Serbuk sari yang bersifat alergenik
umumnya berukuran 10-100 µm. Ukuran serbuk sari dapat dibagi menjadi kategori: sangat kecil bila 10 um, kecil 10-25 um, sedang 25-50 um, besar 50-
100 um, sangat besar 100-200 um Weber 1998; Taylor et al. 2002. Kebanyakan partikel aeroalergen mengandung campuran protein atau
glikoprotein yang dapat menimbulkan sensitivitas pada orang yang alergi. Secara klinis aeroalergen mempunyai 3 ciri utama yaitu mengandung determinan antigen
spesifik yang dapat memacu respons alergi melalui antibodi IgE pada orang yang sensitif. Pajanan dengan kadar ambien yang cukup untuk menimbulkan respons
alergi pada orang yang sensitif, berukuran kecil sehingga dapat mencapai mukosa saluran napas Gossage 2000. Bila serbuk sari menempel di mukosa orang yang
alergi, protein alergen yang disimpan dalam seksin dan lapisan intin bergerak melalui lubang-lubang dan lajur-lajur lapisan eksin dan memacu respons alergi
Ring 2005. Serbuk sari di udara merupakan sumber alergen hirupan. Distribusi
musiman aeroalergen bervariasi di berbagai lokasi di satu negara. Rumput- rumputan merupakan tanaman alergenik terpenting di Eropa dan Amerika Jelks
1987; Wodehouse 1965. Di Malaysia telah dilakukan penelitian penangkapan serbuk sari dengan alat penangkap “Rotorod” yang menunjukkan serbuk sari
rumput merupakan 40 dari seluruh jumlah serbuk sari yang tertangkap dalam 1 tahun. Serbuk sari di udara Malaysia menunjukkan variasi musim, puncaknya di
bulan Maret dan paling sedikit di bulan Januari ketika musim hujan dan kelembaban udara relatif tinggi Ho et al. 1995. Serbuk sari rumput di Thailand
juga merupakan serbuk sari alergenik penting yang tertangkap di antara berbagai alergen serbuk sari lainnya Tuchinda et al. 1983, Phanichyakarn et al. 1989.
Serbuk sari alergenik berdasarkan sumbernya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu serbuk sari pohon tree pollen, serbuk sari gulma weed pollen,
dan serbuk sari rumput grass pollen. Serbuk sari pohon berasal dari 2 kelas tumbuhan utama yaitu Angiosperma tumbuhan berbiji tertutup, dan
Gymnosperma tumbuhan berbiji terbuka, contoh pinus-pinusan. Kebanyakan
reaksi alergi yang berarti ditimbulkan oleh serbuk sari Angiosperma, sedang
serbuk sari kerabat-kerabat Pinus secara klinis tidak dianggap penting karena ukurannya besar, antara 50-90
µm dan bersifat antigenik lemah Gossage 2000. Serbuk sari Poaceae sering menimbulkan penyakit alergi karena serbuk sari ini
disebarkan angin dan ditemukan di seluruh dunia. Poaceae dapat ditemukan di semua benua, mulai dari gurun sampai kutub, dalam air tawar maupun air laut,
yang seluruhnya merupakan 25-35 dari vegetasi dunia Esch 2004. Di daerah tropik dan subtropik, serbuk sari suku Poaceae dapat ditemukan
sepanjang tahun. Orang yang sensitif terhadap satu jenis serbuk sari suku Poaceae, biasanya juga menunjukkan reaksi silang terhadap banyak jenis serbuk
sari suku Poaceae lainnya. Serbuk sari Poaceae terbanyak mempunyai diameter antara 20-
60 μm dan dapat menimbulkan gejala alergi pada banyak orang. Serbuk sari yang masuk ke dalam saluran napas dapat menimbulkan gejala mengi,
fragmen serbuk sari dengan ukuran 10 um dapat terhirup dan masuk ke saluran napas bagian bawah Gossage 2000.
Tampaknya rinitis alergi dicetuskan serbuk sari pada saat kontak dengan saluran napas atas dan mata. Pasien mengalami iritasi atau gatal, bersin-bersin dan
kemerahan pada mata atau rinorea segera setelah terkena serbuk sari. Ketika
masuk ke dalam saluran napas atas, gejala-gejala asma dapat terjadi akibat akumulasi cairan dan sekresi di bronkiol terminal Al-Frayh Hasnain 2000.
