Peranan Lembaga Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana (Studi Di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

(1)

PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) DALAM PROSES PERADILAN PIDANA (Studi Di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

OLEH

MANGARA SUGIARTO SITORUS NIM : 050200218

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) DALAM PROSES PERADILAN PIDANA (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

MANGARA SUGIARTO SITORUS NIM : 050200218

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Muhammad Hamdan, S.H.,M.Hum. NIP : 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.,M.Hum Edi Yunara, SH.,M.Hum NIP :195102061980021001 NIP :196012221986031003

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerahnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul : “PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA (STUDI DI LEMBAGA BANTUAN HUKUM MEDAN)”.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., MH., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak M. Husni, SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak Muhammad Hamdan, SH., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.


(4)

yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

7. Bapak Edi Yunara, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini; 8. Ibu Liza Erwina, SH., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

9. Ibu Dr. Agusmidah, SH., M.Hum., selaku Dosen Wali Penulis selama menjalani masa pekuliahan;

10.Bapak dan Ibu dosen serta para pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan administrasi penulis selama menjalani perkuliahan.

Penulis secara khusus mengucapkan terima kasih kepada;

1. Kedua orang tuaku yang kukasihi D. Sitorus dan R. Manurung, kakak beserta abang-abangku yang telah memberikan semua kebutuhan dan yang terus mendukung penulis dalam pengerjaan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini;

2. Seluruh Staff LBH Medan diantaranya Bapak Sugianto, SH., Bapak Muslim Tanjung, SH, Bapak Luhut Siahaan SH, Bapak Alex Simanjuntak, dan Ibu Reni Lorensa, SH yang telah memberikan data dan bersedia untuk saya wawancarai;

3. Semua teman-teman yang turut menjadi sahabat penulis dalam mengerjakan skripsi ini.


(5)

4. Untuk semua pihak yang telah membantu penulis dalam pengerjaan studi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan baik dari segi materi maupun formatnya, untuk itu kritik dan saran yang membangun akan selalu diterima. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2011


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 9

1. Pengertian Bantuan Hukum ... 9

2. Pengertian Lembaga Bantuan Hukum ... 16

3. Dasar Pemberian Bantuan Hukum ... 20

4. Pengertian Peradilan Pidana ... 24

F. Metodologi Penelitian ... 29

G. Sistematika Penulisan ... 32

BAB II SEJARAH DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM ... 34

A. Sejarah Lembaga Bantuan Hukum ... 34

B. Perkembangan Lembaga Bantuan Hukum ... 42 C. Data Penanganan Dan Penyelesaian Perkara Pidana Oleh LBH


(7)

Medan Selama Periode 2007-2010 ... 48

BAB III TUGAS DAN KEWENANGAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ... 50

A. Subjek Pemberi Bantuan Hukum ... 50

B. Objek Pemberian Bantuan Hukum ... 53

C. Tugas dan Kewenangan Lembaga Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana ... 55

1. Tugas Lembaga Bantuan Hukum ... 55

2. Kewenangan Lembaga Bantuan Hukum ... 59

BAB IV FUNGSI DAN PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ... 62

A. Hak Lembaga Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana ... 62

B. Kewajiban Lembaga Bantuan Hukum dalam Proses Peradilan Pidana ... 67

C. Fungsi Dan Peranan Lembaga Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana ... 69

1. Fungsi Lembaga Bantuan Hukum ... 69

2. Peranan Lembaga Bantuan Hukum ... 72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 86


(8)

ABSTRAKSI

Mangara Sugiarto Sitorus1

1

Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II

Syafruddin Kalo** Edi Yunara**

Pembangunan pada dasarnya selalu mempengaruhi hukum yang hidup dalam masyarakat. Semakin berkembang suatu pembangunan dalam suatu negara maka semakin besarlah peranan hukum di dalamnya. Perkembangan hukum selalu berpengaruh terhadap masalah penegakan hukum. Dalam hal ini penegakan hukum terhadap hak-hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum seringkali diabaikan oleh aparat penegak hukum. Dengan dalih akan memperlama proses peradilan maka bantuan hukum yang seyogyanya menjadi hak tersangka menjadi tidak terealisasi. Beranjak dari kondisi semacam inilah Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat memiliki peran strategis dalam merealisasikan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum.

Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai sejarah dan perkembangan Lembaga Bantuan Hukum, tugas dan kewenangan Lembaga Bantuan Hukum serta fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan metode gabungan antara pendekatan yang bersifat normatif (legal research) dan pendekatan yang bersifat empiris (juridis sosiologis). Dalam hal ini penulis menggunakan metode pendekatan yang bersifat normatif untuk meneliti asas-asas hukum dan meneliti bagaimana pengaturan bantuan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif) dengan menggunakan buku-buku, majalah-majalah hukum, artikel dan bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan tulisan ini. Melalui metode pendekatan yang bersifat empiris, penulis berusaha mendapatkan data primer atau data yang didapat langsung dari penelitian lapangan, dalam hal ini mengenai fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana.

Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat merupakan lembaga yang memberi bantuan hukum kepada tersangka/terdakwa secara cuma-cuma/prodeo agar ia sadar akan hak-hak dan kewajibannya dalam proses peradilan pidana. Sejarah dan perkembangan Lembaga Bantuan Hukum menunjukkan bagaimana bantuan hukum terhadap tersangka terus diperjuangkan bahkan sampai mengarah pada bantuan hukum struktural. Tugas dan kewenangan Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat belum digambarkan secara jelas dalam undang-undang yang mengakibatkan menjadi biasnya tugas Lembaga Bantuan Hukum sebagai penegak hukum. Hak dan kewajiban Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat memang sudah tergambar dalam Undang-undang Advokat namun demikian fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum masih belum terealisasi dengan baik.


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jumlah Kasus per Tahun yang ditangani LBH Medan

Tabel 2 : Data Penanganan dan Penyelesaian Perkara Oleh LBH Medan Tabel 3 : Bantuan Hukum Pada saat Penyidikan yang bersifat yuridis


(10)

ABSTRAKSI

Mangara Sugiarto Sitorus1

1

Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II

Syafruddin Kalo** Edi Yunara**

Pembangunan pada dasarnya selalu mempengaruhi hukum yang hidup dalam masyarakat. Semakin berkembang suatu pembangunan dalam suatu negara maka semakin besarlah peranan hukum di dalamnya. Perkembangan hukum selalu berpengaruh terhadap masalah penegakan hukum. Dalam hal ini penegakan hukum terhadap hak-hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum seringkali diabaikan oleh aparat penegak hukum. Dengan dalih akan memperlama proses peradilan maka bantuan hukum yang seyogyanya menjadi hak tersangka menjadi tidak terealisasi. Beranjak dari kondisi semacam inilah Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat memiliki peran strategis dalam merealisasikan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum.

Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai sejarah dan perkembangan Lembaga Bantuan Hukum, tugas dan kewenangan Lembaga Bantuan Hukum serta fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan metode gabungan antara pendekatan yang bersifat normatif (legal research) dan pendekatan yang bersifat empiris (juridis sosiologis). Dalam hal ini penulis menggunakan metode pendekatan yang bersifat normatif untuk meneliti asas-asas hukum dan meneliti bagaimana pengaturan bantuan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif) dengan menggunakan buku-buku, majalah-majalah hukum, artikel dan bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan tulisan ini. Melalui metode pendekatan yang bersifat empiris, penulis berusaha mendapatkan data primer atau data yang didapat langsung dari penelitian lapangan, dalam hal ini mengenai fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana.

Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat merupakan lembaga yang memberi bantuan hukum kepada tersangka/terdakwa secara cuma-cuma/prodeo agar ia sadar akan hak-hak dan kewajibannya dalam proses peradilan pidana. Sejarah dan perkembangan Lembaga Bantuan Hukum menunjukkan bagaimana bantuan hukum terhadap tersangka terus diperjuangkan bahkan sampai mengarah pada bantuan hukum struktural. Tugas dan kewenangan Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat belum digambarkan secara jelas dalam undang-undang yang mengakibatkan menjadi biasnya tugas Lembaga Bantuan Hukum sebagai penegak hukum. Hak dan kewajiban Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat memang sudah tergambar dalam Undang-undang Advokat namun demikian fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum masih belum terealisasi dengan baik.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan yang terus-menerus dilakukan untuk mewujudkan tujuan nasional seperti yang dimaksudkan di dalam pembukaan UUD 1945 menyebabkan peranan hukum semakin mengedepan.2

Dalam negara hukum, kekuasaan negara dibatasi Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga negara tidak bisa bertindak sewenang-wenang dan menyalahgunakan kekuasaan. Negara hukum baru tercapai apabila ada pengakuan terhadap demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum selama negara itu tidak memberikan

Intensitas serta kesibukan dalam upaya menyusun suatu tatanan kehidupan yang baru di Indonesia melalui pembangunan dan modernisasi ternyata memberikan pengaruh terhadap dunia hukum.

Keterlibatan hukum yang semakin aktif ke dalam persoalan-persoalan yang menyangkut perubahan sosial justru memunculkan permasalahan yang mengarahkan pada penggunaan hukum secara sadar dan aktif sebagai sarana untuk turut menyusun tata kehidupan yang baru tersebut. Hal ini tampak pada segi pengaturan oleh hukum, baik dari aspek legitimasinya maupun aspek keefektifan penerapannya. Persoalan yang muncul tersebut dengan demikian bergeser dari bagaimana mengatur sesuai dengan prosedur hukum, ke arah bagaimana pengaturan itu sehingga dalam masyarakat akan timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh hukum.

2

Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hal. 1.


(12)

penghargaan dan jaminan dihargainya Hak Asasi Manusia (HAM), karena ciri-ciri dari negara hukum itu sebenarnya terdiri atas :

1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, kultural dan pendidikan.

2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan/ kekuatan lain apapun.

3. Legalitas, dalam arti hukum dalam semua bentuk.3

Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk penghormatan terhadap hak tersangka, selama ini kurang mendapatkan perhatian dari Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Apalagi pada waktu berlaku Herziene

Indlandsch Reglement (H.I.R) sampai dengan tahun 1981. Oleh karena itu

masyarakat hukum Indonesia telah lama memperjuangkan dan mencita-citakan suatu hukum acara pidana nasional yang lebih manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak tersangka.4

3

Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Bantuan Hukum Di Indonesia, (Banjarmasin: Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, 1980), hal. 2.

