PERLINDUNGAN KONSUMEN AKIBAT MENGGUNAKAN KOSMETIK TANPA IZIN EDAR ( STUDI PADA BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN BANDAR LAMPUNG )

(1)

ABSTRAK

PERLINDUNGAN KONSUMEN

AKIBAT MENGGUNAKAN KOSMETIK TANPA IZIN EDAR ( STUDI PADA BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

BANDAR LAMPUNG ) Oleh

CHRISTINE DEWI UNTARI

Kebutuhan manusia semakin kompleks seiring dengan berkembangnya zaman serta taraf hidup manusia yang semakin berkiblat pada modernisasi, sehingga kebutuhan akan penampilan yang menarik sudah menjadi hal lazim guna menunjang kehidupan sosial seseorang dalam masyarakat. Salah satu cara yang dapat dijumpai dikehidupan kita sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan akan penampilan yang menarik tersebut adalah dengan tata rias wajah atau yang lazim dikenal dengan istilah kosmetik. Namun meningkatnya permintaan konsumen akan produk kosmetik dimanfaatkan oleh beberapa oknum pelaku usaha baik produsen, distributor maupun penjual eceran yang mengedarkan kosmetik tanpa izin edar (ilegal) yang tidak terjamin keamanan serta manfaatnya. Untuk itu Pemerintah melalui BPOM sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan izin edar serta melakukan pengawasan terhadap peredaran produk kosmetik dalam rangka perlindungan konsumen.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah perlindungan terhadap konsumen akibat menggunakan kosmetik tanpa izin edar mengingat kasus pelanggaran mengenai kosmetik tanpa izin edar yang ditangani oleh BPOM/ BBPOM Bandar Lampung belum ada yang bersumber dari pengaduan masyarakat langsung kepada BPOM/BBPOM Bandar Lampung, melainkan dari jalur razia yang digelar oleh BPOM/BBPOM Bandar Lampung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis mengenai ketentuan-ketentuan hukum tentang izin edar kosmetik serta tindakan hukum oleh BPOM terhadap produk kosmetik tanpa izin edar dimana jenis penelitian ini merupakan penelitian normatif-empiris dengan tipe deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, dokumen serta wawancara langsung terhadap para pihak yang terkait, yaitu Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen (Serlik) BBPOM Bandar Lampung dan Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan BBPOM Bandar Lampung dan analisis data dilakukan secara kualitatif.


(2)

CHRISTINE DEWI UNTARI

Hasil Penelitian menunjukkan pelaksanaan perlindungan konsumen terhadap konsumen kosmetik tanpa izin edar dilakukan oleh Pemerintah dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai izin edar produk kosmetik, yaitu UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), didukung pula Per. Ka. BPOM tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik, Per. Ka. BPOM tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan tertentu dan Atau Mengandung Alkohol, serta Kep. Ka BPOM tentang Kosmetik. Selain itu, Pemerintah melalui BPOM sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan izin edar serta melakukan pengawasan terhadap peredaran kosmetik dalam rangka perlindungan konsumen berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai izin edar kosmetik yang berlaku. BPOM sebagai lembaga yang berwenang tersebut berhak melakukan tindakan hukum berupa Pemeriksaan Setempat (Razia), Pembinaan, dan melanjutkan kasus pelanggaran sampai ke Proses Pengadilan.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Globalisasi dewasa ini, telah mendorong terjadinya peningkatan interaksi dan transaksi antara konsumen dan pelaku usaha, ditandai dengan semakin banyaknya para pelaku usaha yang beroprasi di pasar internasional dan pasar domestik (lokal). Objek dan bidang usaha yang dijadikan transaksi bisnis antara konsumen dan pelaku usaha berkenaan dan berkaitan dengan berbagai aspek. Setidaknya ada lima aspek yang relevan, yaitu aspek-aspek ekonomi, sosial-budaya, politik, hukum, dan teknologi.1

Dari berbagai aspek tersebut akan timbul beberapa dampak, salah satu contohnya adalah dampak yang ditimbulkan pada aspek ekonomi, dimana dampak yang paling terasa adalah membanjirnya produk-produk barang impor di pasar domestik. Arus masuknya barang-barang ini akan menimbulkan pengaruh terhadap produk kosmetik, yaitu apakah produk lokal mampu atau tidak bersaing dengan produk asing di tingkat pasar. Pemerintah pun akan sulit membendung arus masuknya (import)

1 Wahyu sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen (Bandar lampung: Penerbit Universitas Lampung, 2007), hal. 1.


(4)

produk asing tertentu, baik karena tingkat permintaan (deman) yang tinggi atau penawaran (supply) yang atraktif dari luar negeri. Sementara itu, pelaku usaha atau pebisnis (bussinessman) yang dapat dan mampu memasarkan produk-produknya ke pasar internasional relatif terbatas atau sedikit jumlahnya, hanya perusahaan multinasional (multinational corporation) yang bermodal kuat yang mampu mengembangkan jaringan bisnisnya melalui teknik-teknik pemasaran (marketing) dengan bentuk dan cara-cara tertentu seperti iklan dan cara-cara pembayaran untuk menarik perhatian konsumen.

Globalisasi ekonomi relevan dengan perlindungan konsumen. Korelasi keduanya bersifat kausalitas atau saling mempengaruhi. Sedikitnya, ada empat dampak globalisasi ekonomi terhadap kepentingan dan hak-hak konsumen, yaitu:2

1. Produk asing membanjiri pasar domestik. Ada kalanya produk asing tersebut di negaranya sudah tidak digunakan dengan alasan demi kesehatan dan keamanan, namun ternyata diekspor. Misal, produk obat-obatan dengan kandungan antibiotik dosisi tinggi, kosmetik dengan bahan merkuri untuk pemutih kulit;

2. Perusahaan multinasional (transnasional) sebagai produsen dalam memasarkan produknya dikemas dengan advertensi dalam bentuk iklan mendorong munculnya

demonstration effect terhadap konsumen. Advertensi dan iklan tersebut acapkali tidak etis dan juga tidak memberikan informasi yang jelas dan tegas unsur unsur (extract) dari produk bersangkutan dan penggunaannya;


(5)

3. Cara-cara pemasaran ditempuh dengan cara atraktif dengan mengundang konsumen untuk peragaan (demonstration) di lingkungan atau kelompok masyarakat tertentu dalam jumlah terbatas (selective) atau dengan mendatangi dari rumah ke rumah (door to door);

4. Cara-cara pembayaran dilakukan atau diterapkan secara luwes dan fleksibel disesuaikan dengan kemampuan atau daya beli konsumen, seperti kredit, leasing, angsuran atau cicilan yang bertujuan agar konsumen membeli produknya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa pelaku usaha berada pada posisi yang kuat (strong position), sedangkan konsumen berada pada posisi yang lemah (weak position). Bahkan, konsumen akan selalu dipengaruhi dan dijadikan obyek atau sasaran (target) bagi pelaku usaha untuk memasarkan atau menjual produknya.3 Untuk itu, sejak dua dasawarsa terakhir ini perhatian dunia terhadap masalah perlindungan konsumen semakin meningkat.

Gerakan perlindungan konsumen sejak lama dikenal di dunia barat. Negara-negara di Eropa dan Amerika juga telah lama memiliki peraturan tentang perlindugan konsumen. Organisasi Dunia seperti PBB pun tidak kurang perhatiannya terhadap masalah ini. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Resolusi Perserikatan


(6)

Bangsa No. 39/248 Tahun 1985. Dalam resolusi ini kepentingan konsumen yang harus dilindungi meliputi:4

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;

b. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen;

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan kehendak

dan kebutuhan pribadi; d. Pendidikan konsumen;

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen.

Di Indonesia, advokasi konsumen dirintis oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang berdiri pada 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini termasuk cukup responsif terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Economy and Social Council of The United Nations (ECOSOC)) No. 2111 Tahun 1978 tentang Perlindungan Konsumen.5

Perkembangan baru di bidang perlindungan konsumen terjadi setelah pergantian tampuk kekuasaan di Indonesia, yaitu tatkala Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

4 Erman Raja Gukguk, makalah “Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen Dalam era

Perdagangan Bebas”, dalam buku Hukum Perlindungan Konsumen, Celina Try Siwi Kristiyanti,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 4.

5 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen (Grasindo; Jakarta, 2000), hal. 29 sebagaimana dikutip dalam Celina Try Siwi Kristiyanti , ibid., hal. 1.


