UPAYA BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DI BANDAR LAMPUNG DALAM MENANGGULANGI PEREDARAN KOSMETIK TANPA IJIN EDAR

(1)

ABSTRAK

UPAYA BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DI BANDAR LAMPUNG DALAM MENANGGULANGI

PEREDARAN KOSMETIK TANPA IJIN EDAR

Oleh

EVITA ARIESTIANA

Perawatan tubuh untuk tujuan mempercantik diri sekarang ini menjadi kebutuhan sebagian kaum hawa. Seiring dengan itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dimanfaatkan oleh produsen maupun distributor untuk mengedarkan kosmetika tanpa ijin edar.

Pengaturan tentang peredaran kosmetika diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun peredaran kosmetika tanpa ijin edar masih saja terjadi.

Adapun permasalahan dalam skripsi ini adalah (1) Bagaimanakah upaya Balai Besar Pemeriksaan Obat dan Makanan di Bandar Lampung dalam menaggulangi Peredaran Kosmetika Tanpa Ijin Edar?; (2) Apakah faktor penghambat Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan dalam menaggulangi Peredaran Kosmetika Tanpa Ijin Edar? Pendekatan masalah dalam penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis enpiris dengan menggunakan sumber data primer dan data sekunder. Sedangkan yang menjadi populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah Kepala Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan, Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Kepala Bidang Pengujian Terapetik, Narkotika dan psikotropika, Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Bandar Lampung dan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Provinsi Lampung.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa upaya Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Bandar Lampung dalam menanggulangi peredaran kosmetika tanpa ijin edar melalui upaya non penal yaitu (a) meningkatkan kesadaran konsumen agar dapat membentengi diri terhadap peredaran kosmetika tanpa ijin edar; (b) Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melaporkan


(2)

peredaran kosmetika tanpa ijin edar. Faktor penghambat dalam menanggulangi kosmetika tanpa ijin edar yaitu (a) Faktor hukumnya sendiri, tidak semua sanksi sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku sehingga tidak memberikan efek jera; (b) Faktor penegak hukum, tidak semua aparat penegak hukum bekerja secara profesional serta bocornya informasi sehingga penegakan hukum kurang dapat diselenggarakan dengan baik; (c) Kurangnya sarana dan fasilitas yang memudahkan dalam penyidikan; (d) Faktor masyarakat yang masih kurang aktif sebagai pelapor atau mengadukan adanya peredaran kosmetika tanpa ijin edar; dam (d) Faktor kebudayaan dalam masyarakat yang menginginkan kosmetika dengan harga yang murah, cepat merubah penampilan.

Berdasarkan analisa dan kesimpulan, maka yang menjadi saran penulis adalah (1) Sebaiknya penegak hukum dapat tegas dalam mempertimbangkan sanksi pidana yang berat untuk menjerat pelaku usaha peredaran kosmetika tanpa ijin edar; (2) Sebaiknya BBPOM di Bandar Lampung supaya lebih meningkatkan pengetahuan teknis dan manajerial personil untuk optimalisasi kinerja; (3) Sebaiknya BBPOM di Bandar Lampung meningkatkan tata hubungan kerja dengan stakeholder melalui kegiatan sosialisasi, workshop dan advokasi dalam rangka pengawasan; (4) Sebaiknya BBPOM Bandar Lampung mengoptimalkan unit layanan pengaduan konsumen.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kosmetika telah dikenal sejak dahulu kala. Bahan-bahan kecantikan berupa minyak-minyak hewan maupun tumbuhan, rempah, tanah liat,madu, susu, arang dan lain-lainnya. Hipocrates pada abad (460 - 377 SM), seorang bapak ilmu kedokteran telah membuat resep-resep kosmetika dan menghubungkannya dengan ilmu kedokteran. Melalui berbagai tempat dan waktu ilmu untuk mempersolek diri meluas dan menyebar ke dalam berbagai kalangan masyarakat di dunia ini.

Perawatan kecantikan yang bersumber pada pengetahuan nenek moyang, merupakan tradisi turun-temurun menurut adat istiadat masing-masing daerah. Pada tulisan Jawa kuno kita dapat menemukan uraian tentang pembuatan jamu-jamu tradisionil baik untuk kesehatan maupun untuk kecantikan, suatu hal yang bila dikembangkan tidak kalah artinya dengan kosmetika manapun. Meskipun demikian, pada dewasa ini di dalam lapisan masyarakat Indonesia kecenderungan untuk memakai kosmetika tradisionil masih sedikit. Sebagian terbesar lainnya baik pemakai atau salon-salon kecantikan yang bertebaran di seluruh pelosok Indonesia masih menggunakan kosmetika modern dengan cara aplikasi dan sistem yang diambil dari negara-negara maju seperti Eropa, Amerika atau Jepang.


(4)

Peraturan Menteri Kesehatan R.I. No. 220/Menkes/per/IX/1976, menjelaskan bahwa yang dimaksud kosmetika adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan, dioleskan, dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan pada, dimasukkan dalam, dipergunakan pada badan atau bagian badan manusia dengan maksud untuk membersihkan, memelihara, menambah daya tarik atau mengubah rupa dan tidak termasuk obat. Meskipun definisi kosmetik demikian jelas, ternyata faktanya antara kosmetika ditambah dengan zat-zat pembunuh bakteri atau jasad renik lain, anti jerawat, anti gatal, anti produk keringat dan lain-lainnya. Beberapa penyelidik menyebutkan sebagai kosmedik.

Dunia kedokteran dikenal pula placebo, obat tanpa efek tertentu kecuali efek psikis. Dewasa ini di pasaran kita menemukan berbagai macam kosmetika yang dihasilkan oleh produsen-produsen baik nasional maupun internasional. Oleh karena banyaknya kosmetika yang beredar dapat membingungkan baik konsumen maupun pihak-pihak yang berkecimpung didalamnya. 1

Berkembangnya ilmu pengetahuan di segala bidang, kemajuan di bidang teknologi, perkembangan sosial budaya, telah membawa perubahan dalam sikap hidup seseorang. Kemajuan peradaban dan taraf kehidupan manusia, telah membawa manusia kearah pemenuhan kebutuhan, baik bersifat primer maupun bersifat sekunder. Pada zaman modern ini, kelainan kulit estetik telah merupakan problema yang mendapat perhatian khusus dalam kehidupan manusia.

1“Cermin dunia kedokteran”

ed 41, Pusat Penelitian dan Pengembangan (Jakarta , PT. Kalbe Farma, 1986”).


(5)

Pemakaian kosmetika merupakan hal yang sangat diperlukan oleh seseorang, sejak usia bayi- sampai usia lanjut, tidak terkecuali pria maupun wanita dengan tujuan untuk mendapatkan kulit yang sehat, wajah yang cantik, penampilan pribadi yang baik dan kepercayaan pada diri sendiri.