4

Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2000), hal. 63.

Pada bagian lain insiden perlakuan tidak manusiawi, penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia terutama orang miskin yang tidak mampu membayar jasa hukum dan pembelaan seorang Advokat profesional. Sering dalam pelaksanaannya tidak sedikit tersangka/terdakwa dipersulit dalam mencari Penasehat Hukumnya. Sehingga tidak jarang seorang tersangka/terdakwa atau kaum miskin yang diintimidasi oleh penyidik. Termasuk adanya praktek-praktek pemaksaan/penyiksaan dan berbagai bentuk perlakuan tidak manusiawi lainnya dalam setiap pemeriksaan tersangka


(13)

yang dilakukan oleh penyidik, dan adalah cukup sulit untuk menghilangkan hal tersebut.5

5

Ibid, hal. 38.

Dalam keadaan seperti inilah bantuan hukum yang dari Lembaga Bantuan Hukum diperlukan untuk membela orang miskin dan buta hukum agar tidak menjadi korban penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan derajat manusia yang dilakukan oleh penegak hukum.

Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP, pelaksanaan bantuan hukum tetap merupakan salah satu masalah aktual untuk dibicarakan. Keadaan yang demikian cukup dapat dimengerti karena sejak berlakunya KUHAP pada tanggal 31 Desember 1981 dikenal adanya pemberian bantuan hukum dalam semua tingkat pemeriksaan, termasuk dalam proses Penyidikan. Pemberian bantuan hukum dalam proses Penyidikan ini, tentu saja merupakan hal yang baru dalam sistem penyelenggaraan peradilan pidana kita, sebab pemberian bantuan hukum dalam proses Penyidikan tidak dikenal dalam ketentuan Hukum Acara Pidana lama yaitu yang didasarkan pada Het Herziene

Inlansdsh Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44, selanjutnya disebut HIR). Sebagaimana diketahui bahwa menurut HIR hak bantuan hukum baru

diperoleh tersangka/terdakwa apabila perkaranya telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, sehingga tersangka/terdakwa pada tingkat pemeriksaan pendahuluan termasuk dalam proses Penyidikan tidak dapat memperoleh bantuan hukum. Karena hal yang demikian ini, maka dalam praktek dimungkinkan sering terjadinya perlakuan sewenang-wenang terhadap tersangka/terdakwa.


(14)

Meskipun hak bantuan hukum sebelumnya sebelumnya telah dikenal dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yaitu tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, tetapi lahirnya KUHAP tetap harus dipandang sebagai sesuatu hal yang baru. Hal ini karena lahirnya KUHAP berarti telah terjadi suatu perubahan desain baru yang cukup fundamental dalam sistem peradilan pidana kita. Hal tersebut berakibat adanya keharusan cara-cara bagi aparat penegak hukum dalam melakukan pekerjaan hukum yang berbeda dengan cara-cara lama. Cara-cara baru tersebut tentu saja sangat berpengaruh terhadap efektifitas pelaksanaan bantuan hukum yang telah dialokasikan.

Lembaga Bantuan Hukum yang dikenal sekarang ini di Indonesia merupakan hal baru. Karena dalam sistem hukum tradisional lembaga seperti ini tidak dikenal. Lembaga ini baru dikenal semenjak Indonesia memberlakukan sistem hukum barat yang bermula pada tahun 1848, ketika itu di negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 Nomor 1 perundang-undangan baru di negeri Belanda juga diberlakukan untuk Indonesia, antara lain peraturan tentang Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Peradilan (Reglement op de

Rechterlijke Organisatie et het Beleid der Justitie yang lazim disingkat R.O.).

Karena dalam peraturan baru itu diatur untuk pertama kali Lembaga Advokat, maka diperkirakan bahwa pada saat itu untuk pertama kali Lembaga Bantuan Hukum dalam arti formal mulai dikenal di Indonesia. Tetapi nampaknya peranan Lembaga Bantuan Hukum pada masa itu, kurang begitu dirasakan oleh karena


(15)

jumlah para Advokat yang bergerak di bidang bantuan hukum masih terbilang sedikit.

Perkembangan bantuan hukum di Indonesia mulai memasuki babak baru ketika di era tahun 70-an. Babak baru tersebut dimulai ketika berdirinya Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang didirikan oleh Adnan Buyung Nasution. Lembaga Bantuan Hukum ini merupakan pilot proyek dari Peradin. Lembaga Bantuan Hukum sebagai salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana (criminal justice

sistem) dapat memegang peranan penting dalam membela dan melindungi

hak-hak tersangka. Ide dari Lembaga Bantuan Hukum itu sendiri dicetuskan semula sebagai aktualisasi dan konseptualisasi dari fungsi Advokat untuk membagi waktu dan keahliannya untuk membantu, memberi nasehat hukum, dan membela orang-orang yang tidak mampu.6

Keberadaan Lembaga Bantuan Hukum sangat penting ditengah masyarakat mengingat prinsip persamaan didepan hukum atau equality before the

law. Apalagi dengan sebagian besar anggota masyarakat kita masih hidup

dibawah garis kemiskinan, dan minimnya pengetahuan hukum masyarakat juga merupakan hambatan dalam menerapkan hukum dalam masyarakat. Terlebih lagi budaya hukum dan tingkat kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang masih rendah. Sebagai suatu perumpamaan adalah adanya kasus yang dihadapi si kaya dan si miskin. Pihak yang kaya pasti tanpa kesulitan akan mendapatkan bantuan hukum dari seorang pemberi bantuan hukum yang benar-benar mahir dan profesional tentunya karena kekayaan yang dia miliki. Sedangkan bagi si miskin

6

Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia: Citra, Idealisme Dan Keprihatinan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 28.


(16)

dan buta hukum pasti akan kesulitan mendapatkan bantuan hukum. Situasi seperti inilah yang memungkinkan Lembaga Bantuan Hukum dengan kesadarannya mengambil peran dalam pemberian bantuan hukum. Situasi dan kondisi ini tentunya berbeda dengan keadaan yang ada diluar negeri dimana pada mulanya Advokatlah yang bertugas memberikan bantuan hukum kepada golongan lemah/ fakir miskin. Namun karena sudah tidak terjangkau lagi beban tugas bantuan hukum tersebut oleh Advokat mengingat kesibukannya sehari-hari maka dibentuklah Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di luar negeri. Dengan kehadiran Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana maka proses pencarian keadilan menjadi seimbang dalam hal kedudukan masing-masing pihak, yakni pihak negara berhadapan dengan tersangka/terdakwa dilain pihak.

Lembaga Bantuan Hukum selain karena mengusung konsep baru dalam pelaksanaan program bantuan hukum di Indonesia Lembaga Bantuan Hukum juga dianggap sebagai cikal bakal bantuan hukum yang terlembaga yang dikatakan paling berhasil pada masa itu. Hingga tak pelak Pendirian Lembaga Bantuan Hukum ini kemudian mendorong tumbuhnya berbagai macam dan bentuk organisasi dan wadah bantuan hukum di Indonesia. Seorang peneliti asing, Daniel S. Lev mencatat diawal tahun 1980-an terdapat hampir seratus organisasi yang terlibat dalam bantuan hukum dalam beragam macam jenisnya.7

7

Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 495. Tentunya perkembangan jumlah Lembaga Bantuan Hukum ini tidak terlepas dengan trend yang dianut generasi muda yang lebih tertarik pada perjuangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) daripada bergabung dengan partai politik yang dibelenggu


(17)

peraturan perundang-undangan dan sistem politik yang kaku dan represif.

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini sesuai dengan latar belakang di atas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana sejarah dan perkembangan Lembaga Bantuan Hukum dalam memberikan bantuan hukum?

2. Bagaimana tugas dan kewenangan Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana?

3. Bagaimana fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dan manfaat dalam melakukan penulisan skripsi yang berjudul “ Peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana “ adalah :

1. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan Lembaga Bantuan Hukum dalam memberikan bantuan hukum pada proses peradilan pidana.

b. Untuk mengetahui tugas dan kewenangan Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana.


(18)

proses peradilan pidana

2. Manfaat Penulisan

a. Secara Teoritis penulisan skripsi ini bermanfaat bagi kepentingan Ilmu Pengetahuan Hukum Acara Pidana dalam penegakan hukum dan secara luas peranan suatu Lembaga Bantuan Hukum dalam poses peradilan pidana.

b. Secara Praktis penulisan skripsi ini bermanfaat bagi aparat penegak hukum dalam memperhatikan hak-hak tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana dan juga masalah bantuan hukum kepada tersangka yang tidak mampu dan buta hukum.

D. Keaslian Penulisan

Tulisan yang berjudul :“PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA”, yang diangkat menjadi judul skripsi ini adalah karya asli penulis berdasarkan pembelajaran, pemahaman, dan penelitian yang dilakukan sendiri oleh penulis. Tulisan dengan judul:“PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA”, belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun doktrin-doktrin yang ada melalui referensi buku-buku, media elektronik dan bantuan dari


(19)

berbagai pihak. Jikalaupun ada tulisan yang berjudul sama dengan tulisan ini pasti memiliki pokok bahasan dan substansi yang berbeda.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Bantuan Hukum

Di Indonesia, istilah bantuan hukum sering diartikan secara berlain-lainan. Membuat suatu rumusan yang tepat mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah tidak mudah. Ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama konsep bantuan hukum itu sendiri dipergunakan sebagai terjemahan dari dua istilah asing yang berbeda, yaitu legal aid dan legal assistence. Istilah legal

aid dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum dalam arti

sempit yang berupa pemberian jasa-jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu perkara secara cuma-cuma bagi mereka yang tidak mampu. Dengan demikian yang menjadi motivasi utama dalam konsep legal aid adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum.8

Sedangkan pengertian legal assistence mengandung pengertian yang lebih luas dari legal aid, istilah legal assistence dipergunakan untuk menunjuk pengertian bantuan hukum yang diberikan baik kepada mereka yang yang tidak mampu yang diberikan secara cuma-cuma maupun pemberian bantuan hukum oleh para Penasehat Hukum yang mempergunakan honorarium.

9

8

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 333.

