Baitul Maal wa Tamwil-Desa (BMT-D) Sebagai Model Revitalisasi Fungsi dan Peran Lumbung Pangan Desa Untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan: Kasus Pada Desa Tertinggal di Kabupaten Sukoharjo

LAPORAN AKHIR
PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

Baitul Maal wa Tamwil-Desa (BMT-D) Sebagai Model Revitalisasi Fungsi
dan Peran Lumbung Pangan Desa Untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan:
Kasus Pada Desa Tertinggal di Kabupaten Sukoharjo
Tahun ke 2 dari rencana 2 tahun
AHMAD MARDALIS, SE, M.B.A. NIDN. 06-0607-6701
Dr. FATCHAN AHYANI, M.Si. NIDN. 06-1408-6801
IMRON ROSYADI, SE, M.Si. NIDN. 06-1302-7001

Dibiayai oleh Koordinasi Perguruan Tinggi Wilayah VI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
RI, Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian Nomor:
007/K6/KL/SP/PENELITIAN/2014, tanggal 8 Mei 2014

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
NOVEMBER 2014
1

2


RINGKASAN
Tujuan yang ingin dicapai penelitian ke-dua (2014) adalah merumusan
model peran pemerintah desa melalui lumbung pangan desa dalam pengelolaan
stok (cadangan) pangan di daerah penelitian; dan merumuskan dan menyusun
model revitalisasi fungsi dan peran lumbung pangan desa (LPD) sehingga dapat
menjamin tegaknya kedaulatan pangan (produksi, ketersediaan dan akses pangan)
tingkat desa di daerah penelitian. Berdasarkan tujuan tersebut target khusus yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendesain-ulang eksistensi LPD,
sehingga dapat berperan ganda dan strategis yaitu sebagai penyanggah (buffer
stock) dan atau pengelola cadangan pangan dalam rangka memberikan kemudahan
akses pangan kepada masyarakat kurang mampu dan memberikan kemudahan
akses permodalan bagi rumah tangga petani.
Jenis penelitian ini merupakan deskriptif analitis, yaitu menggambarkan
dan atau mendefinisikan keterlibatan dan peran strategis pemerintah desa dalam
mengelola ketahanan pangan sebagai upaya menegakan kedaulatan pangan di
tingkat desa. Subjek penelitian ini adalah pemerintah dan masyarakat (petani) di
daerah penelitian. Data yang diperlukan untuk mencapai tujuan penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder yang diperoleh dengan metode observasi,
FGD, wawancara secara mendalam, dan penelusuran terhadap dokumentasi

pemerintahan desa. Hasil penelitian tahun ke-dua di-fokus-kan untuk merumuskan
model revitalisasi fungsi dan peran lumbung pangan desa melalui proses analisis
data dengan metode kritis analitik dan interaktif.
Berdasarkan hasil observasi di lapangan dan diskusi pada focus group
discussions (FGD), hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi dan peran
lumbung pangan desa (LPD) konvensional yang ada di desa-desa tertinggal tidak
signifikan dalam berkontribusi meningkatkan ketahanan pangan rumaah tangga
atau dengan kalimat lain, LPD memiliki kinerja dan produktifitas yang sangat
rendah, sehingga tidak membantu petani untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Oleh karena itu LPD di desa-desa tertinggal perlu diperluas fungsi dan perannya,

3

sebagaimana yang direkomendasikan penelitian ini dalam bentuk model “Model
Revitalisasi Fungsi dan Peran Lumbung Pangan Desa” (lihat, gambar 5.1.)