(7)

tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disebut UUPK disahkan dan diundangkan pada 20 April 1999. UUPK ini masih memerlukan waktu satu tahun untuk berlaku efektif. UUPK dihasilkan dari inisiatif DPR, yang notabene hak itu tidak pernah digunakan sejak Orde Baru berkuasa pada 1966.6

Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia seperti juga yang dialami konsumen di negara-negara berkembang lainnya, tidak hanya sekadar bagaimana memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks yaitu menyangkut pada penyadaran semua pihak, baik itu pengusaha, pemerintah maupun konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha harus menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen7, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman dikonsumsi/digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai (reasonable).

Pemerintah harus menyadari bahwa diperlukan undang-undang serta peraturan-peraturan di segala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang dan jasa dari

6 Ibid., hal. 17-18.

7 Hak konsumen adalah (Pasal 4 UUPK):

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai

dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasayang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atu jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;


(8)

pengusaha ke konsumen. Sedangkan konsumen sendiri harus menyadari hal-hal yang menjadi hak mereka dan membentengi diri mereka dengan pengetahuan mengenai bahan-bahan berbahaya yang tidak boleh dikonsumsi atau digunakan. Sehingga resiko untuk mengalami kerugian bagi konsumen dalam pemilihan barang-barang kebutuhan hidupnya dapat diperkecil.

Kebutuhan manusia tersebut semakin kompleks seiring dengan berkembangnya zaman serta taraf hidup manusia yang semakin berkiblat pada modernisasi. Kini kebutuhan yang harus dipenuhi tidak hanya sebatas kebutuhan pokok/dasar saja, melainkan kebutuhan penunjang kehidupan sosial seseorang dalam masyarakat antaralain kebutuhan akan penampilan yang menarik. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk memperbaiki penampilan agar terlihat lebih menarik salah satu cara yang dapat dijumpai dikehidupan kita sehari-hari adalah penggunaan tata rias wajah atau yang lazim dikenal dengan istilah kosmetik.8

Dewasa ini kosmetik tidak lagi menjadi hal asing bagi banyak orang baik pria maupun wanita, walaupun mayoritas pengguna kosmetik terbesar adalah kaum

8 http://id.wikipedia.org/wiki/Kosmetik, 1 desember 2009; menjelaskan bahwa tata rias wajah atau Kosmetik (en:Make up) adalah kegiatan mengubah penampilan dari bentuk asli sebenarnya dengan bantuan bahan dan alat kosmetik. Istilah make up lebih sering ditujukan kepada pengubahan bentuk wajah, meskipun sebenarnya seluruh tubuh bisa di hias. Dijelaskan pula bahwa tata rias wajah ada berberapa macam, yaitu:

a. Tata rias wajah korektif bertujuan untuk mengubah penampilan fisik yang dinilai kurang sempurna. Tata rias wajah korektif merupakan jenis tata rias wajah yang paling sering dilakukan oleh masyarakat.

b. Tata rias wajah untuk mode/seni (styling make up), yang merupakan kegiatan mengubah penampilan murni untuk tujuan seni. Melukis tubuh (body painting) merupakan salah satu contoh kegiatan styling make up.

c. Tata rias wajah untuk karakterisasi, yang banyak digunakan untuk kepentingan dunia akting dan hiburan. Setiap warna dan bahan kosmetika yang digunakan ditujukan untuk membentuk karakter/watak tertentu, misalnya penggunaan eye shadow gelap untuk memberi karakter galak.


(9)

wanita. Hal itu dapat dilihat dengan semakin maraknya kosmetika yang beredar dipasaran yang diperuntukkan guna mempercantik penampilan dengan khasiat yang bermacam-macam, mulai dari khasiat mencerahkan kulit wajah, meremajakan kulit wajah sampai menghilangkan noda pigmentasi/bintik hitam pada kulit wajah.

Mengingat keakrabannya dengan kosmetik, maka tidak aneh apabila kaum wanita lah yang sering pula mendapat kerugian akibat menggunakan kosmetik yang tidak memenuhi syarat/substandar (substandard), tanpa izin edar atau tidak sesuai prosedur pemakaian yang dianjurkan, baik kerugian berupa kerugian kesehatan akibat menggunakan kosmetik yang mengandung bahan berbahaya (antaralain Merkuri (Hg), Asam Retinoat, zat warna Rhodamin, dll) ataupun kerugian materi akibat membeli produk kosmetik dengan harga mahal namun tidak mendapatkan hasil seperti yang dijanjikan dalam iklan.

Kerugian tersebut bisa terjadi karena konsumen sering kali tidak melakukan hal-hal yang pada dasarnya merupakan kewajibannya, salah satunya adalah membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur penggunaan produk, demi keamanan dan keselamatan.9 Sedangkan dilain sisi pihak produsen, penyalur dan penjual kadang tidak mengindahkan ketentuan hukum perlindungan konsumen yang berlaku. Demikian pula pemerintah, dalam banyak hal terlambat mengantisipasi

9 Kewajiban konsumen adalah (Pasal 5 UUPK):

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, deni keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;


(10)

pelanggaran hukum berupa penjualan kosmetik yang tidak memenuhi syarat serta tanpa izin edar tersebut.

Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani.10 Oleh sebab itu, pemerintah selayaknya mengadakan pengawasan secara ketat. Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi berjalannya peraturan serta undang-undang tersebut dengan baik. Untuk itu pada tahun 2000 Pemerintah Indonesia membentuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia yang selanjutnya disebut BPOM berdasarkan Keputusan Presiden No.166 dan No.173 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Wewenang, Struktur Organisasi dan Tata Kerja BPOM, yang memiliki jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum dan memiliki kredibilitas profesional yang tinggi.

Dalam prakteknya, BPOM adalah satu-satunya badan yang memiliki kewenangan untuk menegakan hukum dibidang pengawasan produk makanan, minuman, obat, obat tradisional, NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya) dan kosmetik. Pengawasan yang dilakukan oleh BPOM tersebut secara tidak langsung juga memberikan peran perlindungan konsumen, yang dalam hal ini adalah konsumen produk kosmetik mengingat semakin maraknya produk kosmetik tanpa izin edar yang beredar secara illegal di pasaran di seluruh nusantara.


(11)

Dalam menjalankan tugas11 dan fungsinya BPOM memiliki unit pelaksanaan teknis di daerah-daerah yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Salah satunya adalah Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Bandar Lampung yang selanjutnya di sebut BBPOM Bandar Lampung. BBPOM Bandar Lampung menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan Keputusan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.21.4232 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor: 05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan BPOM..12

Upaya Pencegahan dalam rangka perlindungan konsumen yang telah dilakukan oleh BPOM selama ini adalah dengan mengadakan program registrasi produk kosmetik baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Hal tersebut bertujuan untuk memberantas produk kosmetik substandar, rusak atau terkontaminasi oleh bahan berbahaya yang telah banyak beredar bebas di pasaran, sehingga konsumen dapat menyeleksi produk kosmetik tersebut dengan cara melihat tanda registrasi yang tertera pada kemasan produk kosmetik tersebut.

Tanda registrasi yang dimaksud dapat dilihat pada kemasan produk kosmetik tersebut, apabila telah tercantum label POM CD untuk produk kosmetik dalam negeri, POM CL/ POM CA/ POM CC/ POM CE untuk produk kosmetik asing

11 Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Bandar Lampung, Buku Laporan Tahun 2008 Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Bandar Lampung, hal. 1. Dijelaskan pula bahwa BBPOM Bandar Lampung mempunyai tugas melaksanakan kebijakan dibidang pengawasan produk terapetik, narkotik, psikotropika dan zat adiktif lain, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, keamanan pangan, dan bahan berbahaya.


(12)

dengan disertai nomor registrasinya berarti produk kosmetik tersebut telah diuji substansinya dilaboratorium BPOM sehingga terjamin aman untuk digunakan. Sedangkan upaya penanggulangan yang dilakukan guna menindak peredaran kosmetik tanpa izin edar di pasaran adalah dengan melakukan pemeriksaan setempat.

Kosmetik tanpa izin edar telah dijual bebas di pasaran hampir diseluruh wilayah Indonesia. Di Bandar Lampung sendiri selama periode tahun 2008 BBPOM Bandar Lampung menemukan 12 kasus kosmetik tanpa izin edar.13 Sebagai perbandingan di beberapa daerah di tanah air juga banyak ditemukan pelanggaran serupa, contohnya BBPOM Sumatera Utara, Selasa (28/4/2009), memusnahkan kosmetik ilegal senilai sekitar Rp. 2 miliar. Selain tak memiliki izin edar, kosmetik yang dimusnahkan juga mengandung merkuri (Hg).14

Di Banda Aceh, Senin (7/8/2009) siang, BBPOM Banda Aceh kembali menggelar razia penertiban merek kosmetik tanpa izin edar di sejumlah toko dan swalayan di Kota Banda Aceh dimana pihaknya berhasil menyita sebanyak 252 buah kosmetik tanpa izin edar atau dengan kisaran harga sebesar Rp 10 juta lebih.15 Selain itu, di Pekanbaru BBPOM Pekanbaru berhasil mengamankan ratusan produk tanpa izin edar yang jumlahnya mencapai dua truk colt diesel.16

13 Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Bandar Lampung, ibid., hal. 15. 14 http://cetak.kompas.com, 18 Oktober 2009.