9

Ibid

Disamping kedua istilah tersebut diatas yang diterjemahkan dengan bantuan hukum, dikenal


(20)

juga istilah legal services yang dalam bahasa Indonesia lebih tepat bila diterjemahkan dengan istilah pelayanan hukum. Konsep legal services mencakup pengertian yang lebih luas lagi daripada dua konsep bantuan hukum sebelumnya. Pada konsep legal services tercakup kegiatan :

1. Memberi bantuan hukum kepada anggota masyarakat yang operasionalnya bertujuan menghapuskan kenyataan-kenyataan diskriminatif dalam penegakan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan. 2. Dan dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat

yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang diberikan hukum bagi setiap anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan yang miskin.

3. Disamping untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak yang diberikan hukum kepada setiap orang, legal services dalam operasionalnya lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap persengketaan dengan jalan menempuh cara perdamaian.10

Kedua, perkembangan paradigma mengenai hukum yaitu hubungan hukum dengan hal-hal lain diluar hukum. Kini dikenal juga istilah advokasi. Konsep advokasi mencakup pengertian yang lebih luas lagi dari ketiga konsep diatas. Dalam konsep advokasi tercakup kegiatan-kegiatan yang menyangkut aktivitas mempengaruhi penguasa tentang masalah-masalah yang menyangkut

10


(21)

rakyat, terutama mereka yang telah dipinggirkan dan dikucilkan dari proses politik.11

Tujuan aktivitas advokasi adalah membangun organisasi-organisasi demokratis yang kuat untuk membuat para penguasa lebih bertanggung jawab.

Jadi dalam konsep advokasi tercakup juga aktivitas-aktivitas yang bertujuan politis. Hukum dipandang sebagai fenomena sosial yang tidak terlepas dari fenomena sosial lainnya seperti politik dan ekonomi.

12

Dalam operasionalnya advokasi memusatkan perhatian pada berbagai persoalan seperti : seberapa banyak mereka mendapatkannya, siapa yang ditinggalkan, bagaimana uang rakyat dibelanjakan, bagaimana keputusan-keputusan dibuat, bagaimana sejumlah orang dicegah untuk ikut serta dalam keputusan-keputusan itu, dan bagaimana informasi dibagikan dan disembunyikan.13

“…Didalam sistem hukum Romawi Kuno, maka bantuan hukum merupakan bagian dari patronase politik. Di dalam periode abad menengah, maka bantuan hukum menjadi bagian dari bidang moral. Pekerjaan tersebut dilakukan sebagai suatu derma. Setelah revolusi Perancis, maka bantuan hukum menjadi Ketiga, terdapat hubungan antara cara-cara pemerintah atau negara campur tangan dengan realisasi tujuan bantuan hukum, yakni perlindungan hukum yang merata. Menurut Cappeleti Gordley dalam artikelnya yang berjudul “Legal aid:

modern themes and variations”, seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto:

11

Valerie Miller dan Jane Covey, Pedoman Advokasi: Kerangka Kerja untuk Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 12.

12

Ibid

13


(22)

bagian dari proses hukum, artinya pada waktu itu kepada warga masyarakat diberikan hak yang sama untuk berurusan dengan Hakim”.14

“Permintaan akan bantuan hukum atau perlindungan hukum tergantung pada warga masyarakat yang memerlukannya. Warga masyarakat yang memerlukan bantuan hukum menemui Pengacara, dan Pengacara akan memperoleh imbalan atas jasa-jasa yang diberikannya dari negara.

Dari hubungan antara bantuan hukum dengan campur tangan negara atau pemerintah tersebut Cappelletti dan Gordley membagi bantuan hukum dalam dua model, yakni yuridis-individual dan model kesejahteraan. Pola yuridis-individual masih mewarisi ciri-ciri pola klasik dari bantuan hukum yaitu:

15

“Kewajiban-kewajiban negara atau pemerintah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar warga masyarakat, menimbulkan hak-hak tertentu, dimana bantuan hukum merupakan salah satu cara untuk memenuhi hak-hak tersebut”.

Pada bantuan hukum model kesejahteraan campur tangan negara dituntut untuk lebih intensif. Bantuan hukum dipandang sebagai bagian dari usaha negara untuk mewujudkan kesejahteraan, bagian dari program pengembangan sosial atau perbaikan sosial :

16

14

Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum: Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 11.

15

Ibid, hal. 12.

16

Ibid

Lain halnya dengan Schuyt, Groenendijk dan Sloot, menurut mereka bantuan hukum biasanya dibedakan ke dalam lima jenis, yaitu :


(23)

1. Bantuan hukum preventif yang merupakan penerangan hukum dan penyuluhan hukum kepada warga masyarakat luas.

2. Bantuan hukum diagnostik yaitu pemberian nasehat hukum yang lazim disebut dengan konsultasi hukum.

3. Bantuan hukum pengendalian konflik yang merupakan bantuan hukum konkrit secara aktif. Jenis bantuan hukum seperti ini yang lazim dinamakan bantuan hukum bagi warga masyarakat yang kurang mampu atau tidak mampu secara sosial ekonomis.

4. Bantuan hukum pembentukan hukum yang intinya adalah untuk memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas, dan benar.

5. Bantuan hukum pembaharuan hukum yang mencakup usaha-usaha untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui hakim atau pembentuk undang-undang dalam arti materil.17

Untuk memperoleh pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan bantuan hukum di Indonesia, berikut akan dikutip beberapa pendapat ataupun rumusan tentang bantuan hukum:

Santoso Poedjosoebroto berpendapat bahwa bantuan hukum atau legal aid diartikan sebagai berikut :

“…Bantuan hukum baik yang berbentuk pemberian nasehat hukum maupun yang berupa menjadi kuasa dari seseorang yang berperkara yang

17


(24)

diberikan kepada orang yang tidak mampu ekonominya, sehingga ia tidak dapat membayar biaya (honorarium) kepada seorang Pembela atau Pengacara”.18

“Yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seorang terdakwa dari seorang Penasehat Hukum, sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan perkaranya di muka pengadilan”.

Dari rumusan diatas mengenai bantuan hukum diperoleh gambaran umum mengenai bantuan hukum namun secara relative masih terbatas ruang lingkupnya.

Rumusan yang lebih sempit lagi pernah dikemukakan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia, yang berpendapat :

19

“Bantuan hukum merupakan salah satu upaya mengisi hak asasi manusia HAM) terutama bagi lapisan termiskin rakyat kita, yang tujuan bantuan hukum tidak saja terbatas pada bantuan hukum individual tetapi juga struktural”.

Todung Mulya Lubis dalam tulisannya berjudul “Gerakan

Bantuan Hukum di Indonesia (Sebuah Studi Awal)” merumuskan bantuan hukum

yang lebih luas yaitu :

20

18

Ibid, hal. 21.

19

Ibid

20

T. Mulya Lubis, Gerakan Bantuan Hukum di Indonesia (Sebuah Studi Awal) Dalam Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum: Ke Arah Bantuan Hukum Struktural, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 12.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara cuma-cuma pada pasal 1 angka 3 merumuskan bantuan hukum secara cuma-cuma sebagai berikut:

“Bantuan hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu”.


(25)

Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat pada pasal 1 butir 9 merumuskan bantuan hukum sebagai berikut:

“Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu”.

Selanjutnya dalam pasal 1 butir 2 yang dimaksud dengan jasa hukum adalah :

“Jasa hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”.

Meskipun Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tidak merumuskan secara jelas tentang pengertian bantuan hukum, tetapi dari pasal 54 undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa bantuan hukum merupakan hak tersangka atau terdakwa untuk didampingi seorang Penasehat Hukum atau lebih, untuk kepentingan pembelaan perkara pidana bagi tersangka atau terdakwa, selama dalam waktu pemeriksaan dan pada setiap tingkat pemeriksaan.

Dari beberapa perumusan tentang bantuan hukum yang telah dikemukakan diatas ternyata terdapat berbagai persepsi mengenai bantuan hukum. Berbagai persepsi yang timbul tersebut merupakan akibat dari pertama, pengunaan istilah bantuan hukum sebagai dua istilah asing yang berlainan, kedua timbul dari hubungan antara hukum dengan hal-hal lain diluar hukum seperti politik dan ekonomi dan ketiga hubungan antara negara atau pemerintah dengan realisasi tujuan bantuan hukum,.


(26)

persamaan-persamaan yang merupakan prinsip dari bantuan hukum. Adapun prinsip tersebut secara keseluruhan dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Bantuan hukum merupakan suatu pekerjaan yang memerlukan suatu pendidikan khusus dan keahlian khusus, ia merupakan suatu pekerjaan yang bersifat profesional.

2. Bantuan hukum merupakan suatu pekerjaan pemberian jasa, dimana ada orang tertentu yang memberikan jasa kepada orang yang memerlukan.

3. Bantuan hukum merupakan hak, artinya ia merupakan sesuatu yang dapat dituntut pemenuhannya oleh setiap subjek hukum.

Untuk kepentingan penulisan skripsi ini bantuan hukum akan dibatasi pada bantuan hukum secara cuma-cuma dalam proses peradilan pidana yang diberikan oleh Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat.

2. Pengertian Lembaga Bantuan Hukum

Istilah lembaga berasal dari kata institution yang menunjuk pada pengertian tentang sesuatu yang telah mapan.21

21

Abdulsyani, Sosiologi: Skematika, Teori dan Terapan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hal. 75.

Dalam pengertian sosiologis lembaga dapat dilukiskan sebagai organ yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Menurut Malinowski pengertian lembaga dapat diartikan sebagai sekelompok orang-orang yang bersatu (dan karena itu terorganisir) untuk tujuan tertentu, yang memiliki sarana kebendaan dan teknis untuk mencapai tujuan tersebut dan paling tidak melakukan usaha yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu tadi, yang mendukung sistem nilai tertentu, etika, dan


(27)

kepercayaan-kepercayaan yang memberikan pembenaran kepada tujuan dan yang dalam rangka mencapai tujuan tadi berulang kali melakukan jenis-jenis perbuatan yang sedikit banyak dapat diramalkan.22

Menurut Frans Hendra Winarta pengertian Lembaga Bantuan Hukum adalah suatu lembaga yang berperan untuk memberikan bantuan hukum (legal

aid) kepada orang miskin yang tidak bisa membayar Advokat profesional untuk

membela kepentingannya.23 Biasa dikenal dengan pro bono publico work, dimana para pembelanya adalah mahasiswa jurusan hukum atau sarjana muda hukum dalam rangka turut serta dalam pengglembengan untuk menjadi Advokat dan mencari pengalaman praktek lapangan. Sedangkan Adnan Buyung Nasution berpendapat bahwa Lembaga Bantuan Hukum adalah suatu lembaga yang khusus bertujuan memberikan bantuan hukum kepada rakyat kecil yang buta hukum dan tidak mampu.24

Pembentukan Lembaga Bantuan Hukum yang digagas oleh Adnan Buyung Nasution tergolong sebagai usaha yang berani, karena suatu usaha untuk melaksanakan program pelayanan hukum bagi kaum miskin bukanlah tugas sederhana dan ringan. Ia tidak saja menuntut kesediaan berkorban secara materi, akan tetapi mensyaratkan pula adanya kesadaran kemasyarakatan kita sebagai

22

T. O. Ihromi, Antropologi dan Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), hal. 57.

23

Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia: Citra, Idealisme Dan Keprihatinan, Op. cit., hal. 75.