Sehat menurut Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) adalah keadaan yang sempurna baik fisik, mental dan ekonomis. Dalam arti kata yang sempit sehat berarti tidak sakit. Kulit yang sehat adalah kulit yang tidak menderita suatu penyakit baik dari luar tubuh maupun dari dalam tubuh. Setiap organ tubuh manusia, termasuk pula kulit, mempunyai fungsi tertentu untuk kesehatan. Kulit dengan luas ± 1,2 m2 dan berat ± 15% dari berat badan terdiri dari susunan sel-sel yang membentuk lapisan-lapisan kulit epidermis, dermis dan jaringan bawah dermis.2

Kulit mempunyai fungsi proteksi, sekresi, termoregulasi, sensorik, ekspresi, produksi (vit. D), respirasi dan absorpsi, yang dilakukan baik oleh sel-sel kulitnya maupun oleh appendagesnya seperti otot, kelenjar lemak, kelenjar keringat, rambut atau kuku. fisik maupun fisiologik. Secara fisik, kulit yang sehat terlihat dari warna, konsistensi, kelenturan, struktur bentuk dan besarnya sel-sel jaringan kulit lain. Secara fisiologik terlihat dari keratinisasi, pigmentasi, persarafan, pembentukan keringat, pembentukan minyak kulit, pertumbuhan rambut.3

2

ibid

3


(6)

Tujuan pemakaian kosmetika adalah pemeliharaan/perawatan, penambahan daya tarik/rias dan menambah bau-bauan. Sebagai bagian dari tubuh, kulit mendapat porsi yang paling besar dari tujuan tersebut. Sudah barang tentu ketiga tujuan penggunaan kosmetika tidak boleh mengganggu kulit pada khususnya dan kesehatan tubuh pada umumnya.

Setiap bahan yang ditempelkan pada kulit dapat menyebabkan kelainan kulit. Bahan yang dapat memberi kelainan kulit pada aplikasi pertama disebut iritan, sedangkan bahan yang dapat menimbulkan kelainan setelah pemakaian berulang disebut sensitizer. Istilah intoleransi dipakai bila pemakai kosmetika mengeluh rasa kurang nyaman misalnya rasa pusing atau rasa mual setelah memakai kosmetik tertentu sedang pada kulit tidak dijumpai kelainan.

Kelainan pada kulit :4

1. Reaksi iritasi. Reaksi ini dapat disebabkan oleh kosmetika yang mengandung asam atau basa. Pada umumnya kelainan berbatas tegas dan dapat berupa eritematodeskuamasi sampai vesikobulosa. Sebagai contoh adalah tioglikolat dengan pH 12,5 yang terdapat pada perontok rambut.

2. Reaksi alergi. Reaksi ini pada umumnya berupa dermatitis eksematosa. Kelainan yang terjadi tidak selalu pada lokasi aplikasi kosmetika; hal ini terlihat pada dermatitis kelopak mata yang lebih sering disebabkan karena kosmetika rambut, muka atau kuku daripada karena rias mata sendiri.

3. Reaksi foto sensitivitas Reaksi ini terjadi oleh karena aplikasi kosmetika yang mengandung fotosensitizer dan terpapar cahaya. Kelainan dapat berupa

4


(7)

eritem, eksematosa atau hiperpigmentasi yang biasanya disebabkan oleh parfum. Dapat bersifat foto toksik maupun foto alergik.

4. Kelainan pigmentasi. Suatu bentuk kelainan pigmentasi pada kulit dikenal sebagai Pigmented cosmetic dermatitis; kelainan ini sebenarnya merupakan akibat dermatitis kontak alergik atau foto alergik karena bahan pewangi atau zat warna yang terdapat dalam kosmetika. Manifestasi kulit berupa bercak/difus/ retikuler kecoklatan, kadang-kadang hitam atau biru hitam. Akhir-akhir ini banyak dipersoalkan tentang krem pemutih atau pearl cream yang peredarannya telah dilarang pemerintah dengan Surat Edaran No. I1320/C/XI/1983; tetapi pada kenyataannya masih beredar di pasaran. Krem krem ini mengandung 1 - 4% powdered pearl, dan menurut penyelidikan mengandung merkuri amonia.

5. Akne. Lesi terutama berbentuk komedo yang ditemukan pada wanita dewasa yang terutama disebabkan oleh kosmetika krem muka. Bahan-bahan yang bersifat komedogenik antara lain: lanolin, petrolatum, butil stearat, lauril alkohol, asam oleat dan zat warna D & C Red-dyes yang terdapat dalam pemerah pipi

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, dimaksud dengan Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika; sedangkan pengertian peredaran menurut:

1. Peraturan Pemerintah Nomor: 72 Tahun tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan:


(8)

Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan, pemindahtanganan;

2. Surat Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetik:

Peredaran adalah pengadaan, pengangkutan, pemberian, penyerahan, penjualan dan penyediaan di tempat serta penyimpanan, baik untuk perdagangan atau bukan perdagangan

Tata cara peredaran kosmetik di tingkat ASEAN telah diatur melalui harmonisasi ASEAN di bidang kosmetik bertujuan untuk menghilangkan hambatan teknis dengan menyelaraskan peraturan dan persyaratan teknis di ASEAN tanpa mengabaikan mutu dan keamananan produk. Dengan Harmonisasi ASEAN maka diterapkan sistem notifikasi kosmetika yang berdasarkan pada peraturan ASEAN (ASEAN Cosmetic Directive) yang ditransposisi ke dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1176 Tahun 2010 tentang notifikasi kosmetika.

Tujuan Notifikasi untuk memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada industri/importir tentang mutu, keamanan dan manfaat dari kosmetika dan dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat dari peredaran dan penggunaan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan

Konsumen di Indonesia masih cenderung pasif meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang mengatur tentang hak-hak konsumen, kewajiban pelaku usaha serta memberikan


(9)

bentuk-bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen. Konsumen belum sepenuhnya menyadari hak-hak mereka , sedangkan pelaku usaha juga belum sepenuhnya memenuhi kewajibannya, kondisi tersebut cenderung mendorong lahirnya berbagai bentuk pelanggaran pelaku usaha terhadap hak konsumen namun pelaku usaha yang bersangkutan tidak memperoleh sanksi hukum yang mengikat.

Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 106 ayat (1), menyatakan:

Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar”.

ayat (2), menyatakan:

Penandaan dan Informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan”.

ayat (3), menyatakan:

Pemerintah berwenang mencabut ijin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh ijin edarm yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan / atau keamanan dan / atau kemamfaatan dapat disita dan dimusnahkan dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.

Ketentuan pidana diatur dalam Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, yaitu:

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan / atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).


(10)

Contoh kasus mengenai Kosmetika tanpa ijin edar atas nama Jonfi Hendri bin Muchlis telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan nomor putusan 32/PID.Sus/2012/PN.TK yaitu dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi atau alat kesehatan tanpa memilki ijin edar berupa Racikan 99 facial foam, racikan 99 (putih), racikan 99 (kuning), cream lian Hua night (hijau), cream lin hua day (pink),cream DR pemutih, deconard (merah), deconard (biru), QL night cream besar, QL whitening Vit E, Ester Transparan beauty soap Vit E, SP special, Spesial Mey Yung, SJ Night, SJ Day cream, CR cream lanjutan spa,Pons white beauty, Ester whitening bleaching cream, Ester whitening cream, RDL Bany face sol 360 ml, citra day & night cream, MAC eye shadow 10 colors + 2 blusher, MAC Eye shadow 20 colors, MAC eye shadow 4 colors, MAC eye shadow 6 colors, MAC bedak padat, MAC fashion blush, MAC powder plus poundation, Pai wei whitening, Pai wei yuthfull nourshing, Pai wei quality quaranted.

Suatu perbuatan yang dapat mengancam keselamatan konsumen atau menimbulkan kematian merupakan kejahatan dalam Undang–Undang. Perbuatan jahat merupakan suatu perbuatan yang harus dipidana. Dalam hal ini yang bertanggung jawab adalah pihak yang ditunjuk Undang-Undang.

Kewenangan mengawasi dan bertindak dalam penerapan hukum yang berlaku oleh aparat pemerintah sangat perlu bagi perlindungan konsumen.

Pasal 30 Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu :

1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.


(11)

2. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan /atau Menteri teknis terkait.