15 http://www.serambinews.com, 18 Oktober 2009. 16 http://www.tribunpekanbaru.com, 18 Oktober 2009.


(13)

Maraknya peredaran kosmetik tanpa izin edar tersebut yang menjadi urgensi dari perlindungan konsumen kosmetik dewasa ini. Dan perlu diperhatikan juga mengenai kepastian dan jaminan bahwa setelah dilakukan registrasi oleh BPOM tersebut tidak akan terjadi hal-hal yang akan merugikan konsumen yang bisa saja dilakukan oleh produsen tanpa sepengetahuan oleh BPOM sendiri. Dalam hal ini tentunya konsumen haruslah mendapat suatu perlindungan hukum apabila terjadi hal-hal yang merugikan konsumen yang sering dilakukan oleh produsen.

Kedudukan antara konsumen dan produsen adalah setara sehingga konsumen produk kosmetik juga mempunyai hak-hak yang perlu diketahui oleh produsen, Kepentingan konsumen tersebut selain dilindungi dan diatur Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), didukung pula Peraturan Kepala BPOM RI No. Hk.00.05.42.2995 Tahun 2008 tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik, Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.1.23.3516 Tahun 2009 tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan Tertentu dan Atau Mengandung Alkohol, serta Keputusan Kepala BPOM No. HK.00.05.4.1745 Tahun 2003 tentang Kosmetik.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen produk kosmetik di tengah maraknya peredaran kosmetik tanpa izin edar dipasaran berdasarkan peraturan perundang-undangannya mengingat kasus pelanggran mengenai kosmetik tanpa izin edar yang ditangani oleh BPOM/ BBPOM Bandar Lampung belum ada yang bersumber dari pengaduan masyarakat langsung kepada BPOM/ BBPOM Bandar Lampung


(14)

melainkan dari jalur razia yang digelar oleh BPOM/ BBPOM Bandar Lampung. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Perlindungan Konsumen Akibat Menggunakan Kosmetik Tanpa Izin Edar”. B. Perumusan Masalah Dan Ruang Lingkup

1. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimanakah perlindungan terhadap konsumen akibat menggunakan kosmetik tanpa izin edar ?.

Pokok bahasan dalam penelitian ini adalah :

a. Ketentuan-ketentuan hukum tentang izin edar kosmetik.

b. Tindakan hukum oleh BBPOM Bandar Lampung terhadap produk kosmetik tanpa izin edar.

2. Ruang Lingkup

Penelitian ini termasuk bidang ilmu hukum perdata ekonomi, dengan lingkup kajian materi mengenai perlindungan konsumen akibat mengkonsumsi produk kosmetik tanpa izin edar. Khususnya tentang ketentuan-ketentuan hukum dan tindakan hukum terhadap produk kosmetik tanpa izin edar.


(15)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, maka yang akan menjadi tujuan penelitian ini adalah menganalisis :

1. Ketentuan-ketentuan hukum tentang izin edar kosmetik.

2. Tindakan hukum oleh BPOM terhadap produk kosmetik tanpa izin edar.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu : a. Kegunaan teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah wawasan pengetahuan dan memberi gambaran ataupun sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai perlindungan terhadap konsumen akibat mengkonsumsi produk kosmetik tanpa izin edar.

b. Kegunaan praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi pembaca mengenai ilmu hukum ekonomi sehingga dapat menjadi sarana untuk memperluas wawasan dan pengetahuan, selain itu penulisan ini sebagai salah satu syarat akademis bagi peneliti untuk menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Jenis-jenis Kosmetik

1. Pengertian Kosmetik

Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.17

2. Jenis-jenis Kosmetik

Berdasarkan bahan dan penggunaannya serta untuk maksud evaluasi produk kosmetik dibagi 2 (dua) golongan :18

1. Kosmetik golongan I adalah :

a. Kosmetik yang digunakan untuk bayi;

17Lihat, Pasal 1 Angka (1) Keputusan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik 18 Lihat, Pasal 3 Angka (1) Keputusan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik


(17)

b. Kosmetik yang digunakan disekitar mata, rongga mulut dan mukosa lainnya; c. Kosmetik yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar dan penandaan; d. Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim serta belum

diketahui keamanan dan kemanfaatannya.

2. Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk golongan I.

Selain tentang produksi dan distribusi kosmetik dalam kebenaran informasi yang akan diterima, maka perlu diperhatikan pula mengenai etiket. Etiket adalah keterangan berupa tulisan dengan atau tanpa gambar yang dilekatkan, dicetak, diukir, dicantumkan dengan cara apapun pada wadah atau dan pembungkus. Pada etiket wadah dan atau pembungkus harus dicantumkan informasi/ keterangan mengenai :19 a. Nama produk;

b.Nama dan alamat produsen atau importir / penyalur; c. Ukuran, isi atau berat bersih;

d.Komposisi dengan nama bahan sesuai dengan kodeks kosmetik indonesia atau nomenklatur lainnya yang berlaku;

e. Nomor izin edar;

f. Nomor batch / kode produksi;

g.Kegunaan dan cara penggunaan kecuali untuk produk yang sudah jelas penggunaannya ;

h.Bulan dan tahun kadaluwarsa bagi produk yang stabilitasnya kurang dari 30 bulan; i. Penandaan lain yang berkaitan dengan keamanan dan atau mutu.


(18)

B. Pihak-Pihak Dalam Peredaran Kosmetik

Peredaran kosmetik merupakan kegiatan yang meliputi pihak-pihak yang terkait dalam produksi dan distribusi produk-produk kosmetik, yaitu produsen, distributor, konsumen dan pemerintah. Sampainya suatu produk kosmetik dari produsen ke konsumen dapat melalui penyalur atau distributor.

1. Pelaku Usaha

Menurut UUPK menggunakan istilah pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.20 Dalam penjelasan UUPK yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, koorporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.21

Dalam mata rantai bisnis, suatu produk yang dihasilkan oleh pabrik akan menempuh proses dari pihak-pihak tertentu hingga sampai di pasar dan akhirnya jatuh ke tangan konsumen. Dalam praktiknya ada beragam jenis dan nama dalam mata rantai bisnis,

20 Lihat, Pasal 1 Ayat (3) UUPK.

21 Lihat, Penjelasan Pasal 3 UUPK.


(19)

yang secara yuridis sulit untuk mencari padanan istilah yang tepat ke dalam bahasa Indonesia. Pelaku usaha akan terdiri dari banyak pihak, antara lain yaitu:22

1. Produsen (produser); 2. Importir;

3. Agen (agent);

4. Kantor cabang (branch office);

5. Kantor Perwakilan (representatives office); 6. Perantara (broker);

7. Pedagang (trader); 8. Dealer;

9. Penyalur (distributor); 10.Grosir (wholeseller).

Istilah pelaku usaha dalam praktiknya memiliki banyak bentuk perwujudan sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Namun dalam hal ini (peredaran kosmetik) pelaku usaha yang terlibat secara langsung antara lain adalah produsen kosmetik, importir kosmetik, dan pedagang kosmetik.

22 Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen (Bandar lampung: Penerbit Universitas Lampung, 2007), hal. 61.


(20)

a. Produsen Kosmetik

Secara harfiah produsen mempunyai pengertian penghasil atau yang menghasilkan barang-barang.23 Sehingga dapat dipahami produsen kosmetik adalah setiap orang atau badan usaha yang menghasilkan produk kosmetik. Sebagai pelaku usaha produsen kosmetik dirasa terlibat secara langsung dengan peredaran kosmetik karena dalam hal ini produsen adalah pihak yang membuat produk kosmetik, seharusnya sangat memahami khasiat maupun efek samping bahan baku produk kosmetik tersebut serta tidak menggunakan bahan baku yang dapat membahayakan kesehatan pengguna kosmetik atau memberikan informasi yang tidak sesuai dan atau tidak benar mengenai khasiat produk kosmetik tersebut.

b. Importir Kosmetik

Importir adalah orang atau serikat dagang (perusahaan) yang memasukan barang-barang dari luar negeri.24 Atau dapat dipahami pula importir adalah orang atau perusahaan yang melakukan impor. Impor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan.25 Maka importir kosmetik dapat kita pahami sebagai orang atau perusahaan yang memasukan produk-produk kosmetik dari luar negeri secara legal. Keterlibatan importir secara langsung sebagai pelaku usaha dalam peredaran

23 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal. 897.