24


(28)

kelompok elite, khususnya dalam memandang golongan miskin penghuni lapisan bawah piramida masyarakat Indonesia.25

1) Memberikan bantuan hukum kepada mayarakat miskin dan buta hukum

Tujuan pembentukan Lembaga Bantuan Hukum meliputi tiga hal, yaitu:

2) Menumbuhkan dan membina kesadaran warga masyarakat akan hak-hak sebagai subjek hukum.

3) Mengadakan pembaharuan hukum sesuai dengan tuntutan zaman.

Tujuan pertama dan kedua Lembaga Bantuan Hukum secara jelas untuk mewujudkan program yang bersifat memassa dengan menjalankan pelayanan hukum bagi kaum miskin. Inilah yang paling menonjol dari Lembaga Bantuan Hukum dalam menjalankan tujuannya. Sedangkan tujuan ketiga Lembaga Bantuan Hukum yang menyangkut pembaharuan hukum belumlah menegaskan sama sekali sikap kita dibidang ini. Walaupun ini pernah dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dalam mempersoalkan Undang-Undang Subversi.

Dalam perkembangannya Lembaga Bantuan Hukum terbagi dalam dua kelompok yaitu:

1. Lembaga Bantuan Hukum Swasta

Lembaga inilah yang telah muncul dan berkembang belakangan ini. Anggotanya pada umumnya terdiri dari kelompok yang bergerak dalam profesi hukum sebagai Pengacara. Konsep dan perannya jauh lebih luas dari sekadar memberi bantuan hukum secara formal di depan sidang pengadilan

25

Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1981), hal. 110.


(29)

terhadap rakyat kecil yang miskin dan buta hukum. Konsep dan programnya dapat dikatakan :

a. Menitikberatkan bantuan dan nasihat hukum terhadap lapisan masyarakat kecil yang tidak mampu.

b. Memberi nasihat hukum di luar pengadilan terhadap buruh, tani, nelayan, dan pegawai negeri yang merasa haknya “diperkosa”.

c. Mendampingi atau memberi bantuan hukum secara langsung di sidang pengadilan baik yang meliputi perkara perdata dan pidana.

d. Bantuan dan nasihat hukum yang mereka berikan dilakukan secara cuma-cuma.

2. Lembaga Bantuan Hukum Yang Bernaung Pada Perguruan Tinggi

Lembaga ini sering dikenal dengan nama Biro Bantuan Hukum. Lembaga inipun hampir sama dengan Lembaga Bantuan Hukum swasta, tetapi lembaga ini kurang populer dan mengalami kemunduran.26

a. Konsentrasi Advokat yang terpecah.

Ada beberapa hal yang menyebabkan Biro Bantuan Hukum di Fakultas-fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri mengalami kemunduran, antara lain:

Sebagaimana diketahui, para Advokat pada Biro Bantuan Hukum di perguruan tinggi adalah dosen-dosen yang mempunyai tugas pokok sebagai tenaga pengajar yang harus mempersiapkan diri dengan pengetahuan hukum secara komprehensif agar dapat melaksanakan kewajibannya untuk mengajar dengan baik. Hal ini tentu sangat menyita

26

Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op. cit., Hal. 50.


(30)

pikiran dan tenaga mereka sehingga konsentrasi merekapun terpecah, antara menjadi pengajar yang berprestasi sehingga dapat berkarier dilingkungan akademik atau menjadi Advokat idealis yang menolong masyarakat miskin sekaligus membina mahasiswanya untuk menjadi praktisi hukum yang handal di masa mendatang.

b. Biro Bantuan Hukum di perguruan tinggi bersifat “nonprofit oriented” Hal ini sehubungan dengan tingkat penghasilan dosen yang sangat rendah yang mana juga berstatus Advokat pada Biro Bantuan Hukum di perguruan tinggi. Dosen-dosen yang berstatus sebagai Advokat pada biro bantuan hukum di perguruan tinggi yang notabene “nonprofit oriented” semakin sulit mengejar kemajuan mereka dalam hal penghasilan dibandingkan dengan profesi lain. Khususnya dibandingkan dengan Advokat profesional yang biasanya berpenghasilan lebih besar walaupun penguasaan terhadap materi dan praktek hukumnya biasanya sebanding, bahkan terkadang lebih rendah daripada dosen tersebut.

c. Keterbatasan pendanaan.

Biro-biro Bantuan Hukum di perguruan tinggi mengalami kemunduran seringkali dikarenakan jumlah dana yang dialokasikan oleh perguruan tinggi kepada Biro Bantuan Hukum tersebut tidak memadai untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokok seperti pengadaan perpustakaan hukum yang representative, pelatihan dan pendidikan kepada tenaga-tenaga Advokat pada Biro Bantuan Hukum tersebut tentang


(31)

masalah-masalah hukum aktual, dan hal-hal lain yang sangat dibutuhkan untuk perkembangan biro bantuan hukum tersebut.

3. Dasar Pemberian Bantuan Hukum

Pengaturan mengenai pemberian bantuan hukum bagi tersangka yang tidak mampu dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dibawah ini:

1. UUD 1945

a. Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi :

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Persamaan di hadapan hukum tersebut dapat terwujud di dalam suatu pembelaan perkara hukum, dimana baik orang mampu maupun fakir miskin memiliki hak konstitusional untuk diwakili dan dibela oleh Advokat baik di dalam dan di luar pengadilan. Oleh sebab itu bagi setiap orang yang memerlukan bantuan hukum selain merupakan hak asasi juga merupakan hak konstitusional yang dijamin perolehannya oleh negara. Dalam peradilan pidana ini merupakan asas semua orang diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law). Setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum.

b. Pasal 34 ayat (1) yang berbunyi :

“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.


(32)

yang tidak mampu yang tersangkut perkara pidana. Hal ini menegaskan pula bahwa negara mempunyai tanggung jawab dalam penyediaan bantuan hukum terhadap masyarakat yang tidak mampu sehingga mendapatkan hak-haknya dalam peradilan pidana.

2. Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman;

a. Pasal 37 yang berbunyi :

“Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”.

b. Pasal 38 yang berbunyi :

“Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan Advokat”.

Ini memberi arti bahwa undang-undang mengamanatkan pemberian bantuan hukum bagi setiap orang yang berperkara. Hal ini juga memberi indikasi perlindungan terhadap hak-hak tersangka yang tersangkut perkara. Dalam peradilan pidana ini sering disebut dengan asas memperoleh bantuan hukum.

3. Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana:

a. Pasal 54 yang berbunyi :

Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasehat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.

b. Pasal 56 (1) yang berbunyi :


(33)

tindak pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai Penasehat Hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk Penasehat Hukum bagi mereka.

c. Pasal 56 (2) yang berbunyi :

Setiap Penasehat Hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberikan bantuannya secara Cuma-cuma. Hal ini merupakan jaminan terhadap tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum guna memastikan pelaksanaan proses peradilan yang adil (due process of law).

4. Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat a. Pasal 22 (1) yang berbunyi :

Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

b. Pasal 22 (2) yang berbunyi :

Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Jikalau kita mengkaji aturan-aturan yang menjadi dasar pemberian bantuan hukum terhadap tersangka maka ada beberapa point yang dapat kita simpulkan, antar lain :

1. Mengandung aspek nilai Hak Asasi Manusia (HAM), dimana bagi setiap tersangka atau terdakwa berhak didampingi oleh Advokat dalam semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. Hak ini tentu sejalan dan/atau tidak boleh bertentangan dengan “Deklarasi Universal” yang menegaskan hadirnya Penasehat Hukum untuk mendampingi tersangka atau terdakwa merupakan sesuatu yang inherent pada diri manusia dan konsekuensi logisnya


(34)

adalah bagi penegak hukum yang mengabaikan hak ini adalah bertentangan dengan nilai-nilai HAM.

2. Pemenuhan hak ini oleh penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan menjadi kewajiban dari pejabat yang bersangkutan apabila mengacu pada pasal 56 ayat (1) KUHAP.

3. Pasal 56 ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM telah diangkat menjadi salah satu patokan Miranda Rule atau Miranda Principle. Standar Miranda Rule inilah yang ditegakkan dalam putusan Mahkamah Agung No. 1565K/Pid/1991, tanggal 16 September 1993 yang menyatakan “apabila syarat-syarat permintaan dan/atau hak tersangka/terdakwa tidak terpenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk Penasehat Hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima”.

4. Pengertian Peradilan Pidana

Purpura menguraikan peradilan pidana dengan mengemukakan pendapat sebagai berikut:27

27

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal dan Non Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 89-90.

“Criminal justice focuses on the criminal law, the law of criminal

procedure, and the enforcement of the these law, in an effort to treat fairly all persons accused of acrime. Fairness in criminal justice means that an accused person receives equal treatment, impartiality, and the due prosess of constitutional protections. In reality, criminal justice does not always live up to its ideals and is subject to much criticism as our society strunggles to improve it.


(35)

Uraian Purpura di atas menggambarkan bahwa peradilan pidana (Criminal

Justice) mempunyai tiga titik perhatian, yaitu hukum pidana secara materil

(Criminal Law), hukum pidana formil (the law of criminal procedure) dan hukum pelaksanaan pidana (the enforcement of criminal laws). Semua ini ditujukan sebagai usaha untuk memberikan perlakuan yang adil kepada semua orang yang dituduh melakukan kejahatan harus diperlakukan secara wajar dan sama, netral dan hak-haknya diberikan perlindungan oleh undang-undang. Namun demikian, secara realitas pelaksanaannya terkadang belum seperti yang diharapkan dan masih banyak mengandung kritikan. Oleh karena itu, masyarakat harus mau berjuang menggapai cita-cita keadilan dalam proses peradilan pidana ini.