3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/ atau jasa yang beredar di pasar.

4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/ atau Menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Hasil pengawasan yang diselenggrakan masyarakat dan lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Mentri dan Mentri teknis.

6. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , ayat (2), ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Namun disisi lain, Badan POM RI melalui public warning dan press release telah melakukan pembekuan ijin edar dan penarikan terhadap produk kosmetika yang berbahaya, diantaranya:5

1. Public Warning/Peringatan, Nomor : KH.00.01.43.2503, tanggal : 11 Juni 2009 tentang Kosmetik mengandung bahan berbahaya / bahan dilarang. 2. Public Warning/Peringatan, Nomor : KH.00.01.432.6147, tanggal : 26

November 2008 tentang Kosmetik mengandung bahan berbahaya dan zat warna yang dilarang.

3. Public Warning/Peringatan, Nomor : KH.00.01.432.6081, tanggal : 1 Agustus 2007 tentang Kosmetik mengandung bahan berbahaya dan zat warna yang dilarang.

5


(12)

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap upaya yang dilakukan Balai Besar POM di Bandar Lampung dalam menanggulangi peredaran kosmetik tanpa ijin edar melalui upaya penegakan hukum.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang akan dibahas dalam skripsi ini dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah upaya Balai Besar POM di Bandar Lampung dalam menanggulangi peredaran kosmetika tanpa ijin edar?

b. Apakah faktor penghambat Balai Besar POM di Bandar Lampung dalam menanggulangi peredaran kosmetika tanpa ijin edar?

2. Ruang Lingkup

Permasalahan dalam penelitian ini memiliki ruang lingkup yang meliputi dua hal, yaitu:

a. Ruang lingkup bidang ilmu

Ruang lingkup bidang ilmu yang digunakan adalah hukum pidana, yaitu upaya dalam menanggulangi peredaran Kosmetika Tanpa Ijin Edar.


(13)

b. Ruang lingkup bidang bahasan

Ruang lingkup kajian bahasan tersebut meliputi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam perundang-undang dalam menanggulangi peredaran kosmetika tanpa ijin edar..Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Bandar Lampung. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan pokok bahasan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui upaya penanggulangan yang dilakukan oleh Balai Besar POM di Bandar Lampung dalam penegakan hukum terhadap pelaku peredaran kosmetika tanpa ijin edar.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat upaya penanggulangan yang dilakukan oleh Balai Besar POM di Bandar Lampung dalam penegakan hukum terhadap pelaku peredaran kosmetika tanpa ijin edar.

2. Kegunaan Penelitian a. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan dan pengembangan ilmu hukum di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan upaya penanggulangan terhadap peredaran kosmetik tanpa ijin edar.


(14)

b. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah, khususnya Balai Besar POM di Bandar Lampung dalam rangka penegakan hukum dalam upaya penanggulangan terhadap peredaran kosmetik tanpa ijin edar.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang relevan oleh peneliti.6

Sudarto (1983: 161) pernah mengemukakan tiga arti mengenai upaya penaggulangan kejahatan, yaitu:

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; dan

c. Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

6

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1983) 32


(15)

Berkaitan dengan penanggulangan kejahatan, Hoefnagels mengutarakan bahwa penaggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara:7

a. Penerapan hukum pidana (criminal law aplication);

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing view of society on crime and punishment/mass media).

Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non penal” (bukan/diluar hukum pidana).8

Penanggulangan kejahatan tidak terlepas dari faktor-faktor yang menghambat upaya penaggulangan kejahatan, yang menurut Soerjono Soekanto dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:9

a. Faktor perundang-undangan (substansi hukum)

Bahwa semakin baik peraturan hukum akan semakin memungkinkan penegakannya, sebaliknya semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sukarlah menegakkannya. Secara umum bahwa peraturan hukum yang baik adalah peraturan hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofi.

7

Barda Nawawi Arif, 1996: 48

8

Id. at 49.

9


(16)

b. Faktor penegak hukum

Bahwa faktor penegak hukum ini menentukan proses penegakan hukum yaitu pihak-pihak yang menerapkan hukum tersebut, adapun pihak-pihak ini yang langsung terkait dalam proses fungsionalisasi hukum pidana terhadap perbuatan yang merusak objek dan daya tarik wisata.

c. Faktor prasarana dan fasilitas

Penegakan hukum akan berlangsung dengan baik apabila didukung dengan sarana dan fasilitas yang cukup. Sarana dan fasilitas ini digunakan untuk mencapai tujuan yaitu masyarakat yang tertib dan taat hukum.

d. Faktor kesadaran hukum

Merupakan bagian terpenting dari masyarakat yang menentukan penegakan hukum dan kesadaran hukum merupakan pandangan yang hidup dalam masyakarakat tentang apa hukum itu, sedangkan kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum itu.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan, dengan istilah yang akan diteliti dan atau diuraikan dalam karya ilmiah. Kerangka konseptual dalam karya ilmiah hukum mencakup 5 (lima) ciri, yaitu (a) konstitusi, (b) undang-undang sampai ke peraturan yang lebih rendah, (c) traktat, (d) yurisprudensi, dan (e) definisi operasional.10

10


(17)

Adapun pengertian dasar dari istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Upaya adalah usaha; ikhtiar untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar.11

b. Pelaku kejahatan adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang.12 c. Penanggulangan adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya

sesuatu perbuatan yang dilarang oleh Undang–Undang yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia.13

d. Kosmetik tanpa ijin edar adalah kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatannya dan atau belum memiliki ijin edar.14

e. Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan kosmetik (pengadaan, pengangkutan, pemberian, penyerahan, penjualan dan penyediaan di tempat serta penyimpanan) baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan, pemindahtanganan.15

f. Ijin edar adalah notifikasi yang dilakukan sebelum kosmetika beredar, dikeluarkan melalui Kepala Badan POM RI.16

g. Sediaan farmasi adalah adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.17

11

http://kamusbahasaindonesia.org 12

P.A.F. Lamintang , 1997, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1997)

13

Ibid

14

Peraturan Pemerintah Nomor: 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Makanan.

15

Undang-Undang Nomor: 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

16

Ibid

17


(18)

h. Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau badan atau melindun-gi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.18

Balai Besar POM di Bandar Lampung adalah unit pelaksana teknis di lingkungan Badan POM RI di wilayah provinsi Lampung, melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.21.4232 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor Nomor: 05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan POM (Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.21.4232 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor Nomor: 05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan POM.

D. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Dalam bab ini dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, dan sistematika penulisan.

18


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas pengertian dan pemahaman yang berkaitan pokok masalah, berisikan tentang Kosmetik, Peraturan di Bidang Kosmetik, Pelaku Tindak Pidana di Bidang Kosmetik, Peran Balai Besar POM di Bandar Lampung dalam Penanggulangan Peredaran Kosmetik Tanpa Ijin Edar, Faktor-faktor yang menghambat dalam Upaya Penaggulangan Kosmetik Tanpa Ijin Edar

III. METODE PENELITIAN

Dalam bab ini membahas metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian secara yuridis empiris, berisikan tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas hasil penelitian dan pembahasan yang berisikan tentang karakteristik responden, Kebijakan hukum pidana dalam penaggulangan pelaku tindak pidana kosmetik tanpa ijin edar, dan Faktor-faktor yang menghambat upaya penaggulangan terhadap pelaku tindak pidana kosmetik tanpa ijin edar.

V. PENUTUP

Dalam Bab ini berisikan tentang kesimpulan hasil penelitian dan pembahasan, dan saran penulis terkait pokok permasalahan.