4

PRAKATA
Assalamua’laikum Wr. Wb

Alhamdulillah, penelitian yang kami beri judul “Model Pengembangan
Pengelolaan Lumbung Pangan Untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan: Kasus
Pada Desa Tertinggal Kabupaten Sukoharjo” untuk tahun kedua (2013) sudah bisa
kami laporkan kepada Dit.Litabmas Ditjen Dikti-Kemdiknas yang telah mendanai
penelitian ini sampai akhir. Sebagaimana diketahui oleh masyarakat akademik,
bahwa salah satu tugas pokok Dosen adalah melakukan penelitian, sebagai media
untuk penguatan pengalaman akademik dibidang keahlian-nya masing-masing,
serta sebagai salah satu metode untuk membuktikan ‘kebenaran relatif’ yang telah
diajarkan di kelas. Manyadari hal ini, kami tertarik untuk melakukan penelitian
sesuai dengan bidang yang kami kuasai yaitu tentang Revitalisasi fungsi dan peran
lumbungan pangan desa menjadi Baitul Maal wa Tamwil- Desa (BMT-D) sebagai
upaya meningkatkan ketahanan pangan.
Berbicara tentang ketahanan pangan bararti bicara tentang tiga komponen
penting terkait pangan yaitu, ketersediaan pangan, keterjangkauan dan kualitas
makanan dan nutrisi. Namun, komponen yang disebut terakhir tidak termasuk
dalam pembahasan penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Secara umum, berdasarkan hasil
observasi di lapangan, kinerja lumbung pangan desa (LPD) yang ada di desa-desa
tertinggal sangat rendah, sehingga tidak membantu petani untuk meningkatkan
kesejahteraannya dan LPD di desa-desa tertinggal perlu diperluas fungsi dan

perannya, sebagaimana yang direkomendasikan penelitian ini dalam bentuk model

5

“Model Revitalisasi Fungsi dan Peran Lumbung Pangan Desa” (lihat, gambar
5.1.)
Akhirnya…, tidaklah mungkin menuntut kesempurnaan manusia secara
mutlak. Tiada gading yang retak. Segala kritik dan saran untuk perbaikan dan
penyempurnaan penulisan laporan penelitian ini, dimasa-masa yang akan datang
sangat diharapkan. Selamat membaca
Assalamua’laikum Wr. Wb
Surakarta, 13 November 2014
Ahmad Mardalis

6

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL……………………………………………………….


1

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………...

2

RINGKASAN……………………..…………..…………………..………….

3

PRAKATA………….…………………………………………………………

4

DAFTAR ISI…………………………………………………………………..

6

DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….


8

BAB 1

PENDAHULUAN……………………………………………......

11

1.1. Latar Belakang Masalah………………………………………

11

1.2. Perumusan Masalah…………………………………………..

13

TINJAUAN PUSTAKA……………………………………….….

16


2.1. Hubungan BMT-D dan Rawan Pangan (Kemiskinan).............

16

2.2. BMT-D: Model Pengembangan Kelembagaan Lumbung........

17

2.3. Konsep Ketahanan Pangan Pangan..…………………...……..

19

2.4. Ketersediaan Pangan.................................................................

20

2.5. Keterjangkauan Pangan.............................................................

21


2.6. Manajemen Cadangan Pangan.........……………..…………...

23

2.7. Roadmap Penelitian..................................................................

26

BAB 2

BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

29

3.1. Tujuan Penelitian......................................................................

29

3.2. Manfaat Penelitian..............................……………………......


29

7

BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1. Cakupan Penelitian....................................................................

31

4.2. Populasi dan Sampel..............................……………………....

31

4.3. Jenis dan Sumber Data……….……………………………….

31

4.4. Metode Analisis Data......... ……………………....………..…

32


4.5. Definisi Variabel .....................................................………..…

32

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

35

5.1. Rumusan Model Peran Pemerintah Desa...................................

35

5.2. Rumusan Model Revitalisasi Fungsi dan Peran LPD.................

38

BAB 6

RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA.......................................


46

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan………..……….………………………………….

47

7.2. Implikasi Kebijakan...................................................................

47

7.3. Keterbatasan Penelitian..............................................................

50

7.4. Saran Penelitian Selanjutnya……......…………………………

51

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...

57

LAMPIRAN…………………………………………………………………..

54

8

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.

Roadmap Penelitian............................................................

28

Gambar 5.1.

Model Revitalisasi Fungsi dan Peran LPD.........................