Peradilan pidana di Indonesia merupakan satu sistem, artinya peradilan di Indonesia harus dilihat, diterima dan diterapkan sebagai satu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang tidak boleh bertentangan satu sama lain.28

Menurut Lili Rasjidi, ciri suatu sistem adalah:

Sistem merupakan suatu kebulatan atau kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian, dimana antara bagian-bagian yang satu dengan yang lain saling berkaitan satu sama lain, tidak boleh terjadi konflik, tidak boleh terjadi overlapping (tumpang-tindih).

29

28

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: PT Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 305.

29

H.R. Abdussalam, D.P.M Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Restu Agung, 2007), hal. 5.

a. Suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses).


(36)

b. Masing-masing elemen terikat dalam satu-kesatuan hubungan yang satu sama lain saling tergantung (interdependence of its parts).

c. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is more

than the sum of its parts).

d. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya (the whole

determines the nature of its parts).

e. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts cannot be understood

if considered in isolation from the whole).

f. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis, secara mandiri atau secara keseluruhan dakam keseluruhan (sistem) itu.

Muladi menerjemahkan sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) sebagai suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana.30

30

Mahmud Mulyadi, Op. cit., hal. 91.

Di dalam sistem peradilan pidana (criminal

justice sistem) ini terkandung gerak sistemik dari komponen-komponen

pendukungnya, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Permasyarakatan. Gerak sistemik ini secara keseluruhan dan totalitas berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) ini, yaitu sasaran


(37)

jangka pendek adalah resosialisasi pelaku kejahatan, sasaran jangka menengah adalah pencegahan kejahatan serta sasaran jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat.

Pada awalnya sistem peradilan pidana menyangkut 3 (tiga) subsistem, yaitu Polisi, Pengadilan dan Lembaga Permasyarakatan.31

Sebagai suatu sistem, maka semua komponen dalam sistem peradilan pidana harus mempunyai kesamaan tujuan secara holistik, sehingga akan saling mendukung dalam pelaksanaan tugasnya, bukan untuk saling bertentangan. Oleh karena itulah menurut Mardjono Reksodiputro bahwa komponen-komponen sistem peradilan pidana ini harus bekerja secara terpadu (integrated) untuk menanggulangi kejahatan.

Kejaksaan tidak dianggap sebagai subsistem yang berdiri sendiri karena dianggap sebagai bagian dari subsistem pengadilan dengan segala aktivitasnya di pengadilan. Perkembangan modern di masa kini telah menempatkan Lembaga Kejaksaan sebagai salah satu bagian tersendiri dari sistem peradilan pidana, sehingga kini dikenal 4 (empat) subsistem yaitu : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Permasyarakatan. Bahkan dengan lahirnya Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, profesi Advokat juga dianggap menjadi bagian dari sistem peradilan pidana.

32

31

O.C Kaligis, Antologi Tulisan Ilmu Hukum Jilid 3, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 352.

32

Mahmud Mulyadi, Op. cit., hal. 96-97.

Tidak tercapainya keterpaduan dalam kinerja komponen sistem peradilan pidana ini, maka akan mendatangkan kerugian, yaitu:


(38)

1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka.

2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub-sistem)

3. Setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektifitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana. Hal ini karena tanggung jawab masing-masing instansi kurang jelas terbagi.

Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice sistem) dalam penyelenggaraan pidana harus mengemban tugas untuk:33

a. Melindungi masyarakat dengan melakukan penanganan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan, serta melakukan tindakan terhadap orang yang merupakan ancaman bagi masyarakat.

b. Menegakkan dan memajukan serta penghormatan terhadap hukum dengan menjamin adanya proses yang manusiawi dan adil serta perlakuan yang wajar bagi tersangka, terdakwa dan terpidana. Kemudian melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan.

c. Menjaga hukum dan ketertiban.

d. Menghukum pelaku kejahatan sesuai dengan falsafah pemidanaan yang dianut.

33


(39)

e. Membantu dan memberi nasihat kepada korban kejahatan.

Sistem peradilan pidana bila diterapkan secara konsisten, konsekuen dan terpadu antara sub-sistem, maka manfaat sistem peradilan pidana selain dapat mewujudkan tujuan sistem peradilan pidana juga bermanfaat untuk:34

1. Menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu yaitu polisi. Dengan data statistik kriminal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam menyusun kebijakan kriminal secara terpadu untuk penanggulangan kejahatan.

2. Mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam penanggulangan kejahatan.

3. Kedua butir a dan b tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah dalam kebijakan sosial yang dituangkan dalam rencana pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang untuk mewujudkan tujuan nasional.

4. Memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun kepada masyarakat.

F. Metodologi Penelitian

1. Metode penelitian yang digunakan

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan metode

34


(40)

gabungan antara pendekatan yang bersifat normatif (legal research) dan pendekatan yang bersifat empiris (juridis sosiologis). Dalam hal ini penulis menggunakan metode pendekatan yang bersifat normatif untuk meneliti asas-asas hukum dan meneliti bagaimana pengaturan bantuan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif) dengan menggunakan buku-buku, majalah-majalah hukum, artikel dan bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan tulisan ini. Melalui metode pendekatan yang bersifat empiris, penulis berusaha mendapatkan data primer atau data yang didapat langsung dari penelitian lapangan, dalam hal ini mengenai fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana.

2. Jenis penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis menggunakan tipe/jenis penelitian comparatif yaitu penelitian yang dilakukan membandingkan teori dengan pelaksanaannya dilapangan. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan dan data mengenai fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana dalam pelaksanaannya.

3. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan. Lokasi ini dipilih karena LBH ini merupakan salah satu LBH yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat dan merupakan cabang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta.


(41)

Data-data yang digunakan dalam penulisan ini bersumber dari :

a. Data primer, yaitu data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan yang berupa: 1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni :

a. Norma / kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945 b. Peraturan dasar, yaitu Batang Tubuh UUD 1945

c. Peraturan Perundang-undangan nasional yang berhubungan dengan tulisan ini.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan penunjang yang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk–petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.

5. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan penulis adalah dengan cara: a. Studi kepustakaan terhadap data sekunder

b. Studi lapangan (field research), melalui:

1. Wawancara, hal ini dilakukan penulis terhadap orang yang bekerja di LBH Medan mengenai sejarah dan perkembangan LBH tersebut, tugas dan


(42)

kewenangan LBH serta fungsi dan peranan LBH dalam proses peradilan pidana dan hal-hal lain yang diperlukan untuk penulisan skripsi ini.

2. Observasi, hal ini dilakukan penulis dengan melakukan dengan pengamatan langsung di LBH Medan bagaimana LBH tersebut dalam mengerjakan peran mereka.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih jelas dan terarahnya penulisan skripsi ini, maka akan dibahas dalam bentuk sistematika, yaitu sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN :

Merupakan bab pendahuluan yang mengemukakan tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II SEJARAH DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM PADA PROSES PERADILAN PIDANA

Bab ini berisi tentang tinjauan umum terhadap Lembaga Bantuan Hukum berupa sejarah dan perkembangan Lembaga Bantuan Hukum dalam memberikan bantuan hukum pada proses peradilan pidana serta data-data penanganan dan penyelesaian perkara pidana oleh LBH Medan selama tahun 2000-2010.


(43)

BAB III TUGAS DAN KEWENANGAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA :

Bab ini menjelaskan mengenai tugas dan kewenangan Lembaga Bantuan Hukum dalam memberikan bantuan hukum pada proses peradilan pidana serta subjek dan objek bantuan hukum pada proses peradilan pidana.

BAB IV FUNGSI DAN PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA :

Bab ini akan membahas mengenai fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam memenuhi hak dan kewajibannya dalam memberikan bantuan hukum pada proses peradilan pidana.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN :

Bab terakhir dari penulisan skripsi ini berisi kesimpulan mengenai bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan pemberian saran-saran dari penulis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.


(44)

BAB II

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM

A. Sejarah Lembaga Bantuan Hukum

Munculnya Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di negara-negara berkembang pada dekade terakhir sedikit banyaknya memberi gambaran mengenai pembangunan yang dilaksanakan oleh negara-negara tersebut. Gambaran yang segera nampak bahwa hukum dalam batas tertentu belum memihak kepada kepentingan rakyat dan situasi ini telah berkembang sedemikian rupa, sehingga rakyat tidak mampu menjadi subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban. Karena streotip hukum yang demikian di mana hukum belum memihak kepentingan rakyat, maka selalu ada konflik antara pembuat hukum di satu pihak dengan lapisan masyarakat yang menjadi korban pelaksanaan hukum di lain pihak. Ketegangan antara pembuat hukum dan lapisan masyarakat yang menjadi korban pelaksanaan hukum itu telah melahirkan kelompok-kelompok atau Lembaga-lembaga Bantuan Hukum.35

Karena Indonesia termasuk salah satu dari negara berkembang yang kondisinya kurang lebih sama dengan negara-negara berkembang lainnya di Asia, maka munculnya Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah bantuan hukum di Indonesia. Seperti diketahui, di Indonesia selain memberlakukan hukum adat dari masing-masing daerah yang oleh Van Vollen Hoven dibagi ke dalam 19 lingkungan hukum adat, juga memberlakukan

35

Paul S. Baut, (ed), Bantuan Hukum di Negara Berkembang, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1980), Hal. VII.


(45)

hukum import, yaitu hukum penjajahan Belanda atas negeri jajahannya. Dalam hukum adat tidak di kenal apa yang disebut “Lembaga Bantuan Hukum”. Hal itu dapat dimengerti karena dalam hukum adat tidak dikenal lembaga peradilan seperti dalam hukum modern. Penyelesaian perkara dalam hukum adat kebanyakan diselesaikan lewat pemimpin-pemimpin informal yang mempunyai kharisma khusus.36 Indonesia baru mulai mengenal “bantuan hukum” sebagai pranata hukum tatkala Indonesia mulai memberlakukan hukum barat yang bermula pada tahun 1848 ketika di negeri Belanda terdapat perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan Firman Raja, tanggal 16 Mei 1848 Nomor 1 perundangan baru di negeri Belanda juga diberlakukan untuk Indonesia, antara lain peraturan tentang Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Peradilan (Reglement op de rechterlijke Organisatie et het beleid der justitie) yang lazim dikenal dengan singkatan R.O (Stb, 1847-23 jo 1848-58).37

a) Golongan Eropah

Pranata Advokat dapat diperkirakan baru dimulai pada tahun-tahun sekitar itu. Dan pada sekitar tahun 1923, kantor Advokat pertama di buka di Tegal dan Semarang.