(20)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, yaitu :

1. Pendekatan secara yuridis normatif yaitu suatu pendekatan dari sudut hukum yang berpedoman pada peraturan-peraturan, teori-teori, azas-azas, serta bahan-bahan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas melalui penelusuran kepustakaan.

2. Pendekatan secara yuridis empiris yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian, perilaku, pendapat, sikap yang berkaitan dengan pendapat dari para akademisi hukum pidana terhadap pendistribusian kosmetika tanpa ijin edar yang dapat mengancam kesehatan konsumen yang dilakukan dengan mengadakan penelitian langsung dilapangan tentang bagaimana penanggulangan terhadap peredaran kosmetika tanpa ijin edar tersebut yang dapat mengancam kesehatan para konsumen, pendekatan diatas, diharapkan dapat memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas dan mendalam terhadap permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.


(21)

B. Sumber dan Jenis Data

Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. 1. Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari lapangan berupa

keterangan-keterangan dari informasi dari responden secara langsung yang didapat melalui wawancara dan observasi lapangan mengenai pendistribusian kosmetika tanpa ijin edar.

2. Data sekunder adalah data yang terlebih dahulu sudah dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang lain diluar peneliti yang berupa dokumen, laporan-laporan yang ada hubungannya dengan penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, adalah bahan-bahan hukum yang mengikat berupa undang–undang, dokumen, yurisprudensi yang berasal dari ketentuan yang terdapat dalam :

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen

d) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

b. Bahan hukum sekunder, yaitu sumber data yang secara tidak langsung dapat memberikan keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer, antara lain :

a) Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK.00.05.4.1745 Tahun 2003 tentang Kosmetika.


(22)

b) Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK.00.05.4.3870 Tahun 2003 tentang Pedoman Cara Pembuatan Kosmetika Yang Baik.

c) Keputusan Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetika Dan Produk Komplemen Nomor : PO.01.04.42.4082 Tahun 2003 tentang Pedoman Tata Cara Pendaftaran Dan Penilaian Kosmetika d) Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dibidang Kosmetika

c. Bahan hukum tersier, berupa bahan bacaan lain yang sifatnya karya ilmiah, buku-buku, kamus, majalah, koran, artikel dan internet yang berkaitan dengan perrmasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan objek sebagai keseluruhan sumber data yang akan diteliti. Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil populasi yaitu Balai Besar Pengawas Obat Dan Makananan di Bandar Lampung dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Provinsi Lampung.

Sampel adalah sebagian data yang diambil dari populasi untuk mewakili populasi. Responden yang dianggap dapat mewakili populasi untuk mencapai tujuan, maka sampel dalam penelitian ini yaitu :

1. Pegawai Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan di

Bandar Lampung 4 orang 2. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Provinsi

Lampung 1 orang Jumlah 5 orang


(23)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Berdasarkan jenis data diatas, maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Studi lapangan

Studi lapangan merupakan suatu penelitian dimana peneliti secara langsung terjun ke lapangan untuk mendapatkan data dan keterangan-keterangan yang diperlukan. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data melalui studi lapangan adalah dengan melakukan wawancara.

b. Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan merupakan pengumpulan bahan-bahan kepustakaan yang berupa buku-buku literature, peraturan perundang-undangan, makalah, dan bahan kepustakaan lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti agar mendapatkan gambaran dan pengertian secara teoritis.

c. Studi Dokumen

Studi pokok dokumen yaitu dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen yang berkaitan dengan peredaran kosmetika.


(24)

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Editing yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan dan kesalahan-kesalahan, apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

b. Sistematis yaitu data yang telah diedit kemudian dilakukan penyusunan dan penempatan pada tiap pokok bahasan secara sistematis.

c. Evaluating yaitu memeriksa atas kelengkapan data, kejelasan yang relevan terhadap pokok bahasan.

E. Analisis Data

Tujuan analisis data adalah menyederhanakan data dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diidentifikasikan.25

Penulis menggunakan analisis kualitatif , komperhensif dan lengkap. Analisis kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam kalimat yang teratur , runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan pembahasan, pemahaman, dan interprestasi data. Sedangkan komperhensif berarti pembahasan data secara mendalam dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlupakan , semua sudah masuk dalam pembahasan. Hasil anailisis secara ringkas dalam kesimpulan sebagai jawaban singkat dari bahasan yang diteliti mengenai Upaya Balai Besar

25


(25)

Pengawas Obat dan Makanan di Bandar Lampung dalam Menanggulangi Peredaran Kosmetika Tanpa Ijin Edar.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kosmetik

1. Istilah Kosmetik

a. Surat Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor: HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik, yang dimaksud kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar) atau gigi atau mukosa mulut terutama membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.

b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 220/Men.Kes/Per/IX/76 tentang Produksi dan Peredaran Kosmetik dan Alat Kesehatan, yang dimaksud dengan kosmetik adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan, dilekatkan, dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan pada, dimasukkan dalam, dipergunakan pada badan atau bagian badan dengan maksud untuk membersihkan, memelihara, menambah daya tarik atau mengubah rupa dan tidak termasuk golongan obat.


(27)

2. Penggolongan Kosmetika

Penggolongan kosmetik berdasarkan Keputusan Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Nomor: PO.01.04.42.4082 tentang Pedoman Tata Cara Pendaftaran dan Penilaian Kosmetik, berdasarkan bahan dan penggunaannya serta untuk penilaian, kosmetik dibagi menjadi 2 (dua) golongan, yaitu:

a. Kosmetik golongan I, adalah:

a) Kosmetik yang digunakan untuk bayi;

b) Kosmetik yang digunakan disekitar mata, rongga mulut dan mukosa lainnya;

c) Kosmetika yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar dan penandaan;

d) Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim serta belum diketahui keamanan dan kemanfaatannya.

b. Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk golongan I 3. Kategori Kosmetik

Berdasarkan fungsi kosmetik terdiri dari 13 (tiga belas) kategori, yaitu: a. Sediaan bayi;

b. Sediaan mandi;

c. Sediaan kebersihan badan; d. Sediaan cukur;

e. Sediaan wangi-wangian; f. Sediaan rambut;


(28)

g. Sediaan pewarna rambut; h. Sediaan rias mata;

i. Sediaan rias wajah; j. Sedian perawatan kulit;

k. Sediaan mandi surya dan tabir surya; l. Seiaan kuku;

m. Sediaan hygiene mulut. 4. Penandaan Kosmetik

Penandaan kosmetik harus memenuhi persyaratan umum, yaitu etiket wadah atau pembungkus harus mencantumkan penandaan berisi informasi yang lengkap, objektif dan tidak menyesatkan, sesuai dengan data pendaftaran yang telah disetujui, jelas dan mudah terbaca, menggunakan huruf latin dan angka arab; dan tidak boleh mencantumkan penandaan seolah-olah sebagai obat, rekomendasi dari dokter, apoteker, pakar di bidang kosmetik atau organisasi profesi. Keterangan-keterangan yang harus dicantumkan pada etiket wadah dan atau pembungkus meliputi:

a. Nama produk;

b. Nama dan alamat produsen atau importer/penyalur; c. Ukuran, isi atau berat bersih;

d. Komposisi harus memuat semua bahan; e. Nomor ijin edar;