43

9

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Krisis pangan telah benar-benar terjadi diberbagai belahan dunia. Hal ini

ditandai dengan melonjaknya harga-harga pangan dunia seperti makanan pokok
berupa gandum, kedelai, beras, dan jagung. Penurunan pasokan berdampak pada
harga pangan di pasar dunia semakin melambung, sehingga mengakibatkan
masyarakat miskin harus membayar lebih mahal dibandingkan orang kaya di
negara maju.
Departemen Pertanian (1999) telah menetapkan isu ketahanan pangan
sebagai salah satu fokus utama kebijaksanaan operasional pembangunan pertanian
dalam Kabinet Gotong Royong (1999-2004), dan komitmen ini dilanjutkan dalam
Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009). Memantapkan ketahanan pangan
merupakan prioritas utama dalam pembangunan karena pangan merupakan
kebutuhan yang paling dasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa.
Sejarah membuktikan bahwa ketahanan pangan sangat erat kaitannya
dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanan atau
ketahanan nasional (Ritonga, 2008; Irianto, 2008). Selain itu, ketahanan pangan
dalam arti keterjangkauan pangan juga berkaitan erat dengan upaya peningkatan
mutu sumberdaya manusia Indonesia. Tanpa dukungan pangan yang cukup dan
bermutu, tidak mungkin dihasilkan sumberdaya manusia yang bermutu, oleh
karena itu membangun sistem ketahanan pangan yang kokoh merupakan syarat
mutlak bagi pembangunan nasional.

10

Kejadian rawan pangan dan gizi buruk mempunyai makna politis yang
negatif bagi penguasa. Bahkan di beberapa negara berkembang, krisis pangan
dapat menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa (Ariani et al., 2006).
Kejadian rawan pangan di tingkat rumah tangga dengan proporsi cukup besar
masih ditemukan di daerah-daerah dengan ketahanan pangan tingkat regional
(provinsi) maupun tingkat nasional terjamin (Saliem et al., 2001). Oleh karena itu
pencapaian tingkat ketahanan pangan yang mantap di tingkat nasional maupun
regional saja tidak cukup. Mantapnya ketahanan pangan tingkat desa dan tingkat
rumah tangga serta individu merupakan sasaran pembangunan ketahanan pangan
suatu Negara.
Pemerintah telah mengeluarkan PP No 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan. Intinya ketahanan pangan sangat penting untuk membentuk manusia
Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui ketersediaan pangan
yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh
wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Berbekal PP tersebut
semestinya, ketahanan pangan menjadi agenda penting bagi pemerintah bersama
masyarakat untuk dilaksanakan. Apalagi banyak komoditi penting yang sampai
saat ini masih harus impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Oleh karena itu, membangun kewaspadaan dan atau ketahanan pangan dari
strata pemerintahan yang paling rendah yaitu desa (kelurahan) secara bertahap dan
konsisten menjadi suatu keniscayaan untuk menjamin tegaknya kedaulatan
pangan di tingkat desa dan atau rumah tangga.

11

1.2.

Perumusan Masalah
Ketahanan pangan merupakan salah satu isu sensitif bagi keamanan suatu

bangsa. Secara umum, ketahanan pangan yang rapuh akan memicu terjadinya
konflik. Jacques Diouf (2008) selaku Direktur Jenderal Badan Pangan Dunia
(FAO), mengatakan bahwa kelangkaan pangan yang disusul melambungnya harga
telah memicu kerusuhan, antara lain di Mesir, Kamerun, Haiti dan Burkina Faso.
Ketersediaan pangan yang cukup secara nasional ternyata tidak menjamin
adanya ketahanan pangan tingkat wilayah (regional), pedesaan, serta rumah
tangga individu. Hal ini ditunjukkan antara lain dari studi yang dilakukan oleh
Saliem et al. (2004). Terkait dengan fakta tersebut maka masalah bagaimana
mengelola ketersediaan pangan yang cukup tersebut agar dapat diakses oleh
rumah tangga individu di masing-masing wilayah desa merupakan isu menarik
untuk ditelaah. Pengelolaan pangan terkait dengan masalah bagaimana mengelola
cadangan pangan, dalam hal ini manajemen cadangan pangan merupakan salah
satu aspek yang belum banyak dikaji secara baik.
Ketahanan pangan juga merupakan isu sentral yang menjadi domain utama
Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, meskipun sudah diketahui publik bahwa
Sukoharjo merupakan salah satu lumbung beras nasional atau berhasil sebagai
daerah swasembada beras. Hal ini dibuktikan dengan jumlah produksi beras
Sukoharjo yang cukup signifikan, yaitu pada posisi April 2006 mencapai 29.352
ton GKG dengan luas lahan panen 4.651 ha. (Pemda Sukoharjo, 2010). Namun
bukan berarti Kabupaten Sukoharjo telah terbebas dari persoalan rawan pangan
dan atau ketahanan pangan. Persoalan ketahanan pangan bagi pemerintah daerah