Tetapi patut pula diketahui bahwa politik hukum jaman pemerintahan Hindia Belanda sebelum perang dunia II, dimana Indonesia diberlakukan IS (Indische Straatsregeling) terutama dalam pasal 163 ayat (1), membedakan penduduk Indonesia atas 3 golongan, yaitu :

36

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis Hukum (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal. 40.

37


(46)

Yang termasuk golongan Eropah adalah orang Belanda, dan semua orang bukan Belanda, yang asalnya dari Eropah, orang-orang Jepang, orang-orang yang tidak berasal dari Belanda tetapi dinegaranya menganut hukum kekeluargaan yang sifat dan coraknya sama dengan Nederland.

b) Golongan Bumi Putera

Yang termasuk golongan Bumi Putera adalah semua orang Indonesia asli dari Indonesia.

c) Golongan Timur Asing

Yang termasuk golongan Timur Asing adalah semua orang yang bukan orang Eropah dan/atau bukan orang Bumi Putera (Tionghoa, Arab, India, Pakistan dan sebagainya).

Pembedaan golongan penduduk seperti yang diatur dalam pasal 163 ayat (1) IS tersebut membawa konsekuensi di bidang hukum, sebab masing-masing golongan ternyata mempunyai hukumnya sendiri. Karena hukum acara yang dipakai adalah HIR, maka kesulitan-kesulitan yang muncul adalah banyaknya ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum tidak ikut diwarisi dalam ketentuan HIR (lihat pasal 250 HIR) yang justru sangat miskin menjamin ketentuan-ketentuan mengenai bantuan hukum.

Tentu saja ini dirasa tidak adil oleh golongan Bumi Putera. Kesulitan-kesulitan lain yang muncul adalah masih langkanya Advokat atau dengan kata lain jumlah Advokat yang praktek relatif sedikit, sehingga akhirnya yang lebih banyak


(47)

berperan adalah para Pokrol.38

Pemilihan tata cara peradilan yang seperti ini membawa konsekuensi terhadap hukum acara yang dipakai. Peradilan Raad van Justitie menggunakan Rechtsvordering sebagai hukum acara yang banyak mengatur ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum, sedangkan Peradilan Landraad yang

Pada tahun 1927 Pokrol-pokrol membuat organisasi bernama Persatuan Pengacara Indonesia (PERPI). Yang menggembirakan adalah meskipun jumlah Advokat orang Indonesia relatif sedikit, namun sebagian besar mereka adalah orang-orang pergerakan. Dilihat dari sudut ini tentu saja sangat menguntungkan karena kualitas pembelaan mereka. Pada saat inilah dapat dikatakan awal lahirnya bantuan hukum bagi golongan yang tidak mampu. Hal ini mudah dipahami oleh karena pada waktu itu bangsa Indonesia tidak mampu membayar Advokat-Advokat Belanda yang mahal. Pada jaman Jepang tidak ada perubahan yang berarti, meskipun peraturan tentang bantuan hukum peninggalan penjajah Belanda masih tetap diberlakukan. Perhatian terhadap bantuan hukum boleh dikatakan kurang sekali. Memang hal ini dapat dipahami, karena seluruh perhatian masih tercurah pada masalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan secara fisik dan politis. Walaupun pluralisme dalam bidang peradilan sudah dihapuskan (hanya ada satu sistem peradilan untuk seluruh penduduk dan satu hukum acara bagi seluruh penduduk). Dalam tata cara peradilan yang diambil bukanlah yang berdasarkan pada Raad van Justitie yang sarat dengan pengaturan bantuan hukum tetapi justru yang diambil adalah tata cara peradilan berdasarkan Landraad.

38

Frans J. Rengka, TesisPeranan Lembaga Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana Sebuah Studi Kasus Di LBH Jakarta, (Jakarta: Fakultas PascaSarjana Universitas Indonesia, 1992), hal. 27.


(48)

menggunakan hukum acara HIR justru sangat miskin ketentuan-ketentuan tentang bantuan hukum. Pada era Orde Lama kualitas bantuan hukum dapat dikatakan lebih jelek dibanding dengan jaman penjajahan, akan tetapi dari segi politik terdapat suatu kemajuan besar. Hal ini karena pada waktu itu dukungan politis dalam perkembangan dan pertumbuhan bantuan hukum sangat dirasakan. Hanya saja pada masa ini lembaga peradilan tak bisa mandiri lagi karena sudah dipengaruhi oleh badan eksekutif. Akibatnya adalah keadilan dikorbankan. Sebagai puncaknya, lahirlah Undang-undang No. 19 Tahun 1964 yang mencerminkan campur tangan pihak eksekutif dalam bidang peradilan. Prof. Satjipto Rahardjo memberi ilustrasi dengan membuat perbandingan antara Undang-undang No. 19 Tahun 1964 dengan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 – sebuah Undang-undang yang menjamin kemandirian pengadilan dalam menjalankan tugasnya. Ada dua aspek yang ingin dibandingkan antara kedua Undang-undang tersebut. Pertama, dilihat dari fungsinya, Undang-undang No. 19 tahun 1964 berfungsi sebagai pengayom dan alat revolusi, sedangkan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 berfungsi menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Kedua, dilihat dari tujuan, Undang-undang No. 19 tahun 1964 bertujuan masyarakat sosialis Indonesia, sedangkan tujuan dari Undang-undang No. 14 tahun 1970 adalah untuk terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.39

Pada masa ini boleh dikatakan boleh dikatakan bahwa kekuasaan berada di atas hukum, dan bukan sebaliknya. Dan pada saat ini pula banyak Advokat

39


(49)

meninggalkan profesinya, karena para pencari keadilan lebih suka meminta pertolongan kepada jaksa atau hakim untuk menyelesaikan perkaranya.40

Setelah gagalnya peristiwa kudeta PKI, yang disusul dengan jatuhnya rezim Soekarno, maka lahirlah era Orde Baru (ORBA) yang ingin membuat citra baru dengan membangun kembali kehidupan hukum dan ekonomi yang sudah berantakan. Disamping program rehabilitasi ekonomi, juga ditumbuhkan kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan mimbar pada universitas.

Meskipun begitu periode ini juga harus dicatat sebagai suatu langkah yang cukup menentukan, karena dengan diundangkannya Undang-undang Pokok kekuasaan kehakiman (Undang-undang No. 19 tahun 1964), maka untuk pertama kalinya diatur secara jelas tentang hak seseorang untuk mendapatkan bantuan hukum. Dan pada periode yang sama Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) diresmikan di Solo pada tanggal 30 agustus 1964.

41

40

Adnan Buyung Nasution, Op. cit., hal 23.

41

Mochtar Buchori, Kebebasan Akademik Dalam Konteks Pengembangan IPTEK Dan Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Basis, 1989), hal. 425.

Pada tingkat universitas mulai ada kesadaran untuk memberi bantuan hukum kepada orang-orang yang tidak mampu yang terlibat dalam kasus-kasus pidana. Dapat kita lihat disini sebagai pionir adalah Fakultas Hukum UNPAD, Bandung dengan mendirikan “Biro Bantuan Hukum Mahasiswa”. Hal yang sama juga diikuti oleh Fakutas Hukum UGM dan Fakultas Hukum Airlangga Surabaya. Kerja sama ini dilaksanakan antara Hakim Pengadilan Negeri setempat dan mahasiswa hukum tahun kelima. Atas dasar kerja sama ini maka mahasiswa tersebut diizinkan untuk mewakili klien yang tidak mampu untuk beracara di pengadilan dengan pengawasan oleh dosen yunior dari fakultas hukum


(50)

masing-masing universitas. Bahkan kasus-kasus bantuan hukum ini dapat dijadikan “studi kasus” bagi penulisan skripsi para mahasiswa yang berpraktek di pengadilan tadi.

Tahun 1970 merupakan sebagai tahun yang penting dalam sejarah peradilan di Indonesia, karena pada tahun itu diundangkan Undang-undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru yaitu Undang-undang No. 14 tahun 1970. Dengan adanya Undang-undang yang baru ini dijamin kembali kebebasan peradilan dan segala campur tangan ke dalam urusan pengadilan oleh pihak-pihak luar, diluar kekuasaan kehakiman dilarang. Bahkan di bidang bantuan hukum, dalam Undang-undang ini terdapat bab khusus mengenai bantuan hukum (lihat bab VII pasal 35-38). Dengan dikeluarkan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 merupakan momentum baru dalam sejarah peradilan, karena pada saat itu bantuan hukum sudah dapat diberikan sejak tersangka ditangkap dan/atau ditahan. Karenanya Todung mulya Lubis menganggap Undang-undang ini sebagai

“milestone” sejarah bantuan hukum dalam pemerintahan orde baru.42

Pada tahun yang sama juga didirikanlah Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta sebagai pilot proyek dari PERADIN dan dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan Peradin tanggal 26 oktober 1970 No. 001/kep/dpp/10/1970. lembaga ini diakui secara resmi oleh Gubernur Jakarta yang sekaligus memberikan subsidi setiap bulan Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah). Dan yang dipilih sebagai direktur pertama adalah Adnan Buyung Nasution dengan meletakkan tiga tujuan pokok konsep pembentukan Lembaga Bantuan Hukum yaitu, pertama memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat

42

T. Mulya lubis, Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986), hal. 5.


(51)

miskin dan buta hukum, kedua, mengembangkan kesadaran hukum masyarakat khususnya kesadaran akan hak-hak sebagai subjek hukum, dan yang ketiga adalah mengembangkan hukum dan prakteknya menurut kebutuhan zaman modern. Selanjutnya pada tahun 1976 diadakan kongres Nasional V Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) di Hotel Ambarukmo, Yogyakarta yang mencetuskan gagasan bahwa PERADIN merupakan organisasi perjuangan untuk menegakkan hukum dan keadilan serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Dengan semangat tinggi serta didorong oleh keinginan luhur memperjuangkan kebenaran, keadilan dan dukungan sejumlah Advokat dan Pengacara yang ingin menyumbangkan tenaga, maka pada tanggal 28 Januari 1978 diresmikanlah LBH Medan di bawah pimpinan Mahjoedanil, SH. Pelantikannya sendiri dihadiri oleh Pengurus DPP PERADIN, Abdurrahman Saleh, SH, dan Direktur LBH Jakarta, Adnan Buyung Nasution, SH.