Sebagian besar studi tentang gejala-gejala alergi umumnya dilakukan terhadap alergen tunggal. Protein alergenik yang spesifik serbuk sari telah
diisolasi dan diidentifikasi Verdino 2006. Alergen serbuk sari mengandung protein atau glikoprotein, tetapi tidak semua protein serbuk sari menyebabkan
sensitisasi pada manusia. Molekul yang dapat menyebabkan sensitisasi pada manusia disebut atopen, memiliki BM antara 10-70 kD dan cenderung terdapat di
dinding luar serbuk sari. Protein alergenik ini bersifat larut air, sehingga mudah tersedia secara biologis dan dapat mencetuskan reaksi alergi yang diperantarai IgE
dalam hitungan detik Suphioglu 1998; Behrendt et al. 2001, Puc 2003. Bila mengalami hidrasi, serbuk sari dapat melepaskan sejumlah enzim dengan
konsentrasi tinggi, termasuk protease yang ketika terdeposisi di permukaan mukosa jalan napas atas, dapat merusak integritas epitel Robinson et al. 1997,
Sehqul et al. 2005. Sensitivitas terhadap alergen lingkungan tidak sama pada setiap individu.
Sebagian orang dapat tersensitisasi dengan kadar yang tinggi atau waktu pajanan yang lama, tetapi sebagian lainnya dapat memperlihatkan sensitivitas luas
terhadap berbagai alergen dengan kadar rendah Taylor et al. 2002; Traidl- Hoffman et al. 2002; Grote et al. 2003; Bacsi et al. 2006. Kemampuan berespons
terhadap alergen, yang disebut kecenderungan atopi ini, ditentukan secara genetis. Terjadinya alergi pada seseorang yang memiliki predisposisi, harus ada pajanan
aeroalergen yang cukup untuk menimbulkan sensitisasi, dan pajanan aeroalergen yang berkesinambungan pada orang yang tersensitisasi untuk menimbulkan gejala
klinis Metzger et al. 1987; Leung 1996. Sensitisasi terhadap pajanan alergen sudah dimulai sejak tahun pertama
kehidupan. Penelitian di Swedia memperlihatkan bahwa sensitisasi terhadap serbuk sari birch Betula spp adalah 25 lebih tinggi pada bayi yang lahir selama
musim serbuk sari birch dibandingkan bayi yang lahir setelah musim tersebut dan tidak terpajan sampai usia 9 bulan Suonemi et al. 1981. Pajanan dini ketika bayi
terhadap alergen poten seperti serbuk sari dan tungau debu rumah pada individu
sensitif merupakan faktor risiko untuk terkena penyakit alergi di kemudian hari Sporik et al. 1990.
Penelitian tentang serbuk sari tumbuhan di Indonesia yang berpotensi menyebabkan penyakit alergi pernah dilakukan di Jakarta Djalil et al. 1987.
Penangkapan serbuk sari dilakukan dengan alat penangkap Burkard volumetric spore trap yang dipasang di daerah Jakarta Pusat selama satu minggu. Pada bulan
November 1985 mendapatkan beberapa spesies spora jamur dan serbuk sari yang berpotensi alergenik, yaitu Alternaria, Cladosporium, Acacia auriculiformis dan
Myrtaceae. Pada bulan Agustus 1987, penelitian serupa diulang kembali dan mendapatkan beberapa jenis serbuk sari yang banyak ditemukan di Jakarta, yaitu
dari suku Poaceae Gramineae, Moraceae, A. auriculiformis, dan Myrtaceae. Spora jamur terbanyak yang didapat adalah Cladosporium, Drechslera,
Nigrospora, Alternaria, dan Cercospora. Penangkapan pada bulan November 1985 dianggap mewakili musim hujan, sedangkan pada bulan Agustus 1987
mewakili musim kemarau. Dari pengamatan tersebut, tampak dominasi spora Cladosporium di musim kemarau dan Alternaria di musim hujan. Namun tidak
tampak ada perbedaan jumlah serbuk sari yang bermakna antara musim hujan dan kemarau. Untuk meneliti serbuk sari yang berpotensi alergenik, perlu diketahui
serbuk sari mana yang memiliki konsentrasi tinggi di udara. Serbuk sari A. auriculiformis mencapai konsentrasi puncak pada pukul 11
pagi, sedangkan serbuk sari Poaceae mencapai konsentrasi puncak antara pukul 13-15 siang. Dari perhitungan, tampak bahwa konsentrasi berbagai serbuk sari
yang ditangkap sangat rendah untuk menyebabkan gangguan alergi, kecuali konsentrasi serbuk sari Poaceae dan A. auriculiformis.
3. BAHAN DAN METODE