(29)

g. Kegunaan dan cara penggunaan kecuali untuk produk yang sudah jelas penggunaannya;

h. Bulan dan tahun kadaluwarsa bagi produk yang stabilitasnya kurang dari 30 bulan;

i. Penandaan yang berkaitan dengan keamanan atau mutu 5. Nomor ijin edar

Kosmetik yang telah mendapatkan ijin edar memiliki nomor registrasi ijin edar, dengan kode sebagai berikut:

a. Yang mendapatkan ijin edar sebelum notifikasi, ijin edar diterbitkan oleh Departemen kesehatan dengan kode CD/CL diikuti 10 digit angka, masa berlaku sampai dengan Januari 2014 setelah itu ijin edar melalui notifikasi:

CD/CL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Keterangan:

CD/CL : Kosmetik produksi dalam negeri/Kosmetik produksi luar negeri atau lisensi

1, 2 : Jenis kategori kosmetik 3, 4 : Jenis sub kategori

5,6 : Tahun berakhir ijin (dibalik) 7,8,9,10 : Tahun pendaftaran


(30)

Ijin melalui notifikasi, ijin edar diterbitkan oleh Badan POM RI dengan kode C diikuti 12 digit angka:

C 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Keterangan:

C : Huruf C singkatan dari cosmetic 1 : Kode benua, disusun secara alphabetis 2,3 : Kode Negara yang disusun secara alphabetis 4,5 : Tahun notifikasi

6,7 : Kategori kosmetik ASEAN

8-12 : Nomor urut notifikasi pada tahun yang bersangkutan

B. Dasar Hukum Peraturan di Bidang Kosmetik

Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai dasar berbagai peraturan yang mengatur pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Undang-Undang ini memuat pengaturan berbagai hal pokok tentang kesehatan, yaitu berisi tentang:

1. Ketentuan umum yang memuat istilah dan pengertian berbagai hal tentang kesehatan;

2. Azaz dan tujuan pembangunan kesehatan, diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama dan bertujuan untuk meningkatkan


(31)

kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang

setinggi-tingginya;

3. Hak dan kewajiban dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan, dan kewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya;

4. Tanggung jawab pemerintah dalam merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat;

5. Sumber daya di bidang kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan;

6. Upaya kesehatan yang diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan;

7. Pengawasan, penyidikan dan ketentuan pidana sebagai upaya untuk melindungi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, ketentuan mengenai peredaran kosmetika, tindakan terhadap pelanggaran dan tindak pidana terhadap peredaran kosmetik tanpa ijin edar diatur dalam beberapa pasal, yaitu: Pasal 106 ayat (1)

Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.


(32)

Pasal 106 ayat (3)

Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 189 ayat (1)

Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan.

Pasal 189 ayat (2)

Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:

a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidangkesehatan;

b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang didugamelakukan tindak pidana di bidang kesehatan;

c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan;

d. Melakukan pemeriksaan atas surat dan/ataudokumen lain tentang tindak pidana di bidang kesehatan;

e. Melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kesehatan;

f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan;

g. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan adanya tindak pidana di bidang kesehatan.

Pasal 189 ayat (3)

Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana


(33)

Pasal 196

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,

khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 197

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

C. Pelaku Tindak Pidana di Bidang Kosmetik

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-absrtacto dalam peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara konkret.17

Pelaku merupakan terjemahan dari istilah hukum pidana Belanda yaitu dader Sedangkan pengertian strafbaar feit untuk menyebut istilah tindak pidana. Perkataan feit dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum, sehingga perkataan strafbaar feit

17

Tri Andrisman, Hukum Pidana, Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, (Bandar Lampung, Fakultas Hukum Unila, 2006)


(34)

secara harfiah perkataan diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.18

Menurut Profesor Pompe, strafbaar feit secara teoritis dapat dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.19

Ketentuan Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan pelaku tindak pidana , yaitu:

Pasal 55 Ayat (1),

Dihukum sebagai pelaku-pelaku tindak pidana:

Ke-1 mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan;

Ke-2 mereka yang dengan member atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan member kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Pasal 55 ayat (2),

Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

18

Lamintang, Op.Cit.,181

19


(35)

Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana dijabarkan kedalam dua unsur, 1) unsur-unsur subjektif adalah unsure-unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan kepada diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya, 2) unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana pelaku itu harus dilakukan.

Unsur-unsur subjektif meliputi 1) kesengajaan atau ketidaksengajaan, 2) maksud atau voornemen pada suatu percobaan, 3) macam-macam maksud, 3) merencanakan terlebih dahulu, 4) perasan takut, sedangkan unsur-unsur objektif adalah 1) sifat melanggar hukum, 2) kualitas pelaku, 3) kausalitas yaitu hubungan antara sesuatu tundakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.20

Syarat yang harus dipenuhi oleh suatu tindak pidana guna dapat menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus ada tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Selain itu, bahwa pelaku yang bersangkutan harus seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Untuk itu, tindak pidana sebaiknya dimengerti sebagai perilaku manusia yang mencakup dalam situasi dan kondisi yang dirumuskan di dalam undang undang dan diancam dengan sanksi pidana.

20


(36)

Ilmu hukum pidana menjelaskan bahwa perbuatan manusia yang positif maupun negatif untuk dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana harus memenuhi rumusan sebagai berikut:

1. Perbuatan itu harus memenuhi rumusan undang undang

Perbuatan manusia yang positif maupun negatif untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana harus memenuhi apa yang dirumuskan oleh undang undang

2. Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum

Perbuatan manusia yang telah memenuhi rumusan undang undang pidana tidak dapat dipidana, karena tidak bersifat melawan hukum.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana terdiri atas tiga syarat,

1. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan oleh pelaku,

2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya baik, disengaja, kurang hati-hati atau lalai, 3. Tidak ada alasan pembenaran atau alasan yang menghapuskan

pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat.

Penanggulangan pelaku tindak pidana merupakan upaya yang dilakukan kepada pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi atau mencegah terjadinya tindakan pidana. Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan, bisa dibedakan ke dalam dua istilah, yaitu:21

21


(37)

1. Pencegahan umum (generale preventive)

Pencegahan umum menekankan pada tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Pengaruh pidana ditujukan terhadap masyarakat pada umumnya dengan maksud untuk menakut-nakuti, artinya pencegahan kejahatan yang ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana.

2. Pencegahan khusus (special preventie)

Pencegahan khusus ditujukan terhadap terpidana yang menekankan tujuan pidana adalah agar terpidana tidak mengulangi perbuatannya lagi. Fungsinya untuk mendidik dan memperbaiki terpidana untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna sesuai dengan harkat dan martabatnya. Kegiatan mengedarkan kosmetika tanpa ijin edar baik dengan sengaja maupun tidak dengan disengaja merupakan perbuatan yang melanggar hukum, dapat dipertanggungjawabkan oleh pelaku dan telah diatur di dalam Undang Undang nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan adalah merupakan tindak pidana.

Pasal 106 ayat (1)

Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.

Sanksi pidana terhadap pelaku peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan tanpa ijin edar diatur dalam Undang Undang nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan


(38)

dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.

Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 197

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

D. Upaya Balai Besar POM di Bandar Lampung dalam Penanggulangan Peredaran Kosmetik Tanpa Ijin Edar

1. Tugas Pokok dan Fungsi

Sebagai Unit Pelaksana Teknis Badan POM di daerah, Balai Besar POM Bandar Lampung melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.21.4232 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor Nomor: 05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan POM, mempunyai tugas melaksanakan kebijakan dibidang pengawasan produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, keamanan pangan dan bahan berbahaya.