12

tentunya bukan sekedar terpenuhinya aspek ketersediaan pangan bagi masyarakat
(rumah tangga) artinya pemerintah telah mampu meyediakan pangan bagi seluruh
anggota masyarakatnya (Nainggolan, 2006), tetapi juga yang jauh lebih penting
adalah aspek aksesibilitas (keterjangkauan) masyarakat (rumah tangga) terhadap
bahan pangan. Daya beli rumah tangga merupakan faktor yang sangat
berpengaruh terhadap keterjangkauan pangan. Sementara, daya beli masyarakat
sangat dipengaruhi oleh besarnya pendapatan dan harga komoditas pangan.
Pertanyaan krusial-nya adalah seberapa besar keterjangkauan rumah
tangga-rumah tangga (masyarakat) terhadap bahan pangan, khususnya beras di
Kabupaten Sukoharjo? Total penduduk Sukoharjo pada tahun 2005 sebesar
817.108 jiwa atau 202.930 KK (PNPM, 2008), yang tersebar pada 12 kecamatan,
152 Desa dan 17 Kelurahan (Pemkab Sukoharjo, 2008). Dari 202.930 KK tersebut
terdapat 90.701 KK yang termasuk dalam kategori KK Miskin dengan rincian perkecamatan yaitu: 10.089 KK di Kecamatan Weru; 11.002 KK di Kecamatan
Polokarto; 6.616 KK di Kecamatan Gatak; 7.567 KK di Kecamatan; 9.425 KK di
Kecamatan Tawangsasri; 9.574 KK di Kecamatan Sukoharjo; 5.841 KK di
Kecamatan Nguter; 7.796 KK di Kecamatan Bendosari; 8.307 KK di Kecamatan
Mojolaban; 5.502 di Kecamatan Baki; 3.671 KK di Kecamatan Grogol dan 5.311
KK di Kecamatan Kartasura.
Sementara itu, dari 152 Desa di Kabupaten Sukoharjo terdapat 26 Desa
tertinggal yang tersebar di 6 Kecamatan yaitu: 5 desa di Kecamatan Weru; 3 Desa
di Kecamatan Bulu; 2 Desa di Kecamatan Tawangsari; 5 Desa di Kecamatan

13

Nguter; 6 Desa di Kecamatan Bendosari dan 5 Desa di Kecamatan Polokarto
(PNPM, 2008).
Data-data tersebut menunjukan adanya paradoksal bahwa predikat yang
disandang Kabupaten Sukoharjo sebagai salah satu daerah lumbung pangan
nasional dan merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang berhasil
swasembada beras, kenyataan di lapangan menunjukan bahwa aksesibilitas
(keterjangkauan) pangan dan atau ketahanan pangan rumah tangga di pedesaan
masih sangat rendah. Sehingga dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana rumusan model peran pemerintah desa melalui lumbung pangan
desa dalam pengelolaan stok (cadangan) pangan di daerah penelitian; dan
2. Bagaimana rumusan model revitalisasi fungsi dan peran lumbung pangan desa
sehingga dapat menjamin tegaknya kedaulatan pangan (produksi, ketersediaan
dan akses pangan) tingkat desa di daerah penelitian.

14

BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN
7.1.

