pertimbangan yang diambil hakim pidana dalam hal wewenang mengadili perkara ganti rugi. Hakim pidana akan memeriksa
dan menimbang tentang kewenangan kompetensi untuk mengadili gugatan atau tuntutan tersebut, kebenaran dasar
gugatan materiele gebeuren, hukum pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan Pasal 99 ayat 2
KUHAP, dan atas dasar itu diambil keputusan berwenang untuk mengadili perkara tersebut, tidak berwenang untuk
mengadili perkara tersebut, atau gugatan dinyatakan tidak
dapat diterima.” Dalam penelitian Cakranegara; menjelaskan “Hak Korban Atas
Ganti Rugi Dalam Perkara Pidana. Perbedaan dari penelitian penulis adalah “Bantuan Hukum Bagi Korban Guna Pemenuhan Hak-Haknya
dalam Proses Peradilan Pidana Studi Pada Wilayah Hukum Semarang”.
Dapat dilihat dari rumusan masalah, peneliti mengkaji mengenai bantuan hukum yang diberikan kepada korban di setiap tingkat proses peradilan
pidana, serta upaya hukum yang dapat dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak korban. Sementara Cakranegara lebih mengarah kepada Hak
korban dari aspek pemenuhan ganti kerugian.
2.1.2 Skripsi Khasan Rifii, Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945
Semarang, 2011 Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana
Dalam skripsi Khasan Rifii yang berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana Skripsi,
Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, 2011 dengan rumusan masalah
yaitu Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap korban kejahatan di dalam perkara pidana? Hambatan-Hambatan yang
dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan korban tindak pidana dan bagaimanakah upaya mengatasinya?
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan bahwa perlindangan hukum terhadap korban tindak pidana
dalam KUHAP belum mendapat perhatian secara optimal, tetapi sebaliknya perhatian pengaturan hukum atas dasar
penghormatan terhadap HAM dari pelaku tindak pidana cukup banyak. Pandangan KUHAP terhadap hak-hak korban tindak
pidana masih sangat terbatas sekali dan tidak sebanding dengan hak-hak yang diperoleh pelaku tindak pidana itu
sendiri. Dengan keluarnya undang-undang perlindungan saksi dan korban, perlindungan hukum terhadap korban kejahatan
lebih diperhatikan daripada yang terdapat dalam KUHAP. Kedudukan korban adalah sebagai saksi dalam proses acara
pembuktian di persidangan merupakan saksi umum dan merupakan alat bukti yang terpenting sebagai saksi yang
pertama-tama diperiksa Pasal 160 ayat 1 sub b KUHAP kedudukan saksi korban dibandingkan dengan saksi-saksi yang
lain adalah sama. Kedudukan korban akan bisa berubah menjadi penggugat apabila mengajukan gugatan ganti rugi
pada hakim. Sesuai dengan filsafat hukum Pancasila yang
menganut prinsip “pengayoman” dan “keseimbangan untuk semua pihak” anggota masyarakat pencari keadilan yang
mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pengadilan equality before the law and before the court.
Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan korban kejahatan adalah minimnya yurisprudensi
Mahkamah Agung yang mendukung kepentingan korban. Kedudukan dan posisi korban yang diwakili jaksa penuntut
umum, tidak memungkinkan korban untuk melakukan upaya hukum manakala korban dirugikan kepentingannya.
Dalam penelitian Khasan Rifii; menjelaskan “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana. Perbedaan
dari penelitian penulis adalah “Bantuan Hukum Bagi Korban Guna Pemenuhan Hak-Haknya dalam Proses Peradilan Pidana Studi Pada
Wilayah Hukum Semarang”. Dapat dilihat dari rumusan masalah, peneliti mengkaji mengenai bantuan hukum yang diberikan kepada korban di
setiap tingkat proses peradilan pidana, serta upaya hukum yang dapat
dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak korban. Sementara Khasan Rifii lebih mengarah kepada Perlindungan Hukum Terhadap Korban dari
aspek KUHAP.
2.2 Bantuan Hukum