Sesuai dengan surat Keputusan Kepala Badan POM RI tersebut di atas, tugas tiap bidang sebagai berikut :

a. Bidang Pengujian Produk Terapetik, Narkotika, Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana dan program, evaluasi dan laporan pelaksanaan


(39)

pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian mutu di bidang produk terapetik Narkotika, Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen.

b. Bidang Pengujian Pangan, Bahan Berbahaya dan Mikrobiologi mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana dan program, evaluasi dan laporan pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian mutu di bidangpangan dan bahan berbahaya serta pemeriksaan laboratorium pengujian dan pengendalian mutu di bidang mikrobiologi.

Dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan fungsi :

1) Pelaksanaan dan penyusunan rencana dan program, evaluasi dan laporan pengelolaan laboratorium dan pengendalian mutu hasil pengujian pangan dan bahan berbahaya

2) Pelaksanaan penyusunan rencana dan program, evaluasi dan laporan pengelolaan laboratorium dan pengendalian mutu hasil pengujian mikrobiologi.

Bidang Pengujian Pangan, Bahan Berbahaya dan Mikrobiologi terdiri dari : 1) Seksi Laboratorium Pangan dan Bahan Berbahaya, mempunyai tugas

melakukan penyiapan bahan penyusunan rencana dan program, evaluasi dan laporan pengelolaan laboratorium dan pengendalian mutu hasil pengujian pangan dan bahan berbahaya.


(40)

2) Seksi Laboratorium Mikrobiologi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan penyusunan rencana dan program, evaluasi dan laporan pengelolaan laboratorium dan pengendalian mutu hasil pengujian mikrobiologi.

c. Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana dan program, evaluasi dan laporan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh untuk pengujian, dan pemeriksaan sarana produksi, distribusi dan pelayanan kesehatan serta penyidikan kasus pelanggaran hukum di bidang produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan berbahaya.

Dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan fungsi :

1) Menyusun rencana dan program pemeriksaan dan penyidikan obat dan makanan

2) Pelakasanaan pemeriksaan setempat pengambilan contoh untuk pengujian, dan pemeriksaan sarana produksi, distribusi dan pelayanan kesehatan dibidang produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan berbahaya.

3) Pelaksanaan penyidikan kasus pelanggaran hukum di bidang produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan berbahaya


(41)

4) Evaluasi dan penyusunan laporan pemeriksaan dan penyidikan obat dan makanan.

Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan terdiri dari :

1) Seksi Pemeriksaan, mempunyai tugas melakukan pemeriksaan setempat pengambilan contoh untuk pengujian, dan pemeriksaan sarana produksi, distribusi dan pelayanan kesehatan dibidang produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan berbahaya.

2) Seksi Penyidikan, mempunya tugas melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum di bidang produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan berbahaya.

d. Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen, mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana dan program, evaluasi dan laporan pelaksanaan sertifikasi produk, sarana produksi dan distribusi tertentu, serta layanan informasi konsumen.

Dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan fungsi :

1) Penyusunan rencana dan program sertifikasi produk dan layanan informasi konsumen

2) Pelaksanaan sertifikasi produk, sarana produksi dan distribusi tertentu 3) Pelakasanaan Layanan Informasi Konsumen


(42)

4) Evaluasi dan penyusunan laporan sertifikasi produk dan layanan informasi konsumen.

Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen terdiri dari :

1) Seksi Sertifikasi, mempunyai tugas melakukan sertifikasi produk, sarana produksi dan distribusi tertentu

2) Seksi Layanan Informasi Konsumen, mempunyai tugas melakukan layanan informasi konsumen.

e. Subbagian Tata Usaha, mempunyai tugas memberikan pelayanan teknis dan administrasi di lingkungan Balai Besar POM

f. Kelompok Jabatan Fungsional

2. Visi dan Misi

Balai Besar POM di Bandar Lampung sesuai Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.04.01.21.11.10.10509 Tahun 2010 tanggal 03 November 2010 tentang Penetapan Visi dan Misi Badan Pengawas Obat dan Makanan memiliki Visi dan Misi sebagai berikut :

Visi

Menjadi Institusi Pengawas Obat dan Makanan yang Inovatif, Kredibel dan Diakui Secara Internasional Untuk Melindungi Masyarak.


(43)

Misi

a. Melakukan Pengawasan Pre-Market dan Post-Market Berstandar Internasional.

b. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu Secara Konsisten.

c. Mengoptimalkan Kemitraan dengan Pemangku Kepentingan di Berbagai Lini.

d. Memberdayakan Masyarakat Agar Mampu Melindungi Diri dari Obat dan Makanan yang Berisiko Terhadap Kesehatan.

e. Membangun Organisasi Pembelajar (Learning Organization).

3. Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM)

Pengawasan obat dan makanan memiliki aspek permasalahan berdimensi luas dan kompleks. Oleh karena itu diperlukan sistem pengawasan yang komprehensip, semenjak awal proses suatu produk hingga produk tersebut beredar ditengah masyarakat. Untuk menekan sekecil mungkin risiko yang bisa terjadi, dilakukan tiga lapis pengawasan yang dikenal dengan istilah Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM).

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Bandar Lampung dalam melaksanakan tupoksinya tidak mungkin bekerja sendiri (single fighter), dalam system pengawasan Obat dan Makanan , Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan system pengawasan 3 lapis, yaitu pengawasan lapis pertama oleh produsen melalui penerapan Cara Produksi yang Baik (Good Manufacturing Practices, GMP) untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Pengawasan


(44)

lapis kedua oleh pemerintah, dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan melalui regulasi , penetapan standarisasi, audit yang komperhensif dari hulu ke hilir. Pengawasan lapis ketiga dilakukan oleh masyarakat, baik secara langsung ataupun melalui Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga Konsumen lainnya. Upaya pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui peningkatan pengetahuan tentang bagaimana memilih produk yang sesuai dan bagaimana cara penggunaan produk yang tepat. Upaya ini dilakukan melalui program Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE). Dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat , maka mereka dapat melindungi dirinya sendiri, karena pada akhirnya masyarakat sendiri yang akan memilih dan memutuskan untuk menggunakan suatu produk. Pengawasan oleh masyarakat ini juga akan mendorong produsen untuk ekstra hati hati dalam menjaga produknya.

E. Upaya Penanggulangan Kejahatan

Upaya penanggulangan kejahatan, menurut Hoefnagels adalah sebagai “the rational organization of the social reactions to crime”.22 Berdasarkan pendapat Hoefnagels tersebut terdapat dua unsur yang terkandung dalam pengertian upaya penanggulangan kejahatan, yaitu pertama sebagai reaksi sosial terhadap kejahatan (social reaction to crime), dan kedua adalah ditempuh atau dilakukan dengan cara rasional (the rational organization). Unsur yang pertama mengandung maksud sebagai upaya sosial untuk mengurangi atau menanggulangi kejahatan (criminal policy is the science of crime preventation), karena di samping kejahatan itu sendiri sangat mengganggu/merintangi pembangunan politik, ekonomi, sosial,

22

Arif, Barda Nawawi. 2002, Bunga rampai kebijakan hokum pidana. Bandung; Citra Aditya Bhakti,1996) 2


(45)

maupun budaya, ia juga dapat mengancam stabilitas dan perdamaian masyarakat, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Unsur yang kedua, yaitu dilakukan secara rasional (the rational organization) lebih menekankan pada mekanisme atau cara-cara reaksi sosial itu dilakukan, yaitu dengan cara-cara yang terencana, terorganisir, serta terkontrol secara rasional.

Upaya penaggulangan kejahatan adalah sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan (the rational organization of the control of crime by society). ini berarti suatu politik kriminal sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar, karena seperti dikatakan oleh Sudarto (1983: 161): “dalam melaksanakan politik orang mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi”.23

Langkah dasar untuk menanggulangi kejahatan sebagai masalah sosial denagn demikian terkait tidak saja pada suatu kepentingan atau satu disiplin ilmu, akan tetapi merupakan modifikasi dari berbagai kepentingan masyarakat, kepentingan individu/organisasi (pelanggaran hukum), kepentingan korban, maupun kepentingan negara, yang dengan demikian membutuhkn kajian secara interdisipliner.