Simpulan
Mengacu pada tujuan penelitian ini dan jawaban atas tujuan penelitian yang

dibahas dalam bab “pembahasan hasil” dapat diambil beberapa kesimpulan:
(1)

Secara umum, berdasarkan hasil observasi di lapangan kinerja lumbung
pangan desa (LPD) yang ada di desa-desa tertinggal sangat rendah, sehingga
tidak membantu petani untuk meningkatkan kesejahteraannya

(2)

LPD di desa-desa tertinggal perlu diperluas fungsi dan perannya,
sebagaimana yang direkomendasikan penelitian ini dalam bentuk model
“Model Revitalisasi Fungsi dan Peran Lumbung Pangan Desa” (lihat,
gambar 5.1.). Hal ini sesuai amanat UU No 6 tentang Desa, dalam pasal 38
ayat 1 disebutkan bahwa Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik
Desa yang disebut BUM Desa.

(3)

BUMD tersebut bisa didirikan di desa-desa tertinggal dalam bentuk usaha
Baitul Mall Tamwil Desa (BMT-D)

7.2.

Implikasi Kebijakan
Strategi dan kebijakan untuk menjaga ketahanan pangan nasional sekaligus

meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani adalah sebagai berikut:
Pertama, kebijakan yang berorientasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi
pedesaan (petani) sekaligus meningkatkan produksi pangan nasional. Kebijakan
tersebut meliputi land reform policy. Land reform policy ini bertujuan agar para

44

petani memiliki luas lahan yang memberikan keuntungan untuk dikelola sekaligus
meningkatkan produktivitas usaha taninya. Dalam konteks Indonesia, kebijakan
ini dapat direalisasikan dalam wujud pembangunan areal pertanian baru yang luas
di luar Jawa untuk dibagikan kepada buruh-buruh tani (petani tanpa lahan), para
petani guram (petani berlahan sempit), para peladang berpindah, dan perambah
hutan yang diikuti dengan bimbingan budi daya pertanian secara modern serta
mekanisasi pertanian berorientasi komersial (agrobisnis). Dalam skala makro,
pemerintah juga harus mendorong kebijakan harga yang fair. Dalam hal ini sangat
penting adanya kebijakan harga dasar yang efektif dan penerapan tarif impor
secara simultan. Tetapi, tidak cukup hanya itu. Hendaknya semua parasit ekonomi
pertanian seperti penyelundup, tengkulak, pengijon, preman desa, rentenir, elite
desa dan kota, serta para birokrat yang terlibat dalam aktivitas langsung dan
kebijakan di lapangan supaya dibersihkan, baik keberadaan maupun perilaku
mereka. Sebab, kalau tidak, kenaikan harga pangan tidak akan dinikmati petani,
tetapi oleh para parasit ekonomi tersebut. Kebijakan berikutnya adalah
peningkatan akses petani terhadap kredit dan perbaikan kualitas pelayanan kredit,
menghilangkan lembaga pencari rente dan kelompok free rider, serta sebanyak
mungkin memberikan dana berputar atau pinjaman lunak untuk perbaikan sarana
penyimpanan, transportasi, dan pemasaran hasil pertanian. Sedangkan akses
terhadap input produksi penting seperti pupuk dapat diwujudkan dengan
menerapkan kembali kebijakan subsidi pupuk. Selain itu, pemerintah pusat perlu
membuat memorandum of understanding dengan pemda-pemda yang memiliki
lahan-lahan pertanian subur (irigasi) untuk tidak mengizinkan alih fungsi lahan-