24Ibid ., hal 427.


(21)

kosmetik disebabkan peran importir yang menjembatani masuknya produk kosmetik asing kedalam negeri secara legal sehingga produk kosmetik asing tersebut dapat diedarkan di dalam negeri.

c. Pedagang Kosmetik

Pedagang adalah orang yang melakukan perdagangan, memperjualbelikan barang yang tidak diproduksi sendiri, untuk memperoleh suatu keuntungan. Pedagang dapat dikategorikan menjadi:26

1. Pedagang grosir, beroperasi dalam rantai distribusi antara produsen dan pedagang eceran.

2. Pedagang eceran, disebut juga pengecer, menjual produk komoditas langsung ke konsumen. Pemilik toko atau warung adalah pengecer.

Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa pedagang kosmetik adalah orang yang memperjualbelikan kosmetik bukan dari hasil produksi sendiri guna memperoleh suatu keuntungan. Selain itu dapat dipahami pula bahwa pedagang grosir kosmetik adalah orang yang memperjualbelikan kosmetik dalam jumlah besar kepada pedagang eceran kosmetik. Pedagang eceran kosmetik yaitu yang memerjualbelikan kosmetik dalam jumlah kecil kepada konsumen kosmetik langsung.

Dalam keterlibatannya dengan peredaran kosmetik, pedagang merupakan pelaku usaha yang berhubungan secara langsung dengan konsumen kosmetik tersebut. Oleh


(22)

sebab itu, seharusnya pedagang produk kosmetik tidak menjual produk kosmetik yang telah di informasikan oleh pemerintah dilarang peredarannya karena tidak memiliki izin edar dan atau mengandung bahan berbahaya.

2. Konsumen

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.27 Selain itu pengertian konsumen adalah setiap pengguna barang atau jasa untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga, atau rumah tangga dan tidak untuk memproduksi barang atau jasa lain untuk memperdagangkan kembali.28

Sedangkan istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika) atau consument/konsument (Belanda) yang secara harfiah arti kata

consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.29 Konsumen dalam bahasa Indonesia berarti pemakai barang hasil produksi (bahan pakaian, makanan, dsb.) dan pemakai jasa (pelanggan, dsb.).30

27 Lihat, Pasal 1 Ayat (2) UUPK.

28 A.Z. Nasution, Konsumen dan Hukum (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 69.

29 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 22.


(23)

UUPK menggunakan istilah (kata-kata) yang hampir bersamaan artinya pemakai, pengguna dan pemanfaat sering diartikan bersamaan dalam kaitan apapun. Sayangnya undang-undang tidak menjelaskan arti masing-masing istilah tersebut. Dalam pembahasan penggunaan istilah-istilah ini, tindakan hukum perlindungan konsumen yang dibentuk oleh menteri kehakiman sebelum UUPK disyahkan DPR (1999), menyepakati penggunaan istilah-istilah itu untuk kegiatan konsumen secara tertentu, sebagai berikut:31

a. Istilah pemakai digunakan untuk pemakaian produk konsumen yang tidak mengandung listrik atau elekronik (misalnya pemakaian bahan pangan, bahan sandang, peumahan, dst.);

b. Istilah penggunaan ditunjukan untuk penggunaan produk konsumen yang menggunakan arus listrik atau elektronik (seperti penggunaan listrik penerangan,

radio-tape, televisi, komputer dst.);

c. Istilah pemanfaatan ditujukan untuk pemanfaatan produk konsumen berbentuk jasa (misalnya, pemanfaatan jasa asuransi, jasa penerbangan, jasa transportasi, jasa advokat, jasa kesehatan, dst.).

Dalam berhadapan dengan produsen, konsumen dianggap sebagai pihak yang lemah, adapun faktor-faktor yang menyebabkan konsumen berada pada posisi yang lemah yaitu :32

31 A.Z. Nasuion, Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UU no. 8/ 1999-LN 1999 No.42, Jurnal Hukum dan Pembangunan No. 2 Tahun XXXII April-Juni 2002, hal. 120.

32 Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk dan Sejarahnya di Beberapa Negara, Proyek Hukum Perdata (Yogyakarta, 1989), hal. 28.


(24)

1) Kurangnya pengetahuan teknik (barang yang dibelinya, konstruksi mana yang baik mana yang cacat, pemakaian yang tepat);

2) Kurangnya pengetahuan yang nyata (isinya, susunannya);

3) Kurangnya pengetahuan dari segi hukum (hak dan kewajiban); jalan mana terbuka baginya sebagai pembeli dalam keadaan darurat juga dimana para konsumen setiap kali dihadapkan dengan syarat kontrak baku, yang sering tidak diketahui tentang adanya juga tidak dapat dimengerti atau dicoba mengerti.

Meskipun konsumen dalam berhadapan dengan produsen dipandang sebagai pihak yang lemah, tetapi pada dasarnya konsumen mempunyai hak-hak yang dapat dipergunakan untuk melindungi diri sendiri atas suatu produk yang dapat membahayakan kesehatan atau yang dapat menimbulkan kerugian. Karena kurangnya informasi dan kesadaran hukum tentang konsumen sehingga penerapan tersebut sering terabaiakan dalam kehidupan sehari-hari. Prof. Hans W. Micklitz, seorang ahli hukum dari Jerman, membedakan konsumen berdasarkan hak ini. Menurutnya secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu:33

a. Konsumen yang terinformasikan (well-informed); b. Konsumen yang tidak terinformasi.

Ciri-ciri konsmen yang terinformasi sebagai tipe pertama adalah:34 a. Memiliki tingkat pendidikan tertentu;

33 Warta Konsumen (1998), hal. 33-34 dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit., hal. 34. 34 Ibid., hal. 34-35.


(25)

b. Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar, dan

c. Lancar berkomunikasi.

Dengan memiliki tiga potensi, konsumen jenis ini mampu bertanggung jawab dan relatif tidak memerlukan perlindungan.

Ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasi sebagai tipe kedua memiliki ciri-ciri antara lain:35

a. Kurang berpendidikan;

b. Termasuk kategori kelas menengah kebawah; c. Tidak lancar berkomunikasi.

Konsumen jenis ini perlu dilindungi, dan khususnya menjadi tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan.

3. Pemerintah / BPOM RI

Sudah menjadi ketentuan UUPK bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak-hak bagi konsumen dan pelaku usaha, serta dilaksanakannya kewajiban terhadap keduanya.36 Pelaksanaan pembinaan oleh pemerintah melalui menteri teknis terkait dengan perlindungan konsumen. Dalam hal ini, menteri teknis yang menangani

35 Ibid., hal. 35.


(26)

perlindungan konsumen akan melakukan koordinasi tentang penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri-menteri lainnya.37

Sesuai dengan ketentuan diatas, maka dalam hal perlindungan konsumen kosmetik dari peredaran kosmetik tanpa izin edar, Menteri Kesehatan RI berkoordinasi dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 tahun 2000 sebagai pelaksana dalam implementasi perlindungan hukum dan upaya hukumnya. BPOM RI atau yang lebih akrab disebut dengan Badan POM atau BPOM saja merupakan pelaksana dari Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM) yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk termaksud untuk melindungi keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negeri. Adapun kerangka konsep SISPOM sebagai berikut :

a. Sub-sistem pengawasan produsen.

Sistem pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan cara-cara produksi yang baik atau good manufacturing practices agar setiap bentuk penyimpangan dari standar mutu dapat dideteksi sejak awal. Secara hukum produsen bertanggung jawab atas mutu dan keamanan produk yang dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap standar yang telah ditetapkan maka produsen dikenakan sanksi, baik administratif maupun diproses sampai ke pengadilan.

37Wahyu sasongko, op. cit., hal. 118.


(27)

b. Sub-sistem pengawasan konsumen.

Sistem pengawasan oleh masyarakat konsumen sendiri melalui peningkatan kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai kualitas produk yang digunakannya dan cara-cara penggunaan produk yang rasional. Pengawasan oleh masyarakat sendiri sangat penting dilakukan karena pada akhirnya masyarakatlah yang mengambil keputusan untuk membeli dan menggunakan suatu produk. Konsumen dengan kesadaran dan tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mutu dan kegunaan suatu produk, di satu sisi dapat membentengi dirinya sendiri terhadap penggunaan produk-produk yang tidak memenuhi syarat dan tidak dibutuhkan sedang pada sisi lain akan mendorong produsen untuk ekstra hati-hati dalam menjaga kualitasnya.

c. Sub-sistem pengawasan pemerintah/BPOM.