Adapun salah tujuan yang ingin dicapai dari suatu upaya penaggulangan kejahatan adalah diabdikan terhadap kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung

23


(46)

nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial tersebut:24

a. Pemeliharaan tertib masyarakat

b. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan , kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain

c. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum

d. Memelihara atau mempertahankan intergritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.

Batas-batas upaya penanggulangan kejahatan dengan demikian didasarkan pada kepentingan-kepentingan di atas serta nilai-nilai yang mewujudkannya. Berdasarkan pandangan yang demikian, maka upaya penanggulangan kejahatan bukan hanya bersifat pragmatis, tetapi juga suatu disiplin yang berorientasi pada nilai (not only pragmatic but also value-based and value-oriented).

Dalam melakukan upaya penanggulangan kejahatan diperlukan pendekatan, baik yang berorientasi pada upaya penanggulangan kejahatan bersifat pragmatis dan rasional, juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-judgment approach). Politik kriminal sebagai upaya rasional guna menanggulangi kejahatan pada hakikatnya juga merupakan bagian intergral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence policy), oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir atau

24


(47)

tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan (social welfare policy).

Upaya penangulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti :25

a. ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial b. ada keterpaduan (intergralitas) antara upaya penaggulangan kejahatan dengan

“penal” dan “non penal”.

Keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial sebenarnya telah jelas diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 yang merumuskan tujuan nasional antara lain melindungi segenap bangsa indonesia dan memejukan kesejahteraan umum. Dalam UUD 1945, khususnya Pasal 33 dengan penjelasannya juga merumuskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan serta dipegunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Asas kekeluargaan dalam sistem perekonomian itu tidak lain adalah terciptanya kondisi yang seimbang, selaras dan serasi antara kepentingan pemerintah, pengusaha dan masyarakat tanpa mengabaikan kepentingan salah satu pihak. F. Faktor-faktor yang menghambat dalam Upaya Penaggulangan

Peredaran Kosmetik Tanpa Ijin Edar

1. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang dapat menghambat dalam upaya penaggulanagan kosmetik tanpa ijin edar meliputi kesadaran masyarakat dan regulasi. Masyarakat pada

25


(48)

umumnya menginginkan suatu produk kecantikan dengan harga yang murah untuk mendapatkan merek terkenal, misalnya produk kecantikan yang dijajakan oleh pedagang kaki lima; adakalanya masyarakat menginginkan hasil cepat terwujud walaupun harga yang relative mahal. Hal ini disebabkan karena pengetahuan masyarakat terhadap kosmetik yang aman masih rendah. Disamping itu, produsen yang memproduksi dan atau mengedarkan produk kosmetik yang tidak aman serta tidak memiliki ijin edar berharap mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya.

2. Faktor Regulasi atau Ketentuan Hukum

Pengetahuan petugas yang masih rendah dan kurangnya komitmen petugas dalam melakukan pengawasan kosmetik tanpa ijin edar, rendahnya dukungan masyarakat dalam memberikan informasi atau laporan efek samping penggunaan kosmetik merupakan faktor internal dalam upaya penaggulangan kosmetik tanpa ijin edar.


(49)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian diatas yang telah dikemukakan pada bab-bab terdahulu, maka penulis dapat menarik kesimpulan, yaitu :

1. Upaya Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Bandar Lampung dalam menanggulangi peredaran kosmetika tanpa ijin edar dilakukan melalui upaya non penal dan penal.

a. Upaya Non Penal yaitu:

1) Meningkatkan kesadaran konsumen agar dapat membentengi diri terhadap peredaran kosmetika tanpa ijin edar.

2) Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melaporkan kejahatan terhadap peredaran kosmetika tanpa ijin edar.

3) Meningkatkan pengawasan terhadap peredaran kosmetika. b. Upaya Penal

Upaya penal yang dilakuka oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Bandar Lampung, yaitu:


(50)

2) Pemberian pidana yang berat terhadap pelaku usaha peredaran kosmetika tanpa ijin edar sesuai Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

2. Faktor-faktor penghambat upaya Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Bandar Lampung dalam menanggulangi peredaran kosmetika tanpa ijin edar yaitu :

a. Faktor hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri, yaitu tidak semua sanksi sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku sehingga tidak memberikan efek jera terhadap pelaku peredaran kosmetika tanpa ijin edar.

b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, meliputi:

1) Tidak semua aparat penegak hukum melaksanakan tugas secara profesional, sehingga penegakan hukum kurang dapat diselenggarakan dengan baik,

2) Bocornya informasi yang tidak diketahui oleh petugas,

c. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum, meliputi:. 1) Kompetensi petugas masih perlu peningkatan baik secara kualitas

maupun kuantitas.

2) Diperlukan sarana ruang tahanan sementara, digunakan untuk memudahkan dalam penyidikan dan menghindari pelaku tindak pidana melarikan diri/menghilangkan jejak

d. Faktor masyarakat yaitu faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan, meliputi:.


(51)

1) Kurangnya kesadaran konsumen untuk melaporkan produk kosmetika serta menginformasikan tentang kasus yang dialami berkenaan dengan produk kosmetika, kepada pihak yang berwenang guna penyelidikan lebih lanjut,

2) Penjual tidak mengetahui bahwa barang yang dijualnya tidak mempunyai ijin edar

3) Belum sepenuhnya masyarakat memanfaatkan unit layanan pengaduan konsumen.

4) Masyarakat tidak terbuka dalam memberikan informasi adanya penjualan kosmetika tanpa ijin edar.

e. Faktor kebudayaan yaitu sebagai hasil karya cipta rasa didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup, meliputi:.

1) Pedagang mengetahui bahwa kosmetika tersebut Tanpa Ijin Edar, tetapi karena ada permintaan dari konsumen dan pasar,

2) Pemasok Kosmetika Tanpa Ijin Edar Free Land yang berasal dari pulau Jawa sehingga kesulitan untuk menelusurinya,

3) Belum optimalnya koodinasi dengan para stakeholder terutama pemerintah dan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah)

Faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari pertanggungjawaban pidana, juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegak hukum.


(52)

B. SARAN

Berdasarkan analisa dan kesimpulan atas permasalahan yang telah dibahas, maka yang menjadi saran penulis adalah :

1. Sebaiknya penegak hukum dapat tegas dalam mempertimbangkan sanksi pidana yang berat untuk menjerat pelaku usaha peredaran kosmetika tanpa ijin edar.

2. Sebaiknya Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Bandar Lampung supaya lebih meningkatkan pengetahuan teknis dan manajerial personil untuk optimalisasi kinerja.

3. Sebaiknya Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Bandar Lampung meningkatkan tata hubungan kerja dengan stakeholder melalui kegiatan sosialisasi, workshop dan advokasi dalam rangka pengawasan.

4. Sebaiknya Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Bandar Lampung mengoptimalkan unit layanan pengaduan konsumen.