45

lahan tersebut. Dan, yang terakhir, tapi tidak kalah penting adalah introduksi
agroindustri pedesaan.
Kebijakan kedua adalah kebijakan yang berorientasi menjaga aspek
keterjangkauan pangan yang meliputi pemetaan wilayah-wilayah yang potensial
rawan pangan dan perbaikan akses serta ketersediaan logistik ke wilayah-wilayah
tersebut. Juga sangat penting untuk menerapkan program perlindungan sosial
berkala berupa program OPK (operasi pasar khusus) dan raskin (beras untuk
rakyat miskin)sebagai sarana indirect income transfer untuk kelompok-kelompok
miskin kronis. Untuk itu, perlu dilakukan pemetaan per daerah tingkat II tentang
jumlah dan sebaran kelompok tersebut. Pemetaan ini penting agar program
perlindungan sosialini dapat tepat sasaran. Kemudian juga harus dilakukan
kebijakan diversifikasi pangan. Kebijakan ini bertujuan membiasakan rakyat
mengonsumsi makanan sehari-hari dari berbagai jenis pangan. Dengan
terwujudnya kebiasaan makan yang baru tersebut, ketergantungan terhadap salah
satu komoditas pangan dapat direduksi.Di era desentralisasi ini, untuk
mengaplikasikan kebijakan ini pemerintah pusat perlu berkoordinasi dengan
pemerintah daerah agar terwujud kebijakan penganekaragaman pangan nasional
yang berbasis lokal. Alternatif kebijakan ini,antara lain, pertama, pengembangan
resource untuk produksi beragam pangan lokal termasuk dukungan kebijakan
harga, riset dan pengembangannya untuk memacu produktivitas komoditas lokal
nonberas di daerah. Kedua, pemberdayaan masyarakat lokal dengan pembinaan
kreativitas masyarakat dalam memproduksi, memanfaatkan,dan mengonsumsi

46

berbagai jenis pangan lokal. Ketiga, pengolahan dan penyediaan berbagai jenis
bahan pangan dalam bentuk siap olah untuk masyarakat daerah.
Kebijakan ketiga adalah kebijakan yang berorientasi menjaga stabilitas
ketahanan pangan antarwaktu (musim). Kebijakan ini meliputi, pertama, impor
yang selektif dengan impor pangan tertentu hanya diizinkan untuk daerah-daerah
yang bukan terkategori sentra produksi pangan tersebut dan tidak dilakukan dalam
keadaan panen raya. Kedua, kebijakan yang bertujuan bagaimana melibatkan
masyarakat dalam fungsi mekanisme penyeimbang logistik antarmusim melalui
lembaga logistik tradisionalyang dikenal dengan nama lumbung desa. Hal ini
penting mengingat di era mendatang kemampuan lembaga logistik nasional
(Bulog) yang semakin berkurang sebagai penyeimbang logistik antarmusim.
Lumbung desa adalah institusi stok pangan lokal yang dulu cukup efektif sebagai
penyangga ketahanan pangan (buffer stock) masyarakat.
7.3. Keterbatasan Penelitian
Peneliti tidak berpretensi bahwa penelitian tentang ketahanan pangan ini,
telah menghasilkan output penelitian yang sempurna ke-akurasian-nya, namun ada
beberapa keterbatasan yang bisa diidentifikasi yaitu:
(1)

Penelitian tidak memasukkan variabel “kualitas makanan dan nutrisi” yang
merupakan komponen penting dalam mengidentifikasi ketahanan pangan
rumah tangga.

(2)

Penelitian yang dilakukan hanya sebatas identifikasi ketahanan pangan,
belum bisa mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
ketahanan pangan rumah tangga di daerah penelitian.

47

(3)

Hasil penelitian belum mendeskripsikan bagaimana memformulasikan
sebuah model pengelolaan ketahanan pangan untuk mengatasi kerentanan
rumah tangga terhadap pangan di daerah penelitian.

7.4. Saran Penelitian Selanjut-nya
Berdasarkan beberapa keterbatasan yang telah di-identifikasi-kan tersebut,
peneliti mengharapkan kepada peneliti berikut-nya untuk menyempurnakan
penelitian ini dengan mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:
(1) Memasukkan variabel “kualitas makanan dan nutrisi” dalam analisis tentang
ketahanan pangan
(2) Kemungkinan dimasukkan analisis statistik (model regresi) dalam desain
penelitian berikutnya sehingga mendapatkan hasil yang lebih akurat.
(3) Proses dan prosedur penelitian diarahkan untuk hasil temuan bagaimana
mem-formulasi-kan sebuah model pengelolaan ketahanan pangan untuk
mengatasi kerentanan rumah tangga terhadap pangan di daerah penelitian.