Pimpinan LBH Medan sejak berdiri hingga sekarang, adalah : 1. 1978 – 1982 : Mahjoedanil, SH

2. 1982 – 1988 : HM. Kamaluddin Lubis, SH

3. 1988 – 1990 : Hasanuddin, SH

4. 1990 – 1991 : Alamsyah Hamdani, SH

5. 1991 – 1994 : Alamsyah Hamdani, SH


(52)

7. 1997 – 2000 : Kusbianto, SH

8. 2000 – 2003 : Irham Buana Nasution, SH

9. 2003 – 2006 : Irham Buana Nasution, SH

10.2006 – 2009 : Ikwaluddin Simatupang, SH., M.Hum

11.2009 – 2012 : Nuriyono, SH

Dari uraian diatas, tergambar sangat jelas bahwa lahirnya Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia bukan berasal dari inisiatif negara melainkan berasal dari kesadaran kolektif atas sesuatu yang timpang di masyarakat. Namun demikian pemerintah juga turut mendukung lahirnya Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di Indonesia yang jumlahnya sekarang sudah mencapai puluhan bahkan ratusan. Tentu saja hal ini sangat menggembirakan karena hal itu berarti ada perkembangan yang meningkat dalam bantuan hukum di negara kita.

B. Perkembangan Lembaga Bantuan Hukum

Tatkala Lembaga Bantuan Hukum membukakan pintunya bagi klien-klien miskin yang berjubel, kecil alasan untuk berharap banyak kepadanya.43

43

Hasil wawancara dengan Bapak Sugianto, staff LBH Medan, Medan, Pada Tanggal 22 Oktober 2009.

Bahkan banyak orang menduga bahwa Lembaga Bantuan Hukum hanya akan bertahan paling lama lima tahun. Bantuan hukum bagi orang miskin cukup masuk akal, tetapi impian Lembaga Bantuan Hukum tentang perombakan hukum, politik dan sosial tampaknya melebihi kemampuan terbaiknya, tidak lebih meyakinkan


(53)

daripada retorika perubahan pemerintah. Di luar partai politik, dan boleh jadi selain yayasan sosial dan pendidikan Islam Muhammadiyah, tidak banyak organisasi mandiri yang bertujuan mengadakan perubahan yang mempunyai pengaruh cukup besar dalam sejarah modern Indonesia. Lapisan menengah sektor swasta juga terlalu kecil untuk mengadakan perubahan, perekonomian swasta pribumi terlalu lemah untuk menopangnya dan pemerintah tidak tunduk sama sekali kepada organisasi swasta yang melontarkan kritik kepada kekuasaan pemerintah.

Sejak lahirnya Lembaga Bantuan Hukum, telah berhasil tidak saja dalam mendorong dan mempopulerkan gagasan dan konsep bantuan hukum kepada masyarakat, akan tetapi juga melalui aktivitasnya dan keberhasilannya ia telah menjadi terkenal dan mendapatkan kepercayaan masyarakat. Lembaga Bantuan Hukum telah berkembang tidak saja dalam jumlah perkara yang ditanganinya, tetapi juga dalam mengusahakan berbagai program aksi yang sesuai dengan sifat dan ruang lingkup Lembaga Bantuan Hukum yang luas.44

Selama pertumbuhan dan perkembangannya yang cepat, Lembaga Bantuan Hukum sering harus berhadapan dengan penguasa, yang merasa dipermalukan karena Lembaga Bantuan Hukum bersedia menangani perkara-perkara yang kontroversial. Secara sengaja ataupun tidak, kepentingan pembelaan perkara menempatkan Lembaga Bantuan Hukum kedudukan yang konfrontatif dengan penguasa. Dalam dekade awal pembentukannya, dikarenakan bertambah populernya gagasan dan konsep bantuan hukum serta tanggapan masyarakat

44

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Bantuan Hukum: Akses Masyarakat Marginal Terhadap Keadilan, (Jakarta, LBH Jakarta, 2007) hal. 16.


(54)

terutama di daerah, maka berdirilah lembaga-lembaga lain yang memberi pelayanan bantuan hukum yang sama. Lembaga Bantuan Hukum yang bernaung dibawah LBH/YLBHI sendiri setelah awal pertama kalinya didirikan di Jakarta kemudian berkembang hampir di seluruh Indonesia. Sampai saat ini ada 15 kantor Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia mulai dari Aceh, Medan, Padang, Pakanbaru, Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Jogya, Surabaya, Bali, Ujung Pandang, Manado dan Bali.

Menginjak usia ke-25, Daniel S Lev, sempat menyatakan, pada saat berdiri tahun 1970, banyak orang menduga bahwa Lembaga Bantuan Hukum hanya akan bertahan paling lama lima tahun. Menurut Lev, kemampuan Lembaga Bantuan Hukum tetap tegar berdiri selama 25 tahun sungguh diluar dugaan. Kini Lembaga Bantuan Hukum sudah memasuki 36 tahun, per 28 Oktober 2006. Akronim atau singkatan Lembaga Bantuan Hukum dapat dikatakan sudah menjadi singkatan yang diketahui masyarakat luas. Nomor telepon Lembaga Bantuan Hukum diberbagai provinsi, menjadi salah satu nomor telepon penting dalam Yellow Pages, buku petunjuk penggunaan telepon terbitan Telkom. Kantor Lembaga Bantuan Hukum dipersamakan dengan kantor polisi atau kantor pemadam kebakaran, penting bagi masyarakat untuk menyimpan atau mengetahui nomor teleponnya, untuk sewaktu-waktu bisa menghubungi.

Demikian juga, akronim Lembaga Bantuan Hukum telah dimuat dalam Kamus Bahasa Indonesia – Bahasa Inggris. Menunjukkan singkatan Lembaga Bantuan Hukum telah menjadi akronim sehari-hari. Bahkan dalam fora regional


(55)

dan internasional, pelafalan be-ha (LBH) telah dikenal luas, selain pelafalan el-bie-eic (LBH), dalam abjad bahasa Inggris. Tidak hanya ditingkat domestik, Lembaga Bantuan Hukum juga dirujuk oleh publikasi regional dan internasional, sebagai salah satu lembaga penting yang memberikan pelayanan bantuan hukum, dan kerja hak asasi manusia.

Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan Lembaga Bantuan Hukum hingga hari ini terus kokoh berdiri, diantaranya:45

1. Lembaga Bantuan Hukum Memiliki Karakter dan Ciri Khas

Ketika konsep pendirian Lembaga Bantuan Hukum dipresentasikan pada tahun 1970, kehadirannya tidak semata-mata menjalankan profesinya sebagai mata pencaharian belaka atau kemuliaan semata-mata, melainkan berbarengan dengan itu sadar dan berperan dalam perjuangan memerdekakan bangsanya dari penjajahan dan penindasan kekuasaan kolonial. Jika diselami, semangat kepeloporan dan kerja keras tanpa memikirkan upah inilah yang terus menular hingga sekarang ini dan menjadi karakter dan ciri khas Lembaga Bantuan Hukum. Karakter dan ciri khas Lembaga Bantuan Hukum banyak dipengaruhi oleh para pendiri dan tokoh masyarakat yang terpandang pada awal-awal pendiriannya seperti: Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hiem, Suardi Tasrif, Iskak, Suyudi, dan Sastro Mulyono.

2. Dukungan Intelektual organik di masanya

Ada banyak akademisi yang berpengaruh dalam membentuk aktivis Lembaga Bantuan Hukum dalam mengembangkan sekaligus menafsirkan bantuan

45

html.


(56)

hukum struktural. Diantaranya: Paul Moedigdo, Soetandyo Wignjosoebroto, Satjipto Rahardjo dan juga Daniel S. Lev. Para aktivis dan akademisi itulah yang banyak menopang secara teoritik dan memberikan landasan pengetahuan bagi aktivis Lembaga Bantuan Hukum. Jika diamati, masing-masing Lembaga Bantuan Hukum mempunyai akademisi penopang intelektual dan pengetahuan para Advokat dan aktivisnya. Lembaga Bantuan Hukum Surabaya dengan Soetandyo Wignjosoebroto dan Suwoto Mulyosudarmo. Lembaga Bantuan Hukum Semarang dengan Satjipto Rahardjo. Lembaga Bantuan Hukum Bandung dengan Goenawan Wiradi. Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta dengan Ichlasul Amal. Sementara untuk Lembaga Bantuan Hukum Medan tercatat akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu Mariam Darus dan M. Solly Lubis yang banyak mendukung kegiatan Lembaga Bantuan Hukum di era 1980-an dan awal 1990-an.

3. Kepercayaan dan legitimasi dari Masyarakat

Kepercayaan dan legitimasi yang datang dari masyarakat memperkokoh keberadaan dan kelembagaan Lembaga Bantuan Hukum sebagai sebuah lembaga. Perhatian dari semua pihak serta dukungannya membuat Lembaga Bantuan Hukum mampu bertahan dan diharapkan terus berkiprah memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat miskin, kelompok marginal dan dimarginalkan. Prinsip membela tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, suku, etnis, asal-usul, agama, keyakinan politik adalah prinsip yang harus dipertahankan agar kepercayaan dan legitimasi masyarakat terus


(57)

diperoleh. Di awal berdirinya Lembaga Bantuan Hukum, sejumlah kasus yang dapat mewakili keyakinan pembelaan semacam itu antara lain ditunjukkan oleh para Advokat publik Lembaga Bantuan Hukum: pembelaan para terdakwa yang dituduh terlibat G-30-S/PKI, kasus sengketa tanah Halim Perdana Kusumah antara sekitar 500 kepala keluarga dengan Angkatan Udara Republik Indonesia seluas 1000 ha, pembelaan terhadap Jenderal H.R Dharsono dan Hariman Siregar dalam kasus Malari 1974. Di era Orde Baru, sejumlah kasus besar yang ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum antara lain: pembelaan terhadap sejumlah aktivis pro-demokrasi, termasuk wartawan/jurnalis yang dituduh subversif di berbagai kota besar di Indonesia. Di Era Millennium kasus yang mengemuka yang ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum antara lain: kasus Abu Bakar Ba’asyir dan para aktivis muslim yang ditangkap sewenang-wenang disejumlah tempat pada tahun 2004. Pembelaan terhadap kasus kebebasan beragama terhadap Ahmaddiyah dan Lia Eden.