Sistem pengawasan oleh pemerintah melalui pengaturan dan standardisasi; penilaian keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum diijinkan beredar di Indonesia; inspeksi, pengambilan sampel dan pengujian laboratorium produk yang beredar serta peringatan kepada publik yang didukung penegakan hukum. Untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen terhadap mutu, khasiat dan keamanan produk maka pemerintah juga melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi.

Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya BPOM RI memiliki Unit Pelaksana teknis berupa Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan atau disingkat BBPOM, yang


(28)

tersebar di seluruh wilayah Indonesia, contoh BBPOM Bandar Lampung, BBPOM Semarang, BBPOM Pekan Baru, dll.

BPOM memiliki fungsi sebagai berikut : a. Pengaturan, regulasi, dan standarisasi;

b. Lisensi dan sertifikasi industri di bidang farmasi berdasarkan cara-cara produksi yang baik;

c. Evaluasi produk sebelum diizinkan beredar;

d. Post marketing vigilance termasuk sampling dan pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan dan penegakan hukum. e. Pre-audit dan pasca-audit iklan dan promosi produk;

f. Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan obat dan makanan; g. Komunikasi, informasi dan edukasi publik termasuk peringatan publik.

Berdasarkan Keputusan Presiden No. 166 tahun 2000, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bertanggung jawab kepada Presiden dan dikoordinasikan dengan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial. Dengan susunan Struktur organisasi sebagai berikut :

a. Skretariat Utama.

melaksanakan koordinasi perencanaan strategis dan organisasi, pengembangan pegawai, pengelolaan keuangan, bantuan hukum dan legislasi, hubungan masyarakat dan kerjasama internasional, serta akses masyarakat terhadap Badan


(29)

POM melalui Unit Layanan Pengaduan Konsumen yang menerima dan menindaklanjuti berbagai pengaduan dari masyarakat di bidang obat dan makanan. Disamping itu dilakukan pembinaan administratif beberapa Pusat yang ada di lingkungan Badan POM dan unit-unit pelaksana teknis yang tersebar di seluruh Indonesia.

b. Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA.

melaksanakan penilaian dan evaluasi khasiat, keamanan dan mutu obat, produk biologi dan alat kesehatan sebelum beredar di Indonesia dan juga produk uji klinik. Selanjutnya melakukan pengawasan peredaran produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Disamping itu melakukan sertifikasi produk terapetik, inspeksi penerapan cara pembuatan obat yang baik dan inspeksi penerapan cara pembuatan obat yang baik, inspeksi sarana produksi dan distribusi, sampling, penarikan produk, public warning sampai pro justicia. Didukung oleh antara lain Komite Nasional Penilai Obat Jadi, Komite Nasional Penilai Alat Kesehatan dan Tim Penilai Periklanan Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, Obat Tradisional dan Suplemen Makanan.

c. Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen. Melaksanakan penilaian dan registrasi obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan sebelum beredar di Indonesia. Selanjutnya melakukan pengawasan peredaran obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen, termasuk penandaan dan periklanan. Penegakan hukum dilakukan dengan inspeksi cara produksi yang baik, sampling, penarikan produk, public warning sampai pro


(30)

justicia. Didukung oleh antara lain Tim Penilai Obat Tradisional dan Tim Penilai Kosmetik.

d. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya.

Melaksanakan penilaian dan evaluasi keamanan pangan sebelum beredar di Indonesia dan selama peredaran seperti pengawasan terhadap sarana produksi dan distribusi maupun komoditinya, termasuk penandaan dan periklanan, dan pengamanan produk dan bahan berbahaya. Disamping itu melakukan sertifikasi produk pangan. Produsen dan distributor dibina untuk menerapkan Sistem Jaminan Mutu, terutama penerapan Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB), Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP), Cara Distribusi Makanan yang Baik (CDMB) serta Total Quality Management (TQM). Disamping itu diselenggarakan surveilan, penyuluhan dan informasi keamanan pangan dan bahan berbahaya. Didukung antara lain Tim Penilai Keamanan Pangan.

e. Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional.

Melakukan pemeriksaan secara laboratorium, pengembangan prosedur pengujian dan penilaian mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, alat kesehatan, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan bahan berbahaya. Disamping merupakan rujukan dari 26 (duapuluh enam) laboratorium pengawasan obat dan makanan di seluruh Indonesia, telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional, Badan Standardisasi Nasional tahun 1999 serta merupakan WHO Collaborating Center sejak 1986 dan anggota International Certification Scheme. Selain ditunjang dengan laboratorium


(31)

bioteknologi, laboratorium baku pembanding, laboratorium kalibrasi serta laboratorium hewan percobaan, juga didukung dengan peralatan laboratorium yang canggih untuk analisis fisikokimia seperti Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, Kromatografi Gas, Sektrofotometer Absorpsi Atom, Spektrofotometer Infra Merah; analisis fisik seperti Alat Uji Disolusi Otomatis dan Smoking Machine; analisis mikrobiologi dan biologi.

f. Pusat Penyidikan Obat dan Makanan.

Melaksanakan kegiatan penyelidikan dan penyidikan terhadap perbuatan melawan hukum di bidang produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif, obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen dan makanan serta produk sejenis lainnya.

g. Pusat Riset Obat dan Makanan.

Melaksanakan kegiatan di bidang riset toksikologi, keamanan pangan dan produk terapetik.

h. Pusat Informasi Obat dan Makanan.

Memberikan pelayanan informasi obat dan makanan, informasi keracunan dan koordinasi kegiatan teknologi informasi BPOM.


(32)

C. Peredaran Kosmetik.

1. Pengaturan Peredaran Kosmetik

Dasar hukum untuk melaksanakan pendaftaran kosmetik di Indonesia telah mengalami banyak revisi dalam rangka menyesuaikan dengan teknologi informasi yang telah berkembang. Peraturan perundang-undangan yang pertama kali mengatur tentang izin edar adalah Permenkes No.326/MENKES/PER/XII/1976 tentang Wajib Daftar Kosmetika dan Alat Kesehatan, yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan dikeluarkannya Permenkes No. 140/MEN.KES/PER/III/1991 tentang Wajib Daftar Alat Kesehatan.

Pada tahun 2004 dikeluarkan Permenkes No. 1184/menkes/per/x/2004 tentang Pengamanan Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga Alat Kesehatan, dengan dikeluarkannya permenkes ini mencabut 4 (empat) permenkes sekaligus, yaitu Permenkes No. 220/MEN.KES/PER/IX/76 tentang Produksi dan Peredaran Kosmetika dan Alat Kesehatan, Permenkes No. 236/MEN.KES/PER/X/1977 tentang Perijinan Produksi Kosmetika dan Alat Kesehatan, Permenkes No. 140/MEN.KES/PER/III/1991 tentang Wajib Daftar Alat Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, dan Permenkes No.142/MEN.KES/PER/III/1991 tentang Penyalur Alat Kesehatan.

Dewasa ini yang menjadi payung hukum atas konsumen produk kosmetika adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), didukung pula Peraturan Kepala BPOM RI No. Hk.00.05.42.2995 Tahun 2008


(33)

tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik, Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.1.23.3516 Tahun 2009 tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan Tertentu dan Atau Mengandung Alkohol, serta Keputusan Kepala BPOM No. HK.00.05.4.1745 Tahun 2003 tentang Kosmetik.

2.Instansi yang Mengeluarkan Izin Edar Kosmetik

Izin edar adalah bentuk persetujuan registrasi bagi produk obat, obat tradisional, kosmetik, suplemen makanan, dan makanan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) agar produk tersebut secara sah dapat diedarkan di wilayah Indonesia.38

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu maksud diberlakukannya izin edar atau persetujuan pendaftaran produk di Indonesia adalah untuk melindungi masyarakat dari peredaran produk yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan kemanfaatannya. Untuk mengeluarkan nomor izin edar atau nomor persetujuan pendaftaran, pemerintah dalam hal ini BPOM melakukan evaluasi dan penilaian terhadap produk tersebut sebelum diedarkan. Tak terkecuali dengan kosmetik.

Sebagaimana diamanatkan pada UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 41

yang berbunyi “sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar” dengan penjelasannya bahwa “sediaan farmasi dan alat

38 Lihat, Pasal 1 Peraturan Kepala BPOM RI No. hk. 00.05.1.23.3516 Tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, dari Bahan Tertentu dan atau Mengandung Alkohol


(34)

kesehatan yang dapat diberi izin edar dalam bentuk persetujuan pendaftaran harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan”. Menurut Pasal 1 nomor 9 pada uu tersebut dikatakan bahwa yang termasuk “sediaan farmasi adalah obat, bahan

obat, obat tradisional dan kosmetik”.