(53)

DAFTAR ISI

Halaman I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ………... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ……… 10

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………... 11

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ……… 12

E. Sistematika Penulisan ……… 17

II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kosmetik ………..………... 18

B. Dasar Hukum Peraturan di Bidang Kosmetik …………..………. 22

C. Pelaku Tindak Pidana di Bidang Kosmetik ………... 25

D. Upaya Balai Besar POM di Bandar Lampung dalam Penanggulangan Peredaran Kosmetik Tanpa Ijin Edar ... 30 E. Penaggulangan Kejahatan ...………. 37

F. Faktor-faktor yang menghambat dalam Upaya Penaggulangan Peredaran Kosmetik Tanpa Ijin Edar ……….. 40

III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ……….. 41

B. Sumber dan Jenis Data ……….. 42


(54)

Analisis Data ………. IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A Karakteristik Responden ………... 46

B Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Peredaran Kosmetika Tanpa Ijin Edar ……… 47 C Faktor Penghambat Penaggulangan Peredaran Kosmetika Tanpa Ijin Edar ………. 61 V PENUTUP A Kesimpulan ……… 68

B Saran ……….. 71

DAFTAR PUSTAKA ……… 72


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor: 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).

Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Makanan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 220/Men.Kes/Per/IX/76 tentang Produksi dan Peredaran Kosmetik dan Alat Kesehatan.

Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor: HK.03.1.23.12.10.11983 Tahun 2010 tentang Kriteria dan Tata Cara Pengajuan Notifikasi Kosmetik.

Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor: HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetik.

Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.21.4232 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor Nomor: 05018/SK/KBPOM tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan POM RI

Keputusan Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Nomor: PO.01.04.42.4082 tentang Pedoman Tata Cara Pendaftaran dan Penilaian Kosmetik.

Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor: HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik. Keputusan Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk

Komplemen Nomor: PO.01.04.42.4082 tentang Pedoman Tata Cara Pendaftaran dan Penilaian Kosmetik.


(56)

Keputusan Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Nomor: PO.01.04.42.4082 tentang Pedoman Tata Cara Pendaftaran dan Penilaian Kosmetik.

Http://www.pom.go.id.

“ Cermin Dunia Kedokteran “ ed 41 1986, Pusat Penelitian dan Pengembangan

PT. Kalbe Farma, Jakarta.

Arif, Barda Nawawi. 2002, Bunga rampai kebijakan hokum pidana. Bandung; Citra Aditya Bhakti

Andrisman,Tri, 2006, Hukum Pidana, Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung, Fakultas Hukum Unila

Lamintang,P.A.F, 1997, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung; Citra Aditya Bakti

Soekanto, Soerjono, 1983, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta; Sinar Grafika.

Singaribun, Masri dan Sofyan Affendi, 1985, Metode Penelitian Survey, Jakarta; LP3ES.


(57)

(SKRIPSI)

Oleh

EVITA ARIESTIANA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

LAMPUNG 2012


(58)

(1)

DAFTAR ISI

Halaman I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ………... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ……… 10

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………... 11

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ……… 12

E. Sistematika Penulisan ……… 17

II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kosmetik ………..………... 18

B. Dasar Hukum Peraturan di Bidang Kosmetik …………..………. 22

C. Pelaku Tindak Pidana di Bidang Kosmetik ………... 25

D. Upaya Balai Besar POM di Bandar Lampung dalam Penanggulangan Peredaran Kosmetik Tanpa Ijin Edar ... 30 E. Penaggulangan Kejahatan ...………. 37

F. Faktor-faktor yang menghambat dalam Upaya Penaggulangan Peredaran Kosmetik Tanpa Ijin Edar ……….. 40

III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ……….. 41

B. Sumber dan Jenis Data ……….. 42


(2)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ……….. 44

E. Analisis Data ………. 45

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A Karakteristik Responden ………... 46

B Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Peredaran Kosmetika Tanpa Ijin Edar ……… 47 C Faktor Penghambat Penaggulangan Peredaran Kosmetika Tanpa Ijin Edar ………. 61 V PENUTUP A Kesimpulan ……… 68

B Saran ……….. 71

DAFTAR PUSTAKA ……… 72


(3)

73

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor: 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).

Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Makanan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 220/Men.Kes/Per/IX/76 tentang Produksi dan Peredaran Kosmetik dan Alat Kesehatan.

Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor: HK.03.1.23.12.10.11983 Tahun 2010 tentang Kriteria dan Tata Cara Pengajuan Notifikasi Kosmetik.

Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor: HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetik.

Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.21.4232 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor Nomor: 05018/SK/KBPOM tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan POM RI

Keputusan Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Nomor: PO.01.04.42.4082 tentang Pedoman Tata Cara Pendaftaran dan Penilaian Kosmetik.

Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor: HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik. Keputusan Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk

Komplemen Nomor: PO.01.04.42.4082 tentang Pedoman Tata Cara Pendaftaran dan Penilaian Kosmetik.


(4)

74

Keputusan Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Nomor: PO.01.04.42.4082 tentang Pedoman Tata Cara Pendaftaran dan Penilaian Kosmetik.

Http://www.pom.go.id.

“ Cermin Dunia Kedokteran “ ed 41 1986, Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma, Jakarta.

Arif, Barda Nawawi. 2002, Bunga rampai kebijakan hokum pidana. Bandung; Citra Aditya Bhakti

Andrisman,Tri, 2006, Hukum Pidana, Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum

Pidana Indonesia, Bandar Lampung, Fakultas Hukum Unila

Lamintang,P.A.F, 1997, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung; Citra Aditya Bakti

Soekanto, Soerjono, 1983, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta; Sinar Grafika.

Singaribun, Masri dan Sofyan Affendi, 1985, Metode Penelitian Survey, Jakarta; LP3ES.


(5)

UPAYA BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DI BANDAR LAMPUNG DALAM MENANGGULANGI

PEREDARAN KOSMETIKA TANPA IJIN EDAR

(SKRIPSI)

Oleh

EVITA ARIESTIANA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

LAMPUNG 2012


(6)

Dokumen yang terkait

PERANAN BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN AKIBAT PEREDARAN PRODUK MAKANAN YANG TIDAK MEMENUHI STANDARISASI MUTU (Studi di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Surabaya)

0 4 2

PERAN BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN LAMPUNG DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENJUALAN OBAT TRADISIONAL TANPA IZIN EDAR

0 12 57

PERLINDUNGAN KONSUMEN AKIBAT MENGGUNAKAN KOSMETIK TANPA IZIN EDAR ( STUDI PADA BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN BANDAR LAMPUNG )

10 66 52

Kinerja Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Kota Bandar Lampung Dalam Mengawasi Peredaran Kosmetik Ilegal Di Propinsi Lampung

1 19 73

KOORDINASI KEPOLISIAN POLDA LAMPUNG DAN BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BBPOM) BANDAR LAMPUNG UNTUK MEMBERANTAS TINDAK PIDANA PEREDARAN OBAT DAN MAKANAN BERBAHAYA

1 13 71

PELAKSANAAN PENGAWASAN BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN TERHADAP PEREDARAN KOSMETIK ILEGAL PADA KLINIK KECANTIKAN DI BANDAR LAMPUNG

6 69 92

KOORDINASI KEPOLISIAN POLDA LAMPUNG DAN BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BBPOM) BANDAR LAMPUNG UNTUK MEMBERANTAS TINDAK PIDANA PEREDARAN OBAT DAN MAKANAN BERBAHAYA

0 10 56

PERANAN BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BBPOM) TERHADAP MARAKNYA PEREDARAN KOSMETIK ILEGAL DI KOTA PADANG.

0 1 7

PERANAN BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK SUPLEMEN FITNES TANPA IJIN EDAR DI WILAYAH BBPOM DI DENPASAR.

0 0 13

PENEGAKAN HUKUM OLEH BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KOTA BANDAR LAMPUNG TERHADAP AIR MINUM DALAM KEMASAN TANPA IZIN EDAR

1 2 23