4. Transparansi dan Akuntabilitas

Sejak awal berdirinya Lembaga Bantuan Hukum, tradisi penerbitan laporan keuangan sudah dilakukan. Pada tahun 2003 Lembaga Bantuan Hukum YLBHI menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat pertama yang mempublikasikan laporan keuangannya di 5 surat kabar nasional termasuk harian berbahasa Inggris.


(58)

Hingga saat ini, keberadaan dan keberlanjutan Lembaga Bantuan Hukum tidak lain karena dukungan pendanaan yang di dapat dari 4 sumber utama: dana dari internal lembaga berupa sumbangan dari dewan Pembina dan badan-badan pengurus Lembaga Bantuan Hukum, dana sumbangan masyarakat, alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pendanaan dari lembaga dana internasional.

C. Data Penanganan dan Penyelesaian Perkara Pidana Oleh LBH Medan Selama Tahun 2007-2010

Berdasarkan hasil penelitian, data penanganan dan penyelesaian perkara oleh LBH Medan adalah sebagai berikut :

Tabel 1

Jumlah Kasus Per Tahun Yang Ditangani LBH Medan

No Tahun Jumlah Kasus

1. 2007 119

2. 2008 257

3. 2009 158

4. 2010 249

Sumber : Data Primer, 2011

Dari data tersebut diatas tidak ditemukan rincian kasus-kasus yang ditangani oleh LBH Medan, hanya pada tahun 2009 ada rinciannya yaitu dari 158 kasus yang ditangani oleh LBH Medan ada sekitar 85 kasus pidana dan 73 kasus perdata yang ditangani oleh LBH Medan. Namun rincian ini tidak dapat ditentukan berapa yang terselesaikan pada tingkat Konsultasi, berapa pada tingkat Kepolisian dan berapa yang sampai ke Pengadilan. Namun pada tahun 2010


(59)

terdapat rinciannya secara jelas yaitu dari total 249 kasus yang diterima oleh LBH Medan, ada sekitar 163 perkara pidana yang terbagi menjadi 3 tingkatan yakni pada tingkat Konsultasi terdapat 109 kasus dan pada tingkat Kepolisian terdapat 23 kasus serta di tingkat Pengadilan sebanyak 11 kasus. Sedangkan sisanya ada sekitar 86 perkara perdata yang juga dibagai dalam 3 tingkatan yaitu pada tingkat Konsultasi ada sebanyak 67 kasus, pada tingkat surat menyurat sebanyak 7 kasus dan pada tingkat Pengadilan sebanyak 11 kasus. Dari rinciannya ini dapat digambarkan bahwa penanganan dan penyelesaian kasus pidana lebih banyak bertumpu pada tingkat Konsultasi. Dari 163 kasus yang masuk lebih dari setengah diselesaikan pada tingkat konsultasi sedangkan yang masuk ke pengadilan hanya sekitar 11 kasus.


(60)

BAB III

TUGAS DAN KEWENANGAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

A. Subjek Pemberian Bantuan Hukum

Pada prinsipnya setiap orang dapat memberikan bantuan hukum bilamana ia mempunyai keahlian dalam bidang hukum, akan tetapi demi tertibnya pelaksanaan bantuan hukum diberikan batasan dan persayaratan dalam berbagai peraturan. Persoalan selanjutnya adalah siapa yang seharusnya bertindak untuk menjadi pelaksana pemberi bantuan hukum di negara kita sekarang ini, mengingat banyaknya dan beraneka ragam para pemberi bantuan hukum yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :46

1. Advokat yang merupakan anggota suatu organisasi Advokat dan juga menjadi anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

2. Advokat yang merupakan anggota suatu organisasi Advokat dan bukan menjadi anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

3. Advokat yang bertindak sebagai Penasehat Hukum dari suatu perusahaan. 4. Advokat yang tidak menjadi anggota perkumpulan manapun.

5. Pengacara Praktek atau Pokrol.

6. Sarjana-sarjana hukum yang bekerja pada biro-biro hukum/instansi pemerintah.

7. Dosen-dosen dan Mahasiswa-mahasiswa Fakultas Hukum. 8. Konsultan-konsultan hukum.

46


(1)

hukum yang sedemikian kaku dan arogan menyebabkan peranan Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat tidak maksimal dilapangan dan menyebabkan kerugian pada tersangka/terdakwa. Lembaga Bantuan Hukum Medan seringkali kebingungan menghadapi tindakan aparat penegak hukum ini.

B. Saran

1. Apabila kita melihat sejarah dan perkembangan Lembaga Bantuan Hukum maka kita melihat bahwa sebenarnya negara memiliki peran yang besar di dalam kemajuan Lembaga Bantuan Hukum untuk memberikan bantuan hukum kepada para pencari keadilan yang tidak mampu. Sekaligus dalam pengaturan tanggung jawab negara sendiri untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma.

2. Tugas dan kewenangan Advokat perlu diatur secara tegas dalam Undang-undang Advokat. Hal ini agar Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat dapat berfungsi sebagai penegak hukum yang memiliki kewenangan sehingga dalam pelaksanaannya sejajar dengan aparat penegak hukum yang lain.

3. Dalam menjalankan fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat dalam peradilan pidana haruslah tetap berkoordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya, karena sehebat apapun Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat menjalankan fungsi dan peranannya apabila aparat penegak hukum lainnya tidak menjalankan fungsi dan peranannya maka itu akan


(2)

kurang berarti, hal ini karena mereka merupakan satu sistem yang saling mempengaruhi. Aparat penegak hukum juga harus bisa fleksibel dan benar-benar memahami peraturan yang telah ditetapkan dalam penyelesaian perkara apabila berhadapan dengan Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat dalam penanganan suatu perkara dalam lingkup peradilan pidana.


(3)

DAFTAR PUSTAKA Buku-buku :

Abdulsyani, 1994. Sosiologi (skematika, teori dan terapan), Penerbit: Bumi Aksara, Jakarta.

Abdurrahman, 1983. Beberapa Aspek Tentang Bantuan Hukum di Indonesia, Penerbit: Cendana Press, Jakarta.

Abdussalam, H.R, 2007. Sistem Peradilan Pidana, Penerbit: Restu Agung, Jakarta.

Ali, Acmad, 2002. Menguak Tabir Hukum (suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Penerbit: PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta.

Baut, Paul S, 1980. Bantuan Hukum di Negara Berkembang, Penerbit: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta.

Buchori, Mochtar, 1989. Kebebasan Akademik Dalam Konteks Pengembangan IPTEK Dan Ilmu Pendidikan, Penerbit: Basis, Jakarta.

Harahap, Yahya M, 2009. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Penyidikan Dan Penuntutan,Edisi Kedua, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta. Ihromi, T.O, Sinar Grafika, Antropologi dan Hukum, Penerbit: Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta.

Kaligis, O.C, 2007. Antologi Tulisan Ilmu Hukum: Jilid 3, Penerbit: PT Alumni, Bandung.

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, 2007. Bantuan Hukum: Akses Masyarakat Marginal Terhadap Keadilan, Penerbit: LBH Jakarta, Jakarta.


(4)

Lev, Daniel S, 1990. Hukum dan Politik di Indonesia (Kesinambungan dan Perubahan), Penerbit: LP3ES, Jakarta.

Lubis, Mulya T, 1986. Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktural, Penerbit: LP3ES, Jakarta.

---, 1981. Gerakan Bantuan Hukum di Indonesia (Sebuah Studi Awal) Dalam Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum: Ke Arah Bantuan Hukum Struktural, Penerbit: Alumni, Bandung.

Mulyadi, Mahmud, 2008. Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Penerbit: Pustaka Bangsa Press, Medan.

Nasution, Adnan Buyung, 1980. Bantuan Hukum Di Indonesia, Penerbit: LP3ES, Jakarta.

Prakoso, Djoko, 1986. Kedudukan Justisiable Di Dalam KUHAP, Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, 1983. Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum), Penerbit: Sinar Baru, Bandung.

Rengka, Frans J, 1992. Peranan Lembaga Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana Sebuah Studi Kasus Di LBH Jakarta, Tesis Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.

Santosa, Dwi Nurdiansyah, 2009. Analisis Yuridis Hak Imunitas dan Malpraktek Advokat Serta Implementasinya Di Kota Surakarta, Skripsi Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta,


(5)

Surakarta.

Sarmadi, Sukris H.A, 2009. Advokat:Litigasi & Non Litigasi Pengadilan, Penerbit: Mandar Maju, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1983. Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis. Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 1994. Hukum Dan Kebijaksanaan Publik. Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta.

Miller, Valerie dan Jane Covey, 2005. Pedoman Advokasi: Kerangka Kerja untuk Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi, Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Winarta, Frans Hendra, 1995. Advokat Indonesia: Citra, Idealisme Dan Keprihatinan, Penerbit: Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

---, 2000. Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Penerbit: PT. Elex Media Kumputindo, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.


(6)

Peraturan Pemerintah No. 83 tahun 2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.

Kode Etik Advokat Indonesia Tahun 2002

Website

http://apatra.blogspot.com/2008/11/bantuan-hukum-indonesia-mengurai_04.html http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/150792103.pdf


Dokumen yang terkait

Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro Bono Publico) dalam Perkara Pidana di Kota Medan Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

16 268 163

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

2 53 120

PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA TERHADAP PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA TERHADAP MASYARAKAT MISKIN PADA PERADILAN PIDANA.

0 2 11

PENDAHULUAN PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA TERHADAP MASYARAKAT MISKIN PADA PERADILAN PIDANA.

0 3 15

PENUTUP PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA TERHADAP MASYARAKAT MISKIN PADA PERADILAN PIDANA.

0 3 5

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 9

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 1

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 26

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 2

PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMB

0 0 19