Kosmetik sebelum diedarkan harus didaftarkan untuk mendapatkan izin edar dari Kepala BPOM. Yang berhak untuk mendaftarkan adalah :39

a. Produsen kosmetik yang mendapat izin usaha Industri; b. Perusahaan yang bertanggungjawab atas pemasaran;

c. Badan hukum yang ditunjuk atau diberi kuasa oleh perusahaan dari negara asal.

Produk kosmetik yang telah mencantumkan kode registrasi telah melalui pengujian dari BPOM terlebih dahulu mengenai kelayakan bagi kesehatan. Kode nomor produk berbeda antara makanan, obat, dan produk kosmetik. Untuk kode kosmetik terdiri dari 12 (dua belas) digit, yaitu 2 digit huruf dan 10 digit berupa angka. Contohnya: CD.0103602622.

Dua digit pertama yang berupa huruf tersebut ada dua macam, yaitu CD untuk produk kosmetik dalam negeri dan CL/CA/CC/CE untuk produl kosmetik luar negeri (import). Sedangkan 10 digit angka yang mengikuti huruf tersebut memiliki arti sebagai berikut:

 Digit 1,2: CD/CL/CA/CC/CE

 Digit 3,4: Kategori


(35)

 Digit 5,6: Sub Kategori

 Digit 7,8: Tahun Terbit

 Digit 9,10,11,12: Nomor Urut

D. Perlindungan Konsumen

Kedudukan antara pelaku usaha/pelaku usaha dan konsumen adalah setara, tetapi pada kenyataannya konsumen selalu berada pada posisi yang lemah. Pelaku usaha lebih cenderung memanfaatkan kelemahan dan ketidaktahuan konsumen akan hak-haknya. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.

Secara harfiah kata “Perlindungan” didefinisikan dalam beberapa arti antara lain: tempat berlindung, perbuatan menyelamatkan, memberi pertolongan, membuat sesuatu menjadi aman.40 Sedangkan Konsumen adalah setiap orang yang menggunakan barang atau jasa.

Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UUPK, Perlindungan konsumen adalah segala usaha yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Ada tiga unsur utama dalam pasal ini, adalah: 41

1. Adanya jaminan

40Departemen Pendidikan Nasional, op., cit, hal. 526.

41Wahyu sasongko, “Relevansi dan Dinamika Hukum Perlindungan Hukum bagi Konsumen,” Justisia Jurnal Penelitian Ilmu Hukum, No.20 Tahun VII januari-April 1999, hal. 5.


(36)

2. Kepastian hukum 3. Perlindungan konsumen

Berdasarkan tiga unsur diatas, dapat dipahami bahwa perlindungan konsumen sangat erat kaitannya dengan Jaminan hukum dan kepastian hukum. Dimana jaminan hukum dalam prakteknya berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan kepastian hukum dapat terwujud apabila ada lembaga penegak hukum yang melakukan pengawasan ataupun upaya hukum apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan tersebut.

Dalam hal perlindungan konsumen produk kosmetik maka peraturan perundang undangan yang berlaku adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), didukung pula dengan Peraturan Kepala BPOM RI No. Hk.00.05.42.2995 Tahun 2008 Tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik, Peraturan Kepala BPOM RI No. Hk.00.05.42.2995 Tahun 2008 Tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik, Peraturan Kepala BPOM RI NO. HK.00.05.1.23.3516 Tahun 2009 tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan Tertentu dan Atau Mengandung Alkohol serta Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik Sedangkan lembaga penegak hukum yang dimaksud dalam hal perlindungan konsumen produk kosmetik adalah BPOM/BBPOM.


(37)

Berdasarkan uraian diatas, maka perlindungan konsumen pada penelitian ini adalah usaha atau perbuatan untuk melindungi konsumen, yang berupa upaya memberikan kepastian hukum dalam bentuk ketentuan-ketentuan tertulis yang memuat hak-hak konsumen dan jaminan hukum melalui lembaga-lembaga yang ditentukan oleh hukum, untuk dapat menyelesaikan setiap kegiatan atau perbuatan pelaku usaha yang mengganggu dan merugian konsumen khususnya kerugian dari perbuatan pelaku usaha produk kosmetik tanpa izin edar.


(38)

Proses ke Pengadilan Negeri Tindakan Hukum oleh BPOM

berupa pemeriksaan setempat (Razia) oleh BBPOM di tiap

daerah

Putusan Pengadilan Negeri Ketentuan tentang Izin Edar Kosmetik, antara lain:

- UUPK

- Per. Ka. BPOM tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik, - Per. Ka. BPOM tentang Izin Edar Produk Obat, Obat

Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan Tertentu dan Atau Mengandung Alkohol, serta

- Kep. Ka. BPOM tentang Kosmetik.

Pendaftaran Izin Edar Kosmetik BPOM

Produk kosmetik memiliki izin edar.

Produk kosmetik tanpa izin edar.

Putusan dapat berupa kurungan, denda & disertai dengan pencabutan izin usaha

Dilarang menjalankan usaha atau memproduksi produk

yang sama.

Putusan dapat berupa kurungan, denda & tanpa

disertai dengan pencabutan izin usaha

Boleh menjalankan usaha kembali setelah memiliki

izin edar. (wajib mengajukan izin edar) Pembinaan

Perlindungan Konsumen


(39)

Perlindungan Konsumen meliputi jaminan hukum dan kepastian hukum. Jaminan hukum merupakan langkah guna mewujudkan perlindungan konsumen dari segi normatif. Tolok ukur adanya jaminan hukum adalah adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan hak-hak konsumen untuk digunakan terhadap perbuatan yang tidak atau kurang baik dari pelaku usaha. Dimana dalam hal jaminan hukum terhadap konsumen produk kosmetik dari peredaran kosmetik tanpa izin edar yang belum terjamin keamanannya adalah dengan adanya regulasi mengenai izin edar kosmetik.

Sementara itu, kepastian hukum merupakan wujud perlindungan konsumen dari segi normatif dan empiris, yaitu suatu peraturan perundang-undangan berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa dan pelaksanaan penegakan atas peraturan perundang-undangan tersebut merupakan perlindungan dari perbuatan sewenang-wenang, yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui lembaga yang berwenang yaitu BPOM RI.

Ada korelasi positif antara kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap konsumen. Kepastian hukum merupakan variabel yang akan mempengaruhi perlindungan konsumen. Jika kepastian hukum dapat tercapai, maka perlindungan hukum terhadap konsumen juga dapat diberikan.

Perlindungan konsumen tersebut diselenggarakan oleh pemerintah melalui menteri teknis yang terkait dengan perlindungan konsumen. Dalam hal ini menteri teknis yang menangani perlindungan konsumen adalah menteri kesehatan yang melakukan koordinasi tentang penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan Badan


(40)

Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI yang memiliki unit pelaksana teknis di daerah-daerah dalam bentuk Balai Besar POM (BBPOM) di tiap-tiap daerah di seluruh Indonesia.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai izin edar yang berlaku (UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Per. Ka. BPOM tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik, Per. Ka. BPOM tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan Tertentu dan Atau Mengandung Alkohol dan Kep. Ka. BPOM tentang Kosmetik) setiap produk kosmetik harus didaftarkan izin edarnya kepada pihak yang berwenang yaitu BPOM melalui BBPOM di tiap daerah di nusantara.

Setelah mengajukan pendaftaran izin edar produk kosmetik dan mengalami serangkaian proses evaluasi termasuk uji laboratorium, maka akan didapatkan dua hasil, yaitu:

1. Produk kosmetik yang memenuhi syarat, aman digunakan maka akan dikeluarkan izin edarnya oleh BPOM. Setelah memiliki izin edar, produk kosmetik ini dapat langsung disalurkan ke konsumen.

2. Produk kosmetik tidak memenuhi syarat, mengandung bahan berbahaya maka tidak akan dikeluarkan izin edarnya dan harus mengikuti standar kesehatan dan mutu serta mendaftarkan izin edarnya kembali jika si produsen ingin produknya tetap dapat dipasarkan. Namun dalam praktiknya masih banyak produsen produk kosmetik yang memasarkan produknya walaupun tidak memiliki izin edar.


(41)

Keduanya, baik yang memiliki izin edar maupun tidak sama-sama dapat kita jumpai beredar dipasaran. Namun lain halnya dengan produk kosmetik ber-izin edar, produk kosmetik tanpa izin edar dipasarkan secara illegal. Peredaran produk kosmetik tanpa izin edar dipasaran tersebut diantisipasi oleh BPOM dengan mengadakan pemeriksaan setempat, dimana pemeriksaan setempat ini dilakukan oleh BPOM untuk wilayah pusat dan oleh BBPOM untuk di setiap daerah di Indonesia. Produk kosmetik tanpa izin edar yang terjaring pemeriksaan setempat tersebut akan dijadikan barang bukti untuk selanjutnya diambil tindakan. Tindakan tersebut dapat berupa pembinaan atau tindakan proses ke pengadilan negeri setempat.

