26, 27 Hubungan Keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil Dengan Disfungsi Ereksi

jumlah rata rata batang rokok yang dihisap setiap hari dalam satuan batanghari f. Penyakit Paru Obstruksi Kronik PPOK : keadaan penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, biasanya progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru ketika menghirup partikel atau gas beracun, dengan beberapa efek ekstrapulmoner bermakna menambah keparahan pasien secara individual. Diagnosis PPOK sesuai kriteria Depkes RI 2008 dan GOLD 2009. 1,8 g. PPOK stabil : PPOK yang tidak sedang eksaserbasi h. Uji spirometri : pemeriksaan fungsi paru menggunakan spirometri.

25, 26, 27

- Spirometri digunakan adalah spirometri Chest Graph HI-701 yang telah dikalibrasi terlebih dahulu. - Spirometri dilakukan ketika pasien secara klinis stabil dan bebas dari infeksi saluran napas. - Pasien sebelum dilakukan pemeriksaan spirometri tidak boleh menggunakan obat obatan bronkodilator selama 6 jam untuk bronkodilator inhalasi kerja-pendek dan 12 jam untuk bronkodilator inhalasi kerja-panjang dan 24 jam untuk teofilin lepas lambat - Dilakukan pemeriksaan spirometri, sebelum dan 15 20 menit setelah pasien diberikan bronkodilator inhalasi yaitu golongan agonis 2 kerja- pendek berupa fenoterol dengan dosis inhalasi terukur 400 g. - Pemeriksaan spirometri untuk mendapatkan nilai FEV1 dan FVC dilakukan dengan cara : Universitas Sumatera Utara o One-way mouthpiece sekali pakai yang bersih dipasangkan pada spirometer o Pasien diinstruksikan menghirup napas sedalam-dalamnya melalui mouthpiece sampai paru-paru terasa penuh o Kemudian pasien disuruh menahan napasnya selama waktu yang cukup untuk menutupkan bibirnya dengan rapat disekeliling mouthpiece o Setelah itu pasien diinstruksikan menghembuskan udara sekuatnya dan secepatnya sampai tidak ada lagi udara tertinggal untuk dikeluarkan. o Sambil terus memberi semangat kepada pasien, perhatian juga diberikan untuk memastikan mulut pasien menutup rapat disekeliling mouthpiece sehingga tidak terjadi kebocoran ketika menghembuskan udara. o Prosedur diulangi sampai didapat tiga hasil spirogram yang acceptable dan reproducible. Pengulangan prosedur dilakukan maksimum 8 kali usaha.  Acceptable mencakup start-of-test yang memuaskan, waktu ekshalasi FVC minimum 6 detik, kriteria end-of-test, dengan tanpa adanya batuk, penutupan glotis valsava manouvre, penghentian dini, hasil spirogram yang berbeda, kebocoran dan mouthpiece tersumbat.  Reproducible, jika nilai FVC tertinggi dan FVC kedua tertinggi dari spirogram acceptable tidak boleh berbeda lebih dari 0,2L ; Universitas Sumatera Utara dan nilai FEV1 tertinggi dan FEV1 kedua tertinggi dari spirogram acceptable tidak boleh berbeda lebih dari 0,2L. - Kemudian dihitung tes reversibilitas bronkodilator, dengan rumus : FEV1 reversibilitas = FEV1 setelah bronkodilator - FEV1 sebelum bronkodilator x 100 FEV1 sebelum bronkodilator - Bila hasil spirometri menunjukkan perbaikan bermakna FEV1 setelah bronkodilator FEV1 reversibilitas 12, maka pasien dikeluarkan dari penelitian karena kemungkinan diagnosa asma. - Bila didapat hasil spirometri setelah bronkodilator FEV1FVC 0,7 maka pasien dimasukkan dalam kriteria yang diikutkan dalam penelitian. - Hasil spirometri berupa nilai FEV1 ml pasien dimasukkan dalam rumus untuk menghitung FEV1prediksi untuk orang Indonesia. - Prediksi nilai normal FEV1 ml untuk laki laki Indonesia berdasarkan umur tahun dan tinggi badan cm menggunakan rumusan Tim Pneumobile R Project Indonesia 1992. 28 i. Tingkat kepararahan stadium PPOK ditentukan dengan klasifikasi menurut kriteria Depkes 2008 dan GOLD 2009. 1,8 - PPOK Stadium I ringan :  FEV1FVC 0,7  FEV1 80 prediksi - PPOK Stadium II sedang : Universitas Sumatera Utara  FEV1FVC 0,7  50 FEV1 80 prediksi - PPOK Stadium III berat :  FEV1FVC 0,7  30 FEV1 50 prediksi - PPOK Stadium IV sangat berat :  FEV1FVC 0,7  FEV1 30 prediksi, atau  FEV1 50 prediksi ditambah gagal napas kronik adanya komplikasi cor pulmonale

j. Hubungan seksual coitus sexual intercourse : penetrasi penis ke dalam vagina vaginal coitus.

11 k. Hasrat seksual libido : keinginan untuk melakukan hubungan seksual, dipengaruhi oleh berbagai rangsangan visual, olfaktori, taktil, auditori, imaginasi, dan hormonal. Hormon seks, terutama testosteron, bekerja meningkatkan hasrat seksual. Hasrat seksual dapat berkurang oleh karena masalah hormonal atau gangguan psikiatri atau obat-obatan. 29 l. Ejakulasi : proses transport sperma dari epidydimis ke meatus uretra, mengakibatkan memancarnya cairan semen. 30 Ejakulasi biasanya mengakibatkan melembeknya penis, diikuti masa refrakter, dimana gairah arousal danatau orgasme tidak mungkin lagi sampai masa ini terlewati. 30 m. Orgasme : interpretasi otak terhadap kejadian ejakulasi, bahkan jika ejakulasi tidak berlangsung secara normal. Orgasme merupakan kejadian Universitas Sumatera Utara serebral yang biasanya dialami pada waktu ejakulasi, tetapi dapat terjadi tanpa ejakulasi. 30 n. Disfungsi Ereksi DE : ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan suatu ereksi yang cukup bagi pelaksanaan hubungan seksual yang memuaskan. o. Kuesioner Fungsi Ereksi International Index of Erectile Function IIEF : instrumen yang digunakan untuk menilai fungsi ereksi dan telah digunakan pada trial klinis multinasional. Kuesioner ini memiliki 15 pertanyaan yang mencakup parameter berikut : fungsi ereksi 1,2,3,4,5, kepuasan ketika berhubungan seksual 6,7,8, fungsi orgasme 9,10, hasrat seksual 11,12, kepuasan seksual secara keseluruhan 13,14 dan tingkat kepercayaan diri untuk ereksi 15. Arahan penelitian ini terutama pada lima pertanyaan yang menggambarkan fungsi ereksi subyek 1,2,3,4,5, setiap pertanyaan bernilai 0-5. Kemudian nilaiskor dijumlahkan dengan skor total 0 25. Subyek dengan skor total 21 dianggap normal tidak ada DE, dan skor total 21 dianggap mengalami disfungsi ereksi DE.

20, 24