48

DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M., Saliem H.P., Hardoko G.S. dan Purwantini, T.B., (2006), “Analisis
Wilayah Rawan Pangan dan Rawan Gizi Kronis Serta Alternatif
Penanggulangannya”. Laporan Akhir Penelitian. PSEKP-Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta
Basuno, E., Suhaeti, R.N., Budi, G.S., Iqbal, M. dan Suradisastra, K. (2006), “Kaji
Tindak (Action Research) Pemberdayaan Masyarakat Pertanian Daerah
Tertinggal (Tahap II)”, Laporan Akhir Penelitian, PSEKP-Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta.
Departemen Pertanian (1999). “Ketahanan Pangan dan Kebijaksanaan
Operasional Pembangunan Pertanian”. Departemen Pertanian, Jakarta.
Griffin, W.G. (2004). “Manajemen”. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Ilham, N. (2007). “Analisis profil Petani dan Pertanian Indonesia”. Laporan Akhir
Penelitian. PSEKP-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. Jakarta.
Irawan, B., Simatupang, P., Sugiarto, Supadi, Agustin N.K., Sinuraya, J.F. (2006),
“Panel Petani Nasional (PATANAS): Analisis Indikator Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan”. Laporan Akhir Penelitian. PSEKP-Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Irianto, G. (2008). “Menyelesaikan Konflik Pangan”. Opini Republika. PT
Republika Media Mandiri. Jakarta.
Lakollo, E.M., Rusastra, I.W., Saliem H.P., Supriyati, Friyanto, S., dan Budi, G.S.
(2007). “Dinamika Sosial Ekonomi Pedesaan: Analisis Perbandingan Antar
Sensus Pertanian”. Laporan Akhir Penelitian. PSEKP-Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta.
Mariyono, J. (2006), “Spatial and Temporal Analysis of Technical Efficiency In
Indonesian Rice Agriculture With Two Alternative Model Specifications”.
Jurnal Empirika, 19 (2): 135-153. BPPE Fakultas Ekonomi UMS. Surakarta.
Nurmanaf, A.R., Sugiarto, Julin, A., Supadi, Agustin, N.K., Sinuraya, J.F., dan
Zakaria A.K. (2005), “Panel Petani Nasional (PATANAS), Dinamika Sosial
Ekonomi Rumah Tangga dan Masyarakat Pedesaan: Analisis Profitabilitas
Usahatani dan Dinamika Harga dan Upah Pertanian”. Laporan Akhir
Penelitian. PSEKP-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen, Pertanian. Jakarta.
Pemerintah Desa Pabelan (2008), “Laporan Tahunan Kades”. Un-Published

49

Pemerintah Desa Pabelan (2008), “Daftar Isian dalam Rangka Perlombaan desa”.
Un-Published
Sayaka, B., Ariani M., Siregar M., Supriadi, H., Ariningsih, E., Rahmanto, B.,
Asikin, A. (2005). “Analisis Pengembangan Agroindustri Berbasis Pangan
Lokal Dalam Meningkatkan Keanekaragaman Pangan dan Pengembangan
Ekonomi Pedesaan”. Laporan Akhir Penelitian. PSEKP-Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta.
Saliem, H.P., Purwoto, A., Hardono, G.S., Purwantini, T.B., Supriyatna, Y.,
Marisa, Y. dan Waluyo (2005). “Manajemen Ketahanan Pangan Era
Otonomi Daerah dan Perum Bulog”. PSEKP-Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta.
Ritonga, R. (2008). “Bukan Sekedar Ketahanan Pangan”. Opini Republika. PT
Republika Media Mandiri. Jakarta.
Rusastra I.W., Noekman K.M., Supriyati, Erma, S., Elizabeth, R., dan Suryadi,
M., (2005), “Analisis Ekonomi Ketenagakerjaan Sektor Pertanian dan
Pedesaan di Indonesia”. PSEKP-Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta.

50