Apabila tindakan yang diambil adalah pembinaan kepada pelaku usaha maka produk kosmetik yang menjadi barang bukti tersebut akan di musnahkan serta dilakukannya pengawasan berkala secara khusus. Namun apabila tindakan yang diambil adalah membawa perkara pelanggaran tersebut ke pengadilan, maka BBPOM akan bertindak sebagai penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan melakukan penyidikan sampai pada akhirnya berkas kasus tersebut di limpahkan kepada jaksa penuntut umum untuk diproses dimuka siding pengadilan.

Putusan pengadilan biasanya ada yang disertai pencabutan izin usaha dan tanpa disertai pencabutan izin usaha. Apabila dilakukan pencabutan izin usaha maka pelaku usaha tersebut tidak boleh menjalankan usaha tersebut lagi atau memproduksi produk kosmetik yang sama. Namun pelaku usaha tersebut masih boleh mengajukan izin usaha baru untuk menjalankan usaha yang bukan merupakan usaha lamanya.


(42)

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Tipe penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian normatif empiris, Penelitian hukum normatif-empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.42 Penulis menggunakan Jenis Penelitian normatif-empiris karena obyek yang diteliti adalah ketentuan normatif di bidang administrasi yang sebagian besar berupa peraturan perundang-undangan dengan studi penelitian pada Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Bandar Lampung mengenai pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan tersebut.

2. Tipe penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu penelitiam hukum yang bersifat memaparkan dan bertujuan untuk memperoleh

42 Prof. Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (PT. Citra Aditya Bakti; Bandung, 2004) , hal. 134.


(43)

gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.43 Dalam hal ini penulis akan menggambarkan dan memaparkan secara lengkap, jelas, dan sistematis hasil penelitian dalam bentuk laporan penelitian sebagai karya ilmiah mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen produk kosmetika tanpa izin edar.

B. Pendekatan Masalah

Sesuai dengan jenis penelitian yaitu hukum normatif-empiris, maka pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif-terapan (applied law approach). Untuk menggunakan pendekatan normatif terapan, terlebih dahulu merumuskan masalah dan tujuan penelitian. Masalah dan tujuan tersebut perlu dirumuskan secara rinci, jelas, dan akurat. Tipe pendekatan normatif-terapan yang digunakan adalah Live-Case Study, yaitu pendekatan studi kasus pada peristiwa hukum yang masih berlangsung atau belum selesai atau belum berakhir.44

C. Data dan Sumber Data

Dalam penelitian ini tidak akan terlepas dari data-data pendukung sesuai dengan tujuan. Data dijadikan pedoman dalam penulisan penelitian, penulis menggunakan data primer dan data sekunder.

43 Ibid., hal. 50.


(44)

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan metode wawancara dan pengamatan digunakan untuk memperjelas data yang dibutuhkan. Selain data primer, penulis juga menggunakan data sekunder yang didapat dari studi kepustakaan. Adapun data sekunder terdiri dari:

a. Bahan hukum primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari berbagai peraturan, undang-undang, keputusan menteri dan peraturan yang setaraf, yang meliputi :

1. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). 2. Peraturan Kepala BPOM RI No. Hk.00.05.42.2995 Tentang Pengawasan

Pemasukan Kosmetik.

3. Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.1.23.3516 Tahun 2009 tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan Tertentu dan Atau Mengandung Alkohol.

4. Keputusan Kepala BPOM No. HK.00.05.4.1745 Tahun 2003 tentang Kosmetik.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang bersumber dari literatur-literatur, makalah, dokuman perizinan terlampir, Putusan Pengadilan Negeri, serta tulisan ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini.


(45)

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti surat kabar, kamus hukum dan pedoman penulisan karya ilmiah.

D. Metode pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan cara:

a. Studi pustaka

Cara ini dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan bahan-bahan teoritis dengan cara mengutip atau meresume bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan obyek penelitian lain yaitu :

1. Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). 2. Peraturan Kepala BPOM RI No. Hk.00.05.42.2995 tentang Pengawasan

Pemasukan Kosmetik.

3. Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.1.23.3516 tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan Tertentu dan Atau Mengandung Alkohol.

4. Keputusan Kepala BPOM No. HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik, literatur-literatur, dan sumber lainnya.


(46)

b. Studi Dokumen

Studi Dokumen adalah dengan cara membaca, menelaah, dan mengkaji Surat Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 641/Pid.B/2006/PN.TK.

c. Wawancara

Wawancara dilakukan secara bebas dengan Bapak Drs. Hartadi,Apt., Ka. Bidang Unit Layanan Pengaduan konsumen BBPOM Bandar Lampung dan Bapak Ramadhan, Apt., Ka. Bidang Unit Penyidikan BBPOM Bandar Lampung.

E. Metode Pengolahan Data

Tahap-tahap pengolahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Seleksi data

Seleksi data adalah memeriksa kembali apakah data yang diperoleh itu relevan dan sesuai dengan bahasan, selanjutnya apabila data ada yang salah akan dilakukan perbaikan dan terhadap data yang kurang lengkap akan dilengkapi.

2. Klasifikasi data

Klasifikasi data adalah pengelompokan data sesuai dengan pokok bahasan agar memudahkan pembahasan.

3. Sistematika data

Sistematika data adalah penelusuran data berdasarkan urutan data yang telah ditentukan sesuai dengan ruang lingkup pokok bahasan secara sistematis.


(47)

F. Analisis Data

Dalam penelitian ini analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara menafsirkan, menginterpretasikan, dan mengklasifikasikan data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan hasil wawancara dengan menggunakan kerangka teori dan kerangka konsep yang hasilnya diuraikan dan dijelaskan kedalam bentuk kalimat yang jelas, teratur, logis dan efektif sehingga diperoleh gambaran yang jelas tepat, dan dapat ditarik suatu kesimpulan sehingga dari beberapa kesimpulan tersebut dapat diajukan saran-saran.


(48)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

1. Peraturan-peraturan mengenai izin edar kosmetik yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini BPOM dalam rangka perlindungan konsumen kosmetik dewasa ini telah cukup memadai, karena setiap sektor yang dirasa bersinggungan dengan izin edar kosmetik telah di keluarkan regulasinya. Hal tersebut dapat dilihat dari setiap aspek yang di atur dalam masing-masing peraturan tersebut. Sebagai contoh, dalam menanggapi mulai terbukanya pasar domestik Indonesia dalam menerima produk asing telah di antisipasi oleh pemerintah dalam hal ini BPOM dengan mengeluarkan Per. Ka. BPOM tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik. Selain itu Per. Ka. tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan Tertentu dan Atau Mengandung Alkohol yang dikeluarkan dalam rangka antisipasi pemerintah dalam menanggapi isu mengenai adanya kandungan Babi dan Alkohol dalam kosmetik yang meresahkan masyarakat Muslim. Adapun untuk peredaran kosmetik di dalam negeri sendiri telah diatur dalam Kep. Ka. BPOM tentang


(49)

Kosmetik. Sedangkan perlindungan konsumen secara umum juga telah diatur dalam UUPK.

2. Tindakan hukum yang dilakukan oleh BBPOM Bandar Lampung terhadap pelanggarang terkait izin edar produk kosmetik merupakan bentuk perlindungan konsumen kosmetik oleh BPOM melalui BBPOM Bandar Lampung sebagai unit pelaksana teknis nya di daerah Lampung. Tindakan hukum BBPOM Bandar Lampung tersebut mencakup 3 (tiga) hal yaitu Pengawasan Setempat (Razia), Pembinaan dan Proses ke Pengadilan. Dimana razia-razia di sejumlah Toko Kosmetik/Sarana Distribusi Kosmetik dan Sarana Produksi UKM Kosmetik tersebut dilakukan agar kosmetik yang beredar di pasaran benar-benar terkontrol dan tidak membahayakan konsumen sehingga hak konsumen atas kenyamanan, keamanan dan mutu yang terjamin dapat terpenuhi. Selain itu pembinaan adalah bentuk hukuman bagi pelaku pelanggaran dalam rangka penegakkan perlindungan konsumen yang juga mempertimbangkan pertumbuhan industri kosmetik dalam negeri dengan tidak memberikan hukuman yang berat melainkan dilakukan pembinaan saja terhadap sarana produksi terkait. Sedangkan Proses ke pengadila merupakan upaya perlindungan konsumen yang dilakukan pemerintah melalui BBPOM dengan memberikan efek jera pada oknum pelaku pelanggaran yang cukup berat agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Selama ini BBPOM Bandar Lampung memproses semua kasus pelanggaran yang ada secara pidana saja, karena tidak adanya pengaduan langsung dari masyarakat mengenai kerugian yang dialami akibat menggunakan produk kosmetik tanpa izin edar yang bisa diproses secara perdata.


(50)

B. Saran

Adapun saran yang ingin disampaikan yaitu kepada konsumen agar lebih memperhatikan dan mengindahkan peringatan/Public Warning yang dikeluarkan oleh BPOM RI mengenai kosmetik yang mengandung bahan yang dilarang UU dan atau dicabut izin edarnya, serta informasi produk kosmetik yang telah didaftarkan di BPOM RI, dengan cara tidak menggunakan produk kosmetik tanpa izin edar tersebut serta turut aktif mengikuti perkembangan informasi yang dapat dengan mudah diperoleh dari berbagai berita di media cetak maupun elektronik, atau dapat menghubungi BBPOM daerah setempat, selain itu informasi dapat pula di diperoleh dengan mengakses situs resmi BPOM RI www.pom.go.id, sehingga pengetahuan seputar informasi yang dimiliki konsumen tersebut dapat membentengi diri mereka sendiri serta dapat mendukung penegakan perlindungan konsumen terhadap produk kosmetik tanpa izin edar mulai dari dirinya sendiri.


(51)

PERLINDUNGAN KONSUMEN

AKIBAT MENGGUNAKAN KOSMETIK TANPA IZIN EDAR

( Studi Pada Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan

Bandar Lampung )

Oleh

CHRISTINE DEWI UNTARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(52)

PERLINDUNGAN KONSUMEN

AKIBAT MENGGUNAKAN KOSMETIK TANPA IZIN EDAR ( Studi Pada Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Bandar Lampung )

(Skripsi)

Oleh:

CHRISTINE DEWI UNTARI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(1)

45

F. Analisis Data

Dalam penelitian ini analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara menafsirkan, menginterpretasikan, dan mengklasifikasikan data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan hasil wawancara dengan menggunakan kerangka teori dan kerangka konsep yang hasilnya diuraikan dan dijelaskan kedalam bentuk kalimat yang jelas, teratur, logis dan efektif sehingga diperoleh gambaran yang jelas tepat, dan dapat ditarik suatu kesimpulan sehingga dari beberapa kesimpulan tersebut dapat diajukan saran-saran.


(2)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

1. Peraturan-peraturan mengenai izin edar kosmetik yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini BPOM dalam rangka perlindungan konsumen kosmetik dewasa ini telah cukup memadai, karena setiap sektor yang dirasa bersinggungan dengan izin edar kosmetik telah di keluarkan regulasinya. Hal tersebut dapat dilihat dari setiap aspek yang di atur dalam masing-masing peraturan tersebut. Sebagai contoh, dalam menanggapi mulai terbukanya pasar domestik Indonesia dalam menerima produk asing telah di antisipasi oleh pemerintah dalam hal ini BPOM dengan mengeluarkan Per. Ka. BPOM tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik. Selain itu Per. Ka. tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan Tertentu dan Atau Mengandung Alkohol yang dikeluarkan dalam rangka antisipasi pemerintah dalam menanggapi isu mengenai adanya kandungan Babi dan Alkohol dalam kosmetik yang meresahkan masyarakat Muslim. Adapun untuk peredaran kosmetik di dalam negeri sendiri telah diatur dalam Kep. Ka. BPOM tentang


(3)

75

Kosmetik. Sedangkan perlindungan konsumen secara umum juga telah diatur dalam UUPK.

2. Tindakan hukum yang dilakukan oleh BBPOM Bandar Lampung terhadap pelanggarang terkait izin edar produk kosmetik merupakan bentuk perlindungan konsumen kosmetik oleh BPOM melalui BBPOM Bandar Lampung sebagai unit pelaksana teknis nya di daerah Lampung. Tindakan hukum BBPOM Bandar Lampung tersebut mencakup 3 (tiga) hal yaitu Pengawasan Setempat (Razia), Pembinaan dan Proses ke Pengadilan. Dimana razia-razia di sejumlah Toko Kosmetik/Sarana Distribusi Kosmetik dan Sarana Produksi UKM Kosmetik tersebut dilakukan agar kosmetik yang beredar di pasaran benar-benar terkontrol dan tidak membahayakan konsumen sehingga hak konsumen atas kenyamanan, keamanan dan mutu yang terjamin dapat terpenuhi. Selain itu pembinaan adalah bentuk hukuman bagi pelaku pelanggaran dalam rangka penegakkan perlindungan konsumen yang juga mempertimbangkan pertumbuhan industri kosmetik dalam negeri dengan tidak memberikan hukuman yang berat melainkan dilakukan pembinaan saja terhadap sarana produksi terkait. Sedangkan Proses ke pengadila merupakan upaya perlindungan konsumen yang dilakukan pemerintah melalui BBPOM dengan memberikan efek jera pada oknum pelaku pelanggaran yang cukup berat agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Selama ini BBPOM Bandar Lampung memproses semua kasus pelanggaran yang ada secara pidana saja, karena tidak adanya pengaduan langsung dari masyarakat mengenai kerugian yang dialami akibat menggunakan produk kosmetik tanpa izin edar yang bisa diproses secara perdata.


(4)

B. Saran

Adapun saran yang ingin disampaikan yaitu kepada konsumen agar lebih memperhatikan dan mengindahkan peringatan/Public Warning yang dikeluarkan oleh BPOM RI mengenai kosmetik yang mengandung bahan yang dilarang UU dan atau dicabut izin edarnya, serta informasi produk kosmetik yang telah didaftarkan di BPOM RI, dengan cara tidak menggunakan produk kosmetik tanpa izin edar tersebut serta turut aktif mengikuti perkembangan informasi yang dapat dengan mudah diperoleh dari berbagai berita di media cetak maupun elektronik, atau dapat menghubungi BBPOM daerah setempat, selain itu informasi dapat pula di diperoleh dengan mengakses situs resmi BPOM RI www.pom.go.id, sehingga pengetahuan seputar informasi yang dimiliki konsumen tersebut dapat membentengi diri mereka sendiri serta dapat mendukung penegakan perlindungan konsumen terhadap produk kosmetik tanpa izin edar mulai dari dirinya sendiri.


(5)

iv

PERLINDUNGAN KONSUMEN

AKIBAT MENGGUNAKAN KOSMETIK TANPA IZIN EDAR

( Studi Pada Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan

Bandar Lampung )

Oleh

CHRISTINE DEWI UNTARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(6)

PERLINDUNGAN KONSUMEN

AKIBAT MENGGUNAKAN KOSMETIK TANPA IZIN EDAR ( Studi Pada Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Bandar Lampung )

(Skripsi)

Oleh:

CHRISTINE DEWI UNTARI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


Dokumen yang terkait

PERANAN BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN AKIBAT PEREDARAN PRODUK MAKANAN YANG TIDAK MEMENUHI STANDARISASI MUTU (Studi di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Surabaya)

0 4 2

UPAYA BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DI BANDAR LAMPUNG DALAM MENANGGULANGI PEREDARAN KOSMETIK TANPA IJIN EDAR

0 24 58

PERAN BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN LAMPUNG DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENJUALAN OBAT TRADISIONAL TANPA IZIN EDAR

0 12 57

Kinerja Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Kota Bandar Lampung Dalam Mengawasi Peredaran Kosmetik Ilegal Di Propinsi Lampung

1 19 73

PELAKSANAAN PENGAWASAN BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN TERHADAP PEREDARAN KOSMETIK ILEGAL PADA KLINIK KECANTIKAN DI BANDAR LAMPUNG

6 69 92

PERANAN BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK SUPLEMEN FITNES TANPA IJIN EDAR DI WILAYAH BBPOM DI DENPASAR.

0 0 13

PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PELANGGARAN PENANDAAN PADA PRODUK KOSMETIK (STUDI PADA BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DI DENPASAR).

0 0 19

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Peredaran Produk Kosmetik Berbahaya Yang Mencantumkan Nomor Izin Edar Badan Pengawas Obat Dan Makanan Palsu (Studi Pada : BPOM Medan)

0 5 10

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Peredaran Produk Kosmetik Berbahaya Yang Mencantumkan Nomor Izin Edar Badan Pengawas Obat Dan Makanan Palsu (Studi Pada : BPOM Medan)

0 0 1

PENEGAKAN HUKUM OLEH BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KOTA BANDAR LAMPUNG TERHADAP AIR MINUM DALAM KEMASAN TANPA IZIN EDAR